Aku dan Mas Aris duduk berdua saling berhadapan, kini kita sedang berada disebuah cafe. Kita saling terdiam, sambil menikmati menu yang di pesan. Terdengar alunan lagu yang dinyanyikan diatas panggung, menambah syahdu suasana. Bagaikan anak muda yang sedang jatuh cinta.Gelap, di dalam tanyaMenyembunyikan rahasianyaLetih kehabisan kataDan kita pada akhirnya diamBunga, di bulan sepiJatuh terdamparTersasarAlasan masih bersamaBukan karena terlanjur lamaTapi rasanya yang masih samaSeperti sejak pertama jumpaDirimu di kala senjaDuduk berdua tanpa suara Lirik lagu Pamungkas yang berjudul Monolog itu, membuat aku dan Mas Aris benar benar sangat menikmatinya,
Adzan Subuh terdengar berkumandang, Suara Adzan yang sangat merdu mengisi keheningan pagi yang dingin. Aku segera bangun dari peraduan dan menuju kamar mandi, tak lupa ku bangunkan mas Aris. "Dek, ayo pulang. Emangnya kamu gak kangen sama rumah?" tanya mas Aris sesudah Shalat Subuh. "Emmm, kangen sih, tapi masih pingin disini mas." ujarku sambil melipat mukena. "Mas udah kangen rumah dek, kangen berdua dirumah." ucapnya sambil memandangku lekat. "Kan Ibu sama Ayahmu masih disini mas, masa kita malah mau pulang. Aneh." Kulihat wajah mas Aris memasang tampang memelas. "Iya udah, kalo Ayah pulang, kita juga pulang ya." ujarnya pasrah. "Iya, iya." ucapku sambil mencubit perutnya. "Ya udah, aku mau ke dapur dulu, bantu ibu masak mas." Akupun segera be
Langit berwarna ke merah merahan, matahari sudah merangkak ke arah barat. Hari sudah mulai memasuki waktu maghrib, banyak anak kecil yang berlari larian, menuju masjid. Aku lihat di taman komplek, gerombolan ibu ibu tadi sudah tidak ada, mungkin sudah pulang ke rumahnya. Syukurlah, batinku. Terbebas dari pertanyaan para ibu tadi. Aku berjalan memasuki pagar, rumah bertingkat dua yang catnya berwarna putih, dihalaman ada kolam ikan beserta air mancur kecil , dan ada beberapa pot bunga. Mas Aris sedang duduk diruang tv, memakai baju koko dan sarung, saat aku akan menuju dapur. "Dek, bel
Hari masih pagi, cuaca sedikit agak mendung, matahari masih malu-malu menampakkan diri. Aku berada didepan rumah, sambil menunggu tukang sayur yang biasa lewat. Suasana komplek masih sepi, hanya ada beberapa orang yang lewat, ada yang sedang joging, ada juga yang bersepedah. Aku menanti tukang sayur sembari menyapu halaman depan, aku lihat beberapa ibu-ibu juga mulai berjalan menuju depan rumahku, tempat mangkal tukang sayur. "Sayur, sayuur, sayuuuurr, ayoooo ! Masih seger!!" seru tukang sayur dari kejauhan. "Kok siang sekali bang," tanya Bu Nur, tetangga depan rumahku, setelah tukang sayur memberhentikan sepeda motornya didepan rumahku. "Iya, pasarnya rame bu," jawab tukang sayur sembari menuju tempat duduk, membiarkan sayurnya dipilih para ibu-ibu. "Selamat pagi ibu-ibu, udah rame aja nih!" sa
Terdengar suara mobil Mas Aris memasuki halaman rumah, saat aku sedang menonton tv. Aku segera menghampirinya ke depan, menyambut kedatangannya. "Assalamu'alaikum dek!" ucap mas Aris sambil tersenyum sumringah. "Wa'alaikumsalam mas." Aku mencium tangan mas Aris.--- "Ayok mas kita keluar, udah lama gak jalan-jalan," ajakku pada mas Aris. "Pengen kemana dek?" tanya mas Aris sambil tetap fokus pada televisi. "Ya, muter-muter aja mas, beli makan dipinggir jalan, kayaknya enak." "Iya dek, nanti ya habis maghrib," jawab mas Aris sambil mengelus kepalaku. "Mas..." "Kenapa dek? Kamu ada masalah?" tanya mas Aris khawatir. "Ayo kita ke dokter lagi mas, periksa lagi," ucapku lirih. "Kan udah pern
Setelah mobil berhenti di halaman rumah, aku segera keluar dari mobil. Ku buka pintu yang terkunci. Lalu langsung menuju kamar. Tak kuhiraukan Mas Aris yang berteriak memanggil-manggil namaku. Aku menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, lalu melaksanakan sholat isya'.-- "Dek, jangan diemin mas dong! Mas juga bingung harus gimana!" ujar mas Aris, seraya tidur di sampingku. Aku hanya diam, hanya ku lirik sekilas. Kutatap tajam matanya. Lalu fokus kembali ke hpku. "Dek, kamu marah lagi sama mas?" Mas Aris hendak menyentuh tanganku. Aku langsung berbalik, tidur memunggunginya. "Dek, jangan gini dong!" "Dek," Mas Aris menyentuh bahuku, langsung aku tepis tangannya. Kutatap wajah Mas Aris, dia memasang wajah memelas. "Sudahlah mas, kamu yang memulai semuanya. Jadi kamu harus bertanggung jawab. Walaupun nanti
Aku yang sedang menikmati sarapan bersama Mas Aris, tiba-tiba dikejutkan oleh suara bel rumah. Kami saling berpandang-pandangan, mungkin sama-sama berfikir. Siapa yang bertamu sepagi ini. "Aku ke depan dulu Mas, mau lihat siapa yang datang." Aku beranjak pergi menuju ke depan.-- Aku menghampiri Mas Aris yang sedang sarapan, sambil membawa sebuah bungkusan paket. Dia mengernyit heran memandangku. "Apa itu dek?" tanyanya. "Ya gak tau Mas, mungkin pesanan kamu. Kata kurirnya untuk Aris," jawabku sambil menaruh paket di meja. "Lah! Kan paketku udah tadi malem dek. Aku cuma pesan satu, kok di kirim dua?" tanyanya heran. "Ya gak tau Mas! Coba tanya ke penjualnya. Atau kamu coba buka dulu paketnya." Aku meneruskan sarapanku yang sempat tertunda.--- Setelah selesai sarapan, Mas Aris segera mem
Aku yang sedang asyik bercanda bersama Nila, tiba-tiba di kagetkan oleh panggilan telefon dari ponselku. Tertera nama Mas Aris disana. "Halo Mas, ada apa?" tanyaku. "Mas mau ngabarin dek, nanti mas lembur, pulang sekitar pukul 8 malam. Kamu gapapa kan?" "Gapapa mas, ini aku masih main di rumah Nila." "Ya udah, kamu di situ aja, sampai mas pulang. Nanti biar mas jemput ke rumah Nila." "Iya mas, aku tanya Nila dulu?" Ku lihat Nila mengangguk-angguk begitu bahagia. "Iya mas, boleh katanya, nanti kamu langsung jemput kesini saja," jawabku kemudian. "Iya dek, kamu hati-hati. Jangan lupa makan. Sudah dulu ya, mas mau lanjut kerja. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam," jawabku. Kemudian memasukkan ponselku ke dalam tas kembali. Aku memutuskan untuk mampir ke rumah Nila tadi, setelah pulang dari kak Rudi. Darip