Share

100 Juta

Herman dan bu Ratih, mengobrak-abrik seisi kamar dan ditempat lain. Hasilnya nihil tidak menemukan perhiasan, Mia.

"Mia,dimana kamu letakan perhiasan itu?" Bentak Herman,menarik lengan istrinya yang tengah mengobati luka di bagian keningnya.

"Sudah aku bilang,mas! Aku tidak memiliki perhiasan emas, jikapun ada memilikinya. Aku tidak akan pernah meminjam kepada ibumu,yang tukang bohong!". Mia,membalas bentakan suaminya itu.

Herman, ingin menampar wajah istrinya lagi. Namun di urungkan niatnya, berusaha mengontrol dirinya. "Aku melihat mu Mia, pernah memegang perhiasan emas itu dan kami simpan di dalam kotak kecil. Kalai tidak ada perhiasan itu,kau kemana kan?"

Deg!

Rupanya suaminya sendiri memberitahu kepada ibunya,jika Mia memiliki perhiasan emas. "Terserah aku mas, Itukan perhiasan ku dan kamu tidak berhak atas hakku". Mia, langsung menepis tangan suaminya. Sudah pasti ingin mencekram kuat lagi, jangan harap Mia mengalah terus-terusan.

"Menantu durhaka kamu Mia, sudah berani sama suami dan mertua. Dasar wanita laknat kamu,pelit sama suami dan mertua sendiri". Sahut bu Ratih, mendelik tajam ke arah menantunya.

"Terserah ibu dan mas Herman ngomong apa. Aku tidak peduli sama sekali,jangan harap aku terus-menerus mengalah". Tegas Mia, dengan tatapan tajam.

"Herman, istrimu sudah kurang ajar sekali dan jangan kasih dia uang. Istri macam dia, harus diberi pelajaran setimpal". Bu Ratih, mencoba mempengaruhi pikiran anaknya.

"Benar bu,ayo biar aku mengantar ibu pulang". Akhirnya Herman, membawa ibunya pergi dari rumah Mia.

Mia,menghela nafas lega melihat mereka pergi dari rumah ini. Rumah peninggalan kedua orangtuanya,harta satu-satunya yang dipunya.

Herman, meninggalkan perkarangan rumah sang istri membawa ibunya pulang ke rumah.

"Sudah ibu katakan kepadamu, Herman. Jangan memanjakan istrimu berlebihan, contohnya mbak Adel. Lingga, tidak pernah memanjakan Adel dan memberikan uang secukupnya. Beruntung Lingga, kakakmu menikah dengan wanita karir dan bisa bekerja mencari uang sendiri. Apa-apa dirumah yang di kerjakan pembantu,ibu bisa santai menikmati masa muda. Kamu sih, tidak mau menurut perkataan ibu". Bu Ratih, lagi-lagi mempengaruhi pikiran Herman.

"Memang aku bu,yang tidak mengizinkan Mia bekerja. Setelah kecelakaan itu,aku jadi minder dekat-dekat sama dia. Kakinya pincang kalau jalan,malu kalau di ajak kemana-mana. Aku punya target bu, namanya Tesa kerja di perusahaan yang sama dengan ku. Tapi,dia tipe wanita cuek sama pria dan teman Mia juga". Ucap Herman, senyum-senyum sendiri ketika membayangkan wajah Tesa.

"Kamu lepaskan saja, Mia. Masih betah kamu memiliki istri yang pincang? Ibu,ogah punya mantu memiliki kekurangan seperti itu. Bikin malu Herman, teman-teman ibu bakalan membicarakan tentang Mia". Gerutu bu Ratih, khawatir teman-temannya mengejek jika dirinya memiliki menantu pincang.

"Yah... Untuk saat ini,aku tidak bisa melepaskan Mia. Nunggu waktunya yang tepat dong,bu". Kekehnya Herman, merindukan sesosok Mia yang sempurna di mata siapapun.

Herman, mematikan mesin mobilnya sudah sampai di rumah sang ibu. Jaraknya lumayan dekat, memerlukan 15 menit dan sampai.

Sebuah mobil putih terparkir di halaman rumah, pasti Lingga anak pertama bu Ratih datang dari luar kota.

Mata Herman, tertuju pada mobil kakaknya lecet-lecet seperti ada sesuatu yang menyerempetnya.

"Lingga,kamu gak bilang-bilang sama mau pulang". Bu Ratih, tersenyum sumringah melihat anak pertamanya datang. Dia lah seringkali mengirimkan uang dengan jumlah banyak, dibandingkan Herman anak keduanya.

Herman, merasakan sesuatu yang tidak beres melihat keadaan kakaknya sangat memperihatinkan sekali.

"Maaf, mendadak bu karena ada sesuatu yang aku bicarakan". Jawab Lingga, sudah lama bekerja di atas gunung pertambangan batubara.

Bu Ratih, menoleh ke arah menantunya nampak diam saja. "katakan saja nak,apa yang kamu bicarakan?".

"Begini bu,aku memerlukan uang senilai 100 juta atas kesalahan ku di tambang batubara dan menggantikan kerugian. Jadi,aku minta tolong kepada kalian untuk membantu ku. Pihak perusahaan tidak mau membantu karena kesalahanku". Ucap Lingga,mengusap wajahnya dengan kasar.

"Seratus juga!". Ucap bu Ratih dan Herman, bersamaan karena syok berat.

"Iya,selama ini aku sering kali memberikan uang kepada ibu. Sudah waktunya kalian membantu kesusahan ku ini, termasuk kamu Herman. Cuman kamu satu-satunya adikku yang sudah bekerja,kalau Dino masih sekolah". Lingga, melirik ke arah adiknya itu.

"Waduh...Uang seratus juta lumayan banyak,bang. Mana ada uang sebanyak itu,mana mungkin aku meminjam kepada atasanku". Herman, menggaruk-garuk pelipisnya karena kebingungan.

"Sama,aku mana bisa membantu karena orangtuaku sudah pensiun PNS. Uang pensiun cuman cukup kebutuhan sehari-hari mereka, tidak memiliki penghasilan tambahan lagi". Sahut Adel, melirik sekilas ke arah suaminya dan memberikan kode.

"Ibu, cuman punya sedikit perhiasan dan uang. Pastilah tidak cukup untuk membantu mu, Lingga". Bu Ratih,merasa tidak senang mendengar anaknya kesusahan uang.

"Ada satu-satunya cara mendapatkan uang 100 juta dengan cepat, Herman harus menggadaikan sertifikat rumah istrinya". Lingga, memandang wajah adiknya itu.

Glek!

Herman, mengusap wajahnya mendengar ucapan sang kakak. "Loh, kenapa harus menggadaikan sertifikat rumah istri ku?" Tanya Herman, menatap ke arah kakaknya.

"Mana mungkin kan,kita menjual rumah istri mu karena lama bakalan laku. kita gadaikan saja dengan rentenir di sini,kamu bisa mencicil perbulannya kalau tidak mau di usir". Kata Lingga,geram karena adiknya lelet.

"Kenapa aku yang membayar cicilannya? kan bang Lingga, menggadaikan sertifikat rumah istri ku". Herman, tidak setuju dengan ide sang kakak. seakan-akan dirinya di manfaatkan oleh, Lingga.

"Herman,kamu adalah adik kandungnya Lingga. apa kamu tidak kasian melihat dia seperti ini, sebagai adik sudah sewajarnya membantu saudara". Bu Ratih, langsung membela Lingga anak pertamanya itu.

"Mana mungkin juga, suamiku membayar cicilannya. Toh,banyak tanggungan aku dan anak kami. Biasanya ibu,minta uang sama mas Lingga". Sahut Adel, memasang wajah masam.

Herman, semakin heran dengan sikap kakaknya. seperti ada sesuatu yang tidak beres,namun apalah daya tidak bisa melawan. "Tapi, apakah Mia mau menuruti kemauan kita?".

"Kalau tidak mau, kita rampas kasar sertifikat rumah itu. Aku tengah memerlukan uang Herman, jangan sampai aku di pecat oleh perusahaan. Mau di beri makan apa istri dan anakku? Emangnya kamu menafkahi kita semua,ha?" Bentak Lingga, kesabarannya sudah habis menghadapi adiknya itu.

"Herman,ibu gak mau tau yah! kamu harus membantu abangmu,dia memerlukan uang demi menyelamatkan pekerjaannya. Kita akan ke sana ramai-ramai, merampas sertifikat rumah Mia". Bu Ratih, memaksa Herman mengambil hak istrinya itu.

"Aduh! Jangan lelet Herman,aku membutuhkan uang itu segera,aku tidak memiliki banyak waktu sekarang". Lingga, sudah melangkah kakinya keluar rumah.

Apakah mereka mendapatkan sertifikat rumah, Mia? Bagaimana nasib Mia, menyelamatkan harta peninggalan orangtuanya?.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status