Share

Tunggu ibu, Nak!

Aku masih mencoret-coret kertas dengan ujung pensilku. Memang benar, dari kecil aku suka sekali menggambar, terutama mendesaign pakaian. Makanya, meskipun hanya seorang penjahit kampung, aku selalu kebanjiran orderan setiap tahunnya dengan model pakaian hasil dari desaignku sendiri. Dari kalangan kelas bawah tentunya.

Tapi, apa iya bisa mendapatkan uang hanya dengan membuat desaign baju, tas, sepatu dan lainnya seperti ini? Bukannya dia juga butuh pekerja untuk membuat semuanya? Dibutuhkan pabrik untuk membuat semua itu. Sedangkan Dhafa hanya seorang supir kepercayaan Mas Johan.

Aku menggigit pensilku, seraya menatap luar jendela. Tiba-tiba teringat kata-katanya tadi pagi. Dendam apa yang dimiliki Dhafa pada keluarga Baskara? Setahuku dia sudah bekerja di sana selama lebih dari tujuh tahun. Dan selama itu, dia sangat setia pada Mas Johan dan keluarganya.

Aku melirik kantong plastik besar yang dia berikan padaku tadi  pagi. Rupanya dia tidak hanya membawa makanan, tapi juga sepaket skin care mahal. Aku terus berpikir, dari mana dia mendapatkan uang sebanyak itu? Apa iya gaji supir sebanyak itu?

"Mulai sekarang kau harus rajin merawat diri. Persiapkan dirimu bertemu dengan Johan lagi dengan penampilan yang berbeda," katanya.

Aku menarik napas panjang. Kuambil foto bayiku, lalu menatapnya lekat.

"Akan kulakukan apapun untuk mendapatkanmu kembali, Nak," kataku, lalu mengambil pensil dan meneruskan pekerjaanku.

.

.

.

"Alhamdulillah, akhirnya selesai," kataku sambil menyerahkan hasil pekerjaanku pada Dhafa.

Mata Dhafa tampak membulat ketika membuka hasilnya.

"Ini bagus sekali. Tak kusangka ternyata kau memang berbakat dalam hal ini," katanya.

Aku tersenyum lebar mendengar pujiannya. Dhafa sejenak menatapku.

"Begitu, kau harus sering tersenyum begitu. Sekarang, pelan-pelan giliran kita membuat mereka menangis," katanya.

Aku seketika menunduk malu. Mukaku memerah. Jantungku berdegup kencang. Ah, apa-apaan ini? Pikirku.

"Kalau begitu aku pergi dulu. Kalau butuh apa-apa, kau bisa menghubungiku," katanya lagi.

Aku terdiam. Sejak beberapa hari yang lalu, ingin rasanya aku bertemu dengan anakku.

"Apa mungkin, aku bisa menemui puteriku sekali saja?" tanyaku lirih.

Dhafa sejenak terdiam. Tiba-tiba dia teringat sesuatu.

"Aku akan membantumu menemuinya sekali saja. Tapi tidak hari ini," katanya.

Aku tersentak kaget, lalu menatapnya penuh harap.

"Benarkah bisa?" tanyaku tak percaya.

Dia tersenyum, seraya mengangguk.

"Akan kuberi kabar dua hari lagi," katanya sambil memasuki mobil dan perlahan pergi.

Aku menatap langit cerah pagi itu dengan hati penuh syukur.

"Sudah sebulan, Nak. Kau pasti sudah semakin besar," gumanku.

.

.

.

Beberapa hari kemudian, seperti biasa pagi-pagi sekali Dhafa sudah mampir ke rumah yang kutempati. Dia mengulurkan kantong plastik padaku. Aku mengerutkan kening seraya membukanya. Ternyata isinya seragam baby sitter.

"Ini...," aku menatap Dhafa penuh tanda tanya.

"Baby sitter yang merawat anakmu ada tiga orang. Hanya satu saja yang berjilbab. Aku berhasil bernegosiasi dengan dia. Hari ini kau bisa ikut denganku ke sana. Semua pelayan di keluarga itu memakai masker dan penutup kepala, jadi penyamaran ini cukup aman."

Aku melonjak gembira, seakan tak percaya dengan apa yang kudengar.

"Benarkah aku bisa bertemu dengan anakku?" tanyaku penuh haru, sampai tanpa sadar air mataku mengalir.

Dhafa menatapku.

"Iya, tapi dengan satu syarat. Kau tidak boleh terbawa perasaan. Sudah kubilang, mulai sekarang kau harus jadi wanita yang tangguh. Kalau kau sampai ketahuan, aku tak bisa menolongmu."

Aku cepat-cepat mengusap air mataku. Lalu menatap Dhafa penuh keyakinan.

"Akan kulakukan apapun. Aku janji tidak akan lemah lagi," kataku.

Dhafa terdiam sejenak, lalu mengangkat ujung bibirnya.

"Baiklah kalau begitu. Bersiap-siaplah," katanya kemudian.

Aku cepat masuk ke dalam kamarku dan mengganti pakaian. Tak lupa kupakai masker dan sarung tangan. Aku menatap diriku dalam cermin. Semoga mereka tidak mengenaliku.

Mobil meluncur membawaku dan Dhafa menuju kediaman keluarga Baskara, dan berhenti di depan pintu gerbang. Dhafa tampak menulis sesuatu di gawainya. Sesaat kemudian pintu gerbang terbuka lebar.

Mobil memasuki taman rumah yang sangat luas itu. Jantungku berdegup kencang begitu memasuki halaman rumah yang bagaikan taman istana itu. Bagiku, aku serasa masuk ke dalam gerbang neraka. Mobil berhenti di salah satu sudut taman.

"Kita berpisah di sini. Kau pasti masih hafal bagian-bagian dari rumah ini. Ingat pesanku...."

"Jangan terbawa perasaan," sahutku.

Aku menatap Dhafa seraya tersenyum di balik maskerku.

"Aku akan selalu ingat itu," kataku kemudian. "Terima kasih untuk ini semua."

Dhafa tersenyum.

"Jangan berterima kasih dulu. Setelah kau bisa melewati sehari ini tanpa ketahuan mereka, baru berterima kasihlah."

Aku mengangguk, lalu membuka pintu mobil dan turun. Aku menatap bangunan rumah yang tinggi menjulang di depanku. Tunggu ibu, Nak. Sebentar lagi kita akan bertemu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status