Sejak saat itulah Sita selalu meributkan hal-hal yang kadang dianggap sepele oleh Dimas. Bahkan wanita itu kadang mengabaikannya tanpa sebab. Apakah luka yang dibuatnya terlalu dalam? Sebesar itukah kesalahannya hingga Sita pantas tak menghormatinya?Bunyi pintu kamar mandi ditutup membuat Dimas membuka mata. Pikirannya yang tadi melayang-layang ke banyak hal telah kembali seutuhnya."Kau sudah makan, Ta?""Sudah. Tadi aku makan di kantor. Delivery." Sita mulai menyalakan pengering rambut. Wajahnya terlihat lebih segar setelah keramas.Dimas menarik napas panjang. Kapan lagi dia bisa menikmati masakan rumahan? Dulu hampir setiap hari dia menikmati masakan Hanin. Wanita itu benar-benar pintar meracik bahan makanan. Lidah Dimas selalu dimanjakan oleh masakan Hanin yang pasti enak.Lelaki itu menatap Sita yang tengah duduk di meja rias. Dia paham, dari dulu Sita tidak bisa memasak, bahkan dari dulu juga sikap Sita kadang sulit dikendalikan. Semua itu terasa ringan saja baginya. Tetapi m
"Mbak Hanin, ini ayam bakarnya kurang lima. Tadi saya hitung jumlahnya seratus lima belas potong." Lili, gadis manis yang baru saja putus sekolah karena kekurangan biaya itu melapor pada Hanin.Hanin yang sedang menumis sayur kangkung menoleh pada Lili. Keningnya berkerut. Bukannya semalam saat Saldi membantu mengungkep ayam jumlahnya sudah pas? Atau adik laki-lakinya itu salah hitung karena sudah mengantuk? Hanin sibuk menduga-duga dalam hatinya."Hen, coba ini dipegang sebentar. Mbak mau lihat ayam bakar." Hanin meminta tolong pada Henti yang sedang memotong sayuran untuk lalap."Mbak, kotaknya dimana? Biar saya lipet-lipet sekarang saja. Saya sudah selesai mengaron nasi." Salma menunjuk kukusan besar dari bambu berisi nasi yang masih mengepul."Coba lihat di depan, tanya Lina. Kalau tidak salah kemarin Mbak taruh di dekat meja prasmanan warung." Hanin menjawab sambil berjalan ke tempat Lili.Ini hari pertama Hanin menyiapkan makanan untuk katering harian di kantor Arni dan Halim. A
"Sudah beres semua ya ini? Bisa Mbak tinggal?" Tanya Hanin pada ketiga gadis yang sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing itu."Sudah, Mbak. Ini tumis kangkung juga sudah matang. Setelah ayam bakar Lili matang, kami bisa mulai memasukkan semua dalam kotak yang sedang dilipat Salma." Henti menjawab pertanyaan Hanin.Hanin mengangguk. Wanita itu menyeka keringat dipelipisnya menggunakan sapu tangan yang sengaja dia kantongi."Baiklah kalau begitu. Mbak tinggal ke depan dulu ya? Mau mengecek persiapan warung yang sedang dikerjakan Lina."Lili, Henti dan Salma kompak menggangguk bersamaan. Hanin terkekeh kecil melihat gerakan kepala mereka yang seragam.'Ya Allah, berkahilah semua pekerjaan kami hari ini. Semoga kegiatan ini menjadi jalan rezeki bagi kami semua. Bantu hamba agar bisa meneruskan rezeki darimu pada yang lain melalui hamba.' Hanin membatin sambil menatap ketiga gadis yang sedang bekerja dengan cekatan itu.Wanita itu berhenti sebentar di kamar Dipta saat akan menuju ruang
"Permisi, Mas. Saya mau bayar." Salah satu pembeli yang baru saja selesai makan menyapa Dimas."Oh, iya, maaf. Silahkan." Dimas sedikit gelagapan mempersilahkan. "Pakai lauk apa tadi, Mbak?" Hanin tersenyum ramah."Biasa." Wanita berbaju kantoran itu tersenyum lebar."Kalau begitu harganya juga biasa." Hanin ikut tersenyum.Pembeli ini salah satu langganan tetapnya. Sejak dia membuka warung enam bulan yang lalu, hampir setiap hari kerja dia makan di warungnya."Ini kembaliannya, Mbak."Pembeli itu mengangguk kemudian berlalu.Hanin sedikit kaku menoleh pada Dimas yang masih berdiri di sebelah meja kasir. Beruntung sebelum kekakuan di antara mereka bertambah, salah satu rekan kerja Dimas menghampiri."Bos, ambil di sana makannya." Lelaki berbaju kemeja warna biru itu memegang pundak Dimas."Maaf ya, Mbak. Teman saya ini biasa makan di resto mahal. Sekalinya kami ajak makan di sini, dia sepertinya agak bingung cara memesan menu." Rekan kerja Dimas terkekeh, yang disambut senyum oleh Ha
"Kamu kenapa, Dim? Begitu mendengar janda langsung merah begitu wajahmu." Reno tertawa lebar."Bro! Tidak mungkinlah Dimas tergoda. Kurang sempurna apa lagi si Sita? Cantik, badannya bagus, pintar, karirnya sukses. Beuh …." Helpin terkekeh menanggapi ucapan Reno."Ah …." Reno melambaikan tangan."Akuilah. Kita-kita ini, sebagai lelaki yang sibuk seharian di kantor, membutuhkan tempat beristirahat saat pulang. Kurang apa si Dimas? Jabatan bagus, gaji besar. Apakah harus Sita bekerja juga?" tanya Reno yang hanya dijawab Dimas dengan mengangkat bahu."Jujurlah, Dim. Pasti istri cantikmu itu tidak bisa melayanimu dengan sepenuh hati, kan? Karena begitu pulang ke rumah, dia juga dalam keadaan lelah," sambung Reno.Dimas hanya diam. Tidak menanggapi omongan Reno. Pura-pura sibuk dengan isi piringnya. Dalam hati dia membenarkan semua omongan rekan kerjanya itu. Dia butuh tempat pulang.Dulu saat pulang dari kantor, ada yang menyambutnya dengan senyuman, menatap penuh kerinduan. Makan malam
"Baiklah, rapat hari ini kita cukupkan sampai di sini. Masih ada pertanyaan?" Hadyan, General Manager perusahaan Langkah Berjaya mengedarkan pandangan."Pak …." Rani, General Affair perusahaan mengangkat tangan."Ya, Ran?" Hadyan mengangguk."Untuk perwakilan berangkat ke Lombok minggu depan siapa yang dikirim dari perusahaan, Pak? Biar saya siapkan dari sekarang. khawatir penuh penginapan di sana, karena kasus pandemi sudah mulai berkurang. Apalagi acaranya akhir pekan.""Dalam rangka apa itu?" Hadyan mengerutkan kening."Oh, iya." Sedetik kemudian lelaki itu memukul keningnya pelan."Presentasi penawaran ekspor dengan perwakilan cabang luar negeri ya?" Hadyan tertawa kecil.Rani mengangguk sambil tersenyum. Sementara karyawan wanita yang lain "mesem-mesem" melihat Hadyan tertawa.Lelaki itu memang tampan. dia seorang duda yang ditinggal meninggal oleh istrinya tiga tahun lalu. Sejak saat itu Hadyan seolah menutup hati dari lawan jenis. Dia trauma kehilangan. Rasa sakit ditinggalkan
"Ada cerita apa?" Reni langsung pindah tempat duduk."Iiih si Ibu mah luwes banget kalo masalah dunia perghibahan." Levy meledek Reni."Ya itu, Bu Sita kan kabarnya tidak mau jadi yang kedua. Jadi suaminya yang sekarang itu menceraikan istrinya dalam kondisi hamil besar.""Yeee, itu mah berita lama keleus. Semua orang juga sudah pada tahu kali." Reni menyenderkan tubuhnya kecewa."Ada nih, gosip terbaru." Bella mengeluarkan ponsel dari tasnya.Semua kepala langsung tertoleh pada Bella."Lihat saja di sini. Beberapa waktu yang lalu aku sempat merekam adegan Sita sedang melabrak mantan istri suaminya.""Hah?!" Wajah-wajah kaget dan ingin tahu memenuhi ruangan itu. Seperti dikomando mereka bergegas mengerumuni ponsel Bella."G*la! Bu Sita benar-benar tidak punya otak! Bisa-bisanya dia membuat keributan di warung istri si mantan.""Heh, Rani! Kasih tahu tuh sahabat kamu. Hati itu digunakan, jangan cuma otak saja yang dipakai. Ya mending otaknya jalan, ini otaknya juga jadi mampet gara-gar
"Mas. Sepertinya aku lelah dengan pernikahan ini. Maukah kau mencoba kembali?""Maksudmu?" Hadyan mengerutkan kening."Bisakah kita kembali dekat seperti dulu walaupun aku sudah terikat pernikahan?"Hadyan terpana. Tidak menyangka wanita yang pernah hampir menjadi tempatnya berlabuh bisa berkata sedemikian rupa.Jauh di dalam hatinya Hadyan mengakui bahwa Sita memiliki daya tarik yang luar biasa. Wajahnya yang cantik, berasal dari keluarga terdidik dan mempunyai progres karir yang baik. Tak dapat dipungkiri, sebagai seorang wanita, sosoknya sempurna secara fisik. Ada godaan yang sangat kuat saat Sita menawarkan kembali. Bagaimana tidak? Dia wanita pertama yang bisa membuat hatinya kembali mengenal cinta, setelah kematian mendiang istrinya. Namun saat cinta itu mulai berbunga, Sita pergi begitu saja. Sebelum bunga sempat menjadi buah, wanita cantik itu meninggalkannya tanpa rasa bersalah.Hadyan terluka untuk kedua kalinya. Belum sembuh trauma kehilangan orang yang dia cinta untuk sel