Share

BAB 7 Berkas Rahasia.

Sekolah pun aku tidak fokus sampai ditegur guru beberapa kali bahkan mapel olahraga kepalaku sampai kena bola voli. 

Foto-foto itu, baju lingerie, dan juga pesan-pesan mesra itu masih terngiang memenuhi pikiranku. Apa yang harus aku lakukan. Aku bingung sekali.

Aku mendapati kamar ibu sedikit terbuka padahal tadi sewaktu berangkat sekolah aku ingat betul sudah terkunci dan kuncinya pun masih ada padaku.

Nenek dan Tante Eni masih di dapur, Aldi belum pulang. Kalau bukan ayah berarti keluarga ayah yang memaksa masuk.

Kuintip ke dalam benar saja ayah sedang mencari sesuatu di lemari ibu. Baju ibu berserakan semua. Rak-rak buku perpustakaan mini ibu pun sangat berantakan semua buku jatuh berserakan di lantai.

“Ayah?” panggilanku tidak terdengar hingga aku harus mencolek bahunya.

“Yah, Ayah?”

“Ya Tuhan! Alya! Bikin kaget saja,” teriak ayah beliau terlonjak kaget.

“Ayah sedang cari apa? Kenapa kamar Ibu jadi berantakan begini?” tanyaku penasaran.

“Ayah mencari berkas yang dibutuhkan di kantor Al,” jawab ayah singkat tangannya kembali sibuk membongkar lemari menjatuhkan segala isinya.

“Apa itu Ayah? Barangkali aku bisa bantu cari,” tanyaku lagi.

“Itu berkas, surat perjanjian, Eh. Bukan apa-apa, Al. Kamu ganti baju lalu makan siang ya. Enggak usah bantu Ayah,” ucap ayah sambil mendorongku ke luar kamar ibu.

Aku menurut saja dari pada ayah jadi curiga padaku karena aku terlalu kepo.

Di dalam kamar aku memikirkannya ucapan ayah, berkas dan surat perjanjian? Dari kemarin aku membongkar lemari ibu tidak mendapati surat yang dimaksud oleh ayah. Jika benar ibu menyimpannya di mana ya, aku harus menemukan surat itu juga sebelum ayah yang menemukannya terlebih dahulu.

Kubuka koperku yang masih baru, aku menyimpan HP ibu di sini dan sudah kumatikan. Paket lingerie, foto-foto itu dan test pack yang ditemukan Aldi.

Orang tidak akan menyangka aku menyimpan di sini, meski begitu aku tahu ini juga tidak aman aku harus segera memindahkannya. 

Tok! Tok!

“Boleh Ayah masuk?” Aku kaget segera

 kubereskan dan kusimpan kembali koper baruku ini di atas lemari.

“Ada apa, Yah? Aku lagi ganti baju?” jawabku bohong. Kusembulkan kepala keluar pintu agar ayah hanya bisa melihat kepala saja.

“Em ... itu Nak ....”

“Apa, Yah?” Aku sengaja memotong ucapan ayah agar beliau semakin  gugup.

“Itu ... apa kamu lihat HP, Ibu?” tanyanya gugup.

“Enggk, Yah. Memang HP-nya Ibu di mana?” jawabku balik bertanya. Ayah terlihat semakin gusar. Aku semakin yakin ada yang ayah sembunyikan.

“Kali aja kamu tahu, Nak. Ayah mau mau ngecek saja.”

“Sudah Ayah coba telepon?” tanyaku basa-basi.

“Sudah, tapi tidak aktif,” jawab ayah lesu.

“Ya, udah tanya sama Nenek ataupun Tante Eni. Aku mau salat Zuhur dulu,” kataku langsung kututup pintu dan menguncinya.

Kuyakin ayah sedang mencari sesuatu dan itu adalah hal penting yang sengaja disembunyikan dariku.

Aku putuskan untuk memberi tahu orang yang benar-benar aku percaya, tapi siapa? Nenek tidak mungkin dia akan lemah, dan tidak bisa gerak cepat. Tante Eni tidak mungkin juga, semasa hidupnya ibu aku ingat sekali Tante Eni ingin punya barang-barang sama dengan punya ibu, mirip anak kecil yang selalu iri melihat mainan saudaranya. Ibu pun sering mengalah untuk Tante Eni.

Tante Devi tidak mungkin juga beliau sangat benci pada ibu. Oma dan opa meski sering kali bersikap ketus, tapi mereka care dan sayang pada ibu. 

Aku makan siang sendiri, ayah masih di kamar ibu membongkar lemari ibu, nenek dan Tante Eni masih ngobrol dengan rombongan opa di dekat kolam renang.

Kuperhatikan mereka sangat akrab padahal yang aku tahu mereka tidak saling suka dan saling menjelekkan di belakang. Oh, sebegitu repotkah dunia orang dewasa hingga hingga mereka harus bermuka dua.

“Mbok, tahu enggak apa yang dicari Ayah? Itu kamar ibu jadi berantakan,” tanyaku pada si Mbok yang sedang sibuk melayaniku.

“Enggak tahu Non, tadi bilangnya berkas map merah, berkas kantor. Minta tolong carikan si Mbok, tapi enggak ketemu,” jawab Mbok, dari mimik mukanya terlihat jujur.

“Ya, sudah, biar aku aja nanti yang bantu Ayah cari,” ujarku. Mbok lalu undur diri dan berganti melayani keluarga ayah.

Map merah rasanya aku pernah lihat, tapi di mana ya? Untung si mbok kasih cluenya jadi aku bisa tahu berkas seperti apa yang ayah cari.

Selama ini ibu tidak pernah mau tahu urusan kantor dan juga tidak pernah disibukkan dengan urusan kantor, Lalu kenapa ayah menitipkan map penting pada ibu. Menurutku aneh, kalau memang benar itu map penting perusahaan pasti ibu memberi tahu ditaruh di mana.

“Woi! Makan apa bengong?” tegur Nindi. Aku malas jika bersama Nindi. Kubiarkan saja lalu cepat kulahap habis makananku.

“Kulitmu halus plus glowing banget sih, Al. Rambutmu juga lembut. Perawatan di mana? Ajak aku, dong?” ujarnya mencoba berakrab ria denganku. 

Aku mencebik kesal apa dia ini enggak punya otak? Ibuku baru saja meninggal dua hari yang lalu. Lah, kok malah ngajak aku ke salon. Benar-benar tidak punya rasa simpati sama sekali. Palsu mereka pedulinya hanya palsu.

“Kok diem aja si, Al? Apa kamu takut kecantikan kamu itu akan tersaingi jika aku ikut perawatan di salon tempat kamu biasa perawatan?” ucapnya lagi. Lihatlah masih remaja sudah memikirkan hal-hal yang tidak penting.

“Enggak penting banget sih.” Kutinggalkan Nindi lebih baik aku fokus pada masalahku.

"Huh, dasar sombong!" gerutu Nindi.

“Al?” panggil ayah.

“Iya, Yah, ada apa?”

“Em ... itu, kamu beneran enggak tahu HP Ibu?” tanya ayah lagi.

“Kalau aku tahu sudah pasti kukasihkan ke Ayah. Memang ada apa sih, Yah? Kayaknya urgent banget?” tanyaku penuh selidik. Ayah langsung salah tingkah.

“Eng—gak ada apa-apa si, Ayah hanya rindu,” jawabnya terbata.

“Rindu?” cecarku lagi. Ayah kikuk salah tingkah.

 Aku tahu betul kebusukan ayah. Bagaimana bisa rindu sedang selagi masih hidup saja ayah berani berkhianat.

“Kalau ... sudah tiada baru terasa, bahwa kehadirannya sungguh berharga ....” kubersenandung meninggalkan ayah yang terbengong.

“Nanti kalau aku nemuin HP Ibu pasti kukasih tahu ke Ayah,” ucapku sedikit berteriak sebelum masuk ke kamar.

Kubuka akun sosmedku. Sementara aku tidak berani buka sosmed ibu dulu takut ketahuan ayah. Kukepoin akun bernama AninAnin yang kirim foto senonoh ke messenger ibu.

 Sudah ada upload foto terbaru, foto tangan bergenggaman. Aku paham itu tangan ayah karena jam tangan yang dipakai ayah adalah jam yang aku belikan.

[Bahagia selamanya, tidak akan ada yang memisahkan kita] tulisannya. 

Ck, seperti ABG saja. Norak. Kulihat foto-fotonya masih muda, tapi masih cantik ibu,  kalah jauh dengan ibuku memang betul yang haram itu selalu terlihat bagus. Miris selera ayah rendahan sekali. Ups!

🌸🌸🌸

Malam ini tahlilan hari ke tiga ibuku meninggal. Aku khusuk mengikuti rangkaian acara. Aku tadi sampai menangis saat ustaz ceramah tentang pengorbanan seorang ibu dan seorang istri.

 Dadaku sesak mendengar ceramah beliau. Mengingat semua kenangan bersama ibu dan ingat saat-saat terakhir ibu.

“Ibu kenalin ini Anin, rekan kerjaku dan juga Tari,” ucap ayah. Aku yang sedang menikmati nasi kotak bersama Aldi pun langsung susah menelan.

Berani-beraninya ayah membawa perempuan luknut itu ke sini? Apa dia akan segera menggantikan posisi ibuku. Kenapa ayah bilang dia kawan ibu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status