Mas Johan melepaskan tanganku, lalu cepat berhambur ke arah ibunya yang tubuhnya bergetar hebat. Entah karena takut, atau karena emosi. Akupun segera berjalan ke samping Dhafa."Kau bohong! Beraninya kau mengaku sebagai anaknya Sarah!" teriak Nyonya Asmi lagi.Tubuhnya bergetar semakin hebat, sampai terjatuh ke lantai. Mas Johan dan Shafira bergegas menolong dan menenangkannya. Nyonya Asmi tampak begitu shock dengan pengakuan Dhafa.Dhafa hanya menyunggingkan sedikit senyum, lalu menarik tanganku, membawaku pergi dari tempat itu. Sepanjang perjalanan aku masih belum berani menanyakan sesuatu padanya. Aku hanya sesekali meliriknya yang sedang fokus menyetir.Kulihat jalan yang kami tuju bukan jalan pulang. Kemana dia akan membawaku? Aku tidak berani bertanya. Mungkin dia juga marah padaku karena kejadian ini. Ah, aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa setelah ini.Mobil berbelok, lalu memasuki gerbang sebuah rumah cantik bermodel minimalis. Halamannya yang luas ditumbuhi berbagai
"Jadi, hanya Dhafa putra sebenarnya dari Pak Baskara?" tanyaku pada Sonia.Sonia mengangguk, sambil sesekali mencicipi sup buatannya."Dhafa masih mencari bukti. Tapi memang kemungkinan besar Johan itu cuma anak angkat," kata Sonia lagi.Aku terdiam. Tiba-tiba aku ingat, kalau golongan darah Dhafa dan Mas Johan memang tidak sama. Kalau mereka memang satu ayah, pasti golongan darah mereka juga akan sama. Jika benar Mas Johan cuma anak angkat, berarti Syakila juga tidak memiliki darah keturunan Baskara. Entah aku harus merasa sedih atau justru harus merasa lega."Nah, sudah matang," kata Sonia menyadarkan lamunanku. "Ayo kita makan."Aku mengangguk, meskipun pikiranku masih melayang entah kemana. Sonia mengajakku membangunkan Dhafa, tapi rupanya Dhafa sudah duduk dan sibuk dengan laptopnya. Wajahnya tampak serius."Ya Allah, Dhafa, bukannya istirahat malah nyibukin diri lagi," kata Sonia.Dhafa masih sibuk mengutak-atik laptopnya, tanpa mempedulikan omelan Sonia. Sonia tampak cemberut,
POV DhafaTak terasa hampir enam tahun lamanya aku mengabdi pada keluarga Baskara, dan menjadi supir pribadi Johan Baskara. Akhirnya aku berhasil mendapatkan kepercayaan mereka, dan dengan mudah menjadikan beberapa orang di rumah itu kaki tanganku. Sebentar lagi aku akan segera mengambil hakku kembali."Dhafa, antar kami ke suatu tempat," titah Nyonya Asmi padaku.Sesaat aku memperhatikan penampilan mereka yang rapi. Aku membukakan pintu mobil untuk mereka dan mulai menyetir. Nyonya Asmi menyuruhku masuk ke sebuah perkampungan.Mobil berhenti di depan sebuah rumah yang sangat sederhana. Kami semua turun. Nyonya Asmi dan Johan langsung mengetuk pintu, dan beberapa saat kemudian seorang pria tua membukanya, mempersilahkan mereka masuk.Aku menunggu di luar, duduk di samping meja yang penuh dengan buku. Aku sedikit tertarik pada gambar desaign baju yang menonjol dari salah satu tumpukan buku-buku itu."Kalau anda menolak, terpaksa saya akan mengambil rumah dan tanah ini!"Aku tersentak m
POV Dhafa"Bagaimana, apa kau berhasil?" tanyaku pada salah satu kaki tanganku yang ada di perusahaan Johan."Ini datanya, Bos," jawabnya, sambil memberikan hard disk berisi data tentang produk terbaru yang akan Keluarga Baskara luncurkan tiga bulan lagi.Setelah menerimanya aku langsung meluncurkan mobilku menuju sebuah perusahaan besar dengan bidang yang sama dengan yang Johan jalankan. Aku turun dari mobilku dan masuk ke dalam.Semua karyawan mengangguk hormat padaku. Benar, aku adalah pimpinan perusahaan yang kubangun beberapa tahun setelah aku kembali ke indonesia ini. Dari kecil aku memang dibesarkan di Korea, setelah kepergian ibuku.Aku segera membuka komputerku dan memasukkan data itu ke sana. Tak lupa aku membuat salinannya. Sekilas aku mempelajari lagi detailnya. Sepertinya Johan juga masih belum menggarap desaign untuk produknya.Mulai bulan depan adalah musim panas. Johan akan membuat produk yang nyaman dipakai di musim itu. Baju, tas, sepatu, make up sampai skin care har
POV Author"Ini tidak boleh dibiarkan!" kata Nyonya Asmi geram, sambil membanting vas yang ada di depannya."Tenang, Ma, nanti darah tinggi Mama kambuh lagi," kata Johan mencoba menenangkan Ibunya.Nyonya Asmi duduk di sofa yang ada di kamarnya. Tangannya mencengkeram kain penutup sofa itu dengan penuh emosi."Pantas saja, Baskara menulis nama anak itu di surat wasiatnya!" gumannya geram.Johan mengerutkan kening, lalu mendekati ibunya itu."Surat wasiat? Wasiat Papa maksud Mama?"Nyonya Asmi terdiam. Dia benar-benar terlihat marah. Rencana yang sudah dia susun selama bertahun-tahun sekarang harus hancur karena anak dari perempuan kampung itu. Juga perempuan kampung yang dia pungut beberapa tahun yang lalu."Tidak ada cara lain, kita harus melenyapkan semua barang bukti juga semua saksi untuk mempertahsnkan kedudukan kita!"Johan tersentak."Maksud Mama...."Nyonya Asmi menatap Johan."Kau harus menurut pada Mama, kalau tidak ingin posisimu tumbang!"Johan menelan ludah, lalu mengangg
Dhafa dan Ayu masih dalam perjalanan pulang, ketika gawai Dhafa berdering. Dhafa menyambungkan pada gawai di mobilnya dengan speaker."Hallo Bos," terdengar suara Ridwan, asistennya, dari seberang sana."Iya, ada kabar baru?" tanya Dhafa sambil tetap menyetir.Ayu hanya diam dan ikut mendengarkan."Perintah Bos yang tadi sudah kami lakukan. Ternyata perkiraan Bos benar.""Kalian sudah berhasil membereskannya?""Sudah, Bos, sesuai perintah.""Bagus."Ayu mengerutkan kening, tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Tapi dia tetap diam saja."Oh iya, satu lagi Bos. Tentang ibu kandung Pak Johan, kami sudah mengetahui identitas sekaligus alamatnya."Ayu tersentak. Ibu kandung Johan?"Bagus, kirim segera datanya padaku.""Siap, Bos."Dhafa menepikan mobilnya, dan berhenti di sisi jalan. Dhafa membuka gawainya ketika asistennya mengirimkan data padanya. Mata Dhafa membulat seketika setelah membacanya. Ayu memperhatikan wajah Dhafa yang menegang."Kenapa, Dhafa?" tanyanya.Dhafa menatap Ayu d
Johan mencengkeram lengan Shafira."Kau mau meninggalkanku di saat aku membutuhkan dukunganmu?" tanya Johan.Shafira tak langsung menjawab. Dia membuang muka."Aku gak bisa mengikutimu lagi," jawabnya kemudian."Tapi aku belum jatuh, Shafira!"Shafira menatap Johan tajam."Sekarang kau belum jatuh. Tapi sebentar lagi!" katanya. "Kau sudah tak punya apa-apa untuk dipertahankan."Johan melepaskan tangannya dari lengan Shafira, lalu mengacak rambutnya sendiri dengan emosi."Lalu bagaimana dengan Syakila?"Shafira memalingkan mukanya lagi."Aku tidak peduli. Kupikir suatu saat aku bisa menggunakannya untuk mendapatkan semua yang kuinginkan. Tapi ternyata, semua tidak sesuai dengan yang kupikirkan!"Shafira mengambil kopernya, lalu beranjak pergi."Akan segera kuurus surat perpisahan kita. Jangan cari aku lagi."Johan hanya terdiam mematung, membiarkan Shafira pergi meninggalkannya. Dia memang bukan tipe orang yang suka memohon, karena itulah yang diajarkan Nyonya Asmi padanya sedari kecil
Johan berdiri di depan makam ibunya sambil menggendong Syakila. Dia masih diam mematung, tanpa tahu harus bagaimana. Apa dia harus menangis? Ah, ibunya tidak pernah mengajarinya untuk hal itu. Hatinya yang keras seperti batu itu kini kian mengeras. Mungkin dia memang sudah kehilangan apa yang dinamakan perasaan."Mas...."Johan melirik orang datang di sampingnya. Shafira berdiri di sana dengan menggunakan pakaian serba hitam, kerudung hitam dan kaca mata hitam."Aku turut berduka cita dengan apa yang dialami Mama," katanya lirih.Johan diam tak menjawab. Shafira merogoh tasnya, dan mengeluarkan sebuah surat. Diulurkannya surat itu pada Johan."Ini surat dari pengadilan agama. Pihak kepolisian juga melepaskanku karena tidak terlibat dengan semua perbuatan kalian. Aku akan berangkat ke Amerika setelah semuanya selesai."Johan menerima surat itu tanpa berkata apa-apa."Selamat tinggal, Mas."Shafira melangkah pergi, meninggalkan Johan yang masih berdiri mematung di tempatnya. Syakila tam