Pov Lana"Mas Bayu menyukai istri yang bisa masak," ucapnya seakan tahu isi kepalaku. Kalau begini aku hanya bisa pasrah. Mana mungkin aku mengecewakan Mas Bayu. Mungkin jika aku pandai memasak, Mas Bayu akan menyukaiku. "Dan kamu, Dina! Kerjakan pekerjaan rumah karena kamu masih berstatus asisten rumah tangga. Bukan kakak ipar suamiku.""Baik, Bu.""Bagus, hari ini saya akan ke rumah Mama. Lana tolong masak yang enak. Saat saya dan Mas Bayu sampai rumah, semua harus rapi dan makanan sudah tersaji di atas meja! " perintahnya lalu meninggalkan kami begitu saja. Kukepalkan tangan di atas meja. Rasanya ingin kuhajar wanita itu. Seenaknya memerintah calon istri Mas Bayu. Tunggu saja, apa yang akan aku lakukan setelah Mas Bayu resmi menjadi suamiku! Jarum jam sudah menunjukkan angka dua belas siang. Namun hingga detik ini belum ada satu makanan yang bisa kusajikan di atas meja. Boro-boro makanan jadi, yang ada dapur berubah menjadi kapal pecah. Alat masak kotor, potongan sayuran berteb
Pov LanaAku melawan ludah melihat ekspresi Bu Hanin,Alma dan Azha. Apalagi melihat mereka memuntahkan masakanku. Apa masakanku bener-bener tak enak? "Lana,kamu sudah mencicipi masakanmu?" tanyanya sambil meliriku."Su-sudah,Bu," jawabku terbata. "Yakin kamu sudah mencicipinya?" tanyanya lagi."Memangnya ada yang salah dengan masakan saya?""Silakan kamu coba!" Bu Hanin memberikan sup padaku. Dengan perasaan ragu ku ambil sedikit sup ke piring lalu aku cicipi. Astaga pantas saja mereka muntah masakanku keasinan begini. Untung saja Pak Bayu, eh, Mas Bayu tidak mencicipinya. Kalau sampai itu terjadi, aku akan malu seumur hidup. Niat hati menarik hati Mas Bayu. Namun yang ada dia akan ilfeel padaku. "Masakannya tidak enak,Bun," rengek Alma lagi. "Alma lapar?Mau Bunda masakan atau mau beli?"tanya Bu Hanin. "Alma mau nasi goreng,Bun.""Azha mau apa?" tanya Bu Hanin sambil melirik putra sulungnya."Sama seperti Alma saja,Bun.""Lana tolong bereskan ini!" pintanya sambil menunjuk makan
Pov LanaSemburat keorenan telah nampak di langit, pertanda senja telah tiba. Angin berhembus memainkan rambut yang kubiarkan terurai. "Tutup semua pintu menjelang magrib!" Ucapan Bi Leha kembali terngiang di telinga. Aku segera berlari masuk rumah lalu menutup semua pintu dan jendela. Gara-gara ucapan Bi Leha, aku jadi penakut seperti ini. Namun selama tinggal di sini, rumah selalu di tutup saat azan magrib berkumandang. Itu sebuah kebiasaan atau jangan-jangan...."Kenapa lari begitu, Lan?" tanya Mbak Dina heran. "Takut, Mbak. Rumah ini kok gimana gitu, ya. Mana cuman berdua di rumah sebesar ini.""Ah, biasanya juga gitu. Kamu terlalu berlebihan." Aku mencebikan bibir, lalu berjalan ke kamar. Semenjak aku meminta Pak Bayu untuk bertanggung jawab, semenjak itu pula sikap Mbak Dina berubah. Dia seolah angkat tangan dengan permasalahanku. Jarum jam sudah menunjukkan angka sebelas malam. Namun hingga detik ini rasa kantuk tak jua datang. Sementara Mbak Dina sudah dari tadi terlelap d
Suara panggilan telepon terdengar nyaring di telinga. Nama yang sedari tadi kupikirkan tertulis jelas di layar ponsel. Dengan cepat kutarik gambar telepon berwarna hijau itu ke atas. Bibir ini tersenyum lalu akhirnya mengucapkan sebuah kalimat salam.“Bu,tolong pulang sekarang!” pinta Dina dengan suara terisak.“Kenapa,Mbak?” tanyaku pura-pura tak tahu. Kutahan tawa yang sebentar lagi meledak.Semoga Dina tak curiga dengan suaraku ini. “Pokoknya Ibu tolong pulang sekarang. Saya mau pulang,Bu.”“Kenapa tiba-tiba begini?”“I-Itu ... pokoknya Ibu harus pulang sekarang!”“Baik,satu jam lagi saya sampai di rumah.”Setelah mengucapkan salam,panggilan telepon dimatikan sepihak olehnya. Aku tertawa membayangkan ketakutan Dina dan Lana semalam. Bukan maksud aku mempermainkan mereka. Aku hanya tak ingin Lana berbuat sesukanya di rumahku. Aku juga tak mau dia menjadi istri kedua Mas Bayu karena wanita seperti dia hanya menginginkan harta dan tak lebih dari itu. Egois memang, tapi harus tetap aku
Kendaraan roda empat Mas Bayu sudah berhenti di depan rumah. Kami segera turun dan berjalan menuju pintu. Langkah kaki ini terhenti kala melihat Dina dan Lana berdiri di dekat kursi dengan tas di samping meja. Rupanya mereka benar-benar ingin pergi. Baguslah kalau begitu.“Dina, Lana, kenapa kalian berdiri di sini? Lho, kenapa ada tas segala?” tanyaku pura-pura tak tahu.Lana dan Dina saling sikut sambil menundukkan kepala. Sepertinya mereka bingung harus bicara apa? Tinggal berpamitan saja kenapa susah ,sih?“Masuk dulu, kita bicarakan di dalam,” ucap Mas Bayu lalu berjalan mendekat ke pintu. Tangannya mendorong ganggang pintu berwarna keemasan itu. Namun tetap tak bisa dibuka.“Pintunya dikunci,Din?” tanya Mas Bayu seraya menatap manik bening Dina. Asisten rumah tanggaku itu mengangguk lalu menyerahkan benda kecil berwarna silver pada Mas Bayu.Kami mulai masuk dan duduk di ruang tamu. Sedari tadi Lana hanya menundukkan kepala sambil memegang tangan kakaknya erat. Ke mana sikap angk
"Siapa, Mas?" Akhirnya kutanyakan kalimat itu. "Kontrakan kebakaran, Nin.""Astagfirullah, kenapa bisa, Mas?" Aku beranjak berdiri, menyambar hijab lalu mengenakannya. "Mas juga tidak tahu. Ini mau ke sana," ucapnya seraya memakai kaos yang tadi sempat dilepas. Di tengah musibah aku merasakan lega luar biasa. Aku tak harus melakukan hal yang bertentangan dengan hati kecilku. Maafkan aku, jika perasaan ini begini. "Aku ikut, Mas!" "Apa tidak sebaiknya kamu pulang ke rumah Mama? Anak-anak pasti mencarimu." Mas Bayu mengambil kunci mobil lalu keluar kamar. Segera aku berlari mengejarnya. Tak kuhiraukan penampilanku yang masih berantakan. Entah kenapa aku begitu ingin ikut Mas Bayu melihat kontrakan yang terbakar. Seperti ada sesuatu yang mendorongku untuk melakukan ini. Namun apa, aku sendiri tidak tahu. Mungkin ingin memastikan keadaan korban kebakaran. "Mas, aku ikut!" teriakku kala langkah kaki ini tertinggal beberapa meter.Mas Bayu berhenti, membalikkan badan, lalu menganggu
"Sayang, kemari!" "Tunggu sebentar, Mas." Aku kembali berdiri dengan hati-hati. Kemudian aku melangkah pelan menuju tempat Mas Bayu berdiri. "Ada apa, Mas?" tanyaku setelah berdiri di sampingnya. "Kamu pulang saja dulu, Mas masih lama di sini.""Kenapa?""Mas menunggu penyewa yang berada tepat di sebelah kanan kontrakan Bu Maemunah." Aku mengernyitkan dahi. Bukankah sebelah kanan Bu Maemunah masih kosong? Apa jangan-jangan ada penyewa baru? Tumben tak ada yang memberitahu, baik Mas Bayu atau pun Mas Umar. "Rumah itu bukannya kosong, Mas?""Sudah ada yang menyewa satu minggu ini.""Ow ... begitu.""Kamu mau menunggu atau pulang dulu?" tanyanya lagi. Aku diam, memikirkan apa yang harus kulakukan. Ingin menunggu penyewa kontrakan kami. Namun meninggalkan Ali terlalu lama membuatku tak tenang. Aku jadi bingung harus bagaimana? "Tapi kamu masih di sini, kan, Mas?" "Iya, aku ingin menunggu dia agar masalah ini cepat selesai. Dia sedang dalam perjalanan kemari."Aku mengangguk, memben
"Ustadzah Nisa," sapaku. Wanita berhijab menjuntai itu terdiam, mencoba mengingat aku. "Ibu Hanin? Bundanya Alma?" Aku mengangguk membenarkan ucapannya. "Maaf saya lupa, Ibu sedikit berbeda. Saya kira bukan Bundanya Alma," ucapnya pelan. "Tak apa, kita sudah lama tidak bertemu. Tiap saya menjemput Alma, Ustadzah Nisa tidak ada." "Saya dipindahkan untuk membimbing anak-anak TK B, Bu. Dan jadwal pulangnya berbeda. Jadi tak pernah bertemu dengan Ibu Hanin." Aku mengangguk paham. Pantas saja Alma tak pernah lagi bercerita tentang Ustadzah Nisa. Ternyata ini alasannya. Padahal Alma begitu cocok dengan Ustadzah Nisa. "Ustadzah Nisa tinggal di sini?" tanyaku. "Dia penyewa kontrakan yang kebakaran, Nin."Aku terkejut, tak menyangka jika korban kebakaran itu adalah guru Alma di sekolah. Sejenak kupindai wajah cantik tanpa polesan itu. Dia terlihat sangat tenang meski tak bisa menutupi rasa sedih dalam dirinya. Aku tahu kebakaran yang terjadi merugikannya. Bahkan mungkin membakar aset-as