Share

Pertemuan

Aku berjalan memasuki rumah melalui pintu khusus para pelayan. Kubuat langkahku senatural mungkin, meskipun hatiku terus berdebar. Begitu sampai di ruangan yang terhubung ke dapur, aku mempercepat langkah. 

"Rina!" panggil seseorang.

Awalnya aku terus berjalan, tapi tiba-tiba orang itu menepuk pundakku.

"Hei, Rina! Dipanggil kok cuek aja?" tanyanya, seorang pelayan yang bekerja di dapur.

Ah, aku baru ingat kalau baby sitter yang kugantikan bernama Rina. Aku cepat berpura-pura bersikap biasa saja.

"Maaf, aku tidak dengar," jawabku.

Karena mulutku tertutup masker, suaraku juga tak akan ketahuan. Lagipula, para pelayan di sini dilarang berbicara langsung dengan majikan.

"Ini sekalian bawa termos air panasnya ke ruang tengah untuk membuat susu," kata pelayan itu sambil menyerahkan termos padaku.

"Makasih, ya?" kataku sambil cepat pergi melanjutkan langkah.

Ketika tiba di depan pintu ruang tengah, aku manarik napas dalam-dalam, lalu perlahan membukanya. Begitu masuk, aku langsung di sambut dengan omelan Shafira.

"Kenapa lama sekali? Hari ini kamu terlambat lima menit! Semenit lagi sudah kupecat kamu!" katanya sambil berkacak pinggang.

Aku hanya terdiam dan menunduk, seperti semua pelayan lain di rumah itu. Meskipun dalam hati aku mati-matian menahan diri.

"Sudah, buatkan susu untuk anakku! Dari tadi dia sudah rewel terus."

Aku menahan napas. 'Anakku'? Mudah sekali dia menyebut anakku sebagai anaknya. Tapi lagi-lagi aku hanya bisa menahan diri, lalu berjalan ke tempat dimana dia membaringkan bayiku.

Hatiku berdebar seketika, begitu melihat makhluk mungil yang ada di dalam keranjang itu. Matanya yang bulat tampak melihat ke sana kemari, diikuti mulut mungilnya yang sesekali mengecap dan merengek.

Aku segera membuatkannya susu, sambil melirik Shafira yang duduk santai sambil membaca majalah. Perlahan kugendong bayiku dalam pelukanku, sambil memberikannya susu. Kutahan air mataku sebisanya. Maafkan ibu, Nak. Seandainya ibu bisa merawatmu, ibu pasti bisa memberimu ASI. Bukan susu formula seperti ini, pikirku dalam hati.

Tiba-tiba pintu dibuka dengan kasar. Tampak Mas Johan masuk ke dalam ruangan itu. Aku langsung berpura-pura fokus pada bayiku, sambil menimangnya.

"Sial! Benar-benar sial!" Mas Johan terlihat begitu marah.

"Ada apa sih, Sayang?" tanya Shafira sambil mencoba menenangkan suaminya.

"Brand sebelah meluncurkan produk baru mereka dan langsung booming di pasaran!"

"Terus apa masalahnya? Kita kan juga punya produk yang akan segera kita luncurkan?" kata Shafira.

"Masalahnya, produk mereka mirip dengan yang akan kita luncurkan! Bahkan lebih bagus!" 

Shafira tampak sangat terkejut.

"Apa? Kok bisa?"

Mas Johan membanting tubuhnya di kursi dengan kesal.

"Pasti ada yang tidak beres! Tidak mungkin data kita bocor ke luar! Kita sudah rugi besar!" katanya.

"Sudahlah sayang, pasti ada jalan keluarnya. Kamu yang tenang dulu, ya?" Shafira membelai rambut suaminya.

Johan tampak mengecup kening Shafira. Aku muak melihat mereka seperti itu. Tapi aku tak boleh lupa dengan tujuan awalku. Aku harus bertahan sebentar lagi.

"Bagaimana anak kita?" tanyanya pada Shafira, sambil melihat ke arahku.

Aku seketika menunduk, pura-pura tidak memperhatikan mereka.

"Lagi minum susu. Hari ini dia imunisasi. Jadinya rewel terus," kata Shafira.

"Sabar dong, Sayang. Kan ada baby sitter, jadi kau juga tak perlu repot," kata Mas Johan sambil merangkul Shafira.

Shafira mendesah.

"Seandainya dulu rahimku tidak diangkat, kau pasti tidak perlu mendapatkan anak dari wanita lain," katanya." Sekarang apa kabarnya wanita kampung itu?"

Mas Johan terlihat tertawa.

"Kenapa kita harus peduli? Mungkin dia sudah mati bunuh diri," katanya kemudian.

Shafira ikut tertawa, lalu meletakkan kepalanya di dada Mas Johan dengan manja. Hatiku seketika panas. Benar, seandainya waktu itu Dhafa tidak menolongku, aku pasti sudah melompat ke dalam sungai. Kemudian mereka akan menertawakan kematianku.

Tiba-tiba anakku menangis. Aku cepat-cepat menimangnya dengan penuh kasih sayang.Maafkan ibu, Nak. Kamu pasti merasakan apa yang ibu rasakan.

"Kenapa rewel lagi, sih?" tanya Shafira padaku.

Aku hanya diam sambil terus menimang bayiku. Badannya agak panas sehabis imunisasi, jadi wajar kalau rewel. Shafira mendekatiku lalu mengambil bayi itu dari gendonganku. Bukannya diam, bayi itu justru semakin menangis.

"Sudah diam dong, Sayang. Jangan rewel terus," kata Shafira berusaha menenangkan bayi itu.

Ah, ingin rasanya aku merebut bayiku dari tangannya. Mati-matian aku menahan diri. Mas Johan berjalan mendekati kami. Dia mencoba menggendong bayinya. Hatiku bergetar, antara marah dan sedih melihatnya menggendong anaknya.

Akhirnya dia mengulurkan bayinya padaku karena tak kunjung diam. Aku langsung mendekapnya dalam pelukanku. Bayiku seketika terdiam dari tangisnya.

"Bawa dia jalan-jalan ke taman sebentar. Mungkin dia butuh udara segar," perintahnya padaku.

Aku mengangguk, seraya membaringkannya pada kereta bayi. Tiba-tiba aku merasa Mas Johan dari tadi memperhatikanku. Benar saja, dia mendekatiku sambil terus melihatku.

"Kenapa, Mas? Kok menatap Rina kayak gitu?" tanya Shafira, seperti cemburu melihat suaminya memperhatikanku.

Aku cepat memutar kereta bayiku, ingin cepat-cepat membawanya keluar sebelum Mas Johan benar-benar menyadari kalau aku bukan Rina.

"Tunggu dulu," katanya ketika aku beranjak pergi.

Aku menggigit bibir, berusaha menghilangkan degup jantungku yang semakin kencang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status