"Keluar kamu, Mia! Aku ingin berbicara dengan mu, keluar! Mia,keluar atau aku dobrak pintu ini!". Herman, menggedor-gedor pintu kamar sebelah yang di tempati istrinya.
Pagi-pagi buta sekali, Mia menyelesaikan pekerjaan rumah agar suaminya tidak marah-marah lagi. Selesai memasak makanan untuk sarapan pagi,dia langsung mengurung diri di kamar. Tidak ingin bertemu dengan suaminya itu,masih sakit hati karena perilakunya tadi malam."Mia,keluar kamu! Mia!". Teriak Herman, berkali-kali dan menggedor-gedor pintu kamar.Ceklekk....Mia,membuka pintu kamar dan melihat suaminya sudah berpakaian rapi.Herman, langsung menyeret paksa istrinya keluar dari kamar. Lagi-lagi Mia, mendapatkan kekerasan dari suaminya sendiri."Lepaskan,mas! Tidak bisakah kamu pelan-pelan,kakiku masih sakit dan kamu memperlakukan aku seperti ini. Tidak puaskah tadi malam, menampar wajahku sampai bengkak seperti ini. Asalkan kamu tau mas,aku tidak berbohong kepada mu dan ibumu memfitnah ku". Ucap Mia, matanya berembun ingin menangis sudah."Cukup! Aku tidak mau membahas masalah malam tadi,jangan seenaknya mengatai ibuku berbohong. Mana mungkin ibuku sendiri berbohong,lalu memfitnah menantunya sendiri. Jangan pernah memancing emosi ku, Mia!" Bentak Herman, berusaha mengontrol emosinya."Ck,aku harap kamu tidak menyesal mas. Kesabaranku ada batasnya mas,ingat itu". Ancam Mia, menyunggingkan senyumnya."Sudahlah, ngapain bahas masalah itu. Ibuku, pernah melihat mu menggunakan kalung dan gelang emas. Beliau mau meminjam sehari buat kondangan, berikan cepat!". Herman, mengulurkan tangannya ke depan sang istri.Mia, menyunggingkan senyumnya menggeleng pelan mana mau menuruti perkataan sang suami. "Tidak ada mas, meskipun ada jangan harap aku mau meminjamkannya. Sudah pasti ibumu, tidak akan mengembalikan barang ku".Plak!Lagi-lagi Mia, mendapatkan tamparan keras mendarat di pipinya. "Lancang sekali kamu, Mia! Beliau adalah ibuku,ibumu juga! Sudah sepatutnya menuruti kemauan beliau,jangan jadi istri durhaka kamu. Aku sudah cukup bersabar menghadapi sikap mu, Mia!". Teriak Herman, mencekram lengan istrinya."Lepas! Aku tidak sudi memberikan apapun kepada ibumu,puas! Tampar mas, tampar lagi biar kamu puas! Kamu sudah menyakiti hatiku, bahkan mentalku mas. Tidak bisakah kamu memikirkan perasaan ku sedikit saja, aku berusaha bersabar menghadapi sikap mu. Aku masih berduka atas Kehilangan anakku,mas dan kami seenaknya menyakitiku". Ucap Mia, begitu nyaring sambil menepuk dadanya sendiri. "Aku tidak perduli Mia, intinya berikan emas itu kepada ibuku. Kalau tidak mau,aku akan membiarkan ibuku mengobrak-abrik seisi rumah ini". Herman, tidak perduli dengan istrinya."Terserah kamu mas, lakukan apapun yang kamu suka. Aku sudah tak sanggup lagi,melawan kehendak mu yang terus-menerus merusak mentalku ini. Kau selalu menuruti kemauan ibumu, dibandingkan aku istrimu mas. Kemana suamiku dulu, selalu membela ku dan perhatian? Apakah kamu sudah bosan dengan ku,mas? Apa karena kekurangan ku ini, membuatmu berubah drastis". Mia, memandang lekat wajah suaminya dan menggenggam tangan suaminya itu.Herman, langsung menghempas tangan istrinya. "Aku berubah karena kamu, Mia. Sebagai istri tidak becus, kerjaannya menyusahkan saja".Herman, memalingkan wajahnya dan berlalu pergi keluar rumah.Mia, menghapus air matanya dan bergegas mengamankan barang berharganya itu.Mengambil kotak perhiasan emas, warisan orangtuanya sebelum meninggal dan sertifikat rumah ini.Dia langsung kepikiran untuk menguras isi ATM dan menyalin saldonya ke DNA saja. Sekarang tidak ada waktu untuk membuat ATM yang baru,dia harus bergerak cepat sebelum terlambat. Selesai dengan semuanya, Mia melanjutkan sarapan pagi sendirian. Sangat merindukan sosok suami nya, dulu sangat hangat kepadanya.Brakkk...Seseorang mengebrak pintu masuk begitu keras, Mia melonjak terkejut langsung menuju ke luar."Mia,mana perhiasan mu! Aku memerlukan perhiasan buat besok ke kondangan,aku tahu kamu berbohong". Ucap bu Ratih, mendekati menantunya itu."Mia, berikan perhiasan yang ibu minta. Kamu menantu yang baik untuk ibu, turuti perkataannya". Sahut Herman,baru masuk ke dalam rumah."Gak,aku tidak mau mas. Itu punyaku dari peninggalan ibu, tidak berhak untuk siapapun". Tolak Mia, tidak memperdulikan amarah suaminya itu."Menantu kurang ajar kamu,ha! Aku cuman meminjam Mia,bukan meminta perhiasanmu. Setelah selesai,akan aku kembalikan kepadamu lagi. Gelang dan kalung mu sangat besar, cocok buat ibu". Bu Ratih, bersikukuh ingin mengambil harta menantunya itu.Sialan, Mia tidak mau meminjamkan perhiasannya itu. Kalau berada di tanganku ini,jangan harap aku kembalikan kepadamu. Menantu durhaka sama mertua, tidak mau menuruti kemauanku.Batin bu Ratih, mengepalkan kedua tangannya."Aku tidak percaya bu,kemarin ibu meminjam uang 2 juta kepadaku. Katanya meminjam satu bulan, sudah 2 tahun tidak dikembalikan. Aku tidak percaya dengan ucapan,ibu!". Mia,tak kalah nyaringnya bersuara melawan ibu mertuanya."Mia! Kau tidak pantas meninggikan suaramu kepada ibuku, istri tak tau diri kamu!"Bentak Herman, mendekati istrinya dan mendorong Mia.Mia, terjatuh ke sofa tidak ke lantai. Dia berusaha menahan air matanya,tak sudi menangisi suaminya itu."Lihatlah, bagaimana istri mu membentak ibu? Dia memang seperti itu,ketika kamu tidak ada Herman. Hati ibu, benar-benar sakit memiliki menantu yang kasar kepada ibu". Bu Ratih, berekspresi sesedih mungkin."Kamu dengarkan, Mia? Ibuku sakit hati karena sikapmu yang kasar ini, sungguh tak punya hati kamu. Uang 2 juta yang ibu pinjam,kamu ungkit-ungkit juga dan sudah lama. Uang 2 juta sedikit Mia,kau tidak pantas menagihnya. Bahkan aku bisa memberikan ibuku,uang sebanyak 10 juta di depanmu tanpa menagihnya lagi". Herman, mencekram rambut istrinya itu. Mia, menahan rasa sakit di bagian kepalanya. "Kalau kamu sanggup memberikan ibumu sebanyak 10 juta,mas. Belikan lah perhiasan emas untuk ibumu, tidak perlu meminjam perhiasan ku itu. Kamu nya aja mas, tidak mau rugi dan tidak mau kehilangan uangmu kan? Norak kamu mas, membahagiakan ibumu menggunakan perhiasan istri yang bukan hakmu". Mia, menyunggingkan senyumnya melihat wajah sang suami gelisah gusar.Herman, melepaskan cengkraman rambut istrinya. "Bu,kita cari perhiasannya di dalam kamar atau di tempat lainnya. Aku yakin sekali bu, Mia menyimpan di suatu tempat"."Benar sekali,ibu akan membantu mu nak. Istri seperti dia,jangan biarkan menggunakan emas banyak-banyak. Takutnya kenapa-kenapa nanti,atau jangan-jangan menikmati sendirian tanpa kamu". Bu Ratih, melirik sekilas ke arah menantunya itu.Mia,ikutan menyusul mereka ke dalam kamar ingin melihat aksi suami dan mertuanya."Mas,kamu kenapa sih? Nekad seperti ini,demi ibumu mengambil perhiasan ku mas. Itu adalah warisan dari orangtuaku,kamu dan ibumu tidak berhak. Aku tidak terima di perlakukan seperti ini,aku tidak terima mas!". Teriak Mia,menarik lengan suaminya agar menjauh dari lemari pakaian.Bruukkkkk...Herman, langsung mendorong tubuh istrinya dan terbentur meja di kepala. Mia, merasakan kepalanya begitu sakit sekali."Herman,kita cari saja dan biarkan istri mu itu. Salah dirinya sendiri yang sudah menghalangi dirimu, abaikan saja jangan pedulikan dia". Kata bu Ratih , mencegah Herman menolong istrinya.Mia, berusaha bangkit dari duduknya. Melihat sang suami mengobrak-abrik kamar, mencari perhiasannya itu. Apakah suaminya mendapatkan perhiasan, Mia?.Herman dan bu Ratih, mengobrak-abrik seisi kamar dan ditempat lain. Hasilnya nihil tidak menemukan perhiasan, Mia."Mia,dimana kamu letakan perhiasan itu?" Bentak Herman,menarik lengan istrinya yang tengah mengobati luka di bagian keningnya."Sudah aku bilang,mas! Aku tidak memiliki perhiasan emas, jikapun ada memilikinya. Aku tidak akan pernah meminjam kepada ibumu,yang tukang bohong!". Mia,membalas bentakan suaminya itu.Herman, ingin menampar wajah istrinya lagi. Namun di urungkan niatnya, berusaha mengontrol dirinya. "Aku melihat mu Mia, pernah memegang perhiasan emas itu dan kami simpan di dalam kotak kecil. Kalai tidak ada perhiasan itu,kau kemana kan?" Deg!Rupanya suaminya sendiri memberitahu kepada ibunya,jika Mia memiliki perhiasan emas. "Terserah aku mas, Itukan perhiasan ku dan kamu tidak berhak atas hakku". Mia, langsung menepis tangan suaminya. Sudah pasti ingin mencekram kuat lagi, jangan harap Mia mengalah terus-terusan."Menantu durhaka kamu Mia, sudah berani sama s
Deg!Mia, terkejut melihat kedatangan suami,ibu mertua dan kakak iparnya itu. "Masuklah, ada yang kamu bicarakan dengan mu". Kata Herman, sambil menarik lengan istrinya."Ada apa sih,mas? Main tarik-tarik segala,aku bisa jalan sendiri tau". Sesekali Mia, menepis tangan suaminya itu. Pasti ada sesuatu yang tidak beres, bau-bau tidak enak ini. Apa lagi, wajah bang Lingga kusut amat."Kalau gak ditarik jalanmu itu,lamban kaya siput. Dasar pincang, sok belagu lagi". Gerutu ibu mertuanya, sungguh menyayat hati Mia."Masih betah punya istri pincang, memalukan sekali". Sambung Lingga, menyunggingkan senyumnya."Tidak perlu menghina kekurangan ku,bang. Aku seperti ini,demi menyelamatkan nyawa ibu.Nyatanya kalian seenaknya menghinaku,dasar tak punya hati". Ucap Mia, menahan air matanya."Mia,bisa diam gak? Ngomong ngelantur kemana-mana,dasar!". Bentak Herman, menarik lengan istrinya agar duduk di samping."Gak usah tarik-tarik mas,aku bisa sendiri. Sama kamu juga, gak punya hati". Lagi-lagi M
Mia, melayani sang suami sarapan pagi. Tidak ada perbincangan hangat di pagi ini, semenjak kakinya mengalami kecacatan. Herman, tidak memperdulikan istrinya dan memberikan perhatian seperti dulu.Air bening menetes di pipinya, segera mungkin di hapus. Mia, merindukan sesosok suaminya dulu. Begitu hangat kepadanya,penuh dengan kasih sayang dan cinta.Herman, mengeluarkan amplop coklat berisi uang untuk memberikan kepada sang istri. "Ini uang bulanan untukmu satu juta rupiah, sisanya untuk ku bayar cicilan dan ibu. Jangan boros-boros Mia,harus mengelola keuangan suami".Mia, menghela nafas beratnya."Istighfar mas, kamu kerasukan apa sih? Uang satu juta gak cukup buat sebulan, belum lagi bayar listrik dan keperluan lainnya. Kamu kelola saja sendiri,ogah megang uang cuman segitu". Mia, mengembalikan uang dari suaminya."Mia,jangan ngelunjak kamu! Benar kata ibu, mentang-mentang aku memanjakan mu dulu.Uang segitu gak cukup,kamu kira cari uang enak? Punya istri gak bersyukur banget sih,gak p
"Aarrrghh...Sakit mbak Adel, lepasin rambut ku!". Pekik Mia, meringis kesakitan karena rambutnya ditarik. Ya Allah,kenapa mereka menyiksa ku seperti ini? Siapapun tolonglah aku,sakit sekali."Makanya jangan sok-sokan terhadap kami, berikan sertifikat rumah ini! Aku tidak rela jika suamiku, sampai kehilangan pekerjaan gara-gara kamu!". Ucap Adel,sambil menarik rambut adik iparnya itu. Rasakan kamu Mia,aku sudah menanti momen menyiksamu seperti ini. puas rasanya aku melihat mu merintih kesakitan, makanya jangan sok-sokan terhadap kami."Aauu...Bu, tolongin aku! Sakit bu,sakit!". Mia,terus merintih kesakitan di bagian kepala dan kakinya. Ya Allah, sakit sekali. Mas Herman, apakah kamu berpihak kepada ku atau tidak? Keluargamu menyiksa ku mas,aku harap kamu membelaku."Ck,ini adalah akibatnya membangkang terhadap mertua sendiri. Tarik yang kencang Del,jangan kasih ampun biar tau rasa dia". Kata bu Ratih, menyunggingkan senyumnya.Mia,tak sanggup menahan rasa sakitnya sampai menangis terse
Brakkk...Herman, menggebrak meja makan karena kesal tidak ada makanan di tudung saji. "Mia!Mia! Ke sini kamu,Mia!". Teriaknya sekeras mungkin.Mendengar suaminya memanggil, Mia meninggal pekerjaannya dan berjalan-jalan menuju ke dapur. "Ada apa mas? Jangan teriak-teriak di sini rumah, bukan hutan loh. Apa gak mau di dengar tetangga lain,aku sibuk membereskan rumah ini".Herman, menatap tajam ke arah istrinya itu. "Mana makan malam? Aku lapar sekali,masak sambil beres-beres rumah bisa kan? Jangan membantah perkataan ku,Mia".Mia, menghela nafas panjang dan mendekati suaminya. "Asalkan mas tau,aku tidak bisa masak karena bahan ikan sayur tidak beli".Herman, semakin murka dengan istrinya itu. "Istri tidak becus kamu, Mia! Aku sudah kasih kamu uang, seharusnya kamu beli sayur dan ikan. Kau kira aku tidak lapar, sampai kamu tidak masak!". Bentaknya keras."Gimana mau belanja mas,uang yang kamu kasih di rampas ibumu. Bukan salahku loh, pergi ke rumah ibumu dan minta makan di sana. Muak! A
Lingga dan Herman, nekad pergi kediaman juragan Karto sekaligus merupakan rentenir."Wah... Kalau gak ada jaminan,aku tidak mau meminjamkan uang dengan jumlah besar. Sama saja, kalian menjaminkan rumah Mia tetapi tidak ada sertifikat rumahnya. Kalau ada sertifikat rumahnya,detik ini cair uang 100 juta". Ucap pak Karto,memang benar menginginkan rumah dan tanah milik Mia. Dia tahu,jika lahan besar dan panjang bisa menanam sawit miliknya.Lingga dan Herman,saling menoleh mendengarnya. Sudah pasti mereka tidak mendapatkan pinjaman uang."Sebenarnya, aku sangat menginginkan tanah dan rumah istrimu Herman. Aku tahu, lahannya sangat panjang ke belakang. Pas untuk menanam sawitku nanti, bakalan untung besar". Ucap pak Karto lagi."Sudah dimana-mana juragan,kami tidak menemukan sertifikat rumah itu. Apa jangan-jangan tanahnya sengketa yah,mana mungkin Mia menyimpan di tempat lain". Lingga, menggaruk-garuk pelipisnya."Tidak. Aku pernah tau, tentang tanah milik orangtuanya Mia. Tanah itu,bukan
Adel, tercengang yang menampar wajahnya adalah ibu mertuanya sendiri.Sedangkan di ambang pintu adik iparnya,Mia yang tersenyum manis ke arahnya."Mia, ngapain kamu ke sini?". Tanya Herman, kebingungan atas kedatangan istrinya."Aku sudah lama menunggu mu,mas. Token listrik habis mas,aku perlu uang untuk membelinya. Mana uang bulanan ku,mas?". Mia, menadah tangannya ke depan sang suami.Mia, mendelik ke arah kakak iparnya masih mengelus-elus pipinya itu. "Gimana mbak, rasanya di tampar? Enak pasti yah,kasian sekali". Ejek Mia, menyunggingkan senyumnya."Kamu bisa nunggu aku pulang, Mia. Kaki pincang sok-sokan kemana-mana,yang ada membuat orang susah". Gerutu Herman, tidak menyukai kedatangan istrinya."Diam kamu, Mia! Semua ini, gara-gara kamu tidak memberikan sertifikat rumah itu!". Bentaknya Adel, matanya memerah habis menangis."Aku tidak mau mbak,karena hartaku satu-satunya". Kata Mia, menoleh ke arah ibu mertuanya nampak kesal."Mana mas,uang bulananku? Kalau tidak ada,jangan minta
"Bagaimana bang,dapat uangnya?". Tanya Herman, setelah pulang dari kerja langsung mampir ke rumah ibunya. Jam dinding menunjukkan pukul 6 sore, sebentar pagi mau adzan magrib. Makan Malam dulu,baru pulang kerumah istrinya."Gak dapat, warisan keluarganya sudah di jual. Bahkan tanah warisannya milik Adel,di sita sama rentenir karena abangnya tak mampu bayar bulanannya. Satu-satu harapannya adalah sertifikat rumah ibu,tapi kamu tau sendiri bersikukuh tidak mau mengasih sertifikat rumah ini". Lingga, mondar-mandir tak karuan. Besok alasan apa lagi,agar dia dan keluarganya percaya. Kenapa serumit ini,sih? coba kalau Mia, dengan keihklasan sertifikat rumahnya. Pasti urusan ku sudah selesai, bahkan ongkang-ongkang santai."Ibu,gak setuju dengan idemu. Mau taruh dimana wajah ibu ibu, tetangga bakalan gosip". Bu Ratih,tetap mempertahankan rumahnya ini. Huuu...Semua ini, gara-gara menantu gak bisa ada yang benarnya."Mau gimana lagi bu,mbak Adel tidak ada uang sebanyak itu. Bahkan Mia, enggan