Share

Bab 3 – Ini Jaman Apa?

Sà shuāng mengucek-ucek matanya dan mencoba melihat sekelilingnya. Setelah beberapa saat, matanya akhirnya mulai terbiasa dengan cahaya dan ia melihat bahwa ia berada di tengah kota yang ramai  hampir sama di zaman Dinasti Tang. Dia merasa heran dan gembira melihat bangunan-bangunan megah dan orang-orang yang berpakaian indah.

Namun, Sà shuāng juga merasa cemas. Dia tahu bahwa perjalanan waktu ini memiliki konsekuensi yang besar dan ia harus berhati-hati agar tidak mengubah sejarah. Dia memutuskan untuk bertindak dengan hati-hati dan tidak menarik terlalu banyak perhatian pada dirinya sendiri.

Sà shuāng mulai menjelajahi kota dan menemukan banyak hal yang menarik. Dia melihat pasar yang ramai dengan pedagang dan pengunjung yang bergegas kesana-kemari. Dia juga melihat istana kekaisaran yang megah dan para bangsawan yang berlalu-lalang dengan pakaian mewah.

Namun, di tengah kesenangan dan kegembiraannya, Sà shuāng tidak melupakan peringatan A Wei tentang risiko yang ia ambil dengan melakukan perjalanan waktu ini. Dia terus berusaha untuk tidak mengubah sejarah dan memastikan bahwa setiap tindakannya tidak memiliki efek yang merusak.

Sà shuāng merasa senang dengan petualangannya dan menyadari bahwa keputusannya untuk berpetualang sepadan dengan risiko yang ia hadapi. Namun, dia juga menyadari bahwa ia harus bertanggung jawab atas tindakannya dan selalu berhati-hati dalam menjalankan perjalanan waktu di masa depan.

Suara dentuman terdengar memekakkan telinga Sà shuāng. Dia tak tahu apa yang terjadi, karena kedua matanya seakan buta sesaat, sinar yang dlihatnya pada lorong waktu tadi benar-benar membuat kedua matanya sakit.

Sà shuāng merasakan sakit di bagian bokong, dia berusaha bangkit berdiri sembari mengusap-usap bokong yang terasa nyeri.

“Hah? Ini di—di mana?” tanya Sà shuāng bingung melihat tempat asing.

Gedung-gedung tinggi mengelilingi Sà shuāng, saat itu dia terdampar dan terlempar tepat di jalan raya. Orang-orang menatap kebingungan melihat seorang gadis cantik berpakaian tradisional cina dengan dandanan klasik yang berdiri kebingungan di tengah jalan.  

“Ku—kurasa, lorong waktu itu melemparku ke jaman yang salah,” ucap Sà shuāng sendiri. Dia benar-benar buta, tak tahu berada di mana, semua orang yang melewatinya berpakaian berbeda dengan yang dikenakannya.

“Permisi, tahun berapa ini?” tanya Sà shuāngpada seorang pria tua yang sedang melintas.

“Bulan Januari 2023,” jawab pria itu dengan cepat.

“Hah? 2023? Aku tak pernah tahu penanggalan seperti ini di langit. Aduh ... mereka menatapku seperti orang asing.” Kata Sà shuāng.

Semua pejalan kaki yang melintas beranggapan jika mungkin Sà shuāngadalah salah satu pemeran figuran film kolosal, dan akan melakukan syuting. Mereka tertawa sembari berbisik-bisik satu sama lain.

Ada dua orang perempuan yang terus melirik ke arah Sà shuāng yang masih kebingungan. Bagaimana cara menyesuaikan diri dalam keadaan seperti ini?

“Permisi ini di daerah apa?” tanya Sà shuāng pada seorang perempuan lainnya yang melintas di sampingnya.

“Distrik A Kota Zhen. Kau sedang syuting?” tanya wanita itu.

Rasanya Sà shuāng ingin tertawa sembari menangis, kepalanya benar-benar dibuat berputar dengan keadaan kota yang sama sekali tak dikenalnya. Semua orang berpakaian sangat berbeda dari dirinya.

“Kota Zhen? Hahaha ... bagaimana caranya aku kembali? Atau mungkin akan ada petunjuk agar aku bisa segera kembali ke negara Langit, untuk sementara biar aku menikmati perjalanan di tempat aneh ini. Aku tak berharap bisa sampai di sini, sial!” gerutu Sà shuāng.

Sepanjang perjalanan, dia dibuat terkagum-kagum dengan banyaknya bangunan-bangunan tinggi serupa pencakar langit.

“Gadis itu aneh, siang bolong dan terik begini memakai pakaian seperti pemain drama china, apa dia mau syuting?” cibir salah satu warga di sana.

“Kasihan, cantik-cantik tapi gila. Dia mau main film silat di mana dengan dandanan seperti itu?” cibir wanita lain.

“Pemain figuran mana dia?” tanya pemuda jalanan.

Masih banyak percakapan-percakapan dalam benak orang-orang yang terbaca oleh Sà shuāng, dan dia tak mengambil pusing. Tapi saat itu perutnya berbunyi cukup kencang, dia lapar!

Sà shuāng melihat sebuah restoran kemudian masuk ke dalamnya.

“Paman aku mau makan,” ujar Sà shuāng pada seorang laki-laki yang berdiri di belakang meja kasir.

“Hah? Kau tinggal duduk saja dan catat pesananmu di sana,” tunjuk laki-laki yang berkisar usia 30-35 tahun itu. Tubuhnya gemuk, kulitnya putih, rona merah di kedua pipinya membuat pria tambun itu terlihat lucu.

Laki-laki di hadapanku terlihat seperti babi panggang. Sepertinya aku benar-benar kelaparan, batin Sà shuāng.

Dia berjalan ke arah meja dan duduk. Sebuah buku menu tersedia di atas meja, dia tak tahu harus memesan makanan apa, banyak sekali menunya.

Dia pun menulis chow mein di kertas menu.

“Hanya ini?” tanya laki-laki tambun tadi ketika melihat pesanan yang ditulis Sà shuāng.

Kalau dia memesan lebih dari satu menu, apa laki-laki itu akan membiarkannya memakan semua hidangan itu? Dia tak mengerti apakah makanan itu diberikan secara cuma-cuma atau dia harus membayarnya?

Sà shuāng sendiri kebingungan, alat pembayaran seperti apa yang digunakan di jaman itu. Dia hanya membawa sekeping uang emas yang berada didalam kantong sutera miliknya. Meski jumlahnya lebih dari cukup, apa mungkin laki-laki itu mau menerimanya.

Sà shuāng, Sà shuāng, entah akan menjadi apa hidupmu di dunia yang sama sekali asing!

Akhirnya Sà shuāng memesan lima macam menu, dan dalam sekejap menghabiskannya tanpa berpikir lebih panjang. Beberapa orang yang berada di dalam restoran sampai menganga melihat gadis bertubuh kecil itu mampu menghabiskan demikian banyak menu yang dipesannya seorang diri.

“Paman, apakah semua makanan itu gratis?” tanya Sà shuāng tanpa dosa, membuat laki-laki tambung itu membelalakkan kedua matanya dan menatap tajam ke arah Sà shuāng.

“Gratis?!” serunya dengan nada suara yang cukup tinggi.

“Eh, aku hanya bertanya. Aku tak tahu uang pembayaran seperti apa di duniamu. Apakah lima keping uang emas ini cukup?” tanya Sà shuāng menyodorkan lima uang keping emas asli ke hadapan lelaki tambun itu.

Laki-laki tambun itu terkejut, jumlah uang koin emas itu melebihi harga makanan yang baru saja dihabiskan A Huang. Uang koin emas itu benar-benar emas asli, satu koinnya saja hampir seberat 250 gram dan dia menyodorkan 5 keping?

“Kurasa satu koin emasmu cukup untuk membayar semua makanan yang masuk ke dalam perutmu,” jawab laki-laki itu dengan antusias kemudian mengambil satu keping koin emas dan memasukkannya ke dalam saku celananya.

Sà shuāngtak tahu harus berkata apa. Di Negara Langit, kepingan emas itu tak terlalu berarti karena dia dan keluarganya memiliki banyak sekali kepingan koin emas seperti itu dalam berbagai ukuran.

“Eh, apa kau yakin satu keping cukup?” tanya Sà shuāng seraya menatap ke telapak tangannya yang masih memegang sisa empat keping lagi.

Laki-laki tambun itu mengangguk. “Dengan satu keping ini, aku bisa beristirahat selama berminggu-minggu dan menutup restoranku. Kau ini dari planet mana, hah?”

“Aku .... baiklah, terima kasih banyak, Paman. Makananmu cukup enak. Aku pergi dulu,” pamit Sà shuāng menghilang dari restoran tersebut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status