Share

17

Author: Anik Safitri
last update Last Updated: 2025-11-01 16:32:09

Motor tua itu meraung pelan saat Hana menembus jalan-jalan sempit menuju klinik terapi di pinggiran kota. Napasnya tak karuan, lega karena akhirnya sampai, cemas karena harus menghadapi biaya yang mungkin mencekik. Lukman diturunkan perlahan, kursi roda digeser ke ruang tunggu yang beraroma antiseptic, mata Lukman sayu, namun ada harap kecil di sana.

Petugas resepsionis, perempuan muda berseragam rapi, menyambut dengan senyum profesional. “Silakan, Bu. Nama pasien?” tanyanya sambil mengetik di komputer.

Hana mengucapkan nama suaminya, kemudian menatap ke saku untuk mengambil dompet. Jantungnya berdegup. “Berapa, ya, Bu? Kami bawa uang, tapi…”

Sebelum kata-kata Hana selesai, seorang pria berpakaian rapi muncul dari sudut ruang tunggu. Ia membawa clipboard, wajahnya tenang. “Maaf mengganggu,” katanya kepada resepsionis. “Pasien dari keluarga ini ditangani gratis hari ini. Saya yang mengurus administrasinya.”

Hana menoleh, keningnya berkerut. “Gratis? Tapi siapa…”

Pria itu tersenyum sing
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • KEMANA ENGKAU DIBUANG, BU?   20

    Hana berdiri kaku, matanya tak berkedip menatap sosok wanita itu. Tangannya gemetar, koper di genggamannya hampir terlepas. Napasnya tercekat, seolah dunia di sekitarnya mendadak hening.“Ibu…?” suara Hana lirih, pecah, antara tak percaya dan rindu yang membuncah.Wanita itu, Bu Lastri, menuruni anak tangga perlahan. Setiap langkahnya mantap, penuh wibawa, namun tatapannya lembut mengarah pada Hana. Ia tampak jauh berbeda dari bayangan Hana selama ini, kulitnya bersih terawat, tubuhnya anggun, wajahnya memancarkan kesejahteraan. Sama sekali tak ada tanda-tanda penderitaan yang dulu Hana takutkan.“Hana, Nak…” suara Bu Marsih bergetar. Begitu sampai di bawah, ia membuka tangannya lebar, seolah menunggu Hana berlari ke dalam pelukannya.Air mata Hana langsung tumpah. Ia menjatuhkan koper, lalu berlari memeluk ibunya erat-erat. “Ya Allah… Ibu… Ibu sehat? Ibu baik-baik saja? Aku kira… aku kira Ibu sudah tidak ada…”Pelukan itu hangat, begitu lama dirindukan. Bu Lastri membelai punggung Ha

  • KEMANA ENGKAU DIBUANG, BU?   19

    Hanif melangkah cepat keluar dari rumah besar itu, napasnya memburu. Dadanya seperti terbakar. Kata-kata Bu Dewi terus terngiang, seolah ia hanya sekadar dompet berjalan. “Mesin kirim uang,” gumamnya getir sambil mengepalkan tangan.Tanpa pikir panjang, ia langsung menuju rumah Hana. Langkahnya berat, tapi penuh amarah yang bercampur kecewa. Begitu sampai di gang kecil tempat Hana tinggal, Hanif tertegun. Dari kejauhan, ia melihat Hana sedang sibuk mengemas barang-barang ke dalam kardus. Beberapa tetangga membantu mengangkat kasur tipis, panci, dan koper lusuh ke halaman.Rumah reyot itu tampak semakin menyedihkan. Atapnya miring, dindingnya retak, dan kayu penyangga tampak rapuh. Hanif berdiri kaku, matanya menyapu setiap sudut rumah itu. Ada rasa asing menusuk jantungnya, bagaimana bisa adiknya tinggal di tempat yang seakan menunggu waktu untuk roboh?“Hana!” panggilnya, suaranya keras.Hana yang sedang menutup kardus berisi pakaian terlonjak kaget. Ia menoleh cepat, matanya membesa

  • KEMANA ENGKAU DIBUANG, BU?   18

    Hana menatap map coklat itu dengan bingung. Tangannya sempat ragu sebelum akhirnya menerima dari Wisang. Kertasnya tebal, rapi, jelas bukan barang sembarangan.“Apa ini, Kak?” tanya Hana pelan, menimbang-nimbang map yang kini ada di tangannya.Wisang menarik napas panjang, menatap adiknya dengan sorot penuh tekad. “Buka saja. Kamu akan mengerti.”Dengan tangan bergetar, Hana membuka map itu. Beberapa lembar dokumen tertata rapi di dalamnya. Pandangannya jatuh pada tulisan tebal di halaman depan: Sertifikat Hak MilikMata Hana langsung membesar. Nafasnya tercekat. “Astaga…” gumamnya. Tangannya refleks menutup mulut, tubuhnya berguncang.Wisang memperhatikan reaksi itu, suaranya berat tapi mantap. “Itu… rumah untukmu, Hana.”Hana menoleh cepat, wajahnya penuh ketidakpercayaan. “Apa? Kak… jangan bercanda. Aku nggak mungkin bisa…”“Ini bukan candaan,” potong Wisang tegas. “Rumah itu atas namamu sekarang. Aku sudah urus semuanya. Kamu nggak perlu bayar sepeser pun.”Air mata Hana langsung

  • KEMANA ENGKAU DIBUANG, BU?   17

    Motor tua itu meraung pelan saat Hana menembus jalan-jalan sempit menuju klinik terapi di pinggiran kota. Napasnya tak karuan, lega karena akhirnya sampai, cemas karena harus menghadapi biaya yang mungkin mencekik. Lukman diturunkan perlahan, kursi roda digeser ke ruang tunggu yang beraroma antiseptic, mata Lukman sayu, namun ada harap kecil di sana.Petugas resepsionis, perempuan muda berseragam rapi, menyambut dengan senyum profesional. “Silakan, Bu. Nama pasien?” tanyanya sambil mengetik di komputer.Hana mengucapkan nama suaminya, kemudian menatap ke saku untuk mengambil dompet. Jantungnya berdegup. “Berapa, ya, Bu? Kami bawa uang, tapi…”Sebelum kata-kata Hana selesai, seorang pria berpakaian rapi muncul dari sudut ruang tunggu. Ia membawa clipboard, wajahnya tenang. “Maaf mengganggu,” katanya kepada resepsionis. “Pasien dari keluarga ini ditangani gratis hari ini. Saya yang mengurus administrasinya.”Hana menoleh, keningnya berkerut. “Gratis? Tapi siapa…”Pria itu tersenyum sing

  • KEMANA ENGKAU DIBUANG, BU?   16

    Matahari baru saja tergelincir, menyisakan cahaya jingga yang memantul di genteng-genteng rumah kampung. Hanif turun dari mobil hitam mewahnya, langkahnya tegas, namun wajahnya murung. Suara bisik-bisik langsung terdengar dari arah warung dan pinggir jalan.“Lho Hanif sudah seminggu katanya cari Bu Lastri, kok sampai sekarang belum ketemu juga?” bisik seorang ibu-ibu dengan nada mencibir.“Katanya kaya raya, rumahnya mewah. Masak ibunya ilang aja nggak bisa nemuin?” sambung yang lain sambil menyipitkan mata.Hanif merasakan tatapan menusuk dari kanan-kiri, seolah setiap orang menelanjangi harga dirinya. Nafasnya ditahan sejenak, tapi kemudian ia melangkah ke arah warung, mencoba menegakkan kepala.“Assalamu’alaikum,” ucap Hanif pelan, suaranya berat.“Wa’alaikumussalam…” jawab beberapa orang, tapi nada mereka dingin. Seorang lelaki paruh baya, Pak Darto, langsung membuka obrolan dengan sindiran.“Hanif kok masih belum ada kabar Bu Lastri? Padahal kalau soal duit, kamu kan nggak kurang

  • KEMANA ENGKAU DIBUANG, BU?   15

    Vina mengangkat kepalanya perlahan. Wajahnya yang masih setengah tertutup masker tampak pucat, tapi sorot matanya berusaha dipertegas. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum tipis penuh sindiran.“Hana… kamu terlalu lancang bicara begitu,” ucapnya dingin. “Kamu pikir Hanif itu benar-benar peduli padamu? Apa dia pernah menoleh, melihat bagaimana kamu hidup di gubuk reyot ini? Kamu dan keluargamu sudah lama terabaikan, kan?”Hana tertegun, dadanya berdegup kencang. “Mas Hanif itu kakakku. Apa pun keadaannya, aku tahu dia orang baik. Jangan coba-coba membalikkan keadaan, Mbak.”Vina terkekeh lirih, tawanya hambar. “Orang baik, katamu? Kalau dia baik, kenapa suamimu yang lumpuh tidak pernah dia tengok? Kenapa biaya rumah sakit pun dia tidak pernah ikut membantu? Padahal kamu adik kandungnya sendiri.”Kata-kata itu menusuk hati Hana seperti sembilu. Namun ia menguatkan diri, menatap Vina tajam. “Mas Hanif punya keterbatasan. Tapi aku tidak akan biarkan kelemahan itu jadi alasanmu men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status