Share

KEMANA ENGKAU DIBUANG, BU?
KEMANA ENGKAU DIBUANG, BU?
Penulis: Anik Safitri

1

Penulis: Anik Safitri
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-13 05:16:45

"Berhenti pak,"perintah Hanif kepada sopir taxi.

Taxi berhenti di depan sebuah rumah berlantai dua, dengan dua pilar penyangga besar yang membuat kesan mewah.

Sejenak Hanif bangga akan kerja kerasnya. Lavina-istrinya ternyata cukup jeli mengatur uang. Dan setelah lima tahun merantau di negeri sakura, mungkin saat ini waktu untuk menebus segaal kerinduan kepada keluarganya.

Tidak ada yang tau kabar kepulangan Hanif. Ia memang berniat untuk memberikan kejutan.

Dekat semakin mendekat seorang lelaki tua lewat persis di hadapan Hanif. Namun laki-laki tua itu justru memandangnya dengan sinis.

"Pak Taslim,"sapa Hanif dan mengulurkan tanganya untuk mengajak beliau bersalaman. Namun raut muka Pak Taslim masih sinis seperti tadi.

"Oh kamu sudah pulang? Sudah sukses rupanya? Tapi itu semua tidak ada artinya karena kamu telah kehilangan surga dan seisinya."kata Pak Taslim lalu pergi dengan menuntun sepeda tuanya.

Hanif tercekat. Apa maksut Pak Taslim berkata seperti itu? Namun Hanif mencoba menepis segala pertanyaan yang menari di otaknya. Mungkin Pak Taslim sudah mengalami penurunan daya ingat. Begitu fikirnya.

Ia mengetuk pintu berkali-kali. Sengaja tidak langsung menyeruak masuk agar istrinya kaget dengan kepulanganya.

Namun pintu justru dibukakan oleh ibu mertuanya.

"Mama,"sapa Hanif.

Bu Dewi terlonjak kaget. Ia tak menyangka Hanif pulang secepat ini.

"Ka-kamu pulang Nif?"

"Iya ma. Ada cuti panjang dari tempat kerja. Lavina dan Abrisam mana, ma?"tanya Hanif. Namun tanpa menunggu jawaban dari mertuanya, ia menyeruak masuk mencari istri dan anaknya.

"Vin, vin,"teriak Hanif.

Terdengar guyuran air dari kamar mandi di dalam. Tentu Lavina sedang berada di toilet Hanif masuk ke kamarnya. Ternyata keadaan tidak seperti yang dibayangkan Janifm Sprei dan selimut berantakan. Padahal saat ia di rumah, tidak pernah Lavina seperti ini.

"Papa,"

Suara bocah kecilmengagetkan dia dari belakang. Abrisam. Putra semata wayang nya.

"Isam, papa rindu nak,"

Ia segera meraih Isam dalam gendonganya dan menghujami dengan ciuman bertubi-tubi.

"Mas Hanif,"

Lavina terpaku di depan pintu dengan handuk kimono yang membalut tubuhnya dan juga rambut yang basah di balutnya dengan handuk kecil.

"Kok tidak bilang kalau mau pulang?"tanya Vina.

"Sengaja. Ingin memberimu kejutan. Isam, ke kamar nenek yuk,"

Raut muka Lavina mendadak berubah.

"Mas, aku minta ma'af,"ujarnya memohon kepada Hanif.

Hanif mengernyitkan dahi, menautkan alisnya.

"Aku gagal menjaga ibu. Beliau lergi karena ingin mencarimu. Ibu mengalami penurunan daya ingat saat engkau tinggal mas. Dan dia menolak untuk aku ajak kembali ke rumah ini,"isak Lavina.

Bagai dihantam gada begitu besarnya. Hanif menurunkan Isam dari gendonganya.

"Tidak mungkin Vin. Aku kenal ibu ku. Beliau tidak suka keramaian. Tidak suka diajak keluar rumah bahkan untuk sekedar untuk mencari angin,". Hanif berteriak tak percaya.

"Tapi memang itulah kenyataanya."

Air mata Lavina semakin deras.

"Benar apa kata istrimu Hanif. Ibu mu itu sudah mulai pikun. Tidak usah khawatir berlebihan. Paling juga ia sekarang tinggal dirumah adikmu-Hana,". Bu Dewi yang datang secara tiba-tiba ikut menimpali.

Tatapan Hanif berganti pada Bu Dewi. Tatapan heran bercampur ketidak sukaan. Apalagi dengan tampilan glamournya. Perhiasanya. Darimana kalau bukan hasil kerja keras Hanif. Sementara ibunya sendiri tidak tau dimana rimbanya.

"Mama disini untuk menemani Vina. Putri mama satu-satunya. Kasian dia tinggal di rumah sebesar ini seorang diri hanya dengan Isam. Memangnya kamu juga mau kalau ada yang macam-macam dengan istrimu?"lanjut Bu Dewi seakan mengerti dengan tatapan Hanif.

"Aku harus mencari ibu sekarang. Dan jika kamu membohongiku, aku akan membuat perhitungan yang tidak main-main Vina,"ancam Hanif lalu berlalu pergi meninggalkan rumah.

Ia pulang ingin membeti kejutan. Justru ia sendiri yang terkejut.

*

"Mama kenapa bilang kalau ibu ada di rumah Hana? Belum tentu juga ma,"gerutu Vina.

"Mau kemana lagi dia? Tentu wanita renta itu juga tidak mau kembali ke rumah ini. KTP nya juga sudah kamu ambil kan? Kalau ditemukan orang pun juga tidak akan dikembalikan ke alamat sini. Tenang saja. Aman,"jawab Bu Dewi.

Sementara Hanif menuju kampung adiknya di ujung kota. Rumah Hana masih sama. Hanya berdindingkan anyaman bambu. Semenjak kecelakaan yang menimpa suaminya, Hanalah yang menjadi tulang pungung keluarga.

"Mas Hanif. Sudah pulang? Kenapa ibu tidak diajak kesini mas?"tanya Hana, setelah menyadari kehadiran kakaknya di depan rumah.

Hanif tidak mampu berkata apa-apa. Bagaimana dia memberitau Hana kalau ibu hilang? Apa dia tega menambah beban hidup Hana dengan ketidakbecusanya menjaga ibu?

Dulu, ia sendiri yang meminta agar ibu tinggal di rumahnya saja. Agar beliau dapat merasakan hidup layak di masa tuanya juga dapat merasakan hasil kerja keras putranya. Namun ternyata semua salah.

Lalu dimana ibu?

*

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • KEMANA ENGKAU DIBUANG, BU?   18

    Hana menatap map coklat itu dengan bingung. Tangannya sempat ragu sebelum akhirnya menerima dari Wisang. Kertasnya tebal, rapi, jelas bukan barang sembarangan.“Apa ini, Kak?” tanya Hana pelan, menimbang-nimbang map yang kini ada di tangannya.Wisang menarik napas panjang, menatap adiknya dengan sorot penuh tekad. “Buka saja. Kamu akan mengerti.”Dengan tangan bergetar, Hana membuka map itu. Beberapa lembar dokumen tertata rapi di dalamnya. Pandangannya jatuh pada tulisan tebal di halaman depan: Sertifikat Hak MilikMata Hana langsung membesar. Nafasnya tercekat. “Astaga…” gumamnya. Tangannya refleks menutup mulut, tubuhnya berguncang.Wisang memperhatikan reaksi itu, suaranya berat tapi mantap. “Itu… rumah untukmu, Hana.”Hana menoleh cepat, wajahnya penuh ketidakpercayaan. “Apa? Kak… jangan bercanda. Aku nggak mungkin bisa…”“Ini bukan candaan,” potong Wisang tegas. “Rumah itu atas namamu sekarang. Aku sudah urus semuanya. Kamu nggak perlu bayar sepeser pun.”Air mata Hana langsung

  • KEMANA ENGKAU DIBUANG, BU?   17

    Motor tua itu meraung pelan saat Hana menembus jalan-jalan sempit menuju klinik terapi di pinggiran kota. Napasnya tak karuan, lega karena akhirnya sampai, cemas karena harus menghadapi biaya yang mungkin mencekik. Lukman diturunkan perlahan, kursi roda digeser ke ruang tunggu yang beraroma antiseptic, mata Lukman sayu, namun ada harap kecil di sana.Petugas resepsionis, perempuan muda berseragam rapi, menyambut dengan senyum profesional. “Silakan, Bu. Nama pasien?” tanyanya sambil mengetik di komputer.Hana mengucapkan nama suaminya, kemudian menatap ke saku untuk mengambil dompet. Jantungnya berdegup. “Berapa, ya, Bu? Kami bawa uang, tapi…”Sebelum kata-kata Hana selesai, seorang pria berpakaian rapi muncul dari sudut ruang tunggu. Ia membawa clipboard, wajahnya tenang. “Maaf mengganggu,” katanya kepada resepsionis. “Pasien dari keluarga ini ditangani gratis hari ini. Saya yang mengurus administrasinya.”Hana menoleh, keningnya berkerut. “Gratis? Tapi siapa…”Pria itu tersenyum sing

  • KEMANA ENGKAU DIBUANG, BU?   16

    Matahari baru saja tergelincir, menyisakan cahaya jingga yang memantul di genteng-genteng rumah kampung. Hanif turun dari mobil hitam mewahnya, langkahnya tegas, namun wajahnya murung. Suara bisik-bisik langsung terdengar dari arah warung dan pinggir jalan.“Lho Hanif sudah seminggu katanya cari Bu Lastri, kok sampai sekarang belum ketemu juga?” bisik seorang ibu-ibu dengan nada mencibir.“Katanya kaya raya, rumahnya mewah. Masak ibunya ilang aja nggak bisa nemuin?” sambung yang lain sambil menyipitkan mata.Hanif merasakan tatapan menusuk dari kanan-kiri, seolah setiap orang menelanjangi harga dirinya. Nafasnya ditahan sejenak, tapi kemudian ia melangkah ke arah warung, mencoba menegakkan kepala.“Assalamu’alaikum,” ucap Hanif pelan, suaranya berat.“Wa’alaikumussalam…” jawab beberapa orang, tapi nada mereka dingin. Seorang lelaki paruh baya, Pak Darto, langsung membuka obrolan dengan sindiran.“Hanif kok masih belum ada kabar Bu Lastri? Padahal kalau soal duit, kamu kan nggak kurang

  • KEMANA ENGKAU DIBUANG, BU?   15

    Vina mengangkat kepalanya perlahan. Wajahnya yang masih setengah tertutup masker tampak pucat, tapi sorot matanya berusaha dipertegas. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum tipis penuh sindiran.“Hana… kamu terlalu lancang bicara begitu,” ucapnya dingin. “Kamu pikir Hanif itu benar-benar peduli padamu? Apa dia pernah menoleh, melihat bagaimana kamu hidup di gubuk reyot ini? Kamu dan keluargamu sudah lama terabaikan, kan?”Hana tertegun, dadanya berdegup kencang. “Mas Hanif itu kakakku. Apa pun keadaannya, aku tahu dia orang baik. Jangan coba-coba membalikkan keadaan, Mbak.”Vina terkekeh lirih, tawanya hambar. “Orang baik, katamu? Kalau dia baik, kenapa suamimu yang lumpuh tidak pernah dia tengok? Kenapa biaya rumah sakit pun dia tidak pernah ikut membantu? Padahal kamu adik kandungnya sendiri.”Kata-kata itu menusuk hati Hana seperti sembilu. Namun ia menguatkan diri, menatap Vina tajam. “Mas Hanif punya keterbatasan. Tapi aku tidak akan biarkan kelemahan itu jadi alasanmu men

  • KEMANA ENGKAU DIBUANG, BU?   14

    Hanif hendak membawa mangga itu, tapi Bu Dewi buru-buru merebut dan berkelit dengan segala alasan.Hanif masih menatap plastik berisi mangga muda itu, pikirannya berputar liar. Ia melangkah pelan menuju meja makan, hendak meletakkan bungkusan tersebut. Namun baru saja tangannya bergerak, suara langkah Bu Dewi terdengar dari arah dapur.“Apa itu, Nif?” tanya Bu Dewi dengan nada datar, tapi matanya langsung terpaku pada plastik berisi mangga. Tanpa basa-basi, ia meraih cepat dari tangan menantunya.“Itu… mangga muda, Ma,” jawab Hanif dengan kening berkerut. “Barusan ada orang ngantar. Katanya dari Mama untuk Vina.”“Oh, bukan, bukan untuk dia.” Bu Dewi tersenyum tipis sambil memeluk plastik itu ke dadanya. “Ini pesanan Mama. Mama lagi pengin aja.”Hanif terdiam sejenak, menatap mertuanya dengan sorot penuh tanda tanya.“Untuk Mama? Tapi… bukannya Mama punya radang lambung? Mama selalu menghindari makanan asam. Waktu terakhir sebelum aku merantau, Mama sendiri yang bilang kalau makan asam

  • KEMANA ENGKAU DIBUANG, BU?   13

    Hanif sontak membuka mata lebar-lebar. Dering yang nyaring itu membuat tubuhnya langsung tegang.Matanya menoleh cepat ke arah meja rias Lavina. Laci di bawah kaca itu bergetar samar, seolah menyembunyikan sesuatu yang tak seharusnya ada di sana.Alis Hanif mengernyit.“Handphone siapa lagi itu?” batinnya penuh curiga.Ia melirik istrinya. Lavina tampak pura-pura terlelap, meski dada perempuan itu naik turun dengan ritme yang tidak wajar, terlalu cepat untuk ukuran orang yang sedang tidur nyenyak.“Vina…” Hanif berbisik pelan, lalu menepuk pelan bahu istrinya.Namun Lavina hanya mengerjap sebentar, kemudian berpaling membelakangi suaminya.Kecurigaan Hanif makin memuncak.Ia bangkit dari ranjang, melangkah perlahan mendekati meja rias. Suara dering itu belum berhenti, justru makin terasa menusuk telinga. Dengan gerakan cepat, Hanif menarik laci itu.Braaak!Di dalamnya tergeletak sebuah handphone berwarna hitam. Bukan milik Hanif, jelas bukan pula milik Hana. Hanya ada satu kemungkina

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status