2

"Mas,"tegur Hana yang membuyarkan lamunan Hanif.

Sejenak Hanif salah tingkah.

"Eh itu Hana. Kamu tau sendirilah ibu. Paling tidak suka udara luar. Dingin katanya,"

Hana mengangguk mengerti.

"Tapi ibu sehat kan mas?"

"Ehm alhamdulillah ibu sehat,"jawab Hanif sedikit gugup

"Kalau Hana ada rezeki, kapan-kapan boleh ya mas Hana menengok ibu?"pintanya.

"Oh tentu boleh."

"Ngomong-ngomong. Ibu sama Bu Dewi bisa akrab kan mas? Terakhir saat Hana menengok ibu, Bu Dewi juga tinggal disitu katanya. Ya bukan apa-apa sih. Tapi ada yang bilang kalau sesama besan itu tidak bileh tinggal satu rumah,"

"Oh iya? Berarti kamu sudah tau kalau ibu mertuaku juga tinggal di rumahku?"tanya Hanif.

"Sudah. Tapi saat itu ibu agak urusan mas. Padahal ibu banyak minum vitamin dari Mbak Vina lho,"keluh Hani.

Kurus? Apa ibu tidak diberi makn yang layak selama ditinggal Hanif merantau ke luar negeri? Bukankah i a selalu rutin mentransfer uang dalam jumlah banyak untuk kebutuhan keluarganya? Apakah ibu sedang sakit?

Ah seribu macam pertanyaan seperti menari di fikiran Hanif. Melihat Hana, ia juga semakin merasa bersalah. Fikiranya melayang di masa enam tahun yang lalu sebelum keberangkatanya ke negeri sakura.

*

"Sudahlah Hana kamu jangan seolah menjadi wanita yang paling kuat sedunia. Merawat suami lumpuh, merawat anak juga merawat ibu. Lagipula taraf ekonomi mu itu rendah,"ucap Hanif dengan angkuh kala itu.

"Ibu, bukan anak kecil mas. Biarlah kalau beliau memilih. Toh Hana juga tidak memaksa untuk ibu tinggal disini. Karena memang sebaiknya ibu dirawat oleh anak perempuanya sendiri,"

"Lihatlah rumahmu Hana. Sangat tidak layak untuk dihuni. Bagaimana aku bisa membiarkan ibu tinggal di lingkungans seperti ini? Sementara aku mampu memberi beliau semua hal yang lebih layak dari sekedar apa yang kamu beri? Apa kamu pamrih ingin merawatibu karena ingin mendapat hak waris yang paling besar?"

Hana mengelus dadanya. Berulang kali mengucap istigfar.

"Aku memang miskin mas. Tapi Demi Allah, aku tidak ada sedikitpun berfikir seperti itu. Ambilah kalau memang kamu mau,"jawab Hana dengan suara parau yang hampir terisak.

"Tidak perlu Hana. Dari hasil kerja keras ku, aku masih mou membeli berhektar-hektar tanah."

"Lalu apa Mas Hanif ingin merawat ibu karena juga ingin nama baik Mas Hanif menjadi harum di masyarakat?"

Plakk..

Hanif bergetar. Ia memandang tangan yang telah digunakan untuk menampar saudara sekandungnya sendiri. Dan perdebatan mereka terdengar jyga di telinga Bu Lastri.

"Sudah Haif Hana. Kenapa sifat nakal kalian yang suka bertengkar menjadi terbawa hingga dewasa? Ibu bangga diperebutkan oleh kalian. Itu artinya kalian benar-benar sayang sama ibu. Tapi ibu tidak suka dengan cara kalian yang suka menghina."kata Bu Lastri

Hanif dan Hana saling diam. Tetapi mata Hanif masih saja nyalang memerah. Tak terima dengan keputusan yang diambil ibunya.

"Hanif hanya tidak rela ibu tinggal di rumah yang tak layak huni seperti ini. Bagaimana kalau tiba-tiba roboh? Pasti Hana lah orang yang pertama kali aku salahkan."

Hana semakin menunduk. Tidak ada yang berubah dari Hanif. Sifatnya keras sedari kecil

"Ibu memilih tinggal bersama kamu,Nif,"ujar ibu akhirnya.

Hama terperanjat dalam linangan air mata. Pasti ibu juga merasa lebih layak tinggal bersama Mas Hanif. Pikirnya kala itu.

Namun saat ibu hendak masuk ke mobil Hanif, beliau mendekati Hana.

"Ma'afkan ibu nak. Bukan ibu menganggap rumahmu tidak layak. Hanya saja ibu yakin kamu lebih mengerti dan hatimu lebih lembut,"bisik ibu kala itu.

Hana tersenyum dan mengangguk. Mencoba untuk ikhlas. Egois jika diblas egois tentu yang ada hanya kehancuran.

*

"Ilham, mana Han?"tanya Hanif mengalihkan pembicaraan agar Hana tidak terus menerus menanyakan ibu yang tidak tau dimana rimbanya

"Mas Ilham sedang didalam mas. Membuat kerajinan dari bambu. Lumayan buat tambah-tambah bumbu dapur,"jwab Hana dengan senyuman.

Begitulah Hana. Seberat apapun ujian, dia tetap bersabar. Dan sedikit apapun rezeki, ia tetap syukuri.

Tidak berselang lama, Hanif pamit untuk pulang. Tak lupa ia menyelipkan amplop di tangan Hana yang kasar.

Hanif memutuskan untuk berhenti di sebuah warung tempat tinggalnya yang dulu sering menjadi langgananya. Namun entah mengapa semua yang ada disitu memandangnya dengan sinis.