Share

KEPERGIAN IBU

Satu Minggu sudah aku dan Nara semakin akrab. Kami sering menghabiskan waktu bersama sekedar duduk di kantin dan halaman kampus yang luas, menunggu jadwal masuk kuliah.

Bertukar nomor ponsel untuk saling menghubungi. Nara, dia beragama Hindu, kami berbeda keyakinan, tapi ia begitu toleransi, selalu menungguku shalat di mushola kampus dan menjaga barang-barangku.

Teman pertamaku, Nara.

Aku memang tak pernah memiliki teman, semua menjauh dariku sejak aku memutuskan mengikuti kemauan nenek memakai cadar, mulai membangun akhlak dengan mengikuti pengajian di hari jum'at di mushola dekat aku mengontrak.

Jumat pagi, seperti biasa kami duduk di kantin kampus, mata kuliahku sudah kosong, sementara Nara ia yang mengambil Fakultas ekonomi dengan jurusan bisnis masih memiliki satu mata kuliah lagi.

"Ra, aku balik dulu, ya? Nanti kamu main gih kalau aku udah pulang pengajian."

"Oke, deh. Hati-hati Lan."

Kami berpisah dengan saling lambai.

Aku berjalan seorang diri, menyusuri halaman kampus, pohon-pohon yang tertanam subur di area kampus memberikan kesan teduh dan segar.

Ku ayunkan kaki perlahan, menikmati suasana kampus yang mulai ramai muda mudi berlalu lalang, cuaca yang sedikit mendung semakin membuatku berlama-lama di luar ruangan.

"Aku jadi rindu ibu." Ku tatap langit yang mulai diselimuti mendung, siap kapan saja mengguyur bumi dengan tetesan air langit.

Kupercepat langkah agar segera sampai di tempat di mana aku selalu menunggu angkot. Harus mengejar waktu, belum lagi sore hingga Magrib aku harus mengajar anak-anak yang hendak les privat. Kuliah sambil bekerja, hanya itu yang bisa kulakukan untuk menyambung hidup di kota metropolitan tanpa sanak saudara, berteman tekad dan dikuatkan oleh impian.

Belum sampai di jalur angkot tempat biasa aku menunggu, rintik hujan sudah mulai membasahi baju terpaksa harus berteduh di pinggiran toko.

"Aduh, basah semua," ucapku lirih.

"Pakai ini,"

Aku yang tengah mengibaskan bajuku yang basah terhenyak melihat seorang pria menyodorkan jaket kepadaku.

Pandangan kembali kutundukan tak ingin berlarut memandang lawan jenis.

"Tidak apa-apa, Ustad," jawabku lirih, dia Ustad Amar, ustad di pengajian dakwah yang sedang ku ikuti setiap Jumat siang, sekaligus dosen jurusan agama Islam.

"Tak baik seorang wanita dengan baju basah kuyup sehingga menempel di tubuhnya dan memperlihatkan lekukannya, pakai saja," ucapnya lagi.

Subhanallah, bukankah dia begitu sempurna. Berbicara tanpa memandang, netranya tetap menuju seberang jalan.

"Na'am Ustad."

Dia berpamitan, lebih dulu pergi. Meninggalkan payung di sebelahku.

Aku masih memandangnya, bahu yang mulai menjauh di bawah guyuran hujan yang begitu deras, nekat menerobos hujan agar tak ketinggalan waktu shalat Jum'at. Aku benar-benar menatapnya kagum.

Dalam sujud kupanjatkan doa agar mempunyai seorang suami sepertinya.

Aku berjalan pelan, dengan payung hitam sebagai pelindung juga jaket milik Ustad Amar menutup bajuku yang basah kuyup.

….

Mie instan dengan nasi khas warga 62, orang bilang sih begitu. Tak ada yang lebih praktis dari mie instan. Menyantap mie instan yang masih mengepulkan asap seorang diri ,di bawah jendela. Menatap rintik hujan yang masih terus menetes tanpa henti.

"Huh… harusnya aku bisa berangkat lebih cepat ke mushola," batinku masih terus kesal.

Setelah tahu Ustad Amar merupakan ustad yang mengikuti pengajian bersamaku entah kenapa aku semakin bersemangat untuk segera pergi ke acara setiap hari Jum'at ini.

"Astaga, apa yang aku pikirkan," gumamku berbicara seorang diri.

Menggeleng berkali-kali tak ingin terus larut dalam perasaan yang mungkin tak akan terbalas lagi, dan kembali melukai hatiku.

…..

Hujan masih setia mengguyur tanah Jakarta, hingga malam. Aku masih setia duduk bersila di bawah jendela, masih terus menatap rintikan hujan. Semua janji private clas sudah kubatalkan, bosan sekali rasanya harus berdiam diri di kost.

Ponsel yang masih berada di saku tas bergetar, memang tak kuberi nada dering, hanya getaran.

Segera kutarik ponsel dari dalam tas melihat nama yang tertera dalam layar,

'Teh Salma' segera menggeser tombol hijau tak ingin menunggu lama. Sejak tadi aku belum menghubungi ibu, biasanya setelah shalat subuh aku akan video call dengan Teh Salma bersama ibu.

"Assalamualaikum, Teh."

Teh Salma hanya terdiam, tak menjawab salamku, justru isakan yang terdengar lirih dari speaker ponselku.

Hatiku mulai berdetak lebih cepat, ada apa? Kenapa Teh Salma menangis?

"Neng, Neng teh sabar nyak, Embu teh udah gak ada."

Aku masih ternganga tak percaya dengan ucapan Teh Salma, apakah kakak sepupuku itu tengah bercanda.

"Teteh mah jangan bercanda atuh, tak baik kematian di buat bercanda," ucapku meski hati ini tak lagi dapat menahan sakit, mata yang mulai mengembun, tapi aku tetap berpikir positif hari ini ulang tahunku pasti Teh Salma tengah memberi kejutan.

"Mending Neng balik, kasihan embu Uda nunggu."

Kumatikan segera ponsel yang yang ada di genggaman tangan. Mengambil tas yang ada di atas kasur, tak lupa uang yang ada dalam kaleng hasil aku menabung selama ini, berlari dengan air mata yang terus terurai.

"Ibu.…"

Bibirku bergetar memanggil namanya, kemarin ia baru tersenyum melihatku di balik layar ponsel milik Teh Salma.

Aku berjalan linglung, tak kuhiraukan guguran hujan, badan yang sudah basah kuyup.

Hingga berkali-kali tubuh ambruk dalam gelapnya malam.

Ibu, hanya dia yang ada dalam benakku. Tubuh yang terasa tak bertulang, aku benar-benar tak sanggup jika harus kehilangan ibu, dia satu-satunya orang yang kumiliki saat ini.

Tak ada ojek, tak ada angkot, aku terus berjalan, berharap ada tumpangan di tengah derasnya hujan.

Kulambaikan tangan kepada setiap kendaraan yang lewat, tapi tak ada yang menghiraukan hingga kuberanikan berdiri di tengah jalan. Beruntung mobil sedan berwarna putih berhenti beberapa senti di depanku.

"Bulan!"

Ustad Amar, batinku.

"Tolong saya Ustad, tolong antar saya ke Bandung, tolong Ustad," ucapku memohon, tetesan hujan yang jatuh bersama air mataku. Tetesan hujan sebagai saksi pilunya air bening yang jatuh dari sudut mataku.

"Ada apa dan kenapa?"

Aku tak menjawab ucapannya, dan menerobos masuk. Biarlah ku acuhkan sejenak rasa Maluku. Aku harus segera sampai di Bandung dan memastikan bahwa semuanya bohong.

Ustad Amar tak banyak bicara, ia mengikutiku masuk dan melajukan mobilnya.

"Ada apa Bulan?"

Aku tak menjawab dan hanya terus terisak.

"Ibu, aku percaya ini semua bohong," ucapku lirih.

Kutatap jalanan dari kaca pintu mobil, dan dari kaca itulah aku tahu aku tak memakai cadar. Segera mengambil sebagian pashmina panjang yang menjuntai untuk menutup wajahku.

Aku lupa pesan nenek, aku membuka wajahku dan menunjukkan kepada orang lain, aku semakin tersedu.

"Pakai ini."

Ustad Amar menyodorkan masker dan selimut, entah dari mana ia dapat.

Ah, mungkin ia sering menginap di mobil saat pulang malam. Aku tahu semua kegiatannya yang tengah menyebarkan dakwah di berbagai daerah karena aku selalu mengikuti akun media sosial miliknya.

"Terimakasih Ustad, maaf saya merepotkan."

Terus menyeka air mata yang tak mau berhenti keluar, seolah diperah seperti derasnya hujan malam ini.

Waktu terasa sangat lama, kenapa tak cepat sampai, kenapa jalan begitu panjang, kenapa?

Aku semakin panik, berkali-kali kucoba menghubungi Teh Salma, tak ada jawaban, hatiku semakin kacau.

"Ibu.…" lirihku lagi. Tak mungkin ibu meninggalkanku, kata-kata itu selalu kurapalkan dalam hati.

Hampir tiga jam kami berkendara, hingga sampailah kami di kampung Cadas Gantung, tempat aku dilahirkan, tempat aku tinggal.

Aku berlari cepat melihat kerumunan warga yang sudah memenuhi gubuk tempat ibu tinggal, ibu tinggal seorang diri. Teh Salma dan mamang juga bibi tinggal tak terlalu jauh dari rumah peninggalan bapak. Mamang merupakan kakak kandung ibu, mereka dua bersaudara.

Aku berdiri di depan pintu, melihat mamang dan Teh Salma menangis di samping jasad ibu yang telah dikafani sempurna.

Sendi-sendi terasa putus, tulangku seperti tak dapat menopang tubuh yang semakin berat seperti tertimpa ribuan ton beban.

Aku berjalan gontai, mengahapiri ibu yang sudah terbaring, meski wajahnya begitu pucat, tetapi ia tetap cantik.

Seketika tubuhku luruh di samping ibu, menangis sejadi-jadinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status