Share

BAB 3 Pesan Misterius

“Cepat katakan ada apa, Lus?” desakku.

“Aku melihat ayahmu tadi pagi keluar dari kontrakan sebelah rumahku. Diantar sampai ke pagar terus itu ... ayahmu mencium pipinya. Sayangnya perempuan itu membelakangiku jadi aku tidak tahu siapa,” ucap Lusi, dia tampak tidak enak padaku. 

Kuhirup udara banyak-banyak agar dada yang terasa amat sempit ini bisa bernapas.

“Maaf, ya, Al?” Lusi menggenggam erat tanganku.

“Enggak perlu minta maaf, Lus. Aku minta tolong sama kamu tolong jaga rahasia ini dari keluargaku ya?” ucapku memohon.

“Memang kenapa, Al? Mereka kan ....”

“Ssstt ... belum saat mereka tahu, itu ada suara ayahku pulang ayo, kita ke depan!” ajakku pada Lusi.

Benar saja mobil ayah yang datang. Ayah setiap pulang dari mana pun mobilnya baru memasuki jalan kompleks menuju rumah saja aku sudah paham saking dekatnya aku dengan ayah, tapi sekarang perasaan itu jadi berubah benci dan kesal.

“Soal tadi jangan bilang tahu dari aku ya, Al?” bisik Lusi sebelum pamitan pulang bersama yang lain.

Kulihat ayah jalan sempoyongan menuju ke arah kami. Ayah celingak celinguk melihat ke kanan kiri halaman rumahku karena terdapat jejeran papan bunga ucapan bela sungkawa atas meninggalnya ibuku. Lestari Ayu binti Abdullah. Kutatap ke dalam manik matanya tampak terkejut dan juga berkaca-kaca. Entahlah aku seperti hilang rasa pada ayahku sendiri.

Tante Eni dan nenek langsung memeluk ayah mengucapkan kata-kata sabar. Aku sama sekali tidak mau menyambut ayah. Aku duduk di ruang TV bersama Aldi. 

Karena suara tangisan ayah, Aldi beranjak dari duduknya dan berlari ke depan. Sudah kupastikan ada adegan menyayat hati di sana. Meski mataku fokus pada televisi, tapi tidak dengan hatiku. Aku gelisah dan banyak sekali yang aku pikirkan.

Dua puluh menit berlalu, ayah menghampiriku dan langsung memelukku. Tangis ini kembali pecah. Bukan karena pelukan ayah, tapi ingat ibu.

“Maafkan Ayah, Nak. Maaf. Ayah tidak tahu kabar duka ini.” Entahlah aku mau percaya atau tidak pada tangisan ayah.

“kamu dengar Ayah, kan, Nak? Maafkan Ayah, tidak ada di hari terakhir ibumu.” Ayah menangkupkan ke dua telapak tangannya pada wajahku, menatap manik mataku lalu menciumi keningku berkali-kali dan aku sama sekali tidak ingin menanggapi ucapan ayah.

“Ayah, sangat sibuk banyak kerjaan dan susah sinyal makanya telepon dari kalian tidak ada yang masuk,” ucap ayah beralasan. Mendengar ucapan bohong ayah refleks aku melepaskan pelukan ayah dan aku ingin tertawa sekencang-kencangnya sekarang juga, tapi aku harus bisa menahannya kalau tidak semua rencanaku bisa berantakan.

Kutatap wajah ayahku ini, dan dia salah tingkah lalu kembali menarikku dalam pelukannya. 

“Ayah janji akan jadi orang tua terbaik untukmu dan juga Aldi, Nak,” cicit ayah. 

Semua orang yang ada di ruangan ini ikut larut dalam kesedihan palsu ayahku. 

“Hendra, kamu ganti baju dulu dan istirahat! Setelah Zuhur nanti kita ke makam Lestari,” titah nenek.

Ayah beranjak pergi ke kamarnya dan mengajak Aldi.

Aku masih termenung di sini memikirkan apa yang harus kulakukan. Aku hanya gadis belia 15 tahun yang belum ada pengalaman apa pun.

Aku tidak mau wanita ular itu masuk ke dalam rumah ini dan menjadi ibu tiriku. Posisi ibu tidak boleh tergantikan oleh siapa pun.

“Al, ini HP-mu bunyi aja dari tadi, sepertinya ada yang telepon. Kamu kok enggak dengar sih, padahal HP depan mata gitu,” sungut Tante Eni.

Nomor tidak terdaftar di kontak. Siapa yang telepon berkali-kali begini? Apa mungkin teman ibu? Ya, HP-ku dan HP ibu sama jadi Tante Eni tidak paham. Ini HP hadiah ulang tahun pernikahan ayah dan ibu satu tahun yang lalu kebetulan HP-ku waktu itu rusak jadi ayah beli dua. Aku dan ibu kembaran.

Nomor tadi beralih pada Vidio Call. Aku sama sekali tidak berniat untuk menjawabnya. Biarkan saja nanti kalau penting juga pasti kirim pesan apa lagi nomornya tidak dikenal.

Masih ada waktu 20 menit lagi sebelum masuk waktu Zuhur. Aku masuk kamar untuk bersiap-siap.

Ting!

Nomor tadi mengirimkan pesan setelah empat kali Vidio Call, tapi tidak kujawab.

[Hallo ... Cantikku, kenapa kamu enggak jawab teleponku?] 

Aku tentu saja kaget ada yang mengirim pesan begini ke nomor ibu. Siapa dia?

[Rupanya kmu sudah mulai bermain-main denganku, ya, Cantik.] 

Aku bingung hendak membalas apa. Kalau benar itu nomor teman ibu sepertinya tidak mungkin karena teman-teman ibu sudah mengucapkan bela sungkawa di  beberapa WAG.

[Dandan yang cantik, aku akan jemput kamu nanti jam 3 sore. Pakai baju yang aku kirim kemarin.] 

Kurasa sangat aneh nomor ini, apa dia sedang nge-prank atau memang benar-benar kenal ibu. Aku tidak berani membalas pesan itu sekarang takut kesalahan.

Aku mondar-mandir seperti gosokan memikirkan pesan masuk barusan. Kuklik info profilnya tidak tampak apa pun, foto pun tidak ada. 

Baju yang dikirim kemarin, maksudnya apa ya? Kemarin tidak ada kurir ke sini apa lagi kami masih dalam keadaan berdukacita.

Aku lari keluar hingga menabrak nenek yang berjalan menuju kamarku. Nenek sudah siap dengan pakaian salatnya. Pasti nenek mau mengajakku berjamaah.

“Ya Allah, Alya! Bikin Nenek kaget aja. Ada apa kok lari-lari gitu? Sudah mau Zuhur ayo, kita jama’ah!” ajak nenek.

“Iya, Nek. Maaf ... aku enggak lihat Nenek karena buru-buru mau ambil paket. Bentar ya, Nek.” Tanpa mendengar jawaban nenek aku gegas lari ke pos satpam. Barang kali kemarin paket ditaruh sana.

“Pak, ada paket untuk Ibu, enggak?” tanyaku tergesa-gesa. Pak Mulyadi tampak berpikir sejenak lalu menggelengkan kepala.

“Enggak ada, Non. Kemarin Bapak sibuk jadi enggak tahu,” jawabnya sambil mengingat-ingat.

“Ya, sudah . Makasih, Pak!” Aku lari ke luar rumah sekarang tujuanku rumah Pak RT dan Tante Halimah semoga paket itu ada di sana.

Nihil di dua rumah yang biasa dititipi paket pun tidak ada. Apa pengirim pesan tadi hanya iseng saja?

“Mbak Alya!” teriak Bude Siti penjual pecel depan rumahku. Beliau melambai-lambaikan tangannya menyuruhku ke sana. Azan Zuhur sudah terdengar jika aku tidak cepat kembali pasti ayah akan mencariku, tapi aku pun tidak enak hati jika dipanggil orang tidak menyahut ataupun menghampiri.

Aku lari ke pondokan pecel Bude Siti. 

“Ada apa, Bude?” tanyaku ngos-ngosan.

“Lah, Mbak kenapa lari-lari segala si, jadi ngos-ngosan gitu, kan?” tegur Bude Siti.

“Buru-buru, Bude. Sudah azan Zuhur takut dicari Ayah,” jawabku.

“Oh, buru-buru ya, ini Bude Cuma mau ngasih paket. Kemarin pas ibunya Mbak Alya meninggal ada kurir mau kirim paket, karena bingung akhirnya dititip di warung Bude sama si Ocha.”

 Anak Bude Siti Ocha seumuran dengan Aldi memberikan paket itu padaku. Setelah mengucapkan terima kasih aku langsung lari pulang.

Beruntung nenek dan yang lain sudah ada di ruang salat jadi tidak tahu kalau aku baru pulang.

 Kukunci pintu dan segera membuka paket ini.

Meski aku masih ABG, tapi aku tahu banget ini baju lingerie yang banyak dijual di olshop.

Astagfirullah! Ini baju untuk ibu, karena ada pesan romantis di atasnya bungkusnya.

*Besok dipakai ya, Sayang? Aku sudah tidak sabar melihatmu memakai ini.

Bersambung ....

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ruqi Ruqiyah
Haaaaahhhhh.....lanjuttttt
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status