Share

BAB 2 Test Pack

Aku akan balas perbuatan ayah pada ibu. Aku pulang membawa amarah dan dendam yang membara.

“Al, Tante perhatian kamu diam saja sejak pulang dari makam tadi, kalau ada salah masalah cerita saja ke Tante.”

“Enggak ada kok, Te, semuanya oke aku hanya memikirkan Ayah,” jawabku berbohong.

“Sabar ya, Al. Tante tahu perasaan kamu gimana. Ayah kamu kan, sedang mencari nafkah untuk keluarga jika beliau tahu pasti juga akan pulang.” Tante Eni memelukku erat. 

Andai dia tahu kebusukan ayahku pasti beliau akan marah besar.

“Ya, sudah, kamu tidur gih, ini sudah malam. Tante enggak mau kamu sakit,” titahnya. Aku mengiyakan. Kuayunkan kaki menuju kamar ke dua orang tuaku. 

Aku rindu ibu, andai aku tidak pergi study tour pasti aku bisa menemani saat-saat terakhirnya, dan aku tidak akan mengetahui kebusukan ayah yang membuat dendam di hati ini.

Aroma parfum yang biasa dipakai ibu menguar menusuk indra penciuman. Kutatap pigura yang tertata apik di atas meja rias ibu. Tampak seperti keluarga pada umumnya harmonis, penuh kebahagiaan. Kami semua tersenyum manis.

Di foto ini ayah juga terlihat sangat mesra sama sekali tidak terlihat kalau beliau adalah kadal buntung yang mengotori pernikahan sucinya.

Kuambil baju tidur ibu yang terakhir kali dipakainya sebelum dibawa ke rumah sakit. Kucium baju ibu, kupeluk dan kubawa dalam tidurku.

“Kak—bangun, aku juga mau tidur di sini “ Aldi membangunkanku yang baru sebentar saja terlelap.

Matanya sembab dia masih memakai koko dan peci, meski masih kelas 2 SD Aldi sudah rajin ke Masjid. Adikku yang malang dia belum tahu jahatnya dunia luar.

“Iya, sini kita tidur sama-sama ya, Al.”

“Aku mau wudu dulu, Kak.” Aldi berlalu ke kamar mandi.

Sembari menunggu Aldi beres dari kamar mandi aku menyiapkan baju tidurnya. 

“Kak, ini apa!” teriak Aldi dari kamar mandi. Aku gegas menghampirinya.

“Ya Allah, ini kamu dapat dari mana, Dik?” tanyaku penasaran. Aldi masih heran dengan benda pipih panjang bergaris dua.

“Dapat dari situ.” Aldi menunjuk pada rak-rak kecil penyimpanan sabun.

“Sini, Kakak bilangin, Dik. Jangan katakan ini pada siap pun termasuk Ayah ya?”

“Iya, Kak,” jawab Aldi nurut. 

"Janji?" tanyaku meyakinkan.

"Iya, Kak, janji." Jari kelingking kami bersatu membuat perjanjian.

Kupekuk adik semata wayangku ini hingga terlelap. Aku janji akan buat adikku bahagia selalu. Aku sengaja tidak memberi tahu nama  benda pipih panjang pada Aldi. Aku takut dia bicara kelepasan. Takut nantinya jadi fitnah.

Aku juga berniat menyembunyikan ini semua dari ayah dan keluarga, aku akan cari bukti sendiri. Aku akan balaskan sakit hati dan jiwa raga ibu akibat perbuatan ayah.

Apa ibu sedang hamil? Pantas saja beberapa hari belakangan ini beliau mengeluh sakit kepala dan mual-mual.

Ibu juga sudah melarang ayah untuk ke luar kota, mungkin ibu sudah ada firasat. Ayah tetap saja berangkat.

Andaikan benar ini milik ibu, alangkah kasihan ibu dan calon adikku.

HP! Ya Tuhan ... aku dua hari ini belum ngecek HP ibu sama sekali.

Kucari HP ibu alhamdulillah ketemu di laci meja.

Karena HP ibu mati maka aku cas terlebih dahulu.

Aku kaget karena ada panggilan telepon dari ayah total sebanyak 35 kali dari nomor ayah kemarin dan hari ini. Ada pesan masuk dari nomor ayah juga tiga hari yang lalu itu berarti waktu ayah baru berangkat.

[Jaga diri baik-baik dan jangan kecewakan aku lagi, kalau kamu buat masalah kita bisa rugi milyaran!] 

Pesan ini semacam ancaman bukan pesan mesra seperti pasangan pada umumnya.

Kucek WAG di HP ibu semua aman tidak ada yang mencurigakan. 

[Tidur, Nak, sudah malam biar besok subuhnya tidak kesiangan.] Kutulis pesan sendiri di HP ibu lalu aku kirim ke ponselku, seolah-olah itu adalah pesan dari ibu yang biasa dikirimkan ketika aku jauh dari jangkauannya.

[Iya, Bu. Siap.] Kujawab pesanku sendiri.

[I love you, Nak] Aku bergetar menulisnya. Teringat semua ucapan rutinnya padaku setiap malam.

[I love you too, my Mom.] Kubalas pesanku sendiri dengan linangan air mata. 

Oh, ibu. Aku sangat merindukanmu. Aku bersaksi bahwa engkau adalah ibuku yang baik dan penuh cinta kasih pada siapa saja. Semoga ibu tenang di sana dan mendapat tempat yang layak di sisi Allah SWT.

Malam makin larut, mataku juga sudah lelah. Aldi pun sudah tidur sejak tadi. Baru saja aku mau meletakkan HP ibu di atas meja rias ada notifikasi dari messenger ibu karena penasaran segera kubuka.

Sebuah foto senonoh dikirim dari akun AninAnin78. Yang membuatku semakin marah adalah itu foto ayahku sendiri bersama wanita yang kemarin pagi tak sengaja aku tabrak.

Jadi, ibu sudah tahu perselingkuhan ayah? Tapi, kalau ibu sudah tahu kenapa selama ini hanya diam saja? Atau si AninAnin ini yang sengaja mau memberi tahukan pada ibu karena tidak ada riwayat apa pun yang berhubungan dengan akun ini dalam percakapan ibu. 

Banyak kemungkinan yang bisa aku ambil hingga membuat kepalaku semakin pusing. Kucek nomor ayah pun sampai sekarang tidak aktif.

Sekali lagi kulihat foto bugil ayah dan wanita itu. Aku sama sekali tidak berniat membalas pesan itu. Sungguh teramat memalukan jika ini  aku sebarkan ke dunia maya pasti akan langsung jadi trending topik.

Karena aku tidur terlalu malam jadi selepas salat subuh tadi aku tidur kembali. Bangun tidur sudah jam 09.00 pagi, teman-teman sekolah dan dewan guru sudah datang.

Mereka bergantian menyalamiku dan mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya ibu. Kedatangan teman-teman sekolah dan para dewan guru sangat menghiburku. Sejenak aku bisa tertawa lepas melupakan segala kesedihan dan masalah yang ada.

Aldi juga ikut terhibur, karena tadi pun beberapa teman Aldi bersama orang tuanya dan juga dewan guru datang. Mereka melakukan doa bersama mendo’akan almarhumah ibu.

Ibu tepat memilihkan sekolah berbasis Islam untuk Aldi, terbukti selain care, ikatan kekeluargaannya juga amat terjaga satu sama lain.

Tante dan nenek ngobrol ramah tamah dengan para dewan guru yang masih belum pulang karena menunggu hujan reda. Sedang teman-temanku semua sudah pulang kecuali Lusi.

 Dari tadi aku perhatikan dia gelisah seperti ada yang ingin dia sampaikan padaku. Aku berkawan sangat dekat dengan Lusi sejak SMP kelas VII jadi aku sudah cukup paham sifatnya.

“Lusi, apa ada yang ingin kamu sampaikan padaku?” tanyaku to the point.

“Iya, Al, sini yuk!” Lusi menarik tanganku menjauh dari orang ramai. 

“Ada apa si, Lus?” tanyaku penasaran.

“Em ... aku tadi pagi lihat ayahmu di— bersa ....”

“Ih, Lusi ngomong yang bener dong, lihat Ayah di mana?

“Itu ... di.” Lusi seperti takut mengatakannya karena matanya melihat ke sana ke mari takut diketahui orang lain.

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ruqi Ruqiyah
menitik air mata saya membacanya....terbawa jln cerita
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status