“Maaf.”
“Makanya jalan pakai mata!” teriaknya, tapi aku hiraukan karena sedang sangat terburu-buru karena harus mengemasi barang-barang di kamar dan meluncur pulang.
Baru saja tanteku telepon aku harus segera pulang karena ibuku sedang kritis di rumah sakit. Aku sendiri sedang mengikuti study tour di luar kota dan menginap tiga hari. Karena alasan itulah aku diperbolehkan untuk pulang lebih dulu.
“Al, lihat itu!” Tunjuk Lusi. Aku kaget ternyata ada ayah di sini. Dua hari yang lalu memang ayah dinas ke luar kota dan aku sama sekali tidak menyangka kalau ayah dinas di Kota Kembang ini. Tunggu dulu wanita di samping ayah itu kan, wanita yang tadi bertabrakan denganku di lobi hotel.
“Itu ayahmu, kan, Al?” tanya Lusi lagi. Aku langsung mengajak Lusi untuk bersembunyi di balik dinding penyekat resto ini. Yap, tadi kami memutuskan untuk membeli minuman dulu sebelum ke kamar dan aku sama sekali tidak menyangka akan bertemu ayah di sini.
“Enggak disamperin aja, Al?” Aku langsung menggeleng.
“ Di sini aja, Ayah tidak mengizinkan aku ikut study tour kalau beliau tahu nanti aku kena marah,” jawabku. Teringat perizinan penuh drama tangis saat aku ingin berangkat study tour, tapi tetap saja ayah tidak memberi izin. Beruntung beliau tugas ke luar kota lima hari jadi ibu mengizinkanku.
“Al, tapi lihat itu?” Lusi menunjuk ayah lagi.
“Astaghfirullah ....” Aku dan Lusi bersamaan istighfar melihat pemandangan senonoh di depan kami. Ayah dan perempuan itu saling berpelukan mesra layaknya seorang kekasih yang melepas rindu.
Hancur dan sakit hati dengan apa yang aku lihat segera kuambil gawai dalam tas dan bermaksud meneleponnya. Nihil, nomor ayah sedang tidak aktif. Benar kata Tante Dewi nomor ayah tidak bisa dihubungi makanya beliau menghubungiku. Tega sekali ayah berbuat seperti itu, apa dia tidak ingat pada anak dan istrinya.
Dari pada ponselku tidak berfungsi aku akan merekam adegan mesra mereka dan akan aku tunjukkan pada ibu nanti.
“Lus, mereka pergi, buruan kamu ambil air minum dan bayar kita ketemu di kamar aku mau ngikutin Ayah,” titahku pada Lusi, untung Lusi teman yang bisa diandalkan.
Ternyata ayah dan wanita itu cek in di hotel ini, seperti maling yang takut ketahuan tuan rumah aku diam-diam mengikuti ayah.
Ayah yang kukenal selama ini seumur hidupku berbeda sekali dengan yang kutemui di sini. Dia begitu agresif seperti ABG yang sedang puber. Beruntung mereka cek in di lantai pertama jadi tidak sulit untuk membuntuti mereka.
Kini mereka sudah masuk di kamar. Aku hanya bisa menguping pembicaraan mereka dengan cara menempelkan kupingku pada daun pintu.
Suara tawa dari dua manusia luknut itu terdengar jelas tidak lama terdengar suara desahan saling bersahutan dari mereka. Meski aku baru kelas SMA kelas X, tapi aku paham aktivitas yang mereka lakukan.
Tak kuat lagi kuputuskan untuk menggedor pintu kamar ini. Saat hendak menggedor pintu tanteku menelepon lagi memberitahu keadaan ibu yang semakin kritis.
Dilema antara melabrak ayah atau mendahulukan ibu. Akhirnya aku putuskan kan untuk cepat-cepat pulang ke rumah.
Mendapatiku yang berjalan lesu Lusi yang terlebih dahulu sampai di pintu kamar kami, dia segera berlari menghampiriku.
“kamu baik-baik aja kan, Al?” tanyanya. Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala karena memang keadaanku tidak baik-baik saja.
Pikiranku bercabang antara ayah dan ibu.
Lusi membantuku berkemas kemudian mengantarkanku sampai ke depan lobi untuk naik lagi untuk naik taksi menuju bandara.Dari Bandung ke Jakarta tidak membutuhkan waktu lama. Aku sudah dijemput oleh Pak Didi di bandara untuk membawaku ke rumah sakit di mana ibu dirawat.
Sampai rumah sakit aku di sambut oleh tante dan adikku. Mereka membawaku ruang ICU tempat Ibu terbaring lemah.
Jika tadi aku melihat kelakuan bejat ayah bisa menahan tangis tidak dengan sekarang begitu melihat ibu tangisku langsung pecah. Tak bisa kubayangkan bagaimana rasa sakitnya ibu saat sedang melawan penyakitnya, tetapi harus menerima dan tahu kenyataan pahit bahwa suami yang dia sayang selama ini telah menghianatinya.
“Ibu, harus sembuh ya, harus kuat demi Alya dan Aldi,” kataku terbata-bata.
“Aku janji akan selalu jagain, Ibu.” Seolah mengerti dengan apa yang aku ucapkan ibu menangis dalam komanya.
Mungkin karena terlalu lelah aku sempat terlelap beberapa menit di samping ibu. Aku terbangun karena seperti ada yang menyentuh bahuku.
Monitor Holter atau alat perekam ritme jantung ibu berhenti, menunjukkan garis lurus. Aku panik lalu berlari keluar memanggil dokter dan perawat.
Tante dan adik yang sedang istirahat di ruang tunggu ikut panik. Aku berteriak dan menangis histeris pelukan tante tidak berhasil menenangkanku.
Hingga jenazah ibu dibawa pulang ke rumah aku sudah pingsan beberapa kali. Sungguh aku tidak bisa menerima kenyataan ini. Ibuku pergi untuk selamanya, sedang ayahku sibuk bermain api dengan wanita lain.
🌸🌸🌸
“Bagaimana, Bu? Apa kita akan tetap menunggu suami almarhumah? Sebentar lagi akan masuk waktu Zuhur, kasihan beliau sudah dari kemarin siang meninggalnya,” tanya ustaz yang mengurus proses pemakaman ibu pada tanteku sedang tanteku dan keluarga ibu terlihat bingung mau menjawab apa.
“Suami almarhumah sedang dinas jauh, dari kemarin memang susah sekali ditelepon. Bagaimana kalau menunggu sampai sore Pak Ustaz? Kasihan suami almarhumah kalau sampai tidak melihat istrinya untuk yang terakhir kali,” jawab tante. Terlihat Pak Ustaz menghela nafas beliau sepertinya keberatan.
“Tante, apa Ayah memang benar-benar tidak bisa dihubungi?” tanyaku yang sebenarnya aku sendiri sudah tahu jawabannya, tapi entah kenapa aku ingin bertanya begitu.
“Tidak bisa, Al. Dari kemarin kami sudah mencobanya,” jawab tante lesu.
“Aku telepon ayah sekali lagi, jika tidak tersambung sebaiknya Ibu segera dimakamkan kasihan Ibu sudah menunggu lama,” kataku sedih.
Bahkan di hari terakhirnya di dunia ini suaminya tidak ikut mengantarkan ke tempat keabadiannya.
Kutekan nomor ayah berharap kali ini tersambung, nihil. Nomor ayah sama sekali tidak bisa dihubungi. Akhirnya dengan berat hati aku mencoba mengikhlaskan ibu.Aldi, sejak kemarin terus saja tantrum dia terus saja memanggil ibu. Semua orang yang ada di sini ikut merasakan betapa sedihnya hati kami.
Anehnya keluarga dari pihak ayah hanya datang sebentar kemudian pulang lagi. Di sini aku hanya bersama nenek dari pihak ibu dan Tante Eni adik ibu.
Tepat azan Zuhur, ibu sudah selesai dimakamkan. Aku masih menangis tergugu memeluk gundukan tanah merah ini tak lagi kupedulikan bajuku kotor terpenting aku bisa memeluk nisan ibu.
Ibu maafkan aku kalau hatiku penuh dendam dan amarah pada ayah.Bersambung
Aku akan balas perbuatan ayah pada ibu. Aku pulang membawa amarah dan dendam yang membara.“Al, Tante perhatian kamu diam saja sejak pulang dari makam tadi, kalau ada salah masalah cerita saja ke Tante.”“Enggak ada kok, Te, semuanya oke aku hanya memikirkan Ayah,” jawabku berbohong.“Sabar ya, Al. Tante tahu perasaan kamu gimana. Ayah kamu kan, sedang mencari nafkah untuk keluarga jika beliau tahu pasti juga akan pulang.” Tante Eni memelukku erat. Andai dia tahu kebusukan ayahku pasti beliau akan marah besar.“Ya, sudah, kamu tidur gih, ini sudah malam. Tante enggak mau kamu sakit,” titahnya. Aku mengiyakan. Kuayunkan kaki menuju kamar ke dua orang tuaku. Aku rindu ibu, andai aku tidak pergi study tour pasti aku bisa menemani saat-saat terakhirnya, dan aku tidak akan mengetahui kebusukan ayah yang membuat dendam di hati ini.Aroma parfum yang biasa dipakai ibu menguar menusuk indra penciuman. Kutatap pigura yang tertata apik di atas meja rias ibu. Tampak seperti keluarga pada umumn
“Cepat katakan ada apa, Lus?” desakku.“Aku melihat ayahmu tadi pagi keluar dari kontrakan sebelah rumahku. Diantar sampai ke pagar terus itu ... ayahmu mencium pipinya. Sayangnya perempuan itu membelakangiku jadi aku tidak tahu siapa,” ucap Lusi, dia tampak tidak enak padaku. Kuhirup udara banyak-banyak agar dada yang terasa amat sempit ini bisa bernapas.“Maaf, ya, Al?” Lusi menggenggam erat tanganku.“Enggak perlu minta maaf, Lus. Aku minta tolong sama kamu tolong jaga rahasia ini dari keluargaku ya?” ucapku memohon.“Memang kenapa, Al? Mereka kan ....”“Ssstt ... belum saat mereka tahu, itu ada suara ayahku pulang ayo, kita ke depan!” ajakku pada Lusi.Benar saja mobil ayah yang datang. Ayah setiap pulang dari mana pun mobilnya baru memasuki jalan kompleks menuju rumah saja aku sudah paham saking dekatnya aku dengan ayah, tapi sekarang perasaan itu jadi berubah benci dan kesal.“Soal tadi jangan bilang tahu dari aku ya, Al?” bisik Lusi sebelum pamitan pulang bersama yang lain.Ku
Aku syok dan bingung. Salah kirimkah orang ini? Tapi, namanya jelas itu nama ibuku.“Kak, dipanggil Nenek,” ucap Aldi, dia mengetuk-ngetuk pintu.Kubuka pintu, melihat sekitar takut ada yang melihat.“Aldi, sini dulu Dik.” Kutarik tangannya supaya masuk.“Ada apa Kak?” tanyanya bingung.“Kamu sudah janji kan, untuk tidak memberi tahu benda pipih yang kemarin kamu temukan?” kataku mengingatkan Aldi agar tidak memberi tahu tentang test pack yang dia temukan.“Aman, Kak. Aku akan jadi orang yang amanah,” jawabnya mantap. Aku lega setidaknya aku bisa lebih dulu menyelidiki itu milik siapa. Pasalnya ibu selalu terbuka padaku apa lagi aku juga sangat menantikan hadirnya seorang adik. Ibu sangat sulit hamil karena penyakit tumor jinak yang dideritanya setelah melahirkanku. Aldi sendiri sebenarnya bukan adik kandungku itu kenapa aku berjarak sangat jauh darinya. Meskipun begitu, aku tetap sayang padanya. Ayah dan ibu juga tidak membedakan kasih sayang di antara kami. “Kok, Kakak malah ben
Tidak mau membuat ayah curiga aku pun pura-pura tidak tahu kalau beliau terkejut.“Nenek, malam ini yang datang ke rumah untuk yasinan anak-anak panti dekat kompleks perumahan kita, kan?” tanyaku sengaja mengalihkan perhatian ayah.“Iya, benar, nanti habis Maghrib nasi kotaknya dikirim sama pihak kateringnya,” sahut Tante Eni.“Makasih ya, Tan, sudah bantuin aku sama Ayah,” kataku tulus. Andai tidak ada Tante Eni entah bagaimana nasib ibuku.“Sudah menjadi kewajiban Tante sebagai Adik. Kamu jangan sungkan ya, Sayang,” jawab Tante Eni. Aku dan ayah kompak mengangguk.Begitu turun dari mobil ayah langsung lari ke pintu pagar sepertinya sangat tergesa-gesa kemudian melihat ke kanan dan kiri seperti orang mau menyebrang jalan.“Ayah! Ada apa si?” tanyaku sedikit berteriak karena jarak kami lumayan jauh. Ayah melambaikan tangan memberi tanda semua ok, tapi aku tidak percaya begitu saja. Aku jadi semakin yakin orang yang tadi ngobrol dengan Bude Siti kenal dengan ayah.Di dalam ternyata su
Mendapat kiriman Vidio ayah dari Lusi membuatku kembali murka.Karena aku sangat kesal pada ayah kuputuskan untuk masuk kamar tidak jadi ikut makan bersama anak-anak panti, untungnya acara inti yaitu doa bersama sudah selesai. Kuajak Aldi, dia harus istirahat besok sudah mulai masuk sekolah.Kukunci kamar ibu sekarang hanya ada aku dan Aldi, panggilan nenek dan Tante Eni aku hiraukan. Biarlah mereka tahu bahwa aku sedang kecewa.“Kita tidur Dik, besok harus bangun pagi salat Subuh, dan bersiap ke sekolah. Aldi harus nurut sama Kakak karena sekarang sudah tidak ada Ibu lagi yang selalu menyiapkan keperluan kita,” kataku lembut takut Aldi tertekan karena tindakanku yang mengharuskan dia mandiri.“Baik, Kak. Aku akan nurut apa pun kata Kakak,” jawabnya sambil menoleh hidungku. Kami bersih-bersih badan, sikat gigi, wudu lalu kami tidur. Sebenarnya aku sendiri tidak bisa tidur, pikiranku kacau melayang ke mana-mana. Sekarang juga belum terlalu malam masih jam 21.00 WIB. Aldi sudah terle
Sekolah pun aku tidak fokus sampai ditegur guru beberapa kali bahkan mapel olahraga kepalaku sampai kena bola voli. Foto-foto itu, baju lingerie, dan juga pesan-pesan mesra itu masih terngiang memenuhi pikiranku. Apa yang harus aku lakukan. Aku bingung sekali.Aku mendapati kamar ibu sedikit terbuka padahal tadi sewaktu berangkat sekolah aku ingat betul sudah terkunci dan kuncinya pun masih ada padaku.Nenek dan Tante Eni masih di dapur, Aldi belum pulang. Kalau bukan ayah berarti keluarga ayah yang memaksa masuk.Kuintip ke dalam benar saja ayah sedang mencari sesuatu di lemari ibu. Baju ibu berserakan semua. Rak-rak buku perpustakaan mini ibu pun sangat berantakan semua buku jatuh berserakan di lantai.“Ayah?” panggilanku tidak terdengar hingga aku harus mencolek bahunya.“Yah, Ayah?”“Ya Tuhan! Alya! Bikin kaget saja,” teriak ayah beliau terlonjak kaget.“Ayah sedang cari apa? Kenapa kamar Ibu jadi berantakan begini?” tanyaku penasaran.“Ayah mencari berkas yang dibutuhkan di kant
Prek! Kulempar aqua gelas tepat di bawah kaki wanita itu. Kakinya basah terkena cipratan airnya. Dia kaget begitu juga dengan ayah. Senyumnya yang semula mengembang langsung hilang. Oma terlihat sangat marah padaku sedang nenek merasa tidak enak dan hendak membawaku beranjak dari sini. Kutolak mentah-mentah ajakan nenek lalu kulanjutkan makanku. Marah juga perlu tenaga aku harus makan banyak untuk melawan perempuan luknut itu.“Aldi, mau nambah enggak?”“Enggak, Kak. Cukup, aku sudah kenyang.”“Ya, sudah. Ayo, kita masuk kamar! Sikat gigi, wudu lalu tidur.” Aldi menurut saja. Aku cepat-cepat menyelesaikan ritualku dan keluar lagi menemui ayah.Mereka sedang asyik ngobrol dan tampak akrab seperti sudah kenal lama. Perempuan luknut itu sesekali melirik pada ayah dengan senyuman genitnya. Aku bergidik ngeri melihatnya. Ternyata ada di dunia nyata wanita seperti itu.“Ayah, ayo tidur! Ini sudah malam besok aku harus sekolah,” ajakku dengan gaya bicara yang manja seperti gadis-gadis Kore
🌸🌸🌸“Aaaww! Pakai mata dong! Main tabrak aja!” teriak Nindi, buku yang dibawanya berantakan semua. “Namanya juga buru-buru,” jawabku cuek. Dia menunduk memunguti bukunya.“Loh, Non, kok balik lagi?” tanya mbok.“Aku sakit perut, Mbok,” jawabku berbohong.“Apa perlu Mbok hubungi Dokter, Non?”“Enggak usah Mbok, aku mau BAB.” Aku lari masuk kamar.Kukunci pintu lalu kuambil lagi kertas perjanjian yang kulipat tadi.Ternyata ini surat perjanjian hutang piutang.Di sini dituliskan ayah sebagai pihak ke dua dan Pak Yadi sebagai pihak pertama.Poin pertama menyebutkan bahwa pihak pertama yaitu Pak Yadi meminjamkan sejumlah uang kepada pihak ke dua. Fantastis 750 Milyar. Aku sampai menghitung nolnya di belakang angka untuk memastikan jumlah yang kubaca tidak salah.Poin ke dua berisi tentang jaminan yang ayah berikan, yaitu sertifikat vila, perkebunan, rumah ini dan juga BPKB tiga mobil yang ayah punya.Poin ke tiga berisi pihak ke dua akan membayar hutang tersebut dengan cara dicicil se