Share

Teguh Pendirian

Deru angin dingin yang mengantarkan beku, membuatku tersadar, sudah sampai di belakang rumah. Serta merta pandanganku tertuju pada rumah boneka berpagar kayu merah jambu, rumah khas Belanda. Garasi sepeda yang terletak di samping kiri pintu pagar terlihat teduh dan hangat. Dinding kayunya yang bercat ungu muda, terlihat kontras dengan warna pagar. Kontras yang manis, menurutku.

Di samping garasi sepeda, aku memanfaatkan lahan kecil---sekitar tiga kali empat meter---sebagai taman bunga. Sebenarnya, aku nggak begitu suka bertaman atau berkebun. Tapi, hanya itu yang bisa kulakuan untuk mengisi waktu luang di rumah. Dari pada bengong alias blank, kan? Lebih baik diisi dengan hal-hal yang bermanfaat.

Begitu semangatnya, sampai-sampai aku membeli dua rak bunga putar dan meletakkannya di ujung taman. Sebenarnya, itu tempat untuk meja barbecue. Tapi karena Kenzy nggak pernah mengadakan, aku menggantinya dengan rak putar. Dua-duanya dipenuhi dengan bunga mawar dan dan aster. Warnanya? Tebak dong, warna favoritku. Hihi.

Lihatlah, puluhan bunga tulip sudah mulai menguncup, berwarna-warni. Ada beberapa yang mulai merekah, berwarna merah dan oranye, indah. Nggak sulit kok, menanam dan merawatnya. Nggak berbeda jauh dengan bunga lily atau amarilis. Di rumah Papa, aku dan Mbah Mi banyak menanam bunga lily dan amarilis. Tapi bohong, hehe. Tentu saja, yang melakukannya dengan senang hati ya Mbah Mi. Aku sih penggembira saja. Hahahaha.

Kadang-kadang takjub pada diri sendiri, bisa ya, berjalan cepat dalam keadaan blank? Untung nggak tersesat sampai ke ... Oh my God, kok sudah jam dua saja, sih? Kenapa hari ini begitu cepat berlalu? Apa karena, enggg, karena ada sesuatu yang ingin kuhindari?  Biasanya begitu, jika ada sesuatu yang nggak kuinginkan, waktu seperti melesat. Berlaku sebaliknya, untuk hal-hal yang sangat kuinginkan.

Perlahan-lahan aku membuka pintu pagar sambil menghela napas panjang, berharap Kenzy belum pulang dari rumah Zio, sahabat dekatnya. Kalau belum, masih ada waktu untuk negosiasi. Sungguh, aku ill feel. Jangan-jangan---seperti yang dikatakan Elize---Kenzy sengaja menyusun rencana ini untuk menghancurkan komitmen kami?

Klik, klik, kriiit ...!

Deg-degan, aku membuka pintu rumah dan menutupnya kembali dengan menahan napas. Kalau dilihat dari jendela kamar yang gordennya tertutup rapat sih, dia masih di rumah Zio. Kamar Kenzy dapat terlihat jelas dari belakang rumah. Tadi aku sudah mengamatinya untuk mencari sebuah kepastian. Tapi, lebih baik aku berjaga-jaga mulai dari sekarang.

"Eh!" gumamku tanpa bisa kucegah karena ternyata, Kenzy sedang ada di dapur. Di meja, sedang membaca majalah, sepertinya. 

Kulihat ada segelas gagang limun dan sepiring kue kering kesukaannya, Speculaas. Oh, mungkin dia nggak jadi ke rumah Zio atau apa? Hei, masa sih, dia membatalkan janji dengannya hanya gara-gara rencana makan malam yang belum jelas itu? Nggak, ini pasti nggak seperti yang baru saja kupikirkan. 

"Hai, Kenzy!" sapaku, berusaha memecahkan kebekuan yang tadi tercipta olehku sendiri, "Sudah pulang?" 

Kenzy nggak mau bersusah payah mengalihkan pandangan dari majalah yang sedang dibacanya tapi dia menjawab seperti ini, "Zio yang ke sini. Baru saja pulang, dia." 

Ooohhh, auuuhhh! 

Sakit sekali rasanya, melihat kegigihan Kenzy soal acara makan malam itu. Oh my God, jadi Kenzy serius? Apakah ini mimpi? 

"Oooh, oke." sahutku berusaha untuk terlihat rileks seperti biasa sambil meletakkan tas kecil di meja baca makan tamu, "Kalau gitu aku ke kamar dulu, ya?" 

Sebenarnya, kalimat tanya seperti itu nggak pernah ada dalam kamus kehidupanku bersama Kenzy. Karena selama ini, kami hidup sendiri-sendiri di belakang layar. As you know lah dan layar itu adalah papaku dan papanya. Benar-benar sendiri-sendiri, tidak seperti pasangan suami isteri pada umumnya. Bagian sepesialnya adalah, kami tinggal di bawah atap yang sama.

Karena Kenzy diam, aku berjalan menuju wastafel dan mencuci tangan dengan sabun. Mengambil keranjang buah kecil di rak, meletakkan dua tangkai anggur hijau, satu buah apel merah, dua jeruk dan dua pisang ke dalamnya. Asyik mungkin ya, kalau membaca buku sambil makan buah, di kamar? Ummm, masih ada beberapa persiapkan yang harus kumatangkan sebelum tes masuk les bahasa pekan depan. Ingat kan, les bahasa Belanda tingkat terampil? 

"How is the dinner?" 

Pertanyaan Kenzy benar-benar menghentikan langkahku di depan pintu dapur yang berarti di belakangnya, "Kamu mau kan, Anya? Sekali ini saja!" 

'Sekali ini saja, benar kah?' tanyaku dalam hati, 'Ah, mustahil!' 

"Anyelir?"

"Ummm, ya, Kenzy?"

"Would you, please?" 

Jawaban itu sudah berada di ujung lidahku, namun begitu kelu untuk mengucapkannya. Terlebih ketika tiba-tiba Kenzy beranjak dari kursi kayu dan berdiri, memandangku. Lebih tepatnya, menyelam hingga ke dasar hatiku yang semakin kacau. Kenzy dan aku, sepasang suami isteri yang menikah hanya berdasarkan tuntutan keadaan. Kami terpaksa melakukan semua itu demi orangtua masing-masing, demi membahagiakan mereka bersama. Padahal, kami ... Jangankan rasa cinta, masih bisa akur dengannya saja, bagiku sudah luar biasa. Hellooo, any hody home? Dia, Kenzy Van Snoek itu umurnya enam belas tahun di atasku. Pantasnya, dia menjadi omku, kan? Sudah begitu, jelas, dunia kami bertolak belakang. Seperti langit dan laut. Dia, lautnya. Laut yang bergelombang pasang.

"Sorry Kenzy, I can't!" jawabku jujur lalu melanjutkan langkah menuju kamar, di lantai dua. 

Iya, tanpa mempedulikan bagaimana perasaan Kenzy,  tentu saja. Tanpa menunggu jawaban darinya karena bagiku itu tidak penting sama sekali. Tidak berpengaruh pada segala kebulatan tekadku. Semestinya Kenzy ingat, kami sudah sepakat untuk nggak terlalu dekat. Kami, di sini, hanyalah sebuah sandiwara.

"Anyelir, wait ...!"

Seru Kenzy mengejar langkahku yang sudah sampai di anak tanggak ke tiga, "Sorry ...!"

Aku mengulas senyum---meskipun kaku---dan menjawab, "It's allright, Kenzy!" 

Dalam detik-detik yang menebarkan kehangatan, Kenzy menatapku dengan perasaan bersalah. Tawa kecilnya terdengar sebagai pengurai keruwetan yang terjadi di antara kami. Keruwetan yang terencana dengan sempurna, haha. Jujur, di lubuk hati terdalam, aku menertawai diri sendiri. 

'Bagaimana mungkin, dalam sebuah pernikahan tidak tercipta sentuhan, pelukan ...?'

"Kita lucu ya, Anya?" tanya Kenzy sambil menaiki anak tangga, dua di bawahku, "Hahahaha, We're so funny, aren't We?"

Entah mengapa, aku ikut tertawa. Lepas begitu saja, seperti seekor anak ayam yang melihat pintu kandangnya terbuka lebar. 

"Kamu yang lucu," selorohku, sambil membenarkan letak tali tas yang melorot, "Kamu juga jahat, karena sudah menikahi anak kecil!" 

'Dua puluh tahun, masih tergolong kanak-kanak untuk menikah bukan? Hihi. Terutama jika yang menikahinya adalah remaja tua berumur hampir tiga puluh enam tahun. Hahahaha.' lanjutku dalam hati, sambil menyibakkan rambut ke samping. 

Jangan sebut Kenzy kalau nggak bisa mematahkan kata-kataku, meskipun sudah kubangun sekokoh baja. Lihatlah, dia malah mengatakan kalau aku lah yang nakal. Yeaaahhh, karena sudah menggoda hatinya untuk mau menerima tawaran papanya. 

What?

Oooh, my God!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status