Share

Titik Terang

    Waktu terasa begitu lama, jarum jam berdetak begitu lambat. Aku sudah tidak sabar untuk segera pulang dan menemui Sifa. Berkali kali kulihat ponselku, tidak ada balasan dari Sifa lagi.

--

     Kulajukan mobilku dengan penuh semangat menuju rumah. Setelah sampai, aku segera mandi dan berpakaian rapi, rambut klimis pakai koleksi parfum yang wanginya paling disukai Sifa. Udah seperti mau apel pacar saja, aku bercermin sambil senyum senyum sendiri. Tak perlu berlama lama setelah siap langsung berangkat menuju rumah mertua.

    'Bismillah' ucapku dalam hati. Tidak lupa aku berdo'a disepanjang jalan, semoga tidak menemui kesialan lagi seperti hari kemarin. Dan semoga dilancarkan juga urusanku hari ini. Semoga kesalahanku masih bisa termaafkan.

---

POV Sifa

  Aku dan Ibu duduk berdua diteras, berbincang bincang sambil menikmati kue dan teh hangat, sembari menunggu kedatangan Ayah, pulang dari kantor.

   "Wah, dua ceweknya Ayah lagi asyik banget nih." seru ayah yang baru turun dari mobil.

   "Mumpung berdua yah, kapan lagi bisa gini. Nyeritain Ayah, tanpa ketahuan." candaku seraya memcium tangan Ayah. Ayah dan Ibu tertawa mendengar jawabanku.

   "Yah, nanti mas Aris mau kesini." ujarku sambil mengikuti Ayah dan Ibu yang masuk kedalam rumah.

   "Iya bagus, lebih cepat lebih baik. Kita harus segera selesain masalah ini, gak baik kalo dibiarkan lama lama." jawaban Ayah membuat hatiku lega.

---

Pov ARIS

Sudah hampir maghrib, Aku sampai dirumah Ayah. Aku segera turun dari mobil, tak lupa kubawa aneka buah dan jajanan yang ku beli dijalan tadi.

   "Assalamu'alaikum." ucapku.

  "Wa'alaikumsalam, masuk nak sini." jawab ibu yang baru muncul. Ku letakkan oleh oleh diatas meja, lalu kucium tangan Ibu.

   "Wah, nak Aris. Baru sampai ya, ayo duduk." ujar Ayah yang muncul dengan Sifa dibelakangnya. Akupun segera menyalami tangan Ayah. Kulihat Sifa mengulurkan tangannya padaku, aku langsung tersenyum sambil menyambut uluran tangannya. Aku begitu bahagia Sifa masih mau mencium tanganku.

     Suara Adzan Maghrib berkumandang, terdengar dari masjid yang hanya berjarak berapa meter saja dari rumah Sifa.

  "Sudah Adzan, sebaiknya kita shalat maghrib dulu." ajak Ayah yang beranjak pergi bersama Ibu.

     Tinggal Aku dan Sifa yang masih berada diruang tamu, ku tatap Sifa, wajahnya terlihat begitu lelah, matanya kulihat sedikit berkaca. Maafkan suamimu ini dek.

   "Dek, ayo kita shalat maghrib ya, mas yang imami." Aku berdiri ke tempat duduk Sifa dan meraih tangannya, dia melepaskan tanganku, sakitnya hatiku.

     "Kita shalat sendiri sendiri aja mas, mas shalat dikamar tamu aja, sajadahnya ada didalam lemari." ujarnya seraya melangkah pergi meninggalkanku yang masih tak percaya dengan apa yang diucapkan Sifa, apa ini penolakan untukku. Apa benar yang dikatakan kak Rudi ditelfon kemarin, kalau Sifa ingin mengajukan cerai.

---

     Setelah selesai shalat maghrib, Kita semua berkumpul diruang makan untuk makan malam. Sesekali Aku melihat ke arah Sifa, jika pandangan mata kami saling bertemu, Sifa akan membuang muka, seperti enggan menatapku.

     Selesai makan malam, Aku ikut membantu Ibu dan Sifa membereskan meja makan. Ibu sampai terheran heran melihat tingkahku.

      "Kamu itu laki laki Ris, sana sama Ayahmu duduk didepan Tv, jangan didapur aja." omel Ibu.

     "Udah hal biasa Bu, masak juga bisa, enak lagi." kelakarku. Ibu tertawa, kulihat Sifa menyunggingkan sedikit senyum.

   "Aris, mau bicara boleh Yah?" tanyaku sambil duduk disamping Ayah.

    "Ya, silahkan." jawab Ayah menatapku tajam.

    "Maafin Aris yah, Aris sadar kalo salah, tapi ini gak seperti yang ada difikiran Ayah." ujarku.

    "Seperti apa?" Ayah bertanya balik.

  "Aris dan Widia hanya sebatas dekat, seperti kakak adik, Aris memang sering bertemu, tapi hanya untuk jalan jalan dan makan bareng, tidak lebih." jelasku.

   "Ohh, namanya Widia?" tanya Ayah.

    "Iya yah, namanya Widia, Aris juga sudah memutuskan hubungan dengannya."kataku sambil melihat Sifa yang datang bersama Ibu.

    "Terus gimana kelanjutannya?" tanya Ayah.

   "Mas bener bener minta maaf dek, mas janji gak akan ngulangin lagi. Hukum mas dek, apapun itu, asal jangan tinggalin mas." Aku beralih duduk disamping Sifa. "Mas bener bener khilaf, mas tau mas salah, maafin mas udah nyakitin hati kamu." ujarku sambil memegang tangan Sifa.

   "Gimana nak?" tanya Ibu sambil membelai pundak Sifa.

   "Boleh kita bicara berdua saja Yah?" akhirnya Sifa berkata.

    "Iya silahkan, ini rumah tangga kalian berdua, selesaikan secara baik baik." sahut Ayah.

    Sifa berjalan pergi menuju kamar, aku mengikutinya dari belakang. Memasuki kamar lalu menguncinya. Dia duduk dipinggir ranjang, akupun duduk disampingnya.

  "Dek," aku memulai pembicaraan.

  "Apa salahku mas, kenapa kamu tega hianati aku?" akhirnya Sifa mengutarakan kesedihannya, dia berucap sambil meneteskan air mata, aku sungguh tidak tega. Kuhapus airmata dipipinya, tapi tanganku ditepisnya.

   "Maafin mas dek, sungguh mas benar benar menyesal, sangat menyesal. Mas janji gak akan ada kejadian gini lagi. Maafin mas dek, maafin." pintaku berkali kali.

   "Sejauh mana hubungan kalian?" tanyanya menyelidik.

    "Hubungan kita memang dekat dek, tapi hanya sebatas jalan jalan saja, yakinlah masmu ini gak pernah aneh aneh." ucapku bersungguh sungguh.

   "Rugi dong, udah dosa kenapa gak sekalian, kenapa setengah setengah?" Deg. Kata kata Sifa benar benar seperti tamparan untukku.

  "Mas benar benar khilaf dek, maafin mas dek, beri kesempatan sekali lagi." ujarku memohon.

   "Hatiku sudah terlanjut sakit mas, rasanya seperti begitu banyak duri yang menancap dihatiku, perih. Keluarlah mas, aku ingin istirahat." pinta Sifa.

   "Mas ingin sama kamu dek, mas gak mau kehilangan kamu, mas boleh tidur disini? tidur disofa juga tak masalah, yang penting kamu didekatku." tanyaku.

   "Pulanglah mas, aku ingin istirahat atau pergilah kerumah selingkuhanmu itu." ujarnya sambil mulai terisak.

   "Mas udah enggak ada hubungan lagi dek, mas udah bener bener mau berubah, maafin mas, beri kesempatan mas." Kulihat istriku itu semakin terisak, airmatanya berjatuhan melewati pipinya yang bersih itu. Maafkan suamimu ini dek.

    "Maafin mas dek, maaf, maaf, maaf, maaf." Kupeluk Sifa, akupun ikut menangis bersamanya. Kurengkuh dia dengan begitu erat. Tak kuhiraukan Sifa yang berontak ingin melepas, semakin dia ingin lepas semakin ku eratkan pula pelukanku, seperti begitu takut kehilangannya.

---

   "Udah dek jangan nangis lagi, maafin mas ya? Tampar mas atau cubit biar kamu lega. Maafkan suamimu ini, janji gak akan aku ulangi, cukup sekali ini aja dek. Maafin mas ya ?" pintaku setelah tangis Sifa mereda.

   "Iya, aku maafin. Tapi hatiku masih belum bisa menerima mas kembali." tubuhku langsung melemas mendengar jawaban Sifa.

    "Mas harus lakuin apa biar kamu percaya, mas udah bener bener kapok dek." ujarku memelas.

     "Buktikan kesungguhan kamu mas, jangan hanya omongan saja." sahutnya.

    "Baiklah mas akan buktikan kesungguhan mas, terimakasih sudah maafin mas. Sudah malam, kamu segera istirahat dek wajahmu terlihat begitu lelah." dengan gerakan cepat ku kecup kening Sifa, dia begitu kaget sampai tidak bisa mengelak. "Selamat istirahat dek." ucapku seraya melangkah pergi.

---

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Cih bohong bgt. Klo si sifa ndak kirimin karangan bunga itu pasti bakalan lanjut lbh jauh hubungan itu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status