"Em ... ka—mu yakin, Nak?" tanya ayah lagi."Yakin banget dong, Yah." jawabku mantap setengah berteriak sampai ayah kaget."Ta—pi, kamu kan, belum lancar bawanya, Nak?" "Sudah lancar kok, aku sering latihan nyopir sama Ibu, dulu setiap weekend kata Ibu wanita harus kuat dan mandiri jangan sampai hanya mengandalkan laki-laki." Lagi ayah berkeringat. "Oh, ya, kenapa tadi Ayah buru-buru gitu ngajak aku pulang padahal kan, orang tua temanku mau kenalan sama Ayah," tanyaku penasaran padahal aku sudah tahu jawabannya."Sudah Maghrib, Al, enggak enak ngerepotin orang," elak ayah."Em, Ayah mau tanya kamu tadi di rumah temanmu dari jam berapa?" Ragu-ragu ayah menatapku."Dari pulang sekolah, Yah," jawabanku membuat ayah terbatuk-batuk. "Em, itu. Enggak jadi." Ha-ha ayah lucu sekali."Kenapa emang, Yah?" "Enggak kenapa-napa, Sayang," jawab ayah gelisah."Setelah ini aku siap-siap kita ke showroom ya, Yah." Kulirik ayah dia makin panik. Aku jadi takut kenapa-napa soalnya ayah lagi nyetir."
Malam ini aku merasa sangat puas. Bisa membalas sakit hati ibuku meski sedikit. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana panasnya wajah Tante genit itu terkena siraman air panas baru mendidih. Ha, pasti melepuh dan dia merengek minta ke dokter kecantikan pada ayahku.Tidak apa-apa besok aku belum pakai mobil ibu, tapi aku sudah berhasil menyelamatkan mobil dari perebut seperti tante itu. Heran sukanya bekasan ibuku.Kubuka sosmed dan kepoin akun Tante genit itu. Waaa! Ternyata tadi dia habis belanja cincin berlian. Ok, besok aku akan minta juga pada ayah dan aku akan minta beli di toko itu. Siap-siap ayah dapat kejutan selanjutnya dariku."Al, tidur Nak. Sudah malam besok sekolah, kan?" tegur ayah, beliau terlihat gelisah dan memegangi ponselnya. Pasti ayah khawatir pada istri mudanya, tapi mau telepon tidak berani karena ada aku. Hi-hi maafkan aku ayah. Aku lakukan ini demi keutuhan hubungan kita. Ayah sudah merusak hubungan ayah dengan ibu, jangan sampai ayah juga merusak hubungan kit
“Al, gimana kalau kita beli cincin emas saja?” Ayah mencoba melobiku.“No! Aku mau ini, Yah. Aku ini anak bos perusahaannya besar masa enggak pakai cincin berlian,” jawabku pura-pura merajuk.“Ayah takutnya hilang.”“Aku akan jaga dengan baik, Ayah. Don’t worry.”Ayah tampak pasrah dan membayar cincin yang kumau.“Satu lagi, aku beli tas.” Kugandeng tangan ayah ke toko tas yang disambanginya bersama Tante pelakor itu.“Nah, ini tokonya. Aku mau tas edisi terbaru.” Ayah berdiri mematung sebelum masuk ke dalam. Beliau pasti sedang tidak baik-baik saja.“Alya, untuk apa beli tas branded begini, kamu masih kecil,” tolak ayah saat aku menyodorkan trans branded mirip milik artis Lesti Kejora.“Untuk dipakai, Ayah lupa? Selama ini aku pun tidak pernah minta ini dan itu hanya sekali ini langsung Ayah tolak,” kataku ketus dan sedikit berteriak. Orang-orang yang ada di sini memperhatikan kami.Akhirnya ayah menuruti kemauanku. Tidak tanggung-tanggung aku beli dua sekaligus.Rasain, suruh siapa
[Kamu, anak kecil harus terima kenyataan bahwa aku ibu sambungmu. Jadi, jangan macam-macam denganku atau aku akan singkirkan kamu dari hidup ayahmu.]Tulis perempuan itu lagi . Ck, Tante pelakor itu kira aku ini anak kecil yang bisa diancam? Bahkan aku pun bisa menendang ayah dari rumah ini. Berlagak rupanya.Beruntung WA aku set privasi jadi meski pesan dia sudah kubaca masih centang dua abu-abu. Aku memang sengaja lakukan ini karena malas jika ayah ataupun keluarga ayah WA aneh-aneh. Sering banget mereka menggangguku dengan pesan-pesan recehan tak masuk akaln. Apalagi Nindi, berasa dia ratu di rumah ini.Aku lihat foto profilnya. Berdua dengan ayah saling peluk. Sudah kutebak tempat ini adalah vila keluarga kami dan ini ada di kamar utama. Kamar ibuku.Baiklah susun rencana lebih matang lagi. Aku takut perempuan itu akan segera datang ke rumah ini.Kubuka lagi lembaran isi perjanjian itu. Aku mencoba membaca berkali-kali, tapi buntu kesimpulan. Mungkin nanti kakek bisa memecahkanny
“Kok malah cengengesan! Nenek khawatir ini,” omel nenek." Padahal aku baik-baik saja. “Kan, belum bagi rapor. Nanti juga dijemput oom kamu, kalau enggak ayahmu pasti akan nganter,” sambungnya.“Enggak sabar mau cepat sampai sini, Nek. Udah kangen berat,” jawabku santai.“Masa? Sebegitu merindukankah nenekmu ini?” canda nenek.“Iya, begitulah. Om, Ardi belum pulang ya, Nek?”“Enggak pulang kan, banyak kerjaan.”Lain dengan kakek beliau diam saja dan seperti mengawasiku. Kakek memang selalu peka. Instingnya selalu benar. Mirip ibu.“Kok, Aldi sama Mbok, diam saja?”“Aldi capek, Nek. Kesal juga sama Kakak. Padahal besok lusa bagi rapor, tapi diculik dibawa ke sini,” keluh Aldi. Nenek beralih pada mbok.“Eh, itu a—nu Nyoya. Non Alya bawa kami ke sini tidak bilang dulu,” timpal Mbok.“Bilangnya mau ke rumah temannya. Kan, bohong. Dosa bohong itu!” Aldi semakin kesal. Bibirnya cemberut saja.“Benar, Alya?” tanya nenek.“He-he iya, Nek.” “Kakak gitu Nek, selalu saja bercandaan!” Aldi melemp
Kemarin saat kami mengaktifkan ponsel ibu. Ada banyak sekali pesan ancaman dari nomor-nomor berbeda. Bukan hanya itu ayah pun ikut mengancam dengan bahasa yang sangat kasar. Ayah mengira ponsel ibu diambil orang. Om Ardi khawatir orang itu melacak jadi akan tahu lokasi di mana ponsel ibu berada. Makanya ponsel ibu langsung dinonaktifkan lagi. Aku mengira masalahnya akan beres saat aku di sini. Ayah diusir dan dituntut penjara begitu juga orang yang sudah menganiaya ibu, tapi kata Om Ardi tidak segampang membalikkan telapak tangan. Om Ardi curiga ibu pun punya kekasih gelap. Ini yang akan ditulusuri lagi. Aku pun tertegun mendengar pengakuan Lusi. Tante itu berani sekali mengambil raporku tanpa sepengetahuanku. Mengaku sebagai ibu baruku. Ayah harus bertanggung jawab untuk semua ini. “Al, jadi gimana kamu setuju dengan rencana Om?” “Setuju Om. Tapi, rasanya kok berat banget, ya?” “Kalau tidak begitu kita tidak bisa kumpulkan cukup bukti. Om, akan menyuruh anak buah Om untuk men
“Pulang yuk, sudah lama nih, kita keluar!” ajakku pada Aldi dan juga dua artku. Nenek tadi dijemput pekerjanya mereka ke kebun katanya kakek sudah sangat kelaparan. “Ayo, Non! Bibi jadi enggak sabar mau lihat itu si ulet bulu,” jawab Bi Inah. Aku pun tidak sabar apa yang terjadi di rumah setelah kami tinggal muter-muter kampung selama tiga jam. “Mbok, malah khawatir ulet bulu menyelinap masuk kamar Nyonya terus ngambil barang-barang Nyoya.” Duh, Mbok ini care banget sama nenek. “Mau ambil apa? Lah wong di kamar Nyonya enggak ada apa-apa selain minyak wangi nyongnyong, minyak urut, sama baju-baju zaman dulu. Perhiasan Nyonya enggak di sini sama Nyonya disimpan di brangkas.” Bi Inah pun menimpali. “Kok, kamu tahu, Nah?” “Tahu, Nyonya yang bilang.” “Syukur deh, kalau gitu.” “Biarin aja mau ambil juga, emang Tante pelakor kan, doyannya barang-barangnya orang lain,” sahutku. “Iya, benar. Ih, suka heran zaman sekarang ini kenapa sih, banyak banget pelakor?” “Entah. Aku juga enggak
“Br353k mati lampu lagi!” umpat ayah. Beliau sedang mencarghe ponselnya. Aku yang sedang membaca Alquran sangat jelas mendengar umpatan ayah. Karena pintu kamar aku buka sedikit sedang ayah ada di ruang tengah.Ayah aneh semua orang pergi ke masjid menunaikan kewajibannya sebagai seorang mulsim beliau malah sibuk dengan ponselnya. Syukurin mati lampu.Aku berniat mengingatkan ayah untuk salat isya dulu, tapi keburu Tante Anin menimpali makian ayah.“Makanya kita pulang aja di sini serba susah,” sahut Tante Anin. “Besok pagi kita pulang, tapi aku mau kamu di sini dulu sampai liburan sekolah anak-anak selesai.” “Enggak mau, Mas. Nanti aku diperlakukan seperti babu sama mereka.” “Aku sudah bilang ambil hati mereka. Alya itu hatinya lembut seperti Tari dia mudah diluluhkan. Sedang mertuaku cenderung mengikuti. Kalau Alya suka padamu mereka juga akan suka.” “Enggak mau, Mas ... cukup sekali ini aku diperlakukan tidak hormat. Kamu tahu masa harga diriku dibilang jauh lebih rendah dari