Share

4. MENGUMPULKAN BUKTI

Mas Amar sudah kembali ke ruang tamu setelah tadi dari kamar untuk mengambil handphonenya. Ia kembali duduk di tempat semula.

Aku merogoh handphone ku yang ada di saku. Lalu, aku mencari aplikasi perekam suara. Aku menyimpan handphone ku di sofa dengan posisi layar yang terbalik.

Rekaman sudah menyala. Aku berharap, suara pembicaraan mereka bisa terdengar.

"Yaudah, deh. Mas, kamu temenin Nura ngobrol dulu, ya. Aku mau masak dulu. ...Ra, kamu sama Mas Amar dulu, ya." Ucapku sambil berdiri.

"Iya, sayang. Kamu masak aja."

"Mau aku bantu, Vi ?"

"Ekh, jangan. Kamu duduk manis aja. Kamu 'kan tamu aku. Udah, kamu diam aja, oke."

"Yaudah, deh. Kalo itu mau kamu," jawabnya Nura sambil tersenyum.

'Halah.. so-so-an pengen bantuin! Bilang aja senang bisa berduaan dengan Mas Amar!'

Aku sengaja membiarkan mereka berdua di ruang tamu. Setelah sampai dapur, aku kembali melihat mereka lewat dinding yang ada di dapur. Lagi dan lagi, ular itu berpindah tempat duduk dan mendekati suamiku.

'Manusia macam apa yang selama ini aku kenal! Kenapa aku baru sadar sekarang ya Allah'

Namun, aku tersenyum senang begitu melihat posisi duduknya tepat membelakangi handphone ku yang ada di sofa. Semoga saja Mas Amar juga tidak curiga. Aku juga sudah mengaktifkan mode pesawat agar tidak ada yang menelpon.

Karena mesti masak, terpaksa aku tidak melihat apa yang mereka lakukan. Biarkan saja, cukup rekaman itu dulu yang bekerja. Lagipula, aku belum tentu masih bisa sabar jika sampai melihat mereka melakukan hal men-ji-ji-kan kembali.

*****

Setelah selesai masak, aku kembali ke ruang tamu. Kedua manusia munafik itu, kembali terlihat duduk berjauhan lagi.

'Benar-benar munafik!'

"Sayang, kamu sudah selesai, masaknya ?" tanya Mas Amar, saat aku berjalan menghampirinya.

"Sudah, Mas," jawabku dengan berusaha tersenyum.

Sambil berdiri, aku mengambil handphone ku yang ada di sofa. Tombol rekaman aku matikan. Aku akan mendengarkannya nanti. Berharap, semoga saja suara mereka bisa terdengar.

"Ra, Mas, yaudah yuk, kita ke meja makan."

*****

Aku dan mereka pun duduk di meja makan. Kami mulai makan disana. Tadi, aku memasak daging sapi yang menurut Mas Amar, masakan ku selalu enak.

Aku duduk dan mulai memotong daging dengan memakai pisau tajam.

"Ra, kamu kapan nyusul nikah ?"

"Uhuk! Uhuk!"

Mas Amar yang tengah makan langsung terbatuk. Ia pasti sangat kaget dengan ucapan ku. Ia pasti tidak rela jika selingkuhannya menikah dengan laki-laki lain.

Meskipun muak, aku berusaha berpura-pura perhatian dengan menepuk-nepuk punggungnya dan mengambilkan minum untuknya.

"Mas, kenapa ? Hati-hati dong makan-nya. Nih, minum dulu," ucapku sambil memberikan gelas berisi air putih padanya. Ia mengambil lalu meminumnya.

'Jika saja aku tidak takut di penjara, sudah aku kasih ra-cun kamu, Mas! Biarkan saja kamu mati keracunan!'

"Aku gak kasih racun aja kamu udah sampai batuk kayak gitu, Mas," ucapku sambil tersenyum. Terlihat Mas Amar menelan ludahnya. Sedangkan, Nura langsung mengambil air minum dan meminumnya.

"Kamu ini becanda-nya bikin ngeri aja. Emang kamu tega kasih racun sama orang yang kamu cintai ini ?" tanyanya Mas Amar dengan tawa kecilnya. Wanita ular itu ikut tertawa kecil.

"Ya bisa aja dong, Mas. Jangankan racunin kamu, bunuh kamu aja bisa kalo sampai kamu selingkuhin aku!" ucapku diakhiri dengan tawa yang membuat Nura dan Mas Amar saling mengulum senyum.

Mereka pasti panik dengan ucapanku.

"Udah, akh. Kayaknya kamu lagi ngelantur. Mana mungkin aku selingkuhin wanita yang paling aku cintai," jawab Mas Amar.

'Cih! Muak sekali aku mendengar nya! Ternyata benar, tidak semua laki-laki yang mengatakan hanya mencintai satu wanita, benar-benar hanya mencintai wanita itu!'

Namun, dengan cepat aku memeluk Mas Amar untuk membuat Nura cemburu.

"Eum.. Mas, makasih.." ucapku. Terlihat Nura berusaha tersenyum terpaksa. Sekalipun aku yang diselingkuhi, Hatinya wanita ular itu pasti kepanasan melihat aku bermanja pada Mas Amar.

Sesekali tatapanku juga tertuju pada kalung yang menggantung di lehernya. Kalung itu pasti kalung yang dibelikan oleh Mas Amar untuknya. Enak sekali dia ikut menikmati uang suamiku.

"Jadi kapan, Ra ? Kapan kamu mau menikah ? " tanyaku lagi pada Nura meski sebelumnya dia sudah mengatakan jika dia belum punya pacar.

"Sayang, 'kok kamu tanya begitu, sih. Nanti Nura tersinggung, loh."

Mas Amar terdengar begitu keberatan jika selingkuhannya menikah. Apa dia juga mencintai Nura ?

"Aku 'kan sahabatnya, Mas. Emangnya aku salah, kalo aku ingin tau sahabat aku menikah sama siapa ? Aku 'kan juga ingin memastikan, jika Nura mendapatkan laki-laki yang baik. Ya kan, Ra ?"

"Aku belum kepikiran, Vi. Aku masih mau fokus karir dulu," jawab Nura.

Di usianya yang sudah seumuran denganku, 27 tahun, wanita itu lebih memilih melayani suami orang lain ketimbang dia menikah dengan laki-laki yang bukan milik orang lain.

'Rendah sekali kamu, Ra! Apa demi menyaingi aku, kamu sampai merendahkan harga diri kamu sendiri dengan menjadi selingkuhan suami ku ?'

Aku manggut-manggut dengan jawabannya. Terserah apapun dengan yang dia katakan. Aku sudah tidak percaya lagi. Kembali aku menyantap makanan.

Sedangkan, pikiran ku tak henti kepikiran, penasaran dengan isi rekaman mereka yang ada handphone ku.

*****

POV AMAR

Saat aku mandi, tiba-tiba aku teringat jika masih ada kwitansi bekas pembelian perhiasan kalung untuk Nura. Buru-buru aku segera selesai mandi meski belum terbilang bersih.

Aku buru-buru memakai handuk sebelum Via mengambil jas kantorku untuk dia cuci.

Ceklek.

Saat aku membuka pintu kamar mandi, aku menghela nafas lega. Ternyata Via tak ada di kamar. Sepertinya dia langsung masak ke dapur dan sepertinya dia tidak menyentuh-nyentuh jas ku apalagi sampai merogoh sakunya.

Dengan cepat aku berjalan mendekati laci. Aku merogoh saku jas-ku sendiri. Lagi-lagi aku menghela nafas lega.

"Selamat... Selamat..." gumam ku sambil mengelus dada begitu melihat kertas kwitansi itu masih ada di saku jas ku. Berarti benar, sepertinya Via tidak menyentuh jas ku.

Setelah pulang dari kantor, aku bersama Nura pergi ke toko perhiasan karena Nura ingin membeli kalung.

Demi tidak membongkar perselingkuhan ku dengannya, aku rela mengeluarkan uang 55 juta untuk harga kalungnya itu. Ya, bagaimanapun aku juga mencintainya.

Setelah itu aku dan Nura pergi ke Mall untuk menemani dia belanja beberapa baju. Jalan-jalan bersama Nura setelah pulang kantor sudah biasa aku lakukan. Dan sampai saat ini, aku yakin Via tidak pernah menaruh curiga sedikitpun.

Masalahnya, password handphone-ku saja sengaja aku kasih tau pada istriku itu agar dia tidak menaruh curiga sama sekali. Agar dia percaya, jika aku tidak ada main bersama wanita di belakangnya.

Hampir tak pernah ada bekas chat an dengan Nura di handphone ku, karena aku dan Nura sudah sepakat untuk tidak komunikasi mesra lewat handphone kecuali membahas soal kerjaan.

Jadi, jika sampai Via berusaha mencari tahu perselingkuhan ku, dia tidak akan menemui diriku sebagai lelaki yang berselingkuh.

--------

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status