"Sal …." Dimas langsung berdiri tegak melihat adik iparnya itu datang"Untuk apa datang kemari jika kehadiran Mas hanya membuat Kak Hanin sedih? Mau seperti apa lagi Mas menyakiti kakakku? Mas Dim ceraikan Kak Hanin saat dia sedang hamil besar. Itu membuat Kak Hanin sangat tertekan, Mas. Setiap hari kerjaannya hanya di kamar. Alhamdulillah persalinan hari ini lancar, walau sempat ada pendarahan yang cuku parah." Saldi mengepalkan tangannya.Andai dia tidak ingat kalau orang yang ada di depannya ini masih suami kakaknya. Sudah sejak tadi bogem mentah itu melayang.Lima belas tahun. Usia yang terbilang masih sangat muda. Namun karena ditempa oleh keadaan. Cara berpikir Saldi lebih cepat dewasa dari pada usianya.Dilahirkan dalam keadan tanpa Ayah, membuat dia sebagai anak laki-laki satu-satunya di rumah berusaha menggantikan peran itu. Dia betul-betul menjaga dan melindungi dua wanita yang sangat berharga dan berjasa dalam hidupnya. "Kok ngobrol di luar? Ayo ayo masuk. Kasian Hanin dit
"Bismillahirrahmanirrahiim. Pada hari ini, Jum'at, dua puluh sembilan November tahun dua ribu dua puluh satu. Saya, Dimas Abimana Bin Roy Abimana. Menjatuhkan talak satu raj'i kepada istri saya Haninna Andhira binti almarhum Hasyim ….""Kak …." Saldi sedikit membungkuk ke depan, berbisik memanggil kakak perempuan satu-satunya itu.Hanin mengangkat kepala. Menoleh ke belakang, menatap Saldi dengan mata berkaca-kaca. Baru saja ikrar talak dibacakan Dimas. Resmi sudah secara hukum dan agama, mereka berpisah.Cepat Hanin menoleh lagi ke depan sebelum Saldi melihat air matanya jatuh. Wanita itu menggigit bibir. Sakit. Jiwanya terluka. Perasaannya mendadak hampa. Berakhir. Hari ini, kisahnya dan Dimas resmi berakhir.Cerita indah yang selama dua tahun mereka bina, berakhir begitu saja tanpa ada masalah apapun sebelumnya. Hanin ingat sekali. hari itu, hari yang seharusnya menjadi waktu mereka bersantai dan bersenda gurau bersama, justru menjadi yang membuat Hanin begitu terluka.Ingatan Hani
Sita membuang muka. Sebagai wanita, ada sedikit iba dalam hatinya. Namun egonya menutup itu semua. Dimas harus menjadi miliknya.Hanin tersenyum melihat Sita membuang muka. Wanita itu kembali menatap ke depan. Tidak lama dia menunduk. Semua kenangan selama dia dan Dimas berumahtangga menari-nari di pikirannya.Hanin menghembuskan napas dengan keras. Mengingat semua hal terbaik yang dia lakukan beberapa bulan terakhir. Mengabaikan rasa sakitnya, dia tetap melayani Dimas dengan biasa. Wanita itu bahkan pura-pura tidak mendengar saat Dimas dengan sengaja bertelpon ria dengan Sita berjam-jam lamanya hampir setiap malam. Memilih mengabaikannya.Bahkan sampai detik terkahir dia tinggal bersama Dimas, dia masih menyediakan sarapan dan makan malam untuknya. Berharap sedikit saja lelaki itu menyadari besarnya perasaan yang dia punya.Hingga akhirnya Hanin memutuskan menyerah.Hari itu. Saat dia baru saja melahirkan buah hati mereka, badannya bahkan masih menggigil karena pengaruh obat bius dan
"Nin …." Ada getar di suara Dimas, saat menyebut nama wanita yang kini resmi menjadi mantan istrinya.Setelah mengalami perdebatan batin yang cukup alot, akhirnya Dimas memutuskan untuk menyapa Hanin begitu persidangan selesai.Tadi sekilas dia melihat Hanin menoleh ke arahnya saat ikrar talak selesai dibacakan. Namun dia terlalu pengecut untuk membalas tatapan wanita yang telah diceraikannya itu. Jadilah dia pura-pura membicarakan sesuatu dengan kuasa hukumnya.Entah mengapa. Ada yang hilang dari jiwanya, saat ikrar talak keluar dari lisannya. Hatinya mendadak kosong. Perasaanya hampa. Raganya bagaikan melayang, seolah hilang pegangan.Dimas merasa dadanya sesak. Badannya panas dingin. Ada apakah gerangan? Selalu beginikah perasaan seorang suami yang menceraikan istrinya?"Nin …." Kali kedua Dimas memanggil Hanin. Wanita itu tetap menunduk. Entah suaranya yang memang tidak keluar, atau hanin yang berpura tak mendengar.Sementara di sisi lainnya. Hati Hanin menjerit saat mendengar sua
Lagi pula, kenapa Hanin mau menatapnya berlama-lama? Dimas menggigit bibir. Dia merasa sangat bodoh sekali. Apa yang dia harapkan sebenarnya? Apakah dia berharap wanita berjilbab biru langit itu kembali mengemis cinta padanya?Hanin menggelang. Entah kenapa ujung tangannya terasa dingin. Berada didekat Dimas membuatnya merasa tidak nyaman."Aku tidak mau dalam usianya yang belum genap empat bulan, anak laki-lakiku itu sudah merasakan pengalaman pahit ini, Mas. Walaupun dia belum mengerti, tapi hatinya pasti merasakan apa yang kita alami hari ini."Dimas tercekat. Sulit rasanya dia menarik napas.Lelaki itu sebenarnya merindu. Ingin sekali rasanya dia memeluk tubuh kecil hangat yang dia adzankan waktu itu. Bahkan matanya sering basah, saat mengingat tubuh kecil itu menggeliat halus dalam dekapannya. "Anak kita sehat, Nin?" Ah … entah kenapa Dimas merasa janggal mengatakan itu. Anak kita? Dulu dia bahkan dengan lugas mengatakan tidak ingin mengenalnya.Hanin tersenyum kecil. Hatinya me
"Ini undangan resepsi pernikahan kami, Nin. Sekitar dua minggu lagi. Datanglah." Sita mengulurkan undangan itu pada Hanin."Sita.""Kenapa, Mas?""Kau terlalu berlebihan. Ini masih di ruang persidangan." Dimas menatap tajam wanita cantik itu."Apanya yang berlebihan?" Sita tertawa kecil. Kembali mengulurkan undangan itu pada Hanin.Hanin mengernyit. Enggan menerima undangan berwarna merah dengan pita emas sebagai pengikatnya itu.Sita tersenyum. Tentu wanita di hadapannya ini merasa tertekan. Dia harus menunjukan Dimas sekarang miliknya. Dia lah pemenangnya."Datanglah, seperti dulu aku datang di pernikahan kalian." Sita meletakkan undangan itu di pangkuan Hanin."Maaf, aku tidak bisa datang." Hanin mengangkat kepala. Menatap wanita cantik yang tersenyum lebar di hadapannya.."Kau harus datang, Nin! Kar ….""Kenapa harus?" Cepat saja Hanin memotong ucapan Sita."Agar semua baik-baik saja di antara kita.""Aku tidak merasa perlu baik-baik saja denganmu, Ta. Lagi pula kenapa aku harus b
"Kau menyakitiku, Mas." Mata Sita berkaca-kaca. Baru sekali ini Dimas berlaku kasar padanya. Benarkah lelaki ini telah jatuh cinta pada Hanin?Hanin! Semua ini gara-gara wanita lulusan SMA itu! Dua tahun membina rumah tangga, membuat selera Dimas turun jauh. Dimas tidak boleh menyadari perasaannya pada Hanin, setidaknya sampai pernikahan mereka dua minggu lagi.Apa kata teman-temannya kalau dia sampai dikalahkan oleh wanita biasa-biasa saja itu?! Memalukan!"Sudahlah, Ta. Tidak pantas menyerahkan surat undangan di ruang persidangan seperti ini. Setidaknya sedikit berempati lah dengan perasaan Hanin." Dimas akhirnya melepaskan tangan Sita."Kau membelanya?" Sita menatap Dimas tajam."Apa yang kubela? Aku tidak membela siapa-siapa, Ta. Aku hanya mengatakan hal yang pantas dan tidak pantas untuk dilakukan. Mengertilah." Dimas terduduk di bangku depan ruang sidang.Wajah lelaki tampan itu terlihat kusut. Emosi mantan istri pertamanya ini memang kadang meledak-ledak. Dimas sebenarnya sudah
"Kau tahu? Aku yang lebih dulu bersamamu. Dia hanya seseorang yang numpang lewat dalam cerita kita. Wanita biasa-biasa saja itu. Hanin. Ya, Hanin. Kehadirannya membuat seolah aku yang jahat." Sita menyandarkan punggungnya pada dinding."Kau yakin hatimu masih sama, Mas? Apakah perasaanmu benar masih utuh untukku?"Dimas mengusap wajah. Lidahnya kelu. Sejujurnya, Dimas pun bingung dengan perasaannya saat ini. Satu sisi dia sadar hatinya masih berat pada Sita. Namun, satu sisi lain di hatinya mendadak resah karena kehilangan Hanin."Pikirkanlah. Dulu, kita berhasil melewati tiga tahun pernikahan yang berat karena perasaan kita yang kuat. Kita bukan berpisah karena keinginan, tapi kita berpisah karena keadaan." Sita menghapus ujung matanya yang mendadak basah."Kau tahu? Sebelum dan setelah kau menikah lagi, doaku masih sama. Selalu ada namamu dalam setiap harapku. Bukankah kau juga begitu?"Dimas mengangguk pelan. Sita benar. Dia pun sama. Dalam setiap sujudnya, masih selalu ada nama Si