Aku memang manusia biasa
Yang tak sempurna dan kadang salahNamun di hatiku hanya satuCinta untukmu luar biasaLagu Manusia Biasanya Yovie & Nuno masih mengalun merdu di kamar Kenzy. Entah mengapa, hampir seharian ini dia memutar lagu-lagu lawas berbahasa Indonesia. Bukan, bukan berarti aku memperhatikan kebiasaaan dia, sih. Terserah saja dia mau memutar lagu apa, kapan, dimana dan sampai kapan. That is not my business. Tapi masalahnya volumenya itu lhooo, sudah seperti di Baar and Karaoke saja?
Aku mau mendampingi dirimu
Aku mau cintai kekuranganmuSlalu bersedia bahagiakanmuApapun terjadi kujanjikan aku adaNah, kaaan?
Bukannya dipelankan malah semakin dikeraskan! Bagaimana aku bisa konsentrasi belajar kalau begini ceritanya? Masa harus mengungsi di kamar tamu lagi, sih? Bukan apa-apa, aku malas naik turun tangganya. Belum lagi, di sana nggak ada pemanas ruangannya. Duh, duuuhhh, perlu pertimbangan sejuta kali, deh?Tok, tok, toook ...!
Akhirnya aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar Kenzy. Selama tujuh bulan di sini, inilah pertama kali aku melakukannya. Mengetuk pintu yang selalu kuhindari setiap kali melintasinya. Halooo, kamar Kenzy persis berada di depan kamar mandi, samping tangga, lemari persediaan makanan, ruang baca dan di sudut kamarku. Bayangkan, berapa kali dalam dua puluh empat jam aku melintasi kamarnya?
Uncounted, really.
Tok, tok, toook ...!
Lagi, aku mengetuk pintu kamar Kenzy yang dipenuhi dengan stiker yang diangkutnya dari berbagai negara di dunia ini, kukira. Baanyak sekali, nyaris menutup seluruh pintu. Barangkali, kalau ada orang asing berkunjung ke rumah ini---kecuali melihat gagangnya---nggak akan tahu kalau itu pintu. Terutama jika tamunya itu aku. Sungguh, sudah mirip dengan pameran stiker. Ajaibnya, aku bisa menemukan stiker bertuliskan JOGJA ISTIMEWA. WELLCOME TO MALIOBORO! di antara sekian banyak stiker yang terekat kuat di sana.
Benar, Jogja memang selalu istimewa, di hatiku. Malioboro? Waaahhh, tempat hangout yang paling menyenangkan bagiku. Nggak perlu masuk ke mall untuk menghabiskan uang dengan shopping atau menghabiskan waktu dengan window shopping. Cukup duduk-duduk di bangku kayu sambil menikmati sekitar saja sudah sangat menyenangkan. Spots favoritku, di depan Gedung Agung, Titik Nol Kilometer dan sekitar Stasiun Tugu.
"Kenzy!"
Setelah menunggu sampai beberapa menit lamanya, aku memanggilnya juga, "Kenzy, please ... Not so loud!"
Klik, kriiit!
Aku sudah membalikkan badan dan bersiap kembali ke kamar, ketika pintu kamar Kenzy terbuka. Mau tak mau, terpaksa aku menghentikan langkah dan memutar setengah badan mengadap ke belakang. Betapa terkejutnya aku, melihat Kenzy yang hanya mengenakan pant dan dengan santainya menanyakan apa yang kukatakan tadi.
"Oh, my God. Is that a tragedy?" gumamku lirih, sambil menutup wajah dengan telapak tangan kanan.
"Ada apa, Anya?" tanya Kenzy tanpa perasaan bersalah sama sekali, nggak malu juga kelihatannya.
"Your music is so loud for me. It's disturb my learning time!" semburku, masih sambil menutup wajah dengan telapak tangan kanan, "Sorry," kataku lalu membalikkan badan dan secepat mungkin kembali ke kamar.
Selama dua puluh tahun kehidupanku, baru kali ini melihat seorang pria hanya mengenakan pant. Baru sekali ini, tadi dan pria itu adalah Kenzy Van Snoek. Hiii, itu sangat menakutkan. Menjijikkan.
"Anya, tunggu!" panggil Kenzy dengan nada rikuh, "Sorry, gimana nanti ...? Jadi makan malam di luar, kan? Di Den Haag?"
Kriiit, braaakkk!
Tanpa berkata-kata, aku menutup pintu kamarku. Sedikit keras, sehingga terbanting begitu saja dan menimbulkan suara gaduh. Nggak nyangka sama sekali, kalau Kenzy bisa senekat itu. Ummm ... Terserah sih, kalau dia sedang sendiri di kamar. Bukan untuk menemuiku seperti tadi. Oke, oke ... Aku yang mengetuk pintu kamarnya tapi bukan berarti dia harus seperti itu, kan? Apa bagusnya, coba? Nggak ada.
Dooong!
New Chat: K
[Sorry yg tadi]Oooh, bisa juga dia merasa bersalah dan minta maaf? Kupikir, hatinya sudah terlalu keras untuk kedua hal itu.
[OK] ketikku dengan jari-jari yang masih gemetar dan mengirimkannya pada Kenzy. Eh, K.
Mengapa aku menamainya dengan K di kontak ponsel? Karena dia juga menamai kontakku dengan A. Biar serasi? Nggak juga. Menurutku, dalam hal-hal tertentu, Kenzy harus diberikan sikap yang seperti itu. Biar dia tahu, kalau dia bisa melakukan sesuatu pada orang lain, orang lain pun sama. Apa bedanya? Sama-sama manusia yang kulitnya bisa tergores dan hatinya bisa terluka, kan?
Dooong, dooong!
Chat Room: K
[And, how is the dinner?][Please, reply!]Ah, rasanya masih terlalu malu untuk makan malam bersama Kenzy. Jangankan di Den Haag, di ruang makan pun rasanya nggak sanggup lagi. Kenapa sih, Kenzy kekanakan seperti itu? Kupikir, seiring bertambahnya usia, dia akan semakin dewasa. Tapi nyatanya?
***
Elize mengantarku sampai di depan pintu. Dia mengundangku makan siang di rumahnya tadi. Kami nggak hanya berdua, ada Tante Theodora juga tadi, mamanya. Terlepas dari Elize yang harus membantu Tante Theodora makan---harus disuapi---makan siang kami berlangsung nikmat. Elize memanggang pizza untuk kami, pizza kreasi terbarunya, tentu saja. Sosis, keju, bayam dan ikan teri. Mungkin, kalau mengundangku makan siang lagi, Elize akan membuatkan kami pizza ikan sardine. Hihi.
Sampai sekarang, aku nggak tahu, kenapa kedua tangan Tante Theodora sekaku kayu. Nggak bisa digerakkan sama sekali. Untung, kedua kakinya sehat dan baik-baik saja. Kalau nggak? Mungkin Elize dan kedua kakaknya harus membayar mahal perawat untuk mama mereka. Bagaimana mungkin Elize yang berperawakan mungil itu, menggendong Tante Theodora seorang diri? Well, pasti ada hal yang mengharuskan untuk menggendongnya, bukan? Mininal dari kursi roda ke tempat tidur atau sebaliknya.
Ah, what a life?
"See you, Anya!" ucap Elize dengan nada haru, "Be careful, please?"
Aku membalas dengan senyum tulus persahabatan, "See you, Elize. Thanks, you too. Take care of your self, right?"
Padahal hanya mau pulang ke rumah yang jaraknya satu blok, tapi rasanya seperti mau pergi jauh. Ke luar kota. Oh bukan, ke luar negeri. Hihi. Baik aku maupun Elize sama-sama bersedih selama beberapa detik. Dramatic we are, jangan heran!
Sebenarnya, aku masih pusing tentang tawaran makan malam bersama Kenzy. Kenapa harus di Den Haag, sih? Kalau di sana, sore hari kami harus sudah berangkat. Terus, pulangnya bagaimana? O'ooo, nggak mungkin kan kami menginap di hotel atau semacamnya? Walaupun kami suami isteri, sih.
Terlebih, tadi Elize mengingatkanku tentang komitmen itu. Satu rumah yes, satu kamar no. Artinya, jangan sampai aku terjebak dalam situasi apapun itu yang memaksa kami untuk berada dalam satu kamar. Kalau sama-sama tidur sih nggak masalah. Tapi, kalau aku tidur dan dia terjaga? Ummm, atau sebaliknya, bagaimana? Sepertinya Kenzy harus meralat tempat makan malamnya, deh?
De Swiiing!Entah bagaimana awalnya, aku nggak terlalu ingat, rasa-rasanya ada sesuatu yang aneh di ruang perawatan ini tapi nggak tahu, apa. Om Dirga masih berdiri sambil menyedekapkan tangan di bawah kaki Kenzy, sama seperti posisinya semula. Miss D sudah selesai melepaskan sonde dan sekarang Doctor, dibantu Nurse mulai melepaskan jarum infus yang tertancap di punggung tangan sebelah kanan. Mereka melakukan transfusi darah dari sana. Sampai di sini aku memandang ke segala arah, mengingat keanehan yang sempat kurasakan tadi.Nothing is weird but I feel that!Kembali, aku memandangi wajah Kenzy yang kadang-kadang tertutup tangan Doctor atau Nurse karena pekerjaan mereka melepas ventilator belum selesai. Wajah yang kalau dalam keadaan sehat terlihat tampan dengan
Di antara bayang-bayang Kenzy yang mengulum senyum manis dan segenggam kebahagiaan, aku menguatkan diri untuk tanda tangan. Meskipun air mata tak kunjung berhenti dan keringat dingin semakin deras mengalir, aku berusaha untuk menguatkan diri. Kuat, tegar untuk Kenzy. Demi suami tercinta sepanjang masa. Miss D dan Doctor menunggu dengan sabar di seberang meja. Tenang, Miss D mengusap-usap punggung tanganku, senyumnya terlihat tipis tapi tulus. Sementara Doctor duduk bersedekap tangan dengan raut wajah setegang robot lowbat.Sungguh, sampai detik ini, aku masih merasa jahat!Jahat, karena harus melalukan semua ini, meskipun itu demi kebaikan Kenzy. Cukup, cukup satu musim dia menjalani masa komanya. Nanti, besok jangan lagi. Aku sudah nggak sanggup lagi melihatnya seperti ini. Oooh, ooohhh, my God! Baru satu kali itu aku me
"Kamu …?" aku mendelik menatapnya, "Ngapain kamu ke sini, keluar!"Betapa terkejutnya aku, saat Kenzy dengan tenang dan santainya masuk ke kamarku. Padahal, sebelum ijab qabul tadi sudah berjanji kalau nggak akan pernah menginjakkan kakinya di sini. Wuaaahhh, sepertinya dia meremehkan ya, kan?"Kenzy, keluar!" dengan amarah yang semakin membesar, aku menunjuk ke arah pintu, "Keluar, Kenzy!"Tap, tap, tap!Terdengar langkah kaki Papa menuju ke sini, membuat kami sama-sama terkejut. Mungkin Kenzy pun bingung harus bagaimana, jadi dia mendekat padaku, sedekat-dekatnya. Tentu saja, itu masih belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan saat Papa sudah benar-benar muncul di depan pintu, Kenzy me
Miss D terperangah, menatapku dengan karakter kucing yang dilanda konflik besar, antara harus mencuri ikan di atas meja atau menahan lapar sampai diberi makan oleh majikannya. Tapi aku tak peduli lagi, tentu saja. Apa yang harus kupedulikan? Itu, ventilator, sonde, jarum infus yang melekat di tubuh Kenzy sudah tak berguna lagi kan? Sudah nggak ada fungsinya lagi, kan? Untuk apa dilanjutkan? Hanya menambah kedalaman luka saja!"Please, do that now, Miss D?" aiu meratap-ratap, memohon dengan segala perasaan yang merasuki diri, "For Kenzy, For me …!"Dalam detik-detik yang berdetak begitu cepat, seolah-oleh roda mobil yang melaju cepat ke sebuah tempat di lereng bukit, kami saling berpandangan dengan mulut ternganga. Aku, napasku memburu, selayaknya seorang prajurit yang berhadapan dengan seseorang yang sangat penting untuk
Papa meraih pergelangan tanganku, menahannya dengan sedikit tekanan yang menyakitkan, tentu saja. Hal yang belum pernah Papa lakukan selama aku menjadi anak pungutnya. Well, aku yakin, seluruh dunia juga tahu, selembut dan semanis apa Papa memperlakukan aku selama ini. Ah, lebih lembut dari butiran salju. Lebih manis dari es krim susu vanilla. Jadi, kalau sampai Papa melakukan itu, berarti ada sesuatu yang bersifat penting dan genting.What is that?I don't know!Yeaaahhh, only he knows, of course!"Anyelir!" Papa memanggil dengan suara bergetar yang aku nggak tahu kenapa, nggak ingin tahu juga, "Kamu, nggak mau ikut nganterin Papa ke bandara, besok pagi?"Finallly H
Hanya bisa bernapas dan memandang ke arah mama Sophia dengan mata yang semakin memburam oleh air mata. Aku merasa benar-benar terjepit sekarang. Terjepit di antara dua bilah pedang yang berkilau tajam plus haus darah. Oooh, ooohhh, my God! Kenzy masih koma, bahkan harapan hidupnya semakin menipis. Bisa dikatakan habis, malah. Sudah begitu, seolah-olah itu belum cukup untuk meluluh lantakkan seluruh hati dan perasaan yang terkandung di dalamnya, Papa menyingkap tabir rahasia tentang hidupku yang sesungguhnya.Jahat. Jahat. Jahat.Apa, apa yang bisa kuharapkan sekarang?Apa masih ada harapan?Papa menjadikan aku Musim Semi, Little Princess dan Anyelir Nuansa Asmara hanya untuk dijadikan pengisi kotak hadiah