“Aku melihat ayahmu tadi pagi keluar dari kontrakan sebelah rumahku. Diantar sampai ke pagar terus itu ... ayahmu mencium pipinya. Sayangnya perempuan itu membelakangiku jadi aku tidak tahu siapa,” ucap Lusi, dia tampak tidak enak padaku.
Kuhirup udara banyak-banyak agar dada yang terasa amat sempit ini bisa bernapas.
“Maaf, ya, Al?” Lusi menggenggam erat tanganku.
“Enggak perlu minta maaf, Lus. Aku minta tolong sama kamu tolong jaga rahasia ini dari keluargaku ya?” ucapku memohon.
“Memang kenapa, Al? Mereka kan ....”
“Ssstt ... belum saat mereka tahu, itu ada suara ayahku pulang ayo, kita ke depan!” ajakku pada Lusi.
Benar saja mobil ayah yang datang. Ayah setiap pulang dari mana pun mobilnya baru memasuki jalan kompleks menuju rumah saja aku sudah paham saking dekatnya aku dengan ayah, tapi sekarang perasaan itu jadi berubah benci dan kesal.
“Soal tadi jangan bilang tahu dari aku ya, Al?” bisik Lusi sebelum pamitan pulang bersama yang lain.
Kulihat ayah jalan sempoyongan menuju ke arah kami. Ayah celingak celinguk melihat ke kanan kiri halaman rumahku karena terdapat jejeran papan bunga ucapan bela sungkawa atas meninggalnya ibuku. Lestari Ayu binti Abdullah. Kutatap ke dalam manik matanya tampak terkejut dan juga berkaca-kaca. Entahlah aku seperti hilang rasa pada ayahku sendiri.
Tante Eni dan nenek langsung memeluk ayah mengucapkan kata-kata sabar. Aku sama sekali tidak mau menyambut ayah. Aku duduk di ruang TV bersama Aldi.
Karena suara tangisan ayah, Aldi beranjak dari duduknya dan berlari ke depan. Sudah kupastikan ada adegan menyayat hati di sana. Meski mataku fokus pada televisi, tapi tidak dengan hatiku. Aku gelisah dan banyak sekali yang aku pikirkan.
Dua puluh menit berlalu, ayah menghampiriku dan langsung memelukku. Tangis ini kembali pecah. Bukan karena pelukan ayah, tapi ingat ibu.
“Maafkan Ayah, Nak. Maaf. Ayah tidak tahu kabar duka ini.” Entahlah aku mau percaya atau tidak pada tangisan ayah.
“kamu dengar Ayah, kan, Nak? Maafkan Ayah, tidak ada di hari terakhir ibumu.” Ayah menangkupkan ke dua telapak tangannya pada wajahku, menatap manik mataku lalu menciumi keningku berkali-kali dan aku sama sekali tidak ingin menanggapi ucapan ayah.
“Ayah, sangat sibuk banyak kerjaan dan susah sinyal makanya telepon dari kalian tidak ada yang masuk,” ucap ayah beralasan. Mendengar ucapan bohong ayah refleks aku melepaskan pelukan ayah dan aku ingin tertawa sekencang-kencangnya sekarang juga, tapi aku harus bisa menahannya kalau tidak semua rencanaku bisa berantakan.
Kutatap wajah ayahku ini, dan dia salah tingkah lalu kembali menarikku dalam pelukannya.
“Ayah janji akan jadi orang tua terbaik untukmu dan juga Aldi, Nak,” cicit ayah.
Semua orang yang ada di ruangan ini ikut larut dalam kesedihan palsu ayahku.
“Hendra, kamu ganti baju dulu dan istirahat! Setelah Zuhur nanti kita ke makam Lestari,” titah nenek.
Ayah beranjak pergi ke kamarnya dan mengajak Aldi.
Aku masih termenung di sini memikirkan apa yang harus kulakukan. Aku hanya gadis belia 15 tahun yang belum ada pengalaman apa pun.
Aku tidak mau wanita ular itu masuk ke dalam rumah ini dan menjadi ibu tiriku. Posisi ibu tidak boleh tergantikan oleh siapa pun.
“Al, ini HP-mu bunyi aja dari tadi, sepertinya ada yang telepon. Kamu kok enggak dengar sih, padahal HP depan mata gitu,” sungut Tante Eni.
Nomor tidak terdaftar di kontak. Siapa yang telepon berkali-kali begini? Apa mungkin teman ibu? Ya, HP-ku dan HP ibu sama jadi Tante Eni tidak paham. Ini HP hadiah ulang tahun pernikahan ayah dan ibu satu tahun yang lalu kebetulan HP-ku waktu itu rusak jadi ayah beli dua. Aku dan ibu kembaran.
Nomor tadi beralih pada Vidio Call. Aku sama sekali tidak berniat untuk menjawabnya. Biarkan saja nanti kalau penting juga pasti kirim pesan apa lagi nomornya tidak dikenal.
Masih ada waktu 20 menit lagi sebelum masuk waktu Zuhur. Aku masuk kamar untuk bersiap-siap.
Ting!
Nomor tadi mengirimkan pesan setelah empat kali Vidio Call, tapi tidak kujawab.
[Hallo ... Cantikku, kenapa kamu enggak jawab teleponku?]
Aku tentu saja kaget ada yang mengirim pesan begini ke nomor ibu. Siapa dia?
[Rupanya kmu sudah mulai bermain-main denganku, ya, Cantik.]Aku bingung hendak membalas apa. Kalau benar itu nomor teman ibu sepertinya tidak mungkin karena teman-teman ibu sudah mengucapkan bela sungkawa di beberapa WAG.
[Dandan yang cantik, aku akan jemput kamu nanti jam 3 sore. Pakai baju yang aku kirim kemarin.]
Kurasa sangat aneh nomor ini, apa dia sedang nge-prank atau memang benar-benar kenal ibu. Aku tidak berani membalas pesan itu sekarang takut kesalahan.
Aku mondar-mandir seperti gosokan memikirkan pesan masuk barusan. Kuklik info profilnya tidak tampak apa pun, foto pun tidak ada.
Baju yang dikirim kemarin, maksudnya apa ya? Kemarin tidak ada kurir ke sini apa lagi kami masih dalam keadaan berdukacita.
Aku lari keluar hingga menabrak nenek yang berjalan menuju kamarku. Nenek sudah siap dengan pakaian salatnya. Pasti nenek mau mengajakku berjamaah.
“Ya Allah, Alya! Bikin Nenek kaget aja. Ada apa kok lari-lari gitu? Sudah mau Zuhur ayo, kita jama’ah!” ajak nenek.
“Iya, Nek. Maaf ... aku enggak lihat Nenek karena buru-buru mau ambil paket. Bentar ya, Nek.” Tanpa mendengar jawaban nenek aku gegas lari ke pos satpam. Barang kali kemarin paket ditaruh sana.
“Pak, ada paket untuk Ibu, enggak?” tanyaku tergesa-gesa. Pak Mulyadi tampak berpikir sejenak lalu menggelengkan kepala.
“Enggak ada, Non. Kemarin Bapak sibuk jadi enggak tahu,” jawabnya sambil mengingat-ingat.
“Ya, sudah . Makasih, Pak!” Aku lari ke luar rumah sekarang tujuanku rumah Pak RT dan Tante Halimah semoga paket itu ada di sana.
Nihil di dua rumah yang biasa dititipi paket pun tidak ada. Apa pengirim pesan tadi hanya iseng saja?
“Mbak Alya!” teriak Bude Siti penjual pecel depan rumahku. Beliau melambai-lambaikan tangannya menyuruhku ke sana. Azan Zuhur sudah terdengar jika aku tidak cepat kembali pasti ayah akan mencariku, tapi aku pun tidak enak hati jika dipanggil orang tidak menyahut ataupun menghampiri.
Aku lari ke pondokan pecel Bude Siti.
“Ada apa, Bude?” tanyaku ngos-ngosan.
“Lah, Mbak kenapa lari-lari segala si, jadi ngos-ngosan gitu, kan?” tegur Bude Siti.
“Buru-buru, Bude. Sudah azan Zuhur takut dicari Ayah,” jawabku.
“Oh, buru-buru ya, ini Bude Cuma mau ngasih paket. Kemarin pas ibunya Mbak Alya meninggal ada kurir mau kirim paket, karena bingung akhirnya dititip di warung Bude sama si Ocha.”
Anak Bude Siti Ocha seumuran dengan Aldi memberikan paket itu padaku. Setelah mengucapkan terima kasih aku langsung lari pulang.
Beruntung nenek dan yang lain sudah ada di ruang salat jadi tidak tahu kalau aku baru pulang.
Kukunci pintu dan segera membuka paket ini.
Meski aku masih ABG, tapi aku tahu banget ini baju lingerie yang banyak dijual di olshop.Astagfirullah! Ini baju untuk ibu, karena ada pesan romantis di atasnya bungkusnya.
*Besok dipakai ya, Sayang? Aku sudah tidak sabar melihatmu memakai ini.Bersambung ....Sejujurnya aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menerima Angga karena aku tidak ingin menyakiti hati Lusi. Ya, walaupun sekarang Lusi sudah bahagia bersama suami dan anak-anaknya, tapi aku yakin jika dia tahu aku menikah dengan Angga pasti di dalam dasar lubuk hatinya ada rasa kecewa padaku dan aku tidak mau itu terjadi. Aku tidak ingin menyakiti hati orang lain apalagi itu Lusi, sahabatku sendiri walaupun itu setitik nila.“Aku tahu Al, kalau kamu pun sebenarnya mencintai aku. Semua kutahu itu dari Lusi dan aku tahu kamu menolakku pasti karena Lusi. Al, Lusi, sudah bahagia dengan suaminya dan anak-anaknya bahkan Lusi merasa sangat bersalah karena telah menuliskan perasaannya di dalam buku diary-nya yang akhirnya kamu baca. Kalau kamu tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan ini kamu bisa tanyakan sendiri pada Lusi. Tolong jangan tinggalkan aku lagi, Al. Aku sangat mencintaimu dari dulu hingga kini.”“Angga, tapi aku, aku ....”“Tidak perlu kamu jawab Alya karena aku ta
“Alya, tunggu! Kamu mau ke mana?” Angga menarik ujung jilbabku. Seketika aku menghentikan langkahku.“Kamu pikir aku mau ke mana Ngga? Pulanglah, ngapain aku di sini? Jagain Cafe kamu?” jawabku ketus.“Ya, kali aja mau juga kamu jagain cafeku. Jangan jagain kafekulah, jagain hatiku aja,” jawab Angga lagi. Dia ini benar-benar membuat aku salah tingkah.“Apaan, sih, Ngga ... sudahlah aku mau pulang. Lain kalu aku main ke sini lagi, oke ... aku ada banyak kerjaan yang harus aku selesaikan,” pamitku pada Angga. Sejujurnya aku sangat malu padanya karena bukan hanya sekali ini saja Angga memergokiku gagal bertemu dengan seseorang. Dulu bahkan saat pernikahanku gagal dan Anggalah yang tahu pertama kali setelah keluargaku.Kenapa harus dia aku kan, jadi malu seolah aku ini adalah gadis terkutuk yang tidak bisa mendapatkan jodoh. Apalagi umurku sekarang menjelang kepala tiga bulan depan. Kalau perempuan di luaran sana mungkin sudah punya anak dua ataupun tiga, sedangkan aku boro-boro punya
“Hilda!” Suara bariton seseorang memanggil perempuan di depanku.Ternyata perempuan di depanku ini namanya Hilda. Lantas dia tahu namaku dari mana?“Oh, jadi ini, Put, yang kamu lakukan di belakangku? Diam-diam kamu cari perempuan lain untuk jadi pendamping hidupmu, lalu aku ini kamu anggap apa, Put! 8 tahun aku nemenin kamu dari nol, giliran kamu sudah sukses kamu cari perempuan lain yang kata kamu lebih soliha dan lebih cantik dari aku! Picik kamu, Put! Dan kamu Alya, asal kamu tahu bahwa 2 hari ini yang menghubungimu bukan Putra, tapi aku. Hilda Widyani, calon istri Putra yang entah kenapa laki-laki brengsek itu tergoda oleh kamu. Aku yakin kamu tidak menggoda Putra, tapi aku minta sama kamu sebagai sesama perempuan jauhi dia kalau tidak aku akan hancurkan nama baikmu,” ucap perempuan itu berapi-api.“Hilda, kamu ngomong apa, sih! kita sudah putus dan kita sudah sepakat untuk mengakhiri hubungan kita. Lalu kenapa sekarang kamu mau merusak hubunganku dengan perempuan lain? Ingat ya
Ekstra part.“Hai! Ngalamun aja serius banget kayaknya. Lagi mikirin aku, ya?” Aku dikagetkan dengan kedatangan Angga yang tiba-tiba saja sudah duduk di sampingku.Aku merasa entah kenapa dunia ini begitu sempit. Aku melalang buana ke mana pun pasti ujung-ujungnya bertemu dengan Angga. Padahal jujur bertahun-tahun aku berusaha untuk melupakan dia.“Enggak .... kok, kamu bisa di sini, ngikutin aku, ya?” tebakku asal. Habisnya aku bingung mau bilang apa.“Ye, ge-er banget, deh! Ngapain juga ngikutin kamu enggak penting kayaknya. Eh, tapi sepertinya waktu dan keadaanlah yang mempertemukan kita. mungkin kita berjodoh,” jawab Angga. Senyum khasnya membuatku ingat tentang masa lalu.“Angga, ihh, ngaco, deh! Ngomong-ngomong apa kabar? Terus kamu di sini ada kegiatan apa?” tanyaku. Sebenarnya aku sedikit salah tingkah, tapi ya, Angga tidak boleh tahu. Kalau sampai dia tahu yang ada nanti aku akan dibully dia habis-habisan.Sejujurnya aku sangat bahagia bertemu dengan Angga karena selama 2 t
POV Alya. “Otewe mulu, kapan dong, sampainya?”“Nanti, Ngga ... jika Allah sudah berkehendak.” Angga hanya mengangguk saja.Entah kenapa kami merasa canggung sebenarnya ingin bersikap seperti biasanya saja, tapi tidak bisa. Seperti ada jarak yang memisahkan antara kami berdua.Angga memang terlihat semakin berwibawa mungkin itu yang membuatku merasa canggung dan juga dia suami orang maka dari itu aku harus jaga image jangan sampai nantinya ada kesalahpahaman di antara kami.“Non, ada Mas Akmal di luar.” Mbok memberi tahuku.“Em, kalau begitu aku permisi ya, Al. Takut ganggu. Kalau ada waktu main ke rumah ya, Gulsen pasti senang sepertinya memang dia sudah menyukaimu buktinya tadi langsung akrab,” pamit Angga. Aku mengiyakan.“Gulsen, pulang, yuk! Sudah siang nanti Kakek nyariin kita, loh,” ajak Angga. Gulsen menggeleng lucu sekali.“Gulseeenn ....” Lagi-lagi anak itu hanya menggeleng.“Biar nanti aku yang mengantar Gulsen,” sahutku.“Beneran?”“Iya, Ngga ... bolehkan?”“Oke, boleh-bo
POV ALYA.Hati yang bimbang.“Tante boleh minta tolong ambilkan bola itu. Bolanya kotor aku jijik mau ambilnya,” pinta anak kecil di depanku seraya menarik-narik ujung jilbabku. Aku yang sedang fokus menatap layar HP terpaksa memandangnya. Ekspresinya menggemaskan sekali.“Please ....” pintanya lagi. Senyumnya menampilkan deretan gigi kecil-kecil yang rapi.“Boleh, tunggu sebentar.”Aku mengambil bola yang tercebur pada kubangan lumpur bekas hujan semalam.“Tante cuci dulu ya, di kran sebelah situ. Kamu bisa menunggu Tante di sini?” Anak kecil itu mengangguk.Oke, fine Alya. Ini sungguh menggelikan karena untuk pertama kalinya aku dipanggil tante oleh orang lain. Anak kecil pula. Biasanya mereka akan memanggilku kakak dan yang memanggilku tante hanya Alika anak tante Eni dan adik-adiknya saja. Ke mana orang tua anak itu kenapa dibiarkan main sendirian di taman. Meski taman kompleks perumahan tetap saja bahaya.Akan tetapi lucu juga anak kecil itu. Keberaniannya membuatku berhasil meni
POV Nindi. Ternyata omongannya hanya bualan semata untuk memperdayaku. Pernikahan yang baru seumur jagung menjadi taruhannya.Kurasakan pergerakan dipan. Mas Aris memelukku dalam tidurnya setelah menciumku berkali-kali.Aku biarkan saja dia menciumku mungkin ini untuk yang terakhir kalinya. Barang kali esok aku sudah pergi dari sini dan kembali ke rumahku seorang diri. Jujur aku tidak siap dimadu. Aku tidak siap berbagi suami. Tidak! Aku tidak siap.Membayangkannya saja hatiku begitu ngilu dan sakit apa lagi menjalaninya. Pastilah aku kurus kering karena setiap hari makan hati. Perempuan itu salah satu anak dari guru ngajinya Mas Aris. Aku pun mengenalnya. Usianya 5 tahun lebih muda dariku. Namanya Yesi, meski tidak secantik dan semenarik diriku, tapi dia perempuan subur yang siap melahirkan banyak anak demi baktinya pada seorang suami. Itu yang dia katakan padaku juga pada Mas Aris.Aku akui keberanian dan juga misi hidupnya patut diacungi jempol, tapi kenapa harus rumah tanggaku y
POV Nindi.POV Nindi.“Apa tidak ada cara lain, Mas? Apa kamu setega itu padaku?” tanyaku pada Mas Aris, suamiku.Lelaki yang terkenal bijak dan baik hati itu perlahan membelai rambutku.“Maafkan aku, Dik. Aku tak kuasa menolak permintaan Ibu,” jawab Mas Aris.“Kamu benar, Mas, mungkin ini jalan yang terbaik untuk rumah tangga kita. Aku bisa apa? Rahimku bermasalah dan kita tidak bisa punya keturunan, tapi please lepaskan aku dulu sebelum kamu menikahi perempuan pilihan ibumu,” tegasku.Mata Mas Aris berkaca-kaca. Manik hitam itu dalam hitungan detik dipenuhi air mata. Lalu lolos. Kembali aku direngkuh dalam pelukannya.“Tidak, Dik. Aku tidak mau berpisah denganmu. Aku tidak sanggup. Aku sudah berjanji pada mamahmu untuk menjagamu seumur hidupku. Aku mencintaimu Dik, ada atau tidaknya anak bagiku hanya pelengkap saja. Cintaku padamu tulus, Dik. Tolong jangan pernah katakan perkataan yang sangat aku benci. Aku tidak bisa hidup tanpamu, Dik,” ucap Mas Aris seraya mempererat pelukannya.
POV Angga.Alyaku, aku tahu dia masih sendiri di usianya yang ke 29 tahun. Aku tahu semuanya dari Lusi dan juga Nindi.Entah seberapa berat hidup yang dijalaninya, tapi Alya masih tetap seperti dulu. Ayu dan masih muda. Mungkin karena dia tidak pernah menyikapi permasalahan dengan berlebihan. Dia tetap bersikap manis pada siapa pun meski aku tahu luka di hatinya sangatlah dalam.Alya, tetap baik pada bundaku, adikku, dan orang-orang di sekelilingnya termasuk pada keluarga mantan calon suaminya. Aku salut padanya. Aku tahu semua itu tentu saja dari cerita orang-orang terdekatku.Hari ini pertama kali aku menginjakkan kakiku ke lapak pecel buk Siti sejak 4 tahun yang lalu pergi ke Kalimantan. Pecel legendaris kenanganku bersama Alya. Ya, aku kembali pulang untuk tujuan hidup agar lebih baik lagi.Sedang Dita tetap di Kalimantan mengembangkan bisnis orang tuanya. Tak ada drama tangis perpisahan antara Gulsen dan ibunya. Biasa saja seperti hari-hari biasa. Gulsen pun tidak pernah menanyak