Aku masih mencoret-coret kertas dengan ujung pensilku. Memang benar, dari kecil aku suka sekali menggambar, terutama mendesaign pakaian. Makanya, meskipun hanya seorang penjahit kampung, aku selalu kebanjiran orderan setiap tahunnya dengan model pakaian hasil dari desaignku sendiri. Dari kalangan kelas bawah tentunya.
Tapi, apa iya bisa mendapatkan uang hanya dengan membuat desaign baju, tas, sepatu dan lainnya seperti ini? Bukannya dia juga butuh pekerja untuk membuat semuanya? Dibutuhkan pabrik untuk membuat semua itu. Sedangkan Dhafa hanya seorang supir kepercayaan Mas Johan.Aku menggigit pensilku, seraya menatap luar jendela. Tiba-tiba teringat kata-katanya tadi pagi. Dendam apa yang dimiliki Dhafa pada keluarga Baskara? Setahuku dia sudah bekerja di sana selama lebih dari tujuh tahun. Dan selama itu, dia sangat setia pada Mas Johan dan keluarganya.Aku melirik kantong plastik besar yang dia berikan padaku tadi pagi. Rupanya dia tidak hanya membawa makanan, tapi juga sepaket skin care mahal. Aku terus berpikir, dari mana dia mendapatkan uang sebanyak itu? Apa iya gaji supir sebanyak itu?"Mulai sekarang kau harus rajin merawat diri. Persiapkan dirimu bertemu dengan Johan lagi dengan penampilan yang berbeda," katanya.Aku menarik napas panjang. Kuambil foto bayiku, lalu menatapnya lekat."Akan kulakukan apapun untuk mendapatkanmu kembali, Nak," kataku, lalu mengambil pensil dan meneruskan pekerjaanku...."Alhamdulillah, akhirnya selesai," kataku sambil menyerahkan hasil pekerjaanku pada Dhafa.Mata Dhafa tampak membulat ketika membuka hasilnya."Ini bagus sekali. Tak kusangka ternyata kau memang berbakat dalam hal ini," katanya.Aku tersenyum lebar mendengar pujiannya. Dhafa sejenak menatapku."Begitu, kau harus sering tersenyum begitu. Sekarang, pelan-pelan giliran kita membuat mereka menangis," katanya.Aku seketika menunduk malu. Mukaku memerah. Jantungku berdegup kencang. Ah, apa-apaan ini? Pikirku."Kalau begitu aku pergi dulu. Kalau butuh apa-apa, kau bisa menghubungiku," katanya lagi.Aku terdiam. Sejak beberapa hari yang lalu, ingin rasanya aku bertemu dengan anakku."Apa mungkin, aku bisa menemui puteriku sekali saja?" tanyaku lirih.Dhafa sejenak terdiam. Tiba-tiba dia teringat sesuatu."Aku akan membantumu menemuinya sekali saja. Tapi tidak hari ini," katanya.Aku tersentak kaget, lalu menatapnya penuh harap."Benarkah bisa?" tanyaku tak percaya.Dia tersenyum, seraya mengangguk."Akan kuberi kabar dua hari lagi," katanya sambil memasuki mobil dan perlahan pergi.Aku menatap langit cerah pagi itu dengan hati penuh syukur."Sudah sebulan, Nak. Kau pasti sudah semakin besar," gumanku....Beberapa hari kemudian, seperti biasa pagi-pagi sekali Dhafa sudah mampir ke rumah yang kutempati. Dia mengulurkan kantong plastik padaku. Aku mengerutkan kening seraya membukanya. Ternyata isinya seragam baby sitter."Ini...," aku menatap Dhafa penuh tanda tanya."Baby sitter yang merawat anakmu ada tiga orang. Hanya satu saja yang berjilbab. Aku berhasil bernegosiasi dengan dia. Hari ini kau bisa ikut denganku ke sana. Semua pelayan di keluarga itu memakai masker dan penutup kepala, jadi penyamaran ini cukup aman."Aku melonjak gembira, seakan tak percaya dengan apa yang kudengar."Benarkah aku bisa bertemu dengan anakku?" tanyaku penuh haru, sampai tanpa sadar air mataku mengalir.Dhafa menatapku."Iya, tapi dengan satu syarat. Kau tidak boleh terbawa perasaan. Sudah kubilang, mulai sekarang kau harus jadi wanita yang tangguh. Kalau kau sampai ketahuan, aku tak bisa menolongmu."Aku cepat-cepat mengusap air mataku. Lalu menatap Dhafa penuh keyakinan."Akan kulakukan apapun. Aku janji tidak akan lemah lagi," kataku.Dhafa terdiam sejenak, lalu mengangkat ujung bibirnya."Baiklah kalau begitu. Bersiap-siaplah," katanya kemudian.Aku cepat masuk ke dalam kamarku dan mengganti pakaian. Tak lupa kupakai masker dan sarung tangan. Aku menatap diriku dalam cermin. Semoga mereka tidak mengenaliku.Mobil meluncur membawaku dan Dhafa menuju kediaman keluarga Baskara, dan berhenti di depan pintu gerbang. Dhafa tampak menulis sesuatu di gawainya. Sesaat kemudian pintu gerbang terbuka lebar.Mobil memasuki taman rumah yang sangat luas itu. Jantungku berdegup kencang begitu memasuki halaman rumah yang bagaikan taman istana itu. Bagiku, aku serasa masuk ke dalam gerbang neraka. Mobil berhenti di salah satu sudut taman."Kita berpisah di sini. Kau pasti masih hafal bagian-bagian dari rumah ini. Ingat pesanku....""Jangan terbawa perasaan," sahutku.Aku menatap Dhafa seraya tersenyum di balik maskerku."Aku akan selalu ingat itu," kataku kemudian. "Terima kasih untuk ini semua."Dhafa tersenyum."Jangan berterima kasih dulu. Setelah kau bisa melewati sehari ini tanpa ketahuan mereka, baru berterima kasihlah."Aku mengangguk, lalu membuka pintu mobil dan turun. Aku menatap bangunan rumah yang tinggi menjulang di depanku. Tunggu ibu, Nak. Sebentar lagi kita akan bertemu.Aku berjalan memasuki rumah melalui pintu khusus para pelayan. Kubuat langkahku senatural mungkin, meskipun hatiku terus berdebar. Begitu sampai di ruangan yang terhubung ke dapur, aku mempercepat langkah. "Rina!" panggil seseorang.Awalnya aku terus berjalan, tapi tiba-tiba orang itu menepuk pundakku."Hei, Rina! Dipanggil kok cuek aja?" tanyanya, seorang pelayan yang bekerja di dapur.Ah, aku baru ingat kalau baby sitter yang kugantikan bernama Rina. Aku cepat berpura-pura bersikap biasa saja."Maaf, aku tidak dengar," jawabku.Karena mulutku tertutup masker, suaraku juga tak akan ketahuan. Lagipula, para pelayan di sini dilarang berbicara langsung dengan majikan."Ini sekalian bawa termos air panasnya ke ruang tengah untuk membuat susu," kata pelayan itu sambil menyerahkan termos padaku."Makasih, ya?" kataku sambil cepat pergi melanjutkan langkah.Ketika tiba di depan pintu ruang tengah, aku manarik napas dalam-dalam, lalu perlahan membukanya. Begitu masuk, aku langsung di sambut
Aku berhenti melangkah, masih diam tertunduk saat Mas Johan berjalan semakin dekat ke arahku. Aku mencoba bersikap biasa saja meskipun aku sangat ketakutan. Apalagi saat tangannya mengarah ke masker yang aku gunakan. Aku memejamkan mata, bersiap dengan apa yang akan terjadi.Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu yang masih terbuka. Mas Johan menurunkan tangannya, lalu melihat ke arah pintu. Dhafa tampak berdiri di sana."Maaf, Tuan. Ada sedikit masalah di pabrik. Asisten Tuan menyuruhku untuk menyampaikannya," katanya.Mas Johan terlihat mendesah, lalu pergi keluar ruangan itu. Dhafa sekilas menatapku, sebelum mengikuti Mas Johan di belakangnya. Aku membuang napas lega, lalu kembali mendorong kereta bayiku menuju taman. Aku ingin bersama anakku lebih lama, sebelum kembali fokus pada misiku."Mau kamu bawa kemana cucu saya?"Aku berhenti melangkah. Aku tahu betul suara siapa itu. Perlahan aku menoleh, seraya mengangguk memberi hormat. Nyonya Asmi berjalan ke arahku, lalu meraih ba
Hari itu Dhafa menyuruhku untuk berkemas, karena aku akan segera pindah ke apartemen dan tinggal di sana. Aku melihat sekeliling rumah yang sudah beberapa bulan kutempati itu. Aku suka rumah itu, meskipun tak tahu itu rumah siapa.Tiba-tiba aku ingat satu ruangan yang Dhafa melarangku untuk membukanya. Aku mengamati pintu ruangan yang terkunci itu. Kucoba membukanya, tapi tak bisa. Akhirnya aku mengintip di lubang kunci pintu. Terlihat sebuah kamar dengan banyak rak buku. Ah, aku penasaran ada apa di dalamnya.Aku langsung pergi ke belakang rumah dan berjalan ke samping ruangan itu. Ada jendela tinggi di sana. Aku segera pergi ke gudang dan mengambil tangga lipat. Perlahan kutaruh tangga itu tepat di bawah jendela, dan aku mulai memanjat.Kucoba membuka jendelanya, tapi terkunci juga. Karena kesal kugedor jendela itu dengan keras. Tak kusangka engselnya terbuka karena sudah tua dan berkarat. Aku melonjak gembira. Segera kubuka jendela itu dan aku memanjat masuk.Kamar itu terlihat r
"Nah, sudah selesai, Nona," kata Marta begitu selesai memoleskan make-up terakhir di wajahku.Perlahan aku membuka mata, dan melihat wajahku dalam cermin. Mataku membulat, seakan tak percaya dengan apa yang kulihat. Apa itu aku?"Sekarang Nona berganti pakaian dulu, ya?" kata Marta lagi sambil mengulurkan beberapa pakaian yang digantung.Aku mengangguk, lalu segera mengganti pakaian dan jilbab yang dipilihkan oleh Marta. Setelah memakainya, aku memandangi diriku sekali lagi di depan cermin.Ayu si gadis kampung itu telah tiada, menjelma menjadi wanita anggun dengan penampilan resminya. Aku menarik napas dalam-dalam. Hari ini aku harus menunjukkan pada mereka, bahwa aku bukan orang yang bisa mereka remehkan lagi."Supir sudah menunggu di bawah, Nona," kata Marta, sambil sedikit membenarkan jilbabku.Sesaat kemudian dia mengacungkan jempolnya sambil tersenyum, pertanda penampilanku sudah oke. Aku membalas senyumannya, seraya mengucapkan terima kasih. Aku segera turun ke bawah, dan melih
Semua hadirin saling berbicara satu sama lain dalam kegaduhan. Mereka heran ketika aku mengaku sebagai mantan istri dari Johan Baskara, karena tidak seorangpun mengetahuinya. Para wartawan langsung maju ke depan Johan dan Shafira, memberondong mereka dengan berbagai pertanyaan."Apa benar anda pernah menikah dengan Nona Ayu, Pak?""Kenapa pernikahan itu tidak ada yang mengetahui?""Apa kah Nyonya Shafira juga mengetahui pernikahan itu, Pak?"Mas Johan dan Shafira tampak kebingungan menjawab pertanyaan para wartawan. Aku turun dari panggung, karena melihat Syakila tampak menangis karena ketakutan. Aku berjalan ke arah mereka.Begitu melihatku, Shafira langsung memegang erat Syakila. Mas Johan juga menghalangiku mendekatinya. Aku menatap tajam pada mereka."Sekarang kalian bisa mengambil anakku dariku. Tapi suatu hari nanti aku akan mengambilnya kembali," kataku dengan nada suara yang sengaja kutinggikan.Kegaduhan kembali terjadi. Para wartawan menyerbu kami, dengan kamera yang terus m
Aku menatap Dhafa penuh ketegangan."Lalu bagaimana ini?" tanyaku sambil menggigit bibir.Dhafa tersenyum lalu mengambilkan makanan untukku."Jangan khawatir. Kita sudah menang selangkah. Skandal tentang kalian itu berpengaruh besar pada bisnis keluarga mereka. Artinya kita bisa dengan mudah menjegal pendapatan mereka."Perkataan Dhafa itu belum cukup menenangkanku. Aku belum pernah berurusan dengan hukum sebelumnya. Jadi wajar kalau ada sedikit rasa takut menyergapku. Dhafa sepertinya juga menyadarinya."Jangan terlalu banya berpikir," katanya sambil menyentil pelipisku.Aku mengaduh sambil mengusap pelipisku yang sakit, lalu menatapnya dengan kesal. Kebiasaan dia selalu melakukannya setiap aku sedang tegang."Kita hanya perlu mencari bukti bahwa kau pernah menikah dengan Johan, dan mengambil hak asuh puterimu," katanya lagi. "Apa kau ingat siapa saksi pernikahan kalian waktu itu?"Aku menggeleng. Pernikahan itu berlangsung begitu tertutup. Hanya orang dalam yang tahu terjadinya pern
Aku sudah bersiap-siap sejak pagi-pagi sekali. Sebelum berangkat, kupastikan bahwa aku sudah benar-benar mirip dengan Bik Inah. Bik Inah juga dari semalam sudah memberi tahuku apa saja tugas-tugasnya. Ternyata, dia masih ditugaskan untuk membersihkan kamarku. Artinya, misiku akan lebih mudah hari ini.Sebuah pesan masuk ke dalam gawaiku. Dari Dhafa.[ Jika ada kesempatan, ambil rambut anakmu sedikit saja. ]Aku mengerutkan kening. Untuk apa? Pikirku. Tapi aku tidak menanyakannya pada Dhafa. Sudah pasti dia akan menjawab, lakukan saja, jangan membantah! Aku tersenyum sendiri mengingat sikap-sikapnya yang kadang menyebalkan itu.Baiklah, aku harus fokus pada misiku hari ini. Aku segera memesan taksi online dan berangkat menuju rumah itu. Sesampainya di sana, aku memasukkan identitas yang kupinjam dari Bik Inah untuk membuka pintu gerbang.Aku langsung masuk dengan percaya diri. Mungkin karena ini bukan pertama kalinya menyamar, jadi rasa takutku sudah tidak ada lagi. Segera kulakukan tu
Semalaman aku tidak bisa tidur. Semua pikiran berkecamuk dalam otakku. Wanita yang bernama Sarah adalah ibunya Dhafa? Jadi dia juga istri dari Pak Baskara, ayah Mas johan? Artinya Mas Johan dan Dhafa bersaudara?Aku membalikkan tubuhku, menghadap ke luar jendela. Tapi, kalau mereka bersaudara, kenapa Dhafa bisa jadi supir pribadinya Mas Johan? Atau Mas Johan tidak tahu kalau dia saudaranya? Ah, semua pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di otakku.Akhirnya aku bangkit dari tidurku. Aku membuka tirai kamarku, lalu menatap kelap-kelip lampu kota yang terlihat indah dari kejauhan. Sekarang aku harus bagaimana? Apa aku harus tetap percaya padanya, setelah tahu mereka bersaudara?Aku menarik napas panjang. Kuambil gawaiku, lalu membuka aplikasi browsing. Kuketik nama Sarah Baskara di sana. Jika memang benar dia anggota keluarga Baskara, pasti ada jejak digital tentang dia.Tapi ternyata yang muncul adalah berita sebuah kecelakaan mobil yang masuk dalam jurang. Aku coba scroll ke bawah.