Aku akan balas perbuatan ayah pada ibu. Aku pulang membawa amarah dan dendam yang membara.
“Al, Tante perhatian kamu diam saja sejak pulang dari makam tadi, kalau ada salah masalah cerita saja ke Tante.”
“Enggak ada kok, Te, semuanya oke aku hanya memikirkan Ayah,” jawabku berbohong.
“Sabar ya, Al. Tante tahu perasaan kamu gimana. Ayah kamu kan, sedang mencari nafkah untuk keluarga jika beliau tahu pasti juga akan pulang.” Tante Eni memelukku erat.
Andai dia tahu kebusukan ayahku pasti beliau akan marah besar.
“Ya, sudah, kamu tidur gih, ini sudah malam. Tante enggak mau kamu sakit,” titahnya. Aku mengiyakan. Kuayunkan kaki menuju kamar ke dua orang tuaku.
Aku rindu ibu, andai aku tidak pergi study tour pasti aku bisa menemani saat-saat terakhirnya, dan aku tidak akan mengetahui kebusukan ayah yang membuat dendam di hati ini.
Aroma parfum yang biasa dipakai ibu menguar menusuk indra penciuman. Kutatap pigura yang tertata apik di atas meja rias ibu. Tampak seperti keluarga pada umumnya harmonis, penuh kebahagiaan. Kami semua tersenyum manis.
Di foto ini ayah juga terlihat sangat mesra sama sekali tidak terlihat kalau beliau adalah kadal buntung yang mengotori pernikahan sucinya.
Kuambil baju tidur ibu yang terakhir kali dipakainya sebelum dibawa ke rumah sakit. Kucium baju ibu, kupeluk dan kubawa dalam tidurku.
“Kak—bangun, aku juga mau tidur di sini “ Aldi membangunkanku yang baru sebentar saja terlelap.
Matanya sembab dia masih memakai koko dan peci, meski masih kelas 2 SD Aldi sudah rajin ke Masjid. Adikku yang malang dia belum tahu jahatnya dunia luar.
“Iya, sini kita tidur sama-sama ya, Al.”
“Aku mau wudu dulu, Kak.” Aldi berlalu ke kamar mandi.
Sembari menunggu Aldi beres dari kamar mandi aku menyiapkan baju tidurnya.
“Kak, ini apa!” teriak Aldi dari kamar mandi. Aku gegas menghampirinya.
“Ya Allah, ini kamu dapat dari mana, Dik?” tanyaku penasaran. Aldi masih heran dengan benda pipih panjang bergaris dua.
“Dapat dari situ.” Aldi menunjuk pada rak-rak kecil penyimpanan sabun.
“Sini, Kakak bilangin, Dik. Jangan katakan ini pada siap pun termasuk Ayah ya?”
“Iya, Kak,” jawab Aldi nurut.
"Janji?" tanyaku meyakinkan."Iya, Kak, janji." Jari kelingking kami bersatu membuat perjanjian.Kupekuk adik semata wayangku ini hingga terlelap. Aku janji akan buat adikku bahagia selalu. Aku sengaja tidak memberi tahu nama benda pipih panjang pada Aldi. Aku takut dia bicara kelepasan. Takut nantinya jadi fitnah.
Aku juga berniat menyembunyikan ini semua dari ayah dan keluarga, aku akan cari bukti sendiri. Aku akan balaskan sakit hati dan jiwa raga ibu akibat perbuatan ayah.
Apa ibu sedang hamil? Pantas saja beberapa hari belakangan ini beliau mengeluh sakit kepala dan mual-mual.
Ibu juga sudah melarang ayah untuk ke luar kota, mungkin ibu sudah ada firasat. Ayah tetap saja berangkat.
Andaikan benar ini milik ibu, alangkah kasihan ibu dan calon adikku.
HP! Ya Tuhan ... aku dua hari ini belum ngecek HP ibu sama sekali.
Kucari HP ibu alhamdulillah ketemu di laci meja.
Karena HP ibu mati maka aku cas terlebih dahulu.Aku kaget karena ada panggilan telepon dari ayah total sebanyak 35 kali dari nomor ayah kemarin dan hari ini. Ada pesan masuk dari nomor ayah juga tiga hari yang lalu itu berarti waktu ayah baru berangkat.
[Jaga diri baik-baik dan jangan kecewakan aku lagi, kalau kamu buat masalah kita bisa rugi milyaran!]
Pesan ini semacam ancaman bukan pesan mesra seperti pasangan pada umumnya.
Kucek WAG di HP ibu semua aman tidak ada yang mencurigakan.[Tidur, Nak, sudah malam biar besok subuhnya tidak kesiangan.] Kutulis pesan sendiri di HP ibu lalu aku kirim ke ponselku, seolah-olah itu adalah pesan dari ibu yang biasa dikirimkan ketika aku jauh dari jangkauannya.
[Iya, Bu. Siap.] Kujawab pesanku sendiri.
[I love you, Nak] Aku bergetar menulisnya. Teringat semua ucapan rutinnya padaku setiap malam.
[I love you too, my Mom.] Kubalas pesanku sendiri dengan linangan air mata.
Oh, ibu. Aku sangat merindukanmu. Aku bersaksi bahwa engkau adalah ibuku yang baik dan penuh cinta kasih pada siapa saja. Semoga ibu tenang di sana dan mendapat tempat yang layak di sisi Allah SWT.
Malam makin larut, mataku juga sudah lelah. Aldi pun sudah tidur sejak tadi. Baru saja aku mau meletakkan HP ibu di atas meja rias ada notifikasi dari messenger ibu karena penasaran segera kubuka.
Sebuah foto senonoh dikirim dari akun AninAnin78. Yang membuatku semakin marah adalah itu foto ayahku sendiri bersama wanita yang kemarin pagi tak sengaja aku tabrak.
Jadi, ibu sudah tahu perselingkuhan ayah? Tapi, kalau ibu sudah tahu kenapa selama ini hanya diam saja? Atau si AninAnin ini yang sengaja mau memberi tahukan pada ibu karena tidak ada riwayat apa pun yang berhubungan dengan akun ini dalam percakapan ibu.
Banyak kemungkinan yang bisa aku ambil hingga membuat kepalaku semakin pusing. Kucek nomor ayah pun sampai sekarang tidak aktif.
Sekali lagi kulihat foto bugil ayah dan wanita itu. Aku sama sekali tidak berniat membalas pesan itu. Sungguh teramat memalukan jika ini aku sebarkan ke dunia maya pasti akan langsung jadi trending topik.
Karena aku tidur terlalu malam jadi selepas salat subuh tadi aku tidur kembali. Bangun tidur sudah jam 09.00 pagi, teman-teman sekolah dan dewan guru sudah datang.
Mereka bergantian menyalamiku dan mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya ibu. Kedatangan teman-teman sekolah dan para dewan guru sangat menghiburku. Sejenak aku bisa tertawa lepas melupakan segala kesedihan dan masalah yang ada.
Aldi juga ikut terhibur, karena tadi pun beberapa teman Aldi bersama orang tuanya dan juga dewan guru datang. Mereka melakukan doa bersama mendo’akan almarhumah ibu.
Ibu tepat memilihkan sekolah berbasis Islam untuk Aldi, terbukti selain care, ikatan kekeluargaannya juga amat terjaga satu sama lain.
Tante dan nenek ngobrol ramah tamah dengan para dewan guru yang masih belum pulang karena menunggu hujan reda. Sedang teman-temanku semua sudah pulang kecuali Lusi.
Dari tadi aku perhatikan dia gelisah seperti ada yang ingin dia sampaikan padaku. Aku berkawan sangat dekat dengan Lusi sejak SMP kelas VII jadi aku sudah cukup paham sifatnya.
“Lusi, apa ada yang ingin kamu sampaikan padaku?” tanyaku to the point.
“Iya, Al, sini yuk!” Lusi menarik tanganku menjauh dari orang ramai.
“Ada apa si, Lus?” tanyaku penasaran.
“Em ... aku tadi pagi lihat ayahmu di— bersa ....”
“Ih, Lusi ngomong yang bener dong, lihat Ayah di mana?
“Itu ... di.” Lusi seperti takut mengatakannya karena matanya melihat ke sana ke mari takut diketahui orang lain.
Bersambung
Sejujurnya aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menerima Angga karena aku tidak ingin menyakiti hati Lusi. Ya, walaupun sekarang Lusi sudah bahagia bersama suami dan anak-anaknya, tapi aku yakin jika dia tahu aku menikah dengan Angga pasti di dalam dasar lubuk hatinya ada rasa kecewa padaku dan aku tidak mau itu terjadi. Aku tidak ingin menyakiti hati orang lain apalagi itu Lusi, sahabatku sendiri walaupun itu setitik nila.“Aku tahu Al, kalau kamu pun sebenarnya mencintai aku. Semua kutahu itu dari Lusi dan aku tahu kamu menolakku pasti karena Lusi. Al, Lusi, sudah bahagia dengan suaminya dan anak-anaknya bahkan Lusi merasa sangat bersalah karena telah menuliskan perasaannya di dalam buku diary-nya yang akhirnya kamu baca. Kalau kamu tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan ini kamu bisa tanyakan sendiri pada Lusi. Tolong jangan tinggalkan aku lagi, Al. Aku sangat mencintaimu dari dulu hingga kini.”“Angga, tapi aku, aku ....”“Tidak perlu kamu jawab Alya karena aku ta
“Alya, tunggu! Kamu mau ke mana?” Angga menarik ujung jilbabku. Seketika aku menghentikan langkahku.“Kamu pikir aku mau ke mana Ngga? Pulanglah, ngapain aku di sini? Jagain Cafe kamu?” jawabku ketus.“Ya, kali aja mau juga kamu jagain cafeku. Jangan jagain kafekulah, jagain hatiku aja,” jawab Angga lagi. Dia ini benar-benar membuat aku salah tingkah.“Apaan, sih, Ngga ... sudahlah aku mau pulang. Lain kalu aku main ke sini lagi, oke ... aku ada banyak kerjaan yang harus aku selesaikan,” pamitku pada Angga. Sejujurnya aku sangat malu padanya karena bukan hanya sekali ini saja Angga memergokiku gagal bertemu dengan seseorang. Dulu bahkan saat pernikahanku gagal dan Anggalah yang tahu pertama kali setelah keluargaku.Kenapa harus dia aku kan, jadi malu seolah aku ini adalah gadis terkutuk yang tidak bisa mendapatkan jodoh. Apalagi umurku sekarang menjelang kepala tiga bulan depan. Kalau perempuan di luaran sana mungkin sudah punya anak dua ataupun tiga, sedangkan aku boro-boro punya
“Hilda!” Suara bariton seseorang memanggil perempuan di depanku.Ternyata perempuan di depanku ini namanya Hilda. Lantas dia tahu namaku dari mana?“Oh, jadi ini, Put, yang kamu lakukan di belakangku? Diam-diam kamu cari perempuan lain untuk jadi pendamping hidupmu, lalu aku ini kamu anggap apa, Put! 8 tahun aku nemenin kamu dari nol, giliran kamu sudah sukses kamu cari perempuan lain yang kata kamu lebih soliha dan lebih cantik dari aku! Picik kamu, Put! Dan kamu Alya, asal kamu tahu bahwa 2 hari ini yang menghubungimu bukan Putra, tapi aku. Hilda Widyani, calon istri Putra yang entah kenapa laki-laki brengsek itu tergoda oleh kamu. Aku yakin kamu tidak menggoda Putra, tapi aku minta sama kamu sebagai sesama perempuan jauhi dia kalau tidak aku akan hancurkan nama baikmu,” ucap perempuan itu berapi-api.“Hilda, kamu ngomong apa, sih! kita sudah putus dan kita sudah sepakat untuk mengakhiri hubungan kita. Lalu kenapa sekarang kamu mau merusak hubunganku dengan perempuan lain? Ingat ya
Ekstra part.“Hai! Ngalamun aja serius banget kayaknya. Lagi mikirin aku, ya?” Aku dikagetkan dengan kedatangan Angga yang tiba-tiba saja sudah duduk di sampingku.Aku merasa entah kenapa dunia ini begitu sempit. Aku melalang buana ke mana pun pasti ujung-ujungnya bertemu dengan Angga. Padahal jujur bertahun-tahun aku berusaha untuk melupakan dia.“Enggak .... kok, kamu bisa di sini, ngikutin aku, ya?” tebakku asal. Habisnya aku bingung mau bilang apa.“Ye, ge-er banget, deh! Ngapain juga ngikutin kamu enggak penting kayaknya. Eh, tapi sepertinya waktu dan keadaanlah yang mempertemukan kita. mungkin kita berjodoh,” jawab Angga. Senyum khasnya membuatku ingat tentang masa lalu.“Angga, ihh, ngaco, deh! Ngomong-ngomong apa kabar? Terus kamu di sini ada kegiatan apa?” tanyaku. Sebenarnya aku sedikit salah tingkah, tapi ya, Angga tidak boleh tahu. Kalau sampai dia tahu yang ada nanti aku akan dibully dia habis-habisan.Sejujurnya aku sangat bahagia bertemu dengan Angga karena selama 2 t
POV Alya. “Otewe mulu, kapan dong, sampainya?”“Nanti, Ngga ... jika Allah sudah berkehendak.” Angga hanya mengangguk saja.Entah kenapa kami merasa canggung sebenarnya ingin bersikap seperti biasanya saja, tapi tidak bisa. Seperti ada jarak yang memisahkan antara kami berdua.Angga memang terlihat semakin berwibawa mungkin itu yang membuatku merasa canggung dan juga dia suami orang maka dari itu aku harus jaga image jangan sampai nantinya ada kesalahpahaman di antara kami.“Non, ada Mas Akmal di luar.” Mbok memberi tahuku.“Em, kalau begitu aku permisi ya, Al. Takut ganggu. Kalau ada waktu main ke rumah ya, Gulsen pasti senang sepertinya memang dia sudah menyukaimu buktinya tadi langsung akrab,” pamit Angga. Aku mengiyakan.“Gulsen, pulang, yuk! Sudah siang nanti Kakek nyariin kita, loh,” ajak Angga. Gulsen menggeleng lucu sekali.“Gulseeenn ....” Lagi-lagi anak itu hanya menggeleng.“Biar nanti aku yang mengantar Gulsen,” sahutku.“Beneran?”“Iya, Ngga ... bolehkan?”“Oke, boleh-bo
POV ALYA.Hati yang bimbang.“Tante boleh minta tolong ambilkan bola itu. Bolanya kotor aku jijik mau ambilnya,” pinta anak kecil di depanku seraya menarik-narik ujung jilbabku. Aku yang sedang fokus menatap layar HP terpaksa memandangnya. Ekspresinya menggemaskan sekali.“Please ....” pintanya lagi. Senyumnya menampilkan deretan gigi kecil-kecil yang rapi.“Boleh, tunggu sebentar.”Aku mengambil bola yang tercebur pada kubangan lumpur bekas hujan semalam.“Tante cuci dulu ya, di kran sebelah situ. Kamu bisa menunggu Tante di sini?” Anak kecil itu mengangguk.Oke, fine Alya. Ini sungguh menggelikan karena untuk pertama kalinya aku dipanggil tante oleh orang lain. Anak kecil pula. Biasanya mereka akan memanggilku kakak dan yang memanggilku tante hanya Alika anak tante Eni dan adik-adiknya saja. Ke mana orang tua anak itu kenapa dibiarkan main sendirian di taman. Meski taman kompleks perumahan tetap saja bahaya.Akan tetapi lucu juga anak kecil itu. Keberaniannya membuatku berhasil meni