[Kamu, anak kecil harus terima kenyataan bahwa aku ibu sambungmu. Jadi, jangan macam-macam denganku atau aku akan singkirkan kamu dari hidup ayahmu.]Tulis perempuan itu lagi . Ck, Tante pelakor itu kira aku ini anak kecil yang bisa diancam? Bahkan aku pun bisa menendang ayah dari rumah ini. Berlagak rupanya.Beruntung WA aku set privasi jadi meski pesan dia sudah kubaca masih centang dua abu-abu. Aku memang sengaja lakukan ini karena malas jika ayah ataupun keluarga ayah WA aneh-aneh. Sering banget mereka menggangguku dengan pesan-pesan recehan tak masuk akaln. Apalagi Nindi, berasa dia ratu di rumah ini.Aku lihat foto profilnya. Berdua dengan ayah saling peluk. Sudah kutebak tempat ini adalah vila keluarga kami dan ini ada di kamar utama. Kamar ibuku.Baiklah susun rencana lebih matang lagi. Aku takut perempuan itu akan segera datang ke rumah ini.Kubuka lagi lembaran isi perjanjian itu. Aku mencoba membaca berkali-kali, tapi buntu kesimpulan. Mungkin nanti kakek bisa memecahkanny
“Kok malah cengengesan! Nenek khawatir ini,” omel nenek." Padahal aku baik-baik saja. “Kan, belum bagi rapor. Nanti juga dijemput oom kamu, kalau enggak ayahmu pasti akan nganter,” sambungnya.“Enggak sabar mau cepat sampai sini, Nek. Udah kangen berat,” jawabku santai.“Masa? Sebegitu merindukankah nenekmu ini?” canda nenek.“Iya, begitulah. Om, Ardi belum pulang ya, Nek?”“Enggak pulang kan, banyak kerjaan.”Lain dengan kakek beliau diam saja dan seperti mengawasiku. Kakek memang selalu peka. Instingnya selalu benar. Mirip ibu.“Kok, Aldi sama Mbok, diam saja?”“Aldi capek, Nek. Kesal juga sama Kakak. Padahal besok lusa bagi rapor, tapi diculik dibawa ke sini,” keluh Aldi. Nenek beralih pada mbok.“Eh, itu a—nu Nyoya. Non Alya bawa kami ke sini tidak bilang dulu,” timpal Mbok.“Bilangnya mau ke rumah temannya. Kan, bohong. Dosa bohong itu!” Aldi semakin kesal. Bibirnya cemberut saja.“Benar, Alya?” tanya nenek.“He-he iya, Nek.” “Kakak gitu Nek, selalu saja bercandaan!” Aldi melemp
Kemarin saat kami mengaktifkan ponsel ibu. Ada banyak sekali pesan ancaman dari nomor-nomor berbeda. Bukan hanya itu ayah pun ikut mengancam dengan bahasa yang sangat kasar. Ayah mengira ponsel ibu diambil orang. Om Ardi khawatir orang itu melacak jadi akan tahu lokasi di mana ponsel ibu berada. Makanya ponsel ibu langsung dinonaktifkan lagi. Aku mengira masalahnya akan beres saat aku di sini. Ayah diusir dan dituntut penjara begitu juga orang yang sudah menganiaya ibu, tapi kata Om Ardi tidak segampang membalikkan telapak tangan. Om Ardi curiga ibu pun punya kekasih gelap. Ini yang akan ditulusuri lagi. Aku pun tertegun mendengar pengakuan Lusi. Tante itu berani sekali mengambil raporku tanpa sepengetahuanku. Mengaku sebagai ibu baruku. Ayah harus bertanggung jawab untuk semua ini. “Al, jadi gimana kamu setuju dengan rencana Om?” “Setuju Om. Tapi, rasanya kok berat banget, ya?” “Kalau tidak begitu kita tidak bisa kumpulkan cukup bukti. Om, akan menyuruh anak buah Om untuk men
“Pulang yuk, sudah lama nih, kita keluar!” ajakku pada Aldi dan juga dua artku. Nenek tadi dijemput pekerjanya mereka ke kebun katanya kakek sudah sangat kelaparan. “Ayo, Non! Bibi jadi enggak sabar mau lihat itu si ulet bulu,” jawab Bi Inah. Aku pun tidak sabar apa yang terjadi di rumah setelah kami tinggal muter-muter kampung selama tiga jam. “Mbok, malah khawatir ulet bulu menyelinap masuk kamar Nyonya terus ngambil barang-barang Nyoya.” Duh, Mbok ini care banget sama nenek. “Mau ambil apa? Lah wong di kamar Nyonya enggak ada apa-apa selain minyak wangi nyongnyong, minyak urut, sama baju-baju zaman dulu. Perhiasan Nyonya enggak di sini sama Nyonya disimpan di brangkas.” Bi Inah pun menimpali. “Kok, kamu tahu, Nah?” “Tahu, Nyonya yang bilang.” “Syukur deh, kalau gitu.” “Biarin aja mau ambil juga, emang Tante pelakor kan, doyannya barang-barangnya orang lain,” sahutku. “Iya, benar. Ih, suka heran zaman sekarang ini kenapa sih, banyak banget pelakor?” “Entah. Aku juga enggak
“Br353k mati lampu lagi!” umpat ayah. Beliau sedang mencarghe ponselnya. Aku yang sedang membaca Alquran sangat jelas mendengar umpatan ayah. Karena pintu kamar aku buka sedikit sedang ayah ada di ruang tengah.Ayah aneh semua orang pergi ke masjid menunaikan kewajibannya sebagai seorang mulsim beliau malah sibuk dengan ponselnya. Syukurin mati lampu.Aku berniat mengingatkan ayah untuk salat isya dulu, tapi keburu Tante Anin menimpali makian ayah.“Makanya kita pulang aja di sini serba susah,” sahut Tante Anin. “Besok pagi kita pulang, tapi aku mau kamu di sini dulu sampai liburan sekolah anak-anak selesai.” “Enggak mau, Mas. Nanti aku diperlakukan seperti babu sama mereka.” “Aku sudah bilang ambil hati mereka. Alya itu hatinya lembut seperti Tari dia mudah diluluhkan. Sedang mertuaku cenderung mengikuti. Kalau Alya suka padamu mereka juga akan suka.” “Enggak mau, Mas ... cukup sekali ini aku diperlakukan tidak hormat. Kamu tahu masa harga diriku dibilang jauh lebih rendah dari
Assalamualaikum semua ... yuk, bantu follow akunku!😍Terima kasih banyak ya? sudah support aku sampai sejauh ini🙏😘🌸🌸🌸🌸Aku bahagia sekali malam ini bisa main api unggun bersama meski ada yang kurang yaitu tanpa kehadiran ibu, tapi tidak mengurangi kebahagianku. Aku memang punya rencana jahat malam ini. Aku akan biarkan ayah masuk kamar kakek setelah itu aku akan mengajak kakek memergokinya.Yes! Tepat dihitungan ke 100 ayah berhasil menyelinap pergi dari sini. Tunggu 3 menit dari sekarang aku akan mengajak kakek masuk.“Nek, temani aku ke kamar mandi, yuk! Pingin pipis.”“Ayo! Nenek juga mau ke kamar mandi.” “Kek, ayo temani kami masuk mau ke kamar mandi!” ajakku. Meski kakek tidak menyahut dan terlihat kesal, tapi beliau mau mengantar. Kakek pasti kesal karena sedang menikmati suasana api unggun.“Sssttt ... jangan bersuara Nek, Kek. Aku seperti melihat orang masuk menyelinap ke kamar Kakek.”“Ah, yang benar kamu, Al. Kan, rumah Kakek aman. Di luar juga ada penjaga.”“Kakek
🌸🌸🌸“Hendra!” Ayah yang sedari tadi sudah gelisah tergopoh-gopoh menghampiri kakek. Wajahnya terlihat sekali ketakutan.“Katakan padaku kenapa map gaji karyawan ada di kamar ini!?” hardik kakek.“Itu aku pun tidak tahu, Pak,” jawab ayah berbohong.“Mana mungkin tidak tahu kamu kira map ini punya kaki jadi bisa jalan sendiri ke sini?” tanya kakek geregetan giginya bergemeletuk.“Beneran, Pak. Aku tidak tahu kenapa ada mam ini di kamar ini,” jawab ayah tanpa berani menatap kakek.“Sudahlah, Kek, yang penting kan, sudah ketemu mapnya,” sahutku sambil mengedipkan sebelah mata. Untungnya kakek langsung paham.Kakek pergi begitu saja dari kamar ini dengan membanting pintunya. “Lanjutkan sarapannya. Jangan ada yang pergi dari meja makan sebelum semuanya selesai makan!” titah nenek. Kami kembali ke posisi masing-masing aku sangat menikmati sarapanku.“Alya, ingat pesan Kakek, kamu harus sekolah yang pintar karena warisan Tari seluruhnya akan Kakek berikan padamu. Hanya kamu anak Tari,”
Assalamualaikum ....Happy reading everyone ❤️🌸🌸🌸“Sini Al, biar Kakek yang ngomong sama ayahmu.” Kuberikan ponselku pada kakek.“Hendra, jangan kamu coba-coba merayu Alya. Aku tidak akan pernah merubah keputusanku. Mobil ini tidak akan ke mana-mana. Ini milik anakku jadi, aku yang lebih berhak. Sudah sana kerja yang benar. Dua hari lagi akan ada audit yang akan memeriksa keuangan perusahaan yang kamu kelola.”“Apa? Audit? Mendadak sekali, Pak?”“Iya, sengaja.”“Tapi, Pak?”“Enggak ada tapi-tapian!”Tuuuutt!Tuuuutt!Sambungan telepon dimatikan oleh kakek. Tak lama ayah meneleponku lagi, kali ini memilih diam saja. Pusing juga kalau sudah dengar keluhan ayah.Sesampainya di pasar semua orang yang didatangi menyalami nenek dan juga cipika-cipiki. Padahal mereka para pedagang kecil, tapi nenek dan kakek tidak milih-milih dan sepertinya sangat akrab.“Tolong kamu jagain Aldi ya, kamu kan, sekarang ibu sambungnya. Aku mau ke sana cari baju untuk Inah sama Mbok,” pinta nenek pada Tante