Rembulan di bawah langit Batavia, rembulan dengan bulat sempurna. Masih kutatap lekat indahnya cakrawala bertabur bintang, seolah bulan jadi raja.
Masih terus menggema di telinga ucapan lantang sosok laki-laki yang memberikan sedikit ceramah menyambut detik-detik shalat Jumat.“Untuk apa pacaran? Kalian akan rugi pacaran, kalian tahu pacaran hanya akan memupuk dosa dalam tubuh emak bapakmu”Badan tegap, bak Garuda kencana, membuat mata seolah hanya tertuju padanya. Menyita setiap pandangan mata karena pesona dosen muda dengan Koko putih, lengan digulung hingga siku, peci hitam, sajadah bertengger indah di bahunya.Membuka acara religi jum'at tanpa syahwat. Sosok itu, dengan suara yang tenang, tetapi begitu menusuk relung jiwa, bulu-bulu halus di lengan ikut berdiri menyaksikan sosok yang tengah mengganggu ketenangan rasa tanpa berdosa muda mudi yang tengah menjalin cinta tanpa batasan, mengatasnamakan cinta dalam setiap sentuhan dan senyuman penjerumus jiwa."Kalian para wanita jangan bangga kalau kami para Adam mengejar kalian, gak ada cinta yang seperti itu. Kamu tahu? Cinta itu menjaga! Pacaran siapa yang paling banyak dirugikan? Kalian, kalian semua para hawa!"Sorakan para Adam yang tak terima dengan ucapanya, tapi sosok itu justru menarik bibir senyum dengan begitu manisnya."Laki-laki ngejar kalian itu cuma hawa nafsu, apalagi kalau sampai merayu, beuh… udah deh tinggalin Adam yang kayak begitu. Kalian itu permata, harus dijaga, dilindungi bukan seenaknya di pegang sana sini."Kenapa kata-kata itu tak lepas dari perputaran ingatan yang menyatu dengan syaraf otakku?Meskipun aku belum pernah merasakan indahnya warna-warni berstatus pacaran, tetapi tak pernah dipungkiri rasa hati ingin merasakan cinta yang memiliki dan saling memiliki satu sama lain bukan merengkuh cinta tanpa balas.Namun, kata-kata dari sosok dosen agama Islam itu seolah menundukan jiwa muda yang mulai meronta ingin di dekap dengan belaian kata-kata manja.“Kamu sedang apa?”“Udah makan belum?”“Aku cinta kamu."Bukankah itu indah, sungguh manis sekali.Menggelengkan kepala mencoba membuyarkan segala rasa kepada lelaki yang telah lama bersarang dalam jiwa, sudah pasti rasa tak terbalas karena kasta kami jelas berbeda.“ingat bulan, fokus dengan kuliahmu.”Kata-kata itu selalu terapal indah di bibir tipisku, wanita keturunan Sunda tanpa ayah, hanya ibu yang tuna wicara tak dapat menulis dan membaca. Aku membawa beban berat saat pertama datang di bawah langit Batavia yang sekarang telah berubah nama menjadi Jakarta, saat Jepang kembali menyerahkan kekuasaannya setelah menjajah Indonesiaku tercinta.Netra kembali melihat bintang yang berkelip, bulan dengan cahaya sempurna."Dapatkah aku menjadi sepertinya? Bulan dengan cahaya yang begitu terang, dalam kegelapan malam."Aku Rembulan Kanaya, melangkahkan tekad merantau ke Jakarta demi melanjutkan cita-cita, mengambil seberkas beasiswa untuk merubah nasib buruk keluargaku di desa.Tanpa ayah, aku tumbuh dalam.linangan air mata, air mata wanita kembang desa tuna wicara yang harus menerima nasib buruk karena menjadi korban rudapaksa, hingga lahirlah aku. Gadis tanpa nasab, menjadi bahan olok-olok, bermimpi tinggi, mengayomi Ibu dalam kehangatan rumah layak huni. Tak ada yang salah dengan mimpiku hanya saja orang desa berpikir aku terlalu bermimpi tinggi, tak melihat keadaan kami yang serba kekurangan.Aku hanya punya tekad, tekad yang terus dipupuk, agar dapat menggenggam kesuksesan dan mempersembahkan untuk wanita yang telah melahirkanku.....Berjalan seorang diri tanpa teman, aku sudah biasa dengan itu semua. Karena pakaianku orang tak ingin berteman denganku."Hay ninja?""Norak.""Udah deh lepas aja tuh cadar."Kata-kata mereka semua tak membuatku gentar, selalu ingat pesan nenek sebelum ia menghembuskan nafas terakhir. Meski awalnya aku merasa terpaksa tapi demi Allah kini aku merasa nyaman berada di balik Cadar dan gamis besarku, melindungi diri dari mata-mata jahat para Adam.Aku tak pernah tahu pasti alasan nenek selalu menyuruhku memakai cadar lengkap dengan hijab dan gamis yang selalu longgar, agama tentu sudah jadi hal utama. Namun, lebih dari itu nenek bahkan menekankan jangan pernah membuka atau menunjukan wajah kepada siapapun.Duduk seorang diri menyesap kopi di kantin kampus yang terbilang cukup terkenal di Jakarta. Memandang laptop dengan banyak tabel tugas kuliah, aku kembali fokus memperhatikan setiap tabel berisikan tugasku.Jurusan sarjana agama Islam, aku mengambilnya sebagai bekal hidup di dunia dan akhirat, memupuk ilmu agama di sela mencari rezeki, itu setidaknya yang ada dalam otakku saat ini."Hy."Netra yang sedari tadi tak lepas dari layar laptop kini harus terpaksa beralih pandang, otak dengan cepat merespon sapaan halus dari wanita yang tiba-tiba saja duduk tanpa permisi di sebelahku.Aku tersenyum, meski tak dapat melihat karena tertutup cadar."Boleh aku gabung?" sambungnya lagi.Kali pertama ada orang yang mau berbagi bangku denganku, biasanya orang akan serempak menjauh dariku.Mereka akan selalu berkata."Jangan dekat bulan, dia itu aneh.""Bulan itu gak jelas,""Bulan itu teroris"Ah, sudah jadi makanan sehari-hari, hingga aku bosan mendengarnya. Untuk kali pertama aku merasa minder dan hendak melepas cadar yang menutup wajahku. Nyatanya keyakinanku masih bisa mempertahankan kegundahan jiwa.Aku masih setia mengenakan cadar menutup wajah Ayuku. Aku memang tak jelek, tetangga selalu memujiku cantik, hidung mancung, mata amber, jelas jarang sekali ditemukan di Indonesia. Namun, semakin orang memujiku cantik, mendiang nenek semakin tak suka. Hingga memaksaku memakai cadar di usiaku yang ke tujuh tahun. Aku menolak, memberontak, dan marah, untuk apa? Aku senang mereka memujiku cantik diatas rata-rata, tapi, nenek bersikeras menutup indahnya ciptaan tuhan ini."Namamu siapa?"Gadis itu mengulurkan tangannya. Kali pertama ada orang yang mengajakku berkenalan.Biasanya teman-temanku hanya datang saat meminta bantuanku mengerjakan tugas."Bulan, kamu siapa?"Kusambut uluran tangannya, tangan yang begitu putih dan halus. Netra ini tak mau lepas darinya."Nara, aku Nara."ucapnya, senyum yang sangat cantik, mata sipit, hidung mancung, kulit putih, rambut sebahu berwarna brown. Mungkin keturunan Jepang atau cina, batinku."Baru masuk sini?"tanyaku basa basi."He'eum… aku baru pindah dari Jepang."Bukankah Jepang cukup baik dalam pendidikan, lalu kenapa dia pindah kemari. Aku tak mengatakan Indonesiaku task memiliki pendidikan yang baik, hanya saja di Jepang lebih maju, jika dilihat dari televisi. Atau mungkin aku saja yang tak tahu seluk beluknya karena memang belum pernah ke sana."Kenapa? Bukankah disana lebih enak, negara berkembang dengan banyak bunga sakura, ada musim dingin, pasti seru bisa main salju."Mulut ini berkata terus menerus tanpa henti, padahal dia, gadis yang duduk di depanku saat ini belum lama kami kenalan, hanya beberapa menit yang lalu, tapi aku merasa dia bisa menjadi lawan bicaraku yang cocok.Alih-alih menjawab Nara justru terkekeh sambil menutup sedikit mulutnya kayaknya artis Korea yang sedang tertawa manis. Maklum aku paham adegan di drama-drama Korea karena aku suka menonton saat tengah malam, streaming dengan menumpang akses WiFi tengah malam milik ibu kos, agar bisa menghemat."Sama aja, papaku keturunan bali sementara mama orang Jepang nenek tinggal di sana, aku ingin ikut papa sama mama. Jadi deh aku kuliah di Jakarta aja."Mengangguk pelan mendengar jawaban dari Nara."Eh… btw kok sendirian aja, mana temanmu?"Aku tertawa kecil, mengangkat laptop hadiah dari SMA-ku dulu."Ini temanku." Nara menatapku heran, ekspresinya benar-benar menggemaskan, lucu sekali.Bisakah kita berteman? Ingin sekali ku lontarkan kata-kata itu, tetapi rasa percaya diri ini tak ada, setelah semua orang yang kudekati menjauh.Satu Minggu sudah aku dan Nara semakin akrab. Kami sering menghabiskan waktu bersama sekedar duduk di kantin dan halaman kampus yang luas, menunggu jadwal masuk kuliah.Bertukar nomor ponsel untuk saling menghubungi. Nara, dia beragama Hindu, kami berbeda keyakinan, tapi ia begitu toleransi, selalu menungguku shalat di mushola kampus dan menjaga barang-barangku.Teman pertamaku, Nara.Aku memang tak pernah memiliki teman, semua menjauh dariku sejak aku memutuskan mengikuti kemauan nenek memakai cadar, mulai membangun akhlak dengan mengikuti pengajian di hari jum'at di mushola dekat aku mengontrak.Jumat pagi, seperti biasa kami duduk di kantin kampus, mata kuliahku sudah kosong, sementara Nara ia yang mengambil Fakultas ekonomi dengan jurusan bisnis masih memiliki satu mata kuliah lagi."Ra, aku balik dulu, ya? Nanti kamu main gih kalau aku udah pulang pengajian.""Oke, deh. Hati-hati Lan."Kami berpisah dengan saling lambai. Aku berjalan seorang diri, menyusuri halaman kampus, pohon
"Ibu… bangun! Ibu!"Kugoyangkan tubuh ibu, berharap ia terbangun dan menghapus air mataku.Kemana lagi kaki ini akan berpijak? Kemana lagi tubuh ini akan bersandar sementara orang yang selalu merengkuh telah tiada, pergi dan tak akan pernah kembali."Ibu, Bulan teh udah balik, ibu bangun!" Aku tak dapat menahan sesak yang ada dalam hatiku. Sakit, sakit sekali. Kenapa tuhan begitu cepat mengambil dia dariku?Baru kemarin ia tersenyum dan melambai kepadaku meski melalui layar ponsel.Bahkan aku masih ingat senyumnya, senyum yang selalu terasa amat teduh, kini ia telah tiada, kini ia pergi, pergi meninggalkan aku dalam lara dan kerasnya hidup."Ibu, tinggal enam Bulan lagi, ibu bisa lihat bulan pakai topi sarjana. Ibu kenapa tinggalin Bulan?"Air mata kian deras mengalir, Bagaimana aku hidup? Bagaimana Tuhan dengan kejam mengambil ibu dariku?"Neng, yang sabar Neng."Teh Salma merangkulku, tubuh yang mulai tak berdaya, tubuh yang mulai lemas tak bertenaga ini hanya bisa pasrah saat dija
Terbangun kala adzan subuh berkumandang, panggilan yang diserukan agar insan segera melakukan kewajibannya.Aku terbangun, mengerjapkan mata. Melihat ke samping kanan dan kiri, sudah tidak ada ibu. Butiran bening kembali menetes, ibu benar-benar meninggalkanku. Kejadian buruk malam tadi terlintas kembali, itu tidak mimpi.Kepala terasa berat sekali, sempoyongan berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Sebaiknya kuadukan gundah gulana hatiku kepada sang maha mengetahui.Kuambil telekung lusuh milik ibu, bersiap mengenakannya dan bersujud kepada pemberi hidup.Aku duduk bersimpuh setelah melakukan kewajibanku. Menadahkan tangan berharap kekuatan besar merasuk dalam jiwa agar nestapa kehilangan ini dapat tergantikan dengan kesabaran yang begitu besar.Sajadah yang tak lagi sempurna gambarnya basah oleh air mataku, kembali menangis seorang diri. Aku harus bagaimana? Apa yang harus kulakukan? Aku tak tahu arah jalan. Kemana aku harus pulang saat rumahku tak ada lagi ibu, oran
Tiga hari kepergian ibu, aku masih betah di rumah kecil kami. belum berniat kembali ke Jakarta meski Nara sudah berkali-kali mengirimkan pesan untuk menjemputku.Aku belum berniat kembali ke Jakarta, entah sampai kapan. Aku masih setia meratapi rindu yang tak selesai kepada ibu.Ku tatap indahnya pandangan dari atas tebing cadas gantung, sawah-sawah nan hijau, pohon yang tumbuh tak beraturan, burung-burung yang berterbangan menjadi temanku hari ini.Aku seorang diri, duduk berteman sepi. Kenapa aku tak mencari tahu soal ayahku? Pertanyaan itu terlintas di benakku.Untuk apa? Toh dia orang jahat.sisi hati kembali memberikan penolakan.Ya, mencari tahu sama saja menggali sakit hati."Neng? Hayuk pulang, udah sore." Panggilan membuatku tak kuasa ingin segera menoleh melihat Teh Salma yang sudah berdiri di sampingku."Sini heula Teh."Aku menepuk kayu tempat aku duduk, mengisyaratkan agar Teh Salma duduk di sampingku.Teh Salma sepuluh tahun lebih tua dariku, tetapi ia belum menikah. E
Bergandengan tangan menuruni bukit, aku dan teh Salma.Sebelum magrib kami telah sampai di depan gubuk kecilku. namun, langkah kami terhenti saat melihat di depan rumah terparkir mobil sedan berwarna merah.Kami saling pandang, siapa yang datang?"Cari siapa tuan?" tanyaku heran. "Permisi Nak, bukankah ini rumah Lilis Wati?"Aku mengernyitkan dahi, tamu ibu? Siapa dia mencari ibu?Aku menatapnya tajam, lelaki yang belum terlalu tua, mungkin sekitar 40 tahunan lebih, tapi gayanya masih necis mungkin karena ia orang kaya. Rambut yang tertata rapi meski sudah sedikit beruban, dasi biru tua, kemeja putih perpaduan dengan celana slim fit mahal, sepatu kantor yang begitu mengkilap."Anda siapa, dan untuk apa mencari ibuku?"Lelaki itu membuka kaca matanya, menatapku tajam, hidung mancung, mata amber seperti milikku."Apa kamu anaknya?" ucapnya penuh penekanan.Aku hanya mengangguk, teh Salma memegang erat jemariku hingga terasa sakit."Ayo, Bulan!"Teh Salma menarik cepat tanganku. ada ap
Enam bulan sudah aku seorang diri menghadapi dunia yang penuh dengan fiksi, kenyataan yang tak sesuai harapan, impian yang tak lagi memiliki tuan, semuanya membuatku seolah berjalan tanpa arah tujuan. Hanya mengikuti arus yang telah Tuhan beriakn.Aku datang memakai baju toga wisuda, dilengkapi dengan slaber dan medali. Aku datang membawa ijazah wisudaku duduk di samping nisan ibu."Lihatlah ibu, Bulan teh udah wisuda. Bulan teh udah lulus, ibu pasti bangga."Kembali titikan air mata jatuh tepat di tanah tempat tubuh ibu bersemayam, semakin sering hingga tanpa jeda. Aku masih setia duduk, bercerita seorang diri layaknya orang yang sedang kehilangan akal, menunggu senja datang dengan ocehan sambil terkadang disiringi senyum.Aku begitu merindukan ibu, rindu yang tak akan pernah bisa terobati rindu yang tak akan pernah bisa bilang, rindu hanya pertemuan lah yang mengobatinya.Cahaya orange senja mulai memeluk malam, aku beranjak berpamitan kepada nisan ib
Kami sampai di Jakarta, lebih dulu mengantarkan Nara karena dia harus bersiap hendak kembali ke Jepang malam ini, omanya sakit.Kupeluk Nara, walau berat melepasnya, gadis yang selalu menghibur dan menemaniku selama ini."Balik lagi, kan?" ucapku meyakinkan."Iya, kuliahku aja belum selesai." Nara tertawa kecil.Aku kembali memeluk Nara, melambai tangan.Tinggalah aku berdua dengan Ustad Amar, padahal aku bisa naik angkot, tetapi Ustad Amar memaksa mengantarkan karena hari sudah hampir Magrib, aku tak kuasa menolak.Saling diam walau di dalam mobil yang sama. Aku asyik menatap jalanan, senja di kota Batavia tak begitu indah seperti di desaku, batinku."Berta'aruf lah denganku."Aku berpaling, memandang bahu yang masih sibuk menyetir. Masih diam membisu tak menanggapi ucapanya."Aku serius Bulan, berta'aruf lah denganku," ucapnya mengulang.Jujur saja aku ingin tersenyum, dialah yang membuat hatiku lepas dari Azen."tapi... aku.... "Aku tak melanjutkan ucapanku. "Aku tahu semuanya, a
PERNIKAHANPelukan hangat dari bibi dan mamang juga Teh Salma setelah kuberi tahu Ahad ini keluarga Ustad Amar akan datang mengkhitbah sekaligus melangsungkan pernikahan.Bibi dengan tergesa memberitahukan warga. Tak hanya itu, ia bahkan menjual lembunya untukku. Aku berkali-kali menolak, tetapi ia bilang ingin menebus semua kesalahannya dulu. Alhamdulillah... bibi sudah benar-benar berubah.Duduk berdua bersama Teh Salma memandang Bulan purnama."Selamat ya, Neng, Allah teh kirim lelaki yang baik buat jagain Neng."Aku tersenyum, benar kata Teh Salma, aku butuh lelaki seperti Ustad Amar......Jantungku berdegup tidak karuan, sudah pasti aku gugup karena pagi ini kami akan melangsungkan pernikahan. Menatap diri di cermin kecil yang ada di pojok kamar, di sebelahnya kugantung gamis milik ibu, satu-satunya gamis yang belum pudar warnanya."Ibu, Bulan teh udah mau nikah. Seharusnya ibu ada di samping Bulan, masangin hijab buat Bulan, megang tangan Bulan buat datang kepada Ustad Amar."K