Share

5. TAKTIK

Malam ini, ketika Mas Amar mengerjakan pekerjaan kantor-nya di ruangan kerja.sedangkan, aku langsung mendengar rekaman kemarin sambil tiduran di atas tempat tidur. Meskipun suaranya terdengar pelan, tapi masih bisa terdengar jelas.

(Mas, Emang bener, Via mau beli pesawat ?) terdengar suara wanita ular itu nampak gelisah.

Aku tersenyum geli mendengarnya. Ternyata benar, ia sampai kepikiran akan ucapanku yang ngelantur itu.

Beli pesawat ? Jelas tidak akan aku lakukan ? Aku tidak kepikiran sama sekali. Lebih baik aku gunakan uangnya untuk hal yang lainnya yang lebih penting dan lebih bermanfaat.

(Kata siapa ?) tanya Mas Amar.

(Via sendiri yang bilang, Mas. Katanya dia mau nabung buat beli pesawat. Biar kalian punya pesawat sendiri kalo mau jalan-jalan ke luar negeri.)

(Via cuman becanda kali.. mana mungkin dia mau beli pesawat yang harganya kamu tau sendiri 'kan ? pasti sampai miliyaran. Pesawatnya juga mau disimpan dimana ? Masa dibiarkan terbang dan turun di depan halaman rumah, yang ada tetangga pada ribut.)

(Tapi, Via 'kan suka serius kalo bicara, Mas. Via selalu jujur. Pokoknya, aku juga mau beli pesawat!) terdengar suara Nura cukup menekan.

Tidak percuma selama ini aku selalu jujur ketika menceritakan hal apapun padanya. Ia jadi kepikiran dan menganggap semua itu serius.

Seperti dugaan ku, ia pasti akan mengikuti apapun yang aku inginkan. Benar-benar tidak mengerti dengan cara berpikirnya!

(Pokoknya aku gak mau tau ya, Mas! Aku mau beli pesawat juga! Kamu harus belikan aku pesawat juga! Emang kamu mau, Via tau kita sering tidur bareng ?)

Deg! Aku langsung tertegun.

Tidur bareng ? Apa maksudnya ? Apa memang benar mereka sudah melakukan hal itu ?

Tanganku langsung mengepal erat. Semakin lama, rasanya emosi ini semakin ingin meledak.

*****

Ceklek! Pintu kamar di buka oleh Mas Amar.

"Sayang, kamu udah tidur ?" Mas Amar bertanya padaku yang tengah tiduran dengan posisi menyamping. Dari tadi, aku kepikiran soal isi rekaman itu.

Mas Amar ikut naik ke atas tempat tidur, ia ikut membaringkan tubuhnya dan lalu memelukku dari belakang.

Perlakuan yang biasa dia lakukan. Tapi, sekarang menjadi terasa ji-jik ketika dia menyentuhku.

"Lepasin, Mas. Aku gerah," ucapku sambil melepaskan tangannya yang tadi melingkar di perutku.

Aku mengubah posisi menyamping kearahnya, hingga bisa melihat wajahnya.

"Malam dingin begini, masa kamu bilang gerah ?"

"Iya, Mas. Menurut aku ini gerah banget."

"Kamu ini ada-ada aja. Gerah, tapi kok pakai selimut, sih ?" tatapannya melihat pada selimut yang menutupi sebagian tubuhku.

"Pokoknya aku lagi gak mau di peluk-peluk aja. Risih!"

"Kamu kenapa, sih, Sayang ? 'kok kayaknya sekarang jutek mulu ?"

Rupanya ia menyadari rasa marahku. Aku memang agak kesulitan menyembunyikan rasa marahku. Aku tidak begitu pandai masih bersikap manis setelah tahu apa yang mereka lakukan.

Segera aku menarik nafas, berusaha tersenyum dan tak memperlihatkan marah.

"Aku emang cuma lagi risih aja, sayang," jawabku disertai dengan senyum. Ia ikut tersenyum.

"Hem gitu. Kalo kamu gerah, malam ini kita mendingan..." ucapannya menggantung sambil menaikkan satu alisnya. Aku mengerti apa maksudnya.

Ia meminta ku untuk melayaninya di atas ranjang ini. Cih! Aku tidak sudi!

Setelah apa yang dia lakukan, aku tidak sudi untuk memberikan tubuhku lagi padanya. Aku ji-jik, sangat ji-jik. Enak sekali dia, setelah bisa selingkuh dengan wanita ular itu, dia juga meminta jatah padaku!

"Aku lagi dapet, Mas. Jadi aku gak bisa layani kamu dulu. Gak papa 'kan ?" Jawabku beralasan.

"Ohh.., sayang banget ya ? Yaudah, gak papa. Lain waktu aja kalo kamu udah gak dapet." Ia nampak kecewa.

Mungkin, aku tidak akan pernah lagi memberikan jatah untuknya. Aku sudah tidak sudi lagi, memberikan tubuhku lagi pada lelaki yang telah mengkhianati aku!

Begitu aku mendapat bukti memergoki Mas Amar melakukan hal itu dengan Nura, aku akan segera urus perpisahanku dan Mas Amar ke pengadilan.

Bahkan, bukti yang aku dapatkan kemarin, itu juga sudah cukup untuk membuat dia kalah di pengadilan. Ia jelas salah karena terbukti selingkuh.

Aku hanya ingin mendapatkan satu bukti itu lagi saja untuk semakin membulatkan keputusan ku untuk berpisah dengannya. Entah kenapa, aku yakin jika mereka sudah sampai sejauh itu.

*****

Aku terbangun, lalu melihat jam dinding yang ada di kamar, menunjukkan pukul satu malam.

Segera aku beranjak dari tempat tidur dengan hati-hati. Aku berjalan pelan lalu mengambil handphonenya Mas Amar yang ada di atas laci.

Mas Amar memang pintar sekali, ia bahkan memberitahu password handphone-nya yang mungkin agar aku tidak menaruh curiga.

Tak ada sedikitpun jejak yang menunjukkan jika dia tengah selingkuh. Contohnya, pesan dengan Nura pun tak ada sama sekali.

Tapi aku juga tidak bodoh, kali ini aku mengotak-atik HP-nya untuk memasang GPS di handphone-nya, Agar aku tahu kemana saja dia pergi.

Jika memang mereka melakukan sampai ke hal itu. Aku berharap bisa tahu dimana tempat mereka melakukannya!

*****

Pagi ini, aku sudah menyiapkan sarapan di meja makan untuk Mas Amar yang hendak berangkat kerja. Lelaki yang sudah bersiap-siap dengan memakai jas kantor itu menuruni tangga untuk turun ke bawah.

"Sayang, seperti biasa. Tolong rapihkan dasinya." Sambil tersenyum, ia mengatakan itu setelah menghapiri ku. Setiap hari aku sudah biasa merapikan dasinya.

Segera aku merapikan dasinya yang belum terpasang dengan rapih itu.

"Oh, iya, Mas. Aku boleh gak minta uang lagi ?" Aku bertanya sambil merapikan dasinya. Sengaja aku meminta uang, setidaknya jika aku berpisah dengannya, aku tidak rugi-rugi amat.

Dan semoga saja, jatah untuk Nura jadi berkurang. Aku tidak rela uang suamiku dipakai untuk memanjakan selingkuhannya itu. Aku istrinya, Aku yang lebih pantas atas uang suamiku, Bukan wanita busuk itu!

"Uang ? Emang uang bulanan yang aku kasih masih kurang ?"

"Masih ada, sih. Tapi, kalo untuk keinginan ku yang sekarang ini gak akan cukup, Mas."

"Emang kamu pengen beli apa ?"

"Aku pengen beli kalung. Tapi, harganya 75 juta. Uang bulanan yang dari kamu cuma sisa 10 juta."

"Oh.." Mas Amar manggut-manggut. Lalu, ia merogoh ponsel dari saku celananya. Sepertinya, rencanaku berhasil.

"Udah aku transfer seratus juta ya ?" Setelah mengucapkan itu ia kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku. Aku tersenyum senang mendengarnya.

Lumayan juga jika dia sering memberikan aku uang yang cukup banyak. Setidaknya, aku bisa menggunakan uang darinya untuk hal-hal yang lebih bermanfaat ketimbang dia pakai untuk memanjakan wanita murahan itu.

Sebagian uangnya, akan aku sumbang ke panti asuhan seperti biasanya. Aku biasa memberikan ke panti asuhan 25 juta setiap bulannya. Dan sisanya lagi aku tabung untuk keperluan lainnya.

*****

"Yaudah, aku berangkat ya ?" Mas Amar beranjak dari tempat duduk setelah sarapan. Seperti biasa, aku menyalami punggung tangannya saat dia hendak pergi atau pulang dari kantor.

Aku juga mengantarkannya sampai keluar pintu rumah. Mas Amar mulai masuk kedalam mobilnya. Aku masing menunggunya di luar.

"Aku berangkat ya, Sayang." Serunya padaku sambil melambaikan satu tangannya begitu mobil sudah dia lajukan menuju keluar gerbang rumah.

"Iya, Mas. Hati-hati." Jawabku sambil melambaikan telapak tangan juga.

"Lihat saja, Mas. Sekarang, aku akan tahu kemanapun kamu pergi." Gumam ku setelah mobil Mas Amar hilang dari pandangan. Aku akan lihat di manapun keberadaannya dari GPS yang semalam aku pasang di handphonenya.

-------

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status