Share

3

Penulis: Anik Safitri
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-13 05:17:34

"Paklik, kopi susu satu ya. Biasa. Tambah gula sedikit,"pinta Hanif dengan senyumnya kepada Pak Kodir-pemilik warung.

Pak Kodir hanya mengangguk pelan. Tidak ada sapaan maupun sekedar bertanya kabar kepada Hanif. Padahal dulu mereka sangat dekat. Pun dengan beberapa orang yang kebetulan ada disitu. Tidak ada seorangpun yang menyapa Hanif walau sepatah kata pun walaupun Hanif juga mengurai senyum saat pandangan mereka bersitatap, tapi yang didapat hanya jawaban dengan pandangan datar. Apa mungkin mereka telah lupa siapa Hanif?

"Masih ramai ya paklik warungnya,"ujar Hanif mencoba membuka pembicaraan.

"Ya,"jawab Pak Kodir dengan singkat.

"Paklik lupa siapa saya?"

Pak Kodir hanya sekilas menatap Hanif dengan pandangan yang datar sembari menyuguhkan kopi pesanan Hanif.

"Saya belum pikun,". Hanya itu jawabanya dan ia berlalu begitu saja.

Hanif kembali heran. Apakah Pak Kodir sedang punya masalah hingga ia terlihat badmood seerti itu? Namun, setau Hanif, Pak Kodir tidak pernah seperti itu walau dalam masalah sekalipun.

Suasana di warung kopi mendadak tak nyaman bagi Hanif. Tidak ada satu orang pun yang mendekat. Walaupun sekilas mereka menatapnya. Ia segera menghabiskan kopi susunya. Dan Hanif memutuskan untuk segera pulang. Siapa tau Lavina punya jawaban atas semua yang menimpanya.

"Paklik, ini uang kopi susu saya. Kembalianya ambil saja,"ujar Hanif lagi-lagi dengan senyum dan ia melangkah pergi.

"Tunggu,"teriak Pak Kodir.

Hanif membalikan badan.

'Tentu Pak Kodir akan berubah setelah diberi sedikit uang. Ah uang memang dapat membeli apapun,'batin Hanif dengan congkak dalam hati.

"Ini kembalianya. Satu pesan saya, dibalik kesuksesan dan setiap keberuntungan yang kamu dapat itu tak lepas dari do'a ibu mu yang dikabulkan Tuhan,"ucapnya penuh penekanan. Dan ia pergi tanpa sempat Hanif bertanya apa maksutnya dia berkata seperti itu. Tadi Pak Taslim dan sekarang Pak Kodir.

Hanif tidak sabar memacu gas montornya untuk segera sampai rumah.

Pintu rumah terbuka saat Hanif mematikan deru kendaraanya.

"Bagaimana mas?"tanya Lavina dengan memasang muka paniknya.

Hanif menggeleng pelan.

"Ya Allah ibu. Dimana sih?"keluh Vina kembali.

Hanif menoleh tajam kepada istrinya.

"Kenapa baru sekarang kamu berkeluh kesah?"tanya nya sinis.

"Hanif, jaga ucapanmu ya. Selama ini Lavina tidak berhenti mencari ibu mu. Setiap hari ia selalu menitikan air mata."ujar Bu Dewi yang datang tiba-tiba.

Namun hanya bagai dengungan tanpa arti, Hanif tidak menghiraukanya. Dan ia melengang masuk ke rumah. Disusul dengan Lavina.

"Benar apa kata mama, mas. Aku sudah berusaha mencari ibu selama ini,"isak Lavina kembali.

"Sejak kapan ibu pergi?"

"Kira-kira setahun yang lalu mas."

"Kenapa kamu tidak memberitauku?"

"Aku takut justru merusak konsrntrasi kerjamu disana mas,"

"Dan sekarang justru kamu merusak moodku saat pulang Vin. Waktu dimana yang seharusnya aku gunakan untuk mengobati rindu kepada keluarga dan orang terdekat."

Tangan Hanif mengepal. Ingin sekali ia membanting semua yang ada di dekatnya.

"Dan dalam kurun waktu setahun kamu gagal menemukan ibu?"tanya Hanif lagi.

Lavina hanya diam dan tertunduk.

"Aku bukan seorang intel yang dengan mudahnya menemukan apa yang aku cari mas. Aku dirumah juga mengurus rumah. Mengurus Isam,"jawab Vina.

"Kamu sudah lapor polisi?"

Lavina menggeleng lemah.

"Ah shitt. Bodoh sekali kamu. Pantas saja para tetangga seperti tidak suka padaku, Vin."

Hanif merutuk dirinya sendiri. Memukul tembok dengan kepalan tanganya. Bagaimana ia justru tidak tau kalau ibu pergi.

"Tidak begitu mas. Mereka mungkin iri dengan kesuksesanmu. Nyatanya saat denganku mereka tetap bersikap ramah,"

Hanif sudah tidak berfikir jernih. Dia sudah enggan mendengar penjelasan Lavina.

Ia meraih kembali kunci montornya dan memacu gas dengan kecepatan tinggi untuk segera menuju kantor polisi guna membuat laporan hilangnya sang ibu.

"Anak macam apa anda ini? Sudah setahun ibu anda meninggalkan rumah namun baru sekarang membuat laporan kehilangan...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • KEMANA ENGKAU DIBUANG, BU?   18

    Hana menatap map coklat itu dengan bingung. Tangannya sempat ragu sebelum akhirnya menerima dari Wisang. Kertasnya tebal, rapi, jelas bukan barang sembarangan.“Apa ini, Kak?” tanya Hana pelan, menimbang-nimbang map yang kini ada di tangannya.Wisang menarik napas panjang, menatap adiknya dengan sorot penuh tekad. “Buka saja. Kamu akan mengerti.”Dengan tangan bergetar, Hana membuka map itu. Beberapa lembar dokumen tertata rapi di dalamnya. Pandangannya jatuh pada tulisan tebal di halaman depan: Sertifikat Hak MilikMata Hana langsung membesar. Nafasnya tercekat. “Astaga…” gumamnya. Tangannya refleks menutup mulut, tubuhnya berguncang.Wisang memperhatikan reaksi itu, suaranya berat tapi mantap. “Itu… rumah untukmu, Hana.”Hana menoleh cepat, wajahnya penuh ketidakpercayaan. “Apa? Kak… jangan bercanda. Aku nggak mungkin bisa…”“Ini bukan candaan,” potong Wisang tegas. “Rumah itu atas namamu sekarang. Aku sudah urus semuanya. Kamu nggak perlu bayar sepeser pun.”Air mata Hana langsung

  • KEMANA ENGKAU DIBUANG, BU?   17

    Motor tua itu meraung pelan saat Hana menembus jalan-jalan sempit menuju klinik terapi di pinggiran kota. Napasnya tak karuan, lega karena akhirnya sampai, cemas karena harus menghadapi biaya yang mungkin mencekik. Lukman diturunkan perlahan, kursi roda digeser ke ruang tunggu yang beraroma antiseptic, mata Lukman sayu, namun ada harap kecil di sana.Petugas resepsionis, perempuan muda berseragam rapi, menyambut dengan senyum profesional. “Silakan, Bu. Nama pasien?” tanyanya sambil mengetik di komputer.Hana mengucapkan nama suaminya, kemudian menatap ke saku untuk mengambil dompet. Jantungnya berdegup. “Berapa, ya, Bu? Kami bawa uang, tapi…”Sebelum kata-kata Hana selesai, seorang pria berpakaian rapi muncul dari sudut ruang tunggu. Ia membawa clipboard, wajahnya tenang. “Maaf mengganggu,” katanya kepada resepsionis. “Pasien dari keluarga ini ditangani gratis hari ini. Saya yang mengurus administrasinya.”Hana menoleh, keningnya berkerut. “Gratis? Tapi siapa…”Pria itu tersenyum sing

  • KEMANA ENGKAU DIBUANG, BU?   16

    Matahari baru saja tergelincir, menyisakan cahaya jingga yang memantul di genteng-genteng rumah kampung. Hanif turun dari mobil hitam mewahnya, langkahnya tegas, namun wajahnya murung. Suara bisik-bisik langsung terdengar dari arah warung dan pinggir jalan.“Lho Hanif sudah seminggu katanya cari Bu Lastri, kok sampai sekarang belum ketemu juga?” bisik seorang ibu-ibu dengan nada mencibir.“Katanya kaya raya, rumahnya mewah. Masak ibunya ilang aja nggak bisa nemuin?” sambung yang lain sambil menyipitkan mata.Hanif merasakan tatapan menusuk dari kanan-kiri, seolah setiap orang menelanjangi harga dirinya. Nafasnya ditahan sejenak, tapi kemudian ia melangkah ke arah warung, mencoba menegakkan kepala.“Assalamu’alaikum,” ucap Hanif pelan, suaranya berat.“Wa’alaikumussalam…” jawab beberapa orang, tapi nada mereka dingin. Seorang lelaki paruh baya, Pak Darto, langsung membuka obrolan dengan sindiran.“Hanif kok masih belum ada kabar Bu Lastri? Padahal kalau soal duit, kamu kan nggak kurang

  • KEMANA ENGKAU DIBUANG, BU?   15

    Vina mengangkat kepalanya perlahan. Wajahnya yang masih setengah tertutup masker tampak pucat, tapi sorot matanya berusaha dipertegas. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum tipis penuh sindiran.“Hana… kamu terlalu lancang bicara begitu,” ucapnya dingin. “Kamu pikir Hanif itu benar-benar peduli padamu? Apa dia pernah menoleh, melihat bagaimana kamu hidup di gubuk reyot ini? Kamu dan keluargamu sudah lama terabaikan, kan?”Hana tertegun, dadanya berdegup kencang. “Mas Hanif itu kakakku. Apa pun keadaannya, aku tahu dia orang baik. Jangan coba-coba membalikkan keadaan, Mbak.”Vina terkekeh lirih, tawanya hambar. “Orang baik, katamu? Kalau dia baik, kenapa suamimu yang lumpuh tidak pernah dia tengok? Kenapa biaya rumah sakit pun dia tidak pernah ikut membantu? Padahal kamu adik kandungnya sendiri.”Kata-kata itu menusuk hati Hana seperti sembilu. Namun ia menguatkan diri, menatap Vina tajam. “Mas Hanif punya keterbatasan. Tapi aku tidak akan biarkan kelemahan itu jadi alasanmu men

  • KEMANA ENGKAU DIBUANG, BU?   14

    Hanif hendak membawa mangga itu, tapi Bu Dewi buru-buru merebut dan berkelit dengan segala alasan.Hanif masih menatap plastik berisi mangga muda itu, pikirannya berputar liar. Ia melangkah pelan menuju meja makan, hendak meletakkan bungkusan tersebut. Namun baru saja tangannya bergerak, suara langkah Bu Dewi terdengar dari arah dapur.“Apa itu, Nif?” tanya Bu Dewi dengan nada datar, tapi matanya langsung terpaku pada plastik berisi mangga. Tanpa basa-basi, ia meraih cepat dari tangan menantunya.“Itu… mangga muda, Ma,” jawab Hanif dengan kening berkerut. “Barusan ada orang ngantar. Katanya dari Mama untuk Vina.”“Oh, bukan, bukan untuk dia.” Bu Dewi tersenyum tipis sambil memeluk plastik itu ke dadanya. “Ini pesanan Mama. Mama lagi pengin aja.”Hanif terdiam sejenak, menatap mertuanya dengan sorot penuh tanda tanya.“Untuk Mama? Tapi… bukannya Mama punya radang lambung? Mama selalu menghindari makanan asam. Waktu terakhir sebelum aku merantau, Mama sendiri yang bilang kalau makan asam

  • KEMANA ENGKAU DIBUANG, BU?   13

    Hanif sontak membuka mata lebar-lebar. Dering yang nyaring itu membuat tubuhnya langsung tegang.Matanya menoleh cepat ke arah meja rias Lavina. Laci di bawah kaca itu bergetar samar, seolah menyembunyikan sesuatu yang tak seharusnya ada di sana.Alis Hanif mengernyit.“Handphone siapa lagi itu?” batinnya penuh curiga.Ia melirik istrinya. Lavina tampak pura-pura terlelap, meski dada perempuan itu naik turun dengan ritme yang tidak wajar, terlalu cepat untuk ukuran orang yang sedang tidur nyenyak.“Vina…” Hanif berbisik pelan, lalu menepuk pelan bahu istrinya.Namun Lavina hanya mengerjap sebentar, kemudian berpaling membelakangi suaminya.Kecurigaan Hanif makin memuncak.Ia bangkit dari ranjang, melangkah perlahan mendekati meja rias. Suara dering itu belum berhenti, justru makin terasa menusuk telinga. Dengan gerakan cepat, Hanif menarik laci itu.Braaak!Di dalamnya tergeletak sebuah handphone berwarna hitam. Bukan milik Hanif, jelas bukan pula milik Hana. Hanya ada satu kemungkina

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status