Share

KARMA PERSELINGKUHAN AYAH
KARMA PERSELINGKUHAN AYAH
Penulis: Kencana Ungu

BAB 1 Berita Duka

“Aaww!” Aku menabrak seorang wanita muda di lobi hotel. 

“Maaf.”

“Makanya jalan pakai mata!” teriaknya, tapi aku hiraukan karena sedang sangat terburu-buru karena harus mengemasi barang-barang di kamar dan meluncur pulang. 

Baru saja tanteku telepon aku harus segera pulang karena ibuku sedang kritis di rumah sakit. Aku sendiri sedang mengikuti study tour di luar kota dan menginap tiga hari. Karena alasan itulah aku diperbolehkan untuk pulang lebih dulu.

“Al, lihat itu!”  Tunjuk Lusi. Aku kaget ternyata ada ayah di sini. Dua hari yang lalu memang ayah dinas ke luar kota dan aku sama sekali tidak menyangka kalau ayah dinas di Kota Kembang ini. Tunggu dulu wanita di samping ayah itu kan, wanita yang tadi bertabrakan denganku di lobi hotel.

“Itu ayahmu, kan, Al?” tanya Lusi lagi. Aku langsung mengajak Lusi untuk bersembunyi di balik dinding penyekat resto ini. Yap, tadi kami memutuskan untuk membeli minuman dulu sebelum ke kamar dan aku sama sekali tidak menyangka akan bertemu ayah di sini.

“Enggak disamperin aja, Al?” Aku langsung menggeleng.

“ Di sini aja, Ayah tidak mengizinkan aku ikut study tour kalau beliau tahu nanti aku kena marah,” jawabku. Teringat perizinan penuh drama tangis saat aku ingin berangkat study tour, tapi tetap saja ayah tidak memberi izin. Beruntung beliau tugas ke luar kota lima hari jadi ibu mengizinkanku.

“Al, tapi lihat itu?” Lusi menunjuk ayah lagi.

“Astaghfirullah ....” Aku dan Lusi bersamaan istighfar melihat pemandangan senonoh di depan kami. Ayah dan perempuan itu saling berpelukan mesra layaknya seorang kekasih yang melepas rindu. 

Hancur dan sakit hati dengan apa yang aku lihat segera kuambil gawai dalam tas dan bermaksud meneleponnya. Nihil, nomor ayah sedang tidak aktif. Benar kata Tante Dewi nomor ayah tidak bisa dihubungi makanya beliau menghubungiku. Tega sekali ayah berbuat seperti itu, apa dia tidak ingat pada anak dan istrinya.

Dari pada ponselku tidak berfungsi aku akan merekam adegan mesra mereka dan akan aku tunjukkan pada ibu nanti.

“Lus, mereka pergi, buruan kamu ambil air minum dan bayar kita ketemu di kamar aku mau ngikutin Ayah,” titahku pada Lusi, untung Lusi teman yang bisa diandalkan.

Ternyata ayah dan wanita itu cek in di hotel ini, seperti maling yang takut ketahuan tuan rumah aku diam-diam mengikuti ayah. 

Ayah yang kukenal selama ini seumur hidupku berbeda sekali dengan yang kutemui di sini. Dia begitu agresif seperti ABG yang sedang puber. Beruntung mereka cek in di lantai pertama jadi tidak sulit untuk membuntuti mereka.

Kini mereka sudah masuk di kamar. Aku hanya bisa menguping pembicaraan mereka dengan cara menempelkan kupingku pada daun pintu. 

 Suara tawa dari dua manusia luknut itu terdengar jelas tidak lama terdengar suara desahan saling bersahutan dari mereka. Meski aku baru kelas SMA kelas X, tapi aku paham aktivitas yang mereka lakukan. 

Tak  kuat lagi kuputuskan untuk menggedor pintu kamar ini. Saat hendak menggedor pintu tanteku menelepon lagi memberitahu keadaan ibu yang semakin kritis.

Dilema antara melabrak ayah atau mendahulukan ibu. Akhirnya aku putuskan kan untuk cepat-cepat pulang ke rumah.

Mendapatiku yang berjalan lesu Lusi yang terlebih dahulu sampai di pintu kamar kami, dia segera berlari menghampiriku.

“kamu baik-baik aja kan, Al?” tanyanya. Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala karena memang keadaanku tidak baik-baik saja.

 Pikiranku bercabang antara ayah dan ibu.

Lusi membantuku berkemas kemudian mengantarkanku sampai ke depan lobi  untuk naik lagi untuk naik taksi menuju bandara.

Dari Bandung ke Jakarta tidak membutuhkan waktu lama. Aku sudah dijemput oleh Pak Didi di bandara untuk membawaku ke rumah sakit di mana ibu dirawat.

Sampai rumah sakit aku di sambut oleh tante dan adikku. Mereka membawaku ruang ICU tempat Ibu terbaring lemah.

Jika tadi aku melihat kelakuan bejat ayah bisa menahan tangis tidak dengan sekarang begitu melihat ibu tangisku langsung pecah. Tak bisa kubayangkan bagaimana rasa sakitnya ibu saat sedang melawan penyakitnya, tetapi harus menerima dan tahu kenyataan pahit bahwa suami yang dia sayang selama ini telah menghianatinya.

“Ibu, harus sembuh ya, harus kuat demi Alya dan Aldi,” kataku terbata-bata.

“Aku janji  akan selalu jagain, Ibu.” Seolah mengerti dengan apa yang aku ucapkan ibu menangis dalam komanya. 

Mungkin karena terlalu lelah aku sempat terlelap beberapa menit di samping ibu. Aku terbangun karena seperti ada yang menyentuh bahuku.

 Monitor Holter atau alat perekam ritme jantung ibu berhenti, menunjukkan garis lurus. Aku panik lalu berlari keluar memanggil dokter dan perawat.

Tante dan adik yang sedang istirahat di ruang tunggu ikut panik. Aku berteriak dan menangis histeris pelukan tante tidak berhasil menenangkanku.

Hingga jenazah ibu dibawa pulang ke rumah aku sudah pingsan beberapa kali. Sungguh aku tidak bisa menerima kenyataan ini. Ibuku pergi untuk selamanya, sedang ayahku sibuk bermain api dengan wanita lain.

🌸🌸🌸

“Bagaimana, Bu? Apa kita akan tetap menunggu suami almarhumah? Sebentar lagi akan masuk waktu Zuhur, kasihan beliau sudah dari kemarin siang meninggalnya,” tanya ustaz yang mengurus proses pemakaman ibu pada tanteku sedang tanteku dan keluarga ibu terlihat bingung mau menjawab apa.

“Suami almarhumah sedang dinas jauh, dari kemarin memang susah sekali ditelepon. Bagaimana kalau menunggu sampai sore Pak Ustaz? Kasihan suami almarhumah kalau sampai tidak melihat istrinya untuk yang terakhir kali,” jawab tante. Terlihat Pak Ustaz menghela nafas beliau sepertinya keberatan.

“Tante, apa Ayah memang benar-benar tidak bisa dihubungi?” tanyaku yang sebenarnya aku sendiri sudah tahu jawabannya, tapi entah kenapa aku ingin bertanya begitu.

“Tidak bisa, Al. Dari kemarin kami sudah mencobanya,” jawab tante lesu.

“Aku telepon ayah sekali lagi, jika tidak tersambung sebaiknya Ibu segera dimakamkan kasihan Ibu sudah menunggu lama,” kataku sedih.

 Bahkan di hari terakhirnya di dunia ini suaminya tidak ikut mengantarkan ke tempat keabadiannya.

Kutekan nomor ayah berharap kali ini tersambung, nihil. Nomor ayah sama sekali tidak bisa dihubungi. Akhirnya dengan berat hati aku mencoba mengikhlaskan ibu. 

Aldi, sejak kemarin terus saja tantrum dia terus saja memanggil ibu. Semua orang yang ada di sini ikut merasakan betapa sedihnya hati kami.

 Anehnya keluarga dari pihak ayah hanya datang sebentar kemudian pulang lagi. Di sini aku hanya bersama nenek dari pihak ibu dan Tante Eni adik ibu.

Tepat azan Zuhur, ibu sudah selesai dimakamkan. Aku masih menangis tergugu memeluk gundukan tanah merah ini tak lagi kupedulikan bajuku kotor terpenting aku bisa memeluk nisan ibu.

Ibu maafkan aku kalau hatiku penuh dendam dan amarah pada ayah.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status