Share

KEMBALILAH SUAMIKU
KEMBALILAH SUAMIKU
Penulis: ER_IN

REMBULAN KANAYA

Rembulan di bawah langit Batavia, rembulan dengan bulat sempurna. Masih kutatap lekat indahnya cakrawala bertabur bintang, seolah bulan jadi raja.

Masih terus menggema di telinga ucapan lantang sosok laki-laki yang memberikan sedikit ceramah menyambut detik-detik shalat Jumat.

“Untuk apa pacaran? Kalian akan rugi pacaran, kalian tahu pacaran hanya akan memupuk dosa dalam tubuh emak bapakmu”

Badan tegap, bak Garuda kencana, membuat mata seolah hanya tertuju padanya. Menyita setiap pandangan mata karena pesona dosen muda dengan Koko putih, lengan digulung hingga siku, peci hitam, sajadah bertengger indah di bahunya.

Membuka acara religi jum'at tanpa syahwat. Sosok itu, dengan suara yang tenang, tetapi begitu menusuk relung jiwa, bulu-bulu halus di lengan ikut berdiri menyaksikan sosok yang tengah mengganggu ketenangan rasa tanpa berdosa muda mudi yang tengah menjalin cinta tanpa batasan, mengatasnamakan cinta dalam setiap sentuhan dan senyuman penjerumus jiwa.

"Kalian para wanita jangan bangga kalau kami para Adam mengejar kalian, gak ada cinta yang seperti itu. Kamu tahu? Cinta itu menjaga! Pacaran siapa yang paling banyak dirugikan? Kalian, kalian semua para hawa!"

Sorakan para Adam yang tak terima dengan ucapanya, tapi sosok itu justru menarik bibir senyum dengan begitu manisnya.

"Laki-laki ngejar kalian itu cuma hawa nafsu, apalagi kalau sampai merayu, beuh… udah deh tinggalin Adam yang kayak begitu. Kalian itu permata, harus dijaga, dilindungi bukan seenaknya di pegang sana sini."

Kenapa kata-kata itu tak lepas dari perputaran ingatan yang menyatu dengan syaraf otakku?

Meskipun aku belum pernah merasakan indahnya warna-warni berstatus pacaran, tetapi tak pernah dipungkiri rasa hati ingin merasakan cinta yang memiliki dan saling memiliki satu sama lain bukan merengkuh cinta tanpa balas.

Namun, kata-kata dari sosok dosen agama Islam itu seolah menundukan jiwa muda yang mulai meronta ingin di dekap dengan belaian kata-kata manja.

“Kamu sedang apa?”

“Udah makan belum?”

“Aku cinta kamu."

Bukankah itu indah, sungguh manis sekali.

Menggelengkan kepala mencoba membuyarkan segala rasa kepada lelaki yang telah lama bersarang dalam jiwa, sudah pasti rasa tak terbalas karena kasta kami jelas berbeda.

“ingat bulan, fokus dengan kuliahmu.”

Kata-kata itu selalu terapal indah di bibir tipisku, wanita keturunan Sunda tanpa ayah, hanya ibu yang tuna wicara tak dapat menulis dan membaca. Aku membawa beban berat saat pertama datang di bawah langit Batavia yang sekarang telah berubah nama menjadi Jakarta, saat Jepang kembali menyerahkan kekuasaannya setelah menjajah Indonesiaku tercinta.

Netra kembali melihat bintang yang berkelip, bulan dengan cahaya sempurna.

"Dapatkah aku menjadi sepertinya? Bulan dengan cahaya yang begitu terang, dalam kegelapan malam."

Aku Rembulan Kanaya, melangkahkan tekad merantau ke Jakarta demi melanjutkan cita-cita, mengambil seberkas beasiswa untuk merubah nasib buruk keluargaku di desa.

Tanpa ayah, aku tumbuh dalam.linangan air mata, air mata wanita kembang desa tuna wicara yang harus menerima nasib buruk karena menjadi korban rudapaksa, hingga lahirlah aku. Gadis tanpa nasab, menjadi bahan olok-olok, bermimpi tinggi, mengayomi Ibu dalam kehangatan rumah layak huni. Tak ada yang salah dengan mimpiku hanya saja orang desa berpikir aku terlalu bermimpi tinggi, tak melihat keadaan kami yang serba kekurangan.

Aku hanya punya tekad, tekad yang terus dipupuk, agar dapat menggenggam kesuksesan dan mempersembahkan untuk wanita yang telah melahirkanku.

....

Berjalan seorang diri tanpa teman, aku sudah biasa dengan itu semua. Karena pakaianku orang tak ingin berteman denganku.

"Hay ninja?"

"Norak."

"Udah deh lepas aja tuh cadar."

Kata-kata mereka semua tak membuatku gentar, selalu ingat pesan nenek sebelum ia menghembuskan nafas terakhir. Meski awalnya aku merasa terpaksa tapi demi Allah kini aku merasa nyaman berada di balik Cadar dan gamis besarku, melindungi diri dari mata-mata jahat para Adam.

Aku tak pernah tahu pasti alasan nenek selalu menyuruhku memakai cadar lengkap dengan hijab dan gamis yang selalu longgar, agama tentu sudah jadi hal utama. Namun, lebih dari itu nenek bahkan menekankan jangan pernah membuka atau menunjukan wajah kepada siapapun.

Duduk seorang diri menyesap kopi di kantin kampus yang terbilang cukup terkenal di Jakarta. Memandang laptop dengan banyak tabel tugas kuliah, aku kembali fokus memperhatikan setiap tabel berisikan tugasku.

Jurusan sarjana agama Islam, aku mengambilnya sebagai bekal hidup di dunia dan akhirat, memupuk ilmu agama di sela mencari rezeki, itu setidaknya yang ada dalam otakku saat ini.

"Hy."

Netra yang sedari tadi tak lepas dari layar laptop kini harus terpaksa beralih pandang, otak dengan cepat merespon sapaan halus dari wanita yang tiba-tiba saja duduk tanpa permisi di sebelahku.

Aku tersenyum, meski tak dapat melihat karena tertutup cadar.

"Boleh aku gabung?" sambungnya lagi.

Kali pertama ada orang yang mau berbagi bangku denganku, biasanya orang akan serempak menjauh dariku.

Mereka akan selalu berkata.

"Jangan dekat bulan, dia itu aneh."

"Bulan itu gak jelas,"

"Bulan itu teroris"

Ah, sudah jadi makanan sehari-hari, hingga aku bosan mendengarnya. Untuk kali pertama aku merasa minder dan hendak melepas cadar yang menutup wajahku. Nyatanya keyakinanku masih bisa mempertahankan kegundahan jiwa.

Aku masih setia mengenakan cadar menutup wajah Ayuku. Aku memang tak jelek, tetangga selalu memujiku cantik, hidung mancung, mata amber, jelas jarang sekali ditemukan di Indonesia. Namun, semakin orang memujiku cantik, mendiang nenek semakin tak suka. Hingga memaksaku memakai cadar di usiaku yang ke tujuh tahun. Aku menolak, memberontak, dan marah, untuk apa? Aku senang mereka memujiku cantik diatas rata-rata, tapi, nenek bersikeras menutup indahnya ciptaan tuhan ini.

"Namamu siapa?"

Gadis itu mengulurkan tangannya. Kali pertama ada orang yang mengajakku berkenalan.

Biasanya teman-temanku hanya datang saat meminta bantuanku mengerjakan tugas.

"Bulan, kamu siapa?"

Kusambut uluran tangannya, tangan yang begitu putih dan halus. Netra ini tak mau lepas darinya.

"Nara, aku Nara."

ucapnya, senyum yang sangat cantik, mata sipit, hidung mancung, kulit putih, rambut sebahu berwarna brown. Mungkin keturunan Jepang atau cina, batinku.

"Baru masuk sini?"

tanyaku basa basi.

"He'eum… aku baru pindah dari Jepang."

Bukankah Jepang cukup baik dalam pendidikan, lalu kenapa dia pindah kemari. Aku tak mengatakan Indonesiaku task memiliki pendidikan yang baik, hanya saja di Jepang lebih maju, jika dilihat dari televisi. Atau mungkin aku saja yang tak tahu seluk beluknya karena memang belum pernah ke sana.

"Kenapa? Bukankah disana lebih enak, negara berkembang dengan banyak bunga sakura, ada musim dingin, pasti seru bisa main salju."

Mulut ini berkata terus menerus tanpa henti, padahal dia, gadis yang duduk di depanku saat ini belum lama kami kenalan, hanya beberapa menit yang lalu, tapi aku merasa dia bisa menjadi lawan bicaraku yang cocok.

Alih-alih menjawab Nara justru terkekeh sambil menutup sedikit mulutnya kayaknya artis Korea yang sedang tertawa manis. Maklum aku paham adegan di drama-drama Korea karena aku suka menonton saat tengah malam, streaming dengan menumpang akses WiFi tengah malam milik ibu kos, agar bisa menghemat.

"Sama aja, papaku keturunan bali sementara mama orang Jepang nenek tinggal di sana, aku ingin ikut papa sama mama. Jadi deh aku kuliah di Jakarta aja."

Mengangguk pelan mendengar jawaban dari Nara.

"Eh… btw kok sendirian aja, mana temanmu?"

Aku tertawa kecil, mengangkat laptop hadiah dari SMA-ku dulu.

"Ini temanku."

Nara menatapku heran, ekspresinya benar-benar menggemaskan, lucu sekali.

Bisakah kita berteman? Ingin sekali ku lontarkan kata-kata itu, tetapi rasa percaya diri ini tak ada, setelah semua orang yang kudekati menjauh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status