Share

4

Author: Anik Safitri
last update Huling Na-update: 2024-07-06 17:11:59

"Enak saja. Memangnya rumah saya itu penampungna gratis begitu?"jawab Tante Mira sembari bersungut.

Namun tiba-tiba ibu tertawa yang membuatku bingung. Aku menoleh ke arahnya.

"Kamu sedang prank kami kan Mir? Kamu sedang mengerjai kami kan? Mana kamera tersembunyi itu?"tanya ibu dengan celingukan.

Dan sekrang giliran Tante Mira yang tertawa.

"Mbak sudah gila ya karena miskin?"tanyanya penuh remeh.

Aku bahkan tidak menyangka ibu akan berkata seperti itu. Ya aku tau karena harapan ibu yang begitu besar kepada Tante Mira untuk menolong kami. 

Memang kecewa yang paling besar adalah ketika kita berharap pada manusia.

"Aku serius. Aku tidak bisa menampung kalian di rumah ku. Kita sudah beda level,"

Aku dan ibu tentu tidak percaya bahwa Tante Mira akan seketus ini. Padahal dulu beliau adalah saudara ibu yang paling dekat. Yang selalu bersikap manis. Apalagi dengan jarak tempat tinggal kami yang berbeda negara tentu menjadi rindu tersendiri saat Tante Mira dan keluarganya pulang ke tanah air.

"Aku kesini hanya untuk menyampaikan ini,". Tante Mita menyodorkan sebuah amplop coklat yang berlambang sebuah pengadilan agama. Ya aku tau. Pasti itu surat gugatan cerai dari Tari untuk ku.

"Kenapa surat ini justru sampai di tangan tante?"tanyaku heran. Alamat rumah kami lumayan jauh. Setidaknya surat ini mungkin disampaikan ke Tante Rina selaku saudara yang rumahnya paling dekat dengan rumahku dulu.

Tante Mira salah tingkah.

"Sudahlah Zaki. Kamu jangan banyak tanya. Intinya aku masih berbaik hati menyerahkan surat ini kepadamu," jawabnya masih bersungut. Sifat manisnya hilang saat kami jatuh miskin.

Sementara ibu masih mengatur nafas. Pasti beliau kaget dengan apa yang di dengar dari Tante Mira. 

Aku pun juga sebenarnya terkejut. Tetapi aku mencoba berkaca dari Tante Rina. Yang bahkan juga tak perduli dan membiarkan kami tinggal di kontrakan.

Tidak sampai disitu, entah sengaja atau tidak. Tante Mira yang dulunya tidak pernah meninggikan suara, kini mengencangkan suaranya hingga penghuni kontrakan yang kebetulan ada diluar menolehkan pandang ke arah kami.  Malu.

"Kalau kamu tidak memberi kami tumpangan, maka biarkan Zaki bekerja di perusahaanmu, Mir. Dia sarjana. Berpengalaman. Setelah itu biar kami mencari hunian yang lebih layak,"kata ibu masih mencoba setenang mungkin dan melirihkan volume suara nya agar tidak di dengar khalayak ramai.

Tante Mira melengos ke arah lain. Wajahnya sungguh tidak bersahabat. Sesaat kemudian ia juga mendengkus kesal.

"Mbak, Zaki memang sarjana. Tetapi ia hnya S1 di universitas dalam negeri. Sementara banyak yang melamar di perusahaanku dengan kualitas pendidikan yang lebih bagus, rata-rata mereka ada yang S2 dan S3 lulusan universitas ternama dari luar negeri juga umur yang jauh lebih muda daripada Zaki. Aku butuh personal seperti itu. Lebih energik,"jelas Tante Mira lagi dengan penekanan di setiap katanya.

"Kalau tidak boleh tidak apa-apa tante. Tapi tidak usah menghina pendidikan saya,"jawabku kesal.

"Semenjak jatuh miskin, kamu memang menjadi sensitif ya Ki. Pesan saya, kamu jangan terlena dengan setinggi apapun jabatan di perusahan tempatmu bekerja. Karena kamu tetaplah buruh yang suatu saat bisa saja dipecat dari kerjamu. Tapi yang benar itu jadilah pengusaha. Menciptakan lapangan pekerjaan untuk orang lain. Seperti Sean. Ah aku lupa, bahwa kualitas pendidikan mu dan Sean sangtla berbeda jauh. Sedari dulu anak ku-Sean memang menjadi unggulan dan .."

"Cukup Mir. Percuma kamu membanggakan anakmu yang bisa menciptakan lapangan pekerjaan untuk orang lain. Tetapi tidak bisa memberi sepupunya sendiri pekerjaan,"gerutu ibu. 

Namun fikiranku tiba-tiba teringat Hasna di masa silam yang selalu memintaku untuk membuka usaha. Dengan gajiku yang fantastis, seharusnya itu menjadi perkara mudah untuk ku. Apapun itu. Entah restoran atau rumah makan kecil. Setidaknya masih ada rupiah yang mengalir jika terjadi sesutu yang tidak di inginkan. Begitulah kata Hasna dulu.

Namun lagi-lagi aku menolaknya mentah-mentah. Untuk apa. Gajiku besar. Jabatanku tinggi. Bagiku suatu hal yang mustahil untuk aku dipecat dari perusahaan. 

Dan keangkuhanku kini terbayar. Seorang CEO perusahaan yang baru mendadak merombak sebagian besar aturan perusahaan. Dia benar-benar menyaring mana karyawan yang berkualitas dan tidak. Hingga pada suatu hari, PHK masal itu terjadi. Dan aku salah satunya.

Ibu berlari masuk ke dalam. Bisa ku pastikan beliau akan sedih. Diperlakukan tak enak hati bahkan oleh adik kandungnya sendiri.

"Tuh kan. Jadi sensitif,"

"Sudahlah tante. Silahkan pergi daripada ibu semakin sakit hati,"

Tante Mira tertawa kecil.

"Zaki-Zaki. Kamu miskin saja masih sombong ya. Saya juga tidak betah lama-lama di kontrakan sempit seperti ini,"jawab Tante Mira sembari bergidik.

Aku tidak menyahut. Yang ada hanya debat diantara kami yang tidak kunjung selesai.

Ekor mataku menangkap saat Hasna memperhatikan. Namun dia secepat kilat menatap ke arah lain saat aku bergantian menatapnya.

Aku pasrah. Jika dalam hatinya saat ini Hana justru menertawakanku. 

Tiba-tiba ia bangkit berdiri. Dengan sengaja aku masih berada di teras meskipun menahan malu. Ku kira Hasna ingin menghampiriku untuk mengucapkan belasungkawa atas kemiskinanku mungkin. 

Dugaanku salah. Ia justru menuju kontrakan Anwar. Dan aku yang sakit hati juga kecewa memilih untuk masuk kembali ke dalam rumah saja, membawa serta barang-barang yang sudah dipacking. Mungkin ia mencari teman untuk membicarakanku. 

Ibu duduk di atas kasur sembari diam. Di tanganya menggenggam sebuah foto masa kecilnya dengan saudara-saudara kandungnya. Wajar jika beliau terpukul. Tetapi tidak ada air mata ataupun sisanya yang ku lihat keluar dari netra ibu.

Sepantang itu ibu untuk menangis.

"Sudahlah bu. Memang begitu hukum Alam. Disaat kita miskin, saudara pun tidak mau mengakui kita. Berbeda jika kita kaya. Orang lain pun pasti mengaku menjadi saudara,"

Masih tidak ada sahutan yang keluar dari mulut ibu. Terkadang memang luka yang besar diciptakan oleh orang yang paling dekat yang kita fikir tidak akan pernah melukai.

Mengerti akan kondisi ibu, aku mengembalikan barang-barang yang sudah dipacking seorang diri. Tanpa meminta ibu untuk membantu.

Tiba-tiba pintu kontrakan diketuk oleh seseorang

"Ki, jangan-jangan Tante Mira berubah pikiran,"ucap ibu tiba-tiba.

"Bu,"panggilku agar beliau tidak terlalu berharap.

Dengan langkah gontai, aku membuka pintu. Anwar sudah berdiri di depanya. Ada sedikit rasa kesal. Mengingat Hasna yang tadi ku pikir menghampiriku justru ia menghampiri Anwar.

"Ada apa War?"

"Punten Mas Zaki. Apa Mas Zaki membutuhkan pekerjaan?"tanyanya dengan hati-htai.

Aku mengangguk.

"Mau tidak Anwar bantu carikan?"

"Memangnya ada?"

"Kalau Mas Zaki mau, besok bisa saya antar ke rumah Pak Haji,"

Aku mengernyitkan dahi. Menyipitkan mata.

"Iya. Pak Haji yang punya. Lumayan besar lah usahanya Mas Zaki. Kalau sekedar untuk makan sama bayar kontrakan, insya Allah gajinya cukup,"

Sejenak aku diam. Hati kecilku memaksa untuk menerima tawaran Anwar. Daripada aku menunggu panggilan dari perusahaan-perusahaan besar tetapi nihil belum ada panggilan sama sekali, lebih baik menerima tawaran Anwar saja. Toh aku dan ibu juga butuh makan sementara uang tabungan semakin menipis.

"Baik. Saya bersedia,"

"Jam Tujuh ya Mas Zaki,"

Aku mengangguk dan Anwar berpamit pulang.

Ada sedikit rasa lega dalam hti. Seolah kekecewaanku pada Tante Mira sedikit terbayarkan

'Jarak antara kesedihan dan kebahagiaan itu hanya seujung rambut. Tipis sekali,'

Lagi-lagi aku teringat akan semua kalimat Hasna dulu. Walaupun berpendidikan rndah nyatanya Hasna bijak sekali. Dan kini aku sadar, setingggi apapun pendidikan seseorang tidak bisa menjamin sebuah akhlak yang baik.

*

Keesokan harinya aku bersemangat sekali untuk bangun. Ya karena aku setidaknya akan mendapat pekerjaan setelah hampir enam bulan menganggur.

Benar saja, Anwar sudah menungguku di teras.

"Duh Mas Zaki. Rapi amat. Santai saja. Pak Haji orangnya baik kok."kata Anwar mengomentari penampilanku yang memakai setelah hitam putih dengan tas besar juga beberapa berkas lamaran yang aku bawa di tangan.

"Ah tidak apa-apa. Namanya melamar pekerjaan. Sebaik apapun yang punya bukanah kita wajib menghormatibdan menghargai walaupun hanya lewat penampilan? Mungkin itu akan menjadi poin plus juga untuk kita,"

"Ah Anwar tidak paham. Terserah Mas Zaki saja,"

Lalu Anwar mengajak ku untuk berboncengan dengan montor bututnya meninggalkan kontrakan ini. Montor masuk di jalan perkampungan. Lalu berhenti disebuah bangunan dengan pagar menjulang tinggi.

"Mungkin usahnya begitu besar,'. Begitulah fikiranku.

Namun siapa sangka saat Anwar mengajak ku masuk ke dalam ternyata...

***

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • KARMA SANG MANTAN ISTRI    51

    Hujan deras yang mengguyur sejak sore masih belum juga reda. Suara petir bersahutan, seolah mencerminkan suasana hati yang tengah kalut di rumah kontrakan kecil itu. Zaki duduk di teras dengan secangkir teh yang sudah mendingin di tangannya, sementara pikirannya berkelana jauh. Ia menatap lurus ke depan, tapi matanya kosong. Di sampingnya, Fatihah duduk diam, memeluk lutut, wajahnya menegang.“Kamu kenapa diam saja?” tanya Zaki pelan, memecah keheningan.Fatihah tidak langsung menjawab. Ia hanya menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Aku lelah, Zaki. Lelah dengan semua ini. Kenapa aku selalu merasa kita ini berada di bawah bayang-bayang Hasna?”Zaki menoleh, menatap istrinya dengan penuh kelembutan. “Tidak ada bayang-bayang siapa pun, Fatihah. Ini hanya perasaanmu saja. Hasna sudah membantu kita, itu karena dia tulus, bukan karena ingin menunjukkan bahwa dia lebih baik dari kita.”“Tapi aku merasa kalah,” gumam Fatihah lirih. “Kamu tidak pernah membelaku. Setiap kali ada ma

  • KARMA SANG MANTAN ISTRI    50

    Malam itu, hujan deras mengguyur, menyisakan genangan air di jalan-jalan kecil sekitar rumah kontrakan Zaki dan Fatihah. Suasana mencekam seiring petir yang bersahutan. Zaki pulang dengan langkah tergesa, tubuhnya basah kuyup. Di tangannya tergenggam sebuah payung yang tampak tak mampu melindunginya sepenuhnya.Ketika membuka pintu, ia menemukan Fatihah duduk di ruang tamu dengan wajah masam. Di meja, secangkir teh yang sudah dingin tak tersentuh. Tanpa menunggu Zaki berbicara, Fatihah langsung menyambutnya dengan nada sinis."Kamu dari mana? Malam-malam begini baru pulang, pasti ada urusan yang nggak penting," katanya dengan tatapan tajam.Zaki hanya terdiam, menahan napasnya sebelum akhirnya mengucapkan, "Aku baru saja dari luar mencari jalan keluar.""Jalan keluar apa? Kita baik-baik saja, Zaki. Kamu saja yang terlalu banyak khawatir!" Fatihah bersikeras.Zaki menghela napas panjang. "Fatihah, aku tidak mau masalah ini semakin besar. Sikapmu ke Hasna tadi pagi itu tidak benar. Dia

  • KARMA SANG MANTAN ISTRI    49

    Fatihah berdiri di depan pintu rumah dengan semangat yang menggebu-gebu. Setelah beberapa hari perencanaan dan persiapan, hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu. Ia akan pindah ke rumah kontrakan yang baru, jauh dari tekanan dan masalah yang selama ini mengganggu hidupnya bersama Bu Ratih. Dengan langkah mantap, ia memasuki rumah dan mencari Bu Ratih untuk berpamitan.Di dalam rumah, Bu Ratih sedang duduk di ruang tamu, membaca koran pagi. Ketika melihat Fatihah masuk dengan wajah ceria, ia mengangkat alisnya dan tersenyum tipis.“Fatihah, ada apa? Kamu tampak sangat bersemangat hari ini?” tanya Bu Ratih yang seolah melupakan perdebatannya dengan Fatihah tempo hari.Fatihah mendekati Bu Ratih dengan penuh keyakinan. “Bu, aku ingin memberitahukan bahwa Zaki dan aku memutuskan untuk mengontrak rumah sendiri. Kami sudah menemukan tempat yang cocok dan akan segera pindah.”Bu Ratih terkejut mendengar berita itu. “Mengontrak rumah? Ibu minta maaf jika kamu tidak nyaman disini.”Fatihah

  • KARMA SANG MANTAN ISTRI    48

    Fatihah melangkah dengan cepat, meninggalkan rumah dengan perasaan campur aduk. Langkahnya membawa dia ke rumah orang tuanya yang tidak terlalu jauh dari sana. Setibanya di rumah, Fatihah langsung disambut oleh ibunya, Bu Siti, yang terkejut melihat putrinya datang dengan wajah yang penuh air mata.“Fatihah, ada apa ini? Kenapa kamu menangis?” tanya sang ibu dengan cemas, memeluk putrinya erat-erat.Fatihah hanya bisa menangis tanpa bisa menjelaskan apa yang terjadi. Ia merasa kelelahan secara emosional setelah pertengkaran hebat dengan Bu Ratih. Ibunya mengelus punggungnya dengan lembut, mencoba menenangkan.“Sudah, nak, ceritakan pada Ibu apa yang terjadi. Kenapa kamu tiba-tiba datang seperti ini?” tanya ibu Fatihah dengan lembut.Fatihah menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kata-kata.Ibu, aku tidak kuat lagi tinggal di rumah Bu Ratih. Aku selalu dibandingkan dengan Hasna, dan itu membuatku merasa tidak berharga. Aku merasa tidak dihargai sebagai istri Zaki.”Bu Siti menger

  • KARMA SANG MANTAN ISTRI    47

    Fatihah berjalan pulang dari pasar dengan langkah berat, pikirannya dipenuhi oleh pertemuan tak terduga dengan Hasna. Ia merasa perasaannya campur aduk, antara marah, cemburu, dan kesal. Selalu saja Hasna muncul di saat-saat yang tidak tepat, seolah-olah mengingatkan Fatihah tentang semua kekurangannya. Meskipun Hasna terlihat tulus dan ramah, Fatihah tidak bisa menahan perasaan sinis yang membuncah di dalam hatinya.Di sisi lain, Hasna merasa bingung dengan sikap dingin dan sinis Fatihah. Sebelum ini, hubungan mereka baik-baik saja, bahkan sempat akrab walau Fatihah tau bahwa HAsna adalah mantan istri Zaki. Hasna merenung sambil duduk di kursi favoritnya di rumah. Ia mencoba mengingat apakah ada sesuatu yang pernah ia lakukan hingga membuat Fatihah berubah seperti itu. Hasna merasa ada yang tidak beres, dan ia berniat untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.Setelah beberapa hari berlalu, Hasna memutuskan untuk mengunjungi rumah Fatihah. Ia berharap kunjungannya bisa membantu

  • KARMA SANG MANTAN ISTRI    46

    Zaki hanya terdiam mendengarkan permintaan sang istri. Ia tidak bisa memberikan keputusan secara langsung. Hatinya seolah tengah ada di persimpangan dilemma. Sementara Fatihah, meskipun hari sudah larut malam, matanya masih saja terjaga hingga dini hari. Semua masalah seolah olah tengah berputar putar dalam otaknya. Ia terbangun pagi itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Hari-hari yang dihabiskannya bersama Bu Ratih di rumah terasa semakin berat. Ia menghargai kebaikan Bu Ratih, tetapi kata-kata yang sering keluar dari mulut ibu mertuanya itu kadang sangat menyakitkan. Setelah mandi dan bersiap, Fatihah turun ke dapur dengan tekad yang sudah bulat di hatinya.“Pagi, Bu,” sapa Fatihah dengan suara ceria yang dipaksakan.“Pagi, Fatihah,” jawab Bu Ratih sambil menyeruput teh hangatnya. Ada keheningan sejenak sebelum Bu Ratih akhirnya membuka percakapan yang membuat suasana menjadi tegang. “Ibu tadi bertemu Hasna. Auranya benar benar keluar terpancar. Apalagi saat hamil ini.”Fatihah m

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status