Aku berhenti melangkah, masih diam tertunduk saat Mas Johan berjalan semakin dekat ke arahku. Aku mencoba bersikap biasa saja meskipun aku sangat ketakutan. Apalagi saat tangannya mengarah ke masker yang aku gunakan. Aku memejamkan mata, bersiap dengan apa yang akan terjadi.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu yang masih terbuka. Mas Johan menurunkan tangannya, lalu melihat ke arah pintu. Dhafa tampak berdiri di sana."Maaf, Tuan. Ada sedikit masalah di pabrik. Asisten Tuan menyuruhku untuk menyampaikannya," katanya.Mas Johan terlihat mendesah, lalu pergi keluar ruangan itu. Dhafa sekilas menatapku, sebelum mengikuti Mas Johan di belakangnya. Aku membuang napas lega, lalu kembali mendorong kereta bayiku menuju taman. Aku ingin bersama anakku lebih lama, sebelum kembali fokus pada misiku."Mau kamu bawa kemana cucu saya?"Aku berhenti melangkah. Aku tahu betul suara siapa itu. Perlahan aku menoleh, seraya mengangguk memberi hormat. Nyonya Asmi berjalan ke arahku, lalu meraih bayiku yang tergeletak dalam keranjang. Dia menimangnya dengan sesekali bicara padanya.Aku hanya diam memperhatikan. Dia terlihat begitu menyayangi cucunya itu. Cucu yang dia dapatkan dengan cara yang licik dan kejam. Tentu saja, karena dialah yang nantinya akan jadi pewaris keluarga Baskara."Jangan bawa dia keluar. Angin sedang kencang. Bawa kembali masuk dalam kamar," perintahnya padaku."Mas Johan yang menyuruhnya membawa Syakila jalan-jalan, Ma," Shafira tiba-tiba muncul di belakangku.Shakila? Ah, rupanya mereka menamai anakku Syakila. Mataku mengabur karena tertutup cairan bening. Cepat-cepat kuusap sebelum menetes."Di luar angin kencang. Johan mana tahu cara merawat bayi? Kamu juga, seharusnya kamu belajar menjaga anakmu baik-baik. Dia cucu Mama yang berharga, meskipun dalam darahnya mengalir darah kotor perempuan kampung itu!" omel Nyonya Asmi pada Shafira."Iya, iya, Ma," jawab Shafira ogah-ogahan.Nyonya Asmi menaruh Syakila kembali ke dalam kereta."Bawa kembali ke kamar," perintahnya, sebelum berlalu pergi.Shafira mendekati Syakila lalu mengelus pipinya dengan senyum liciknya."Makanya, cepat besar dong, Sayang. Biar Mama bisa segera memakaimu untuk mewujudkan impian Mama," katanya, lalu juga ikut berlalu pergi.Hatiku begitu sakit mendengar perkataannya. Apa maksudnya? Apa dia akan memanfaatkan anakku juga seperti dia memanfaatkanku? Tak akan kubiarkan itu terjadi.Aku mendorong kembali kereta bayiku dan kembali ke kamar. Aku harus mengucapkan perpisahan untuk sementara padanya, meskipun hati ini tak rela....Aku terus terdiam sepanjang perjalanan pulang. Pikiranku kalut. Aku ingin lebih lama lagi bersama anakku, tapi apa boleh buat, aku tak mungkin di sana lebih lama lagi.Aku tersentak kaget ketika tiba-tiba Dhafa mengulurkan buku rekening padaku. Aku mengerutkan kening, seraya menatapnya."Apa ini?" tanyaku."Upah pertamamu," jawab Dhafa sambil tetap fokus menyetir.Aku membuka buku kecil itu. Mataku membulat seketika melihat jumlahnya."I-ini uang? Apa tidak kebanyakan nol?" tanyaku seperti orang b*go.Dhafa tertawa. Mukaku memerah seketika. Aku sedikit kesal karena dia menertawaiku."Aku serius, Dhafa!" sungutku."Siapa yang bercanda?" katanya. "Itu upah pertamamu karena desaign buatanmu berhasil mendobrak pasaran. Akan segera kutransfer sebulan lagi."Aku terbengong-bengong tak percaya. Kulihat nominal angka dalam saldo rekeningku sekali lagi. Uang sebanyak itu bisa kubelikan rumah lantai dua lengkap dengan isinya. Ini bukan mimpi, kan?Aku melirik Dhafa yang masih fokus menatap ke depan."Apa benar kau hanya seorang supir?" tanyaku, yang seketika membuat Dhafa tersentak kaget.Dhafa menatapku sekilas seraya tersenyum, tapi tak menjawab pertanyaanku."Lalu, dendam apa yang kau punya pada keluarga Baskara?" tanyaku lagi.Dia tersenyum lagi."Belum saatnya kau tahu. Suatu saat aku akan ceritakan padamu," jawabnya kemudian.Aku langsung cemberut. Dia itu benar-benar pria misterius.Seorang supir yang mengabdi pada keluarga Baskara lebih dari tujuh tahun, tapi mengaku dendam pada keluarga mereka. Dan anehnya lagi, darimana dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu?Tiba-tiba aku ingat Mas Johan marah-marah waktu itu, dan berkata brand sebelah menjegal produk miliknya. Apa yang dia maksud itu desaign yang Dhafa suruh buat waktu itu? Aku memijat kepalaku yang tertutup jilbab. Aku benar-benar tidak mengerti."Jangan terlalu banyak berpikir," Dhafa menyentil pelipisku tiba-tiba.Aku mengaduh, sambil memegang pelipisku yang disentilnya."Mulai besok, akan kucarikan apartemen untuk tempat tinggal barumu," katanya kemudian.Aku mengerutkan kening."Kenapa harus pindah? Aku suka tinggal di rumah itu," kataku.Dhafa menarik napas panjang."Sudah, menurut saja. Kau harus bersiap-siap sebentar lagi."Aku mengerutkan kening lagi."Bersiap-siap untuk apa?" tanyaku.Dhafa tampak tersenyum."Bersiap-siap muncul di hadapan mereka sebagai pimpinan perusahan fashion yang baru naik ke tingkat teratas."Aku terbengong-bengong mendengarnya. Aku langsung menepuk pipiku berulang kali. Ini mimpi. Pasti ini mimpi."Mamaaa...," Dhafa kecil menangis sambil berlari ke arah mamanya.Sarah langsung mendekap putra semata wayangnya itu."Ada apa, Sayang?" tanyanya sambil mengelus rambut puteranya."Johan merebut mainanku!" rengeknya. "Kenapa sih, dia selalu merebut semua milikku?"Sarah tersenyum. Dia menghapus air mata puteranya, lalu mencium keningnya."Dia tidak merebut semua milikmu. Dia hanya menjaganya, dan suatu saat nanti akan mengembalikannya padamu."Benarkah?" tanya Dhafa dengan wajah polosnya.Ibunya mengangguk, lalu memeluknya."Suatu saat nanti, apa yang dimiliki Johan akan jadi milikmu juga."...Dhafa tersenyum sambil melihat pemandangan langit dari jendela pesawat."Apa yang kau pikirkan? Kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Sonia tiba-tiba.Dhafa tak menjawab. Dia hanya membuang napas."Senang sekali kita pulang tepat waktu musim semi. Jadi kita bisa melaksanakan acara pertunangan secara outdoor," kata Sonia membuka-buka majalah.Aku membuang napas lagi. Dia sedang dalam perjalanan
Ayu berlari di sepanjang bandara internasional itu, berharap bisa menemukan Dhafa. Dia terus berlari, menerobos kerumunan orang-orang, kloter demi kloter dia telusuri, tapi tak juga menemukan sosok Dhafa di antara mereka. Hingga ketika dia hampir putus asa, dia melihatnya diantara orang-orang yang antri untuk cek in."Dhafa!" panggilnya dari jauh.Dhafa menoleh, begitupun Sonia yang ada di sampingnya. Ayu dan Dhafa saling bertatapan, tapi tak berkata apa-apa.Sonia menepuk bahu Dhafa."Aku duluan, kutunggu di dalam," katanya, sambil menyerahkan tiket pada petugas bandara.Ayu masih berdiri di tempatnya. Tadi begitu banyak yang ingin dia ungkapkan pada Dhafa. Tapi kini dia kehilangan kata-kata. Dia bahkan tak bisa mengucapkan 'jangan pergi'.Dhafa berjalan mendekat, lalu berdiri di hadapan Ayu. Bibir Ayu bergetar, tapi dia tak bisa berkata apa-apa. Hanya air matanya yang mengalir, mewakili isi hatinya. Dhafa menyentil pelipisnya Ayu, lalu mengusap air matanya dengan ujung jarinya."Jan
Belum sempat Johan mengatakan sesuatu lagi, tiba-tiba Ayu duduk bersimpuh di kakinya seraya menangis."Tolong maafkan aku, Mas. Aku pergi ke sini tanpa ijin dari Mas. Aku benar-benar merindukan ayahku! Kumohon, biarkan aku di sini sebentar lagi! Setelah itu, aku akan menerima jika Mas dan Mama mau menghukumku!"Napas Johan sesak seketika. Ternyata ingatan Ayu belum pulih, dan ternyata selama menikah dengannya dia begitu menderita. Johan duduk di hadapan Ayu, dan seketika memeluknya dengan erat."Maafkan aku, sudah membuatmu begitu menderita," ucap Johan penuh penyesalan. "Mulai sekarang aku janji akan membuatmu bahagia. Aku janji tidak akan mengurungmu dan mengekangmu lagi. Aku akan menjagamu sampai kapanpun!"Mata Ayu membulat mendengar kata-kata Johan."Mas tidak marah?" tanya Ayu lirih."Mas tidak marah, tidak akan pernah marah lagi padamu. Mulai hari ini, biarkan aku membuat kau dan Syakila hidup bahagia."Ayu tersenyum bahagia, lalu membalas pelukan Johan dengan penuh keharuan. T
"Ikutlah denganku, akan kubuat kau jadi kaya."Ayu tersentak bangun. Sesaat dia memegang kepalanya yang masih terasa nyeri. Dia selalu memimpikan hal yang sama. Seseorang, entah siapa, dalam mimpi itu mengulurkan tangan padanya. Ayu memegang dadanya. Entah kenapa seperti ada yang hilang, tapi dia tidak bisa mengingatnya.Ayu menatap sekeliling. Dia masih berada di rumah sakit. Tiba-tiba matanya mengarah pada setangkai bunga mawar putih di atas meja. Ayu mengambilnya, lalu membelainya seraya tersenyum. Siapa yang memberinya bunga itu?"Asallamualaikum.""Waalaikumussalam," Ayu menatap pintu, dan melihat Johan masuk sambil menggendong Syakila."Kata dokter hari ini kau sudah boleh pulang. Aku akan membantumu bersiap-siap," kata Johan seraya tersenyum.Ayu membalas senyumannya. Tiba-tiba Johan mengeluarkan seikat bunga mawar merah dan memberikannya pada Ayu. Mata Ayu membulat senang seraya menerimanya."Setelah mawar putih, sekarang mawar merah? Sekarang mas jadi romantis," kata Ayu deng
Johan berlari sebisa mungkin menuruni bukit, sambil menggendong tubuh Ayu yang tak sadarkan diri. Untunglah dia hanya terjatuh di sisi jurang, tapi kepalanya terbentur batu dengan keras."Kau harus bertahan, Ayu, kau harus bertahan! Demi Syakila, kau tidak boleh mati!" raungnya sepanjang jalan.Napas Johan memburu, paru-parunya seakan kering karena kehabisan oksigen. Dia masih berjuang menuruni bukit untuk menyelamatkan wanita yang dulu pernah dibuangnya itu.Sampai di perkampungan, Johan melihat para warga ramai berkumpul karena mobil pick up yang akan membawa hasil perkebunan mereka ke kota sudah datang. Johan mempercepat larinya menuju ke arah mobil itu sambil berteriak minta tolong."Tolong, tolong selamatkan istri saya, Pak! Bawa kami ke rumah sakit! Tolong!" teriaknya.Baru kali ini Johan meminta bantuan orang lain dengan kata 'tolong'. Dia bahkan tanpa sadar menyebut Ayu sebagai istrinya."Bagaimana dengan barang dagangan kami?" tanya salah satu warga."Saya akan bayar! Saya ak
Dhafa masih berdiri mematung sambil memperhatikan Ayu dan Johan dari jauh. Entah apa yang dia rasakan. Dia hanya bisa menatap nanar ke arah mereka."Kok mereka kelihatan bahagia begitu sih? Jangan-jangan mereka memang sengaja kabur bersama," gerutu Sonia.Dhafa akhirnya bergerak, tapi berjalan berbalik arah. Seketika Sonia sadar dia salah bicara. Dia cepat-cepat berlari mengejar Dhafa."Kau mau ke mana? Kita kan sudah berhasil menemukan mereka?" tanya Sonia sambil mendaki kembali bukit itu dengan susah payah.Dhafa diam tak menjawab. Dia tetap saja berjalan naik tanpa mendengarkan teriakan Sonia. Sesampainya ke atas, dia langsung menaiki mobilnya lagi. Sonia dengan susah payah berusaha naik ke atas. Napasnya memburu begitu sampai ke mobil."Kau itu menyebalkan! Tadi kau ngotot pengen cepat mencari mereka! Sekarang kenapa malah pergi?" omelnya pada Dhafa.Dhafa masih terdiam di depan kemudi. Ada yang berat di dalam dadanya, entah apa."Sekarang bagaimana? Apa kita suruh polisi saja yan