Share

CORETAN DARI IBU

Penulis: ER_IN
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-03 00:03:35

"Ibu… bangun! Ibu!"

Kugoyangkan tubuh ibu, berharap ia terbangun dan menghapus air mataku.

Kemana lagi kaki ini akan berpijak? Kemana lagi tubuh ini akan bersandar sementara orang yang selalu merengkuh telah tiada, pergi dan tak akan pernah kembali.

"Ibu, Bulan teh udah balik, ibu bangun!"

Aku tak dapat menahan sesak yang ada dalam hatiku. Sakit, sakit sekali. Kenapa tuhan begitu cepat mengambil dia dariku?

Baru kemarin ia tersenyum dan melambai kepadaku meski melalui layar ponsel.

Bahkan aku masih ingat senyumnya, senyum yang selalu terasa amat teduh, kini ia telah tiada, kini ia pergi, pergi meninggalkan aku dalam lara dan kerasnya hidup.

"Ibu, tinggal enam Bulan lagi, ibu bisa lihat bulan pakai topi sarjana. Ibu kenapa tinggalin Bulan?"

Air mata kian deras mengalir, Bagaimana aku hidup? Bagaimana Tuhan dengan kejam mengambil ibu dariku?

"Neng, yang sabar Neng."

Teh Salma merangkulku, tubuh yang mulai tak berdaya, tubuh yang mulai lemas tak bertenaga ini hanya bisa pasrah saat dijauhkan dari jasad ibu.

"Teteh, Teteh teh janji jeung Bulan, Teteh bakal rawat ibu, kenapa ibu bisa ninggalin Bulan? Kemarin ibu masih baik-baik saja."

Kupukil berkali-kali lengan Teh Salma, kutitip ibu kepadanya, tetapi kini ibu telah tiada. Membawa cahayaku, membawa kepercayaan dirimu, membawa tekadku untuk sukses, membawa semua mimpiku.

Aku menangis sejadi-jadinya meraung terus memanggil ibu, suara ratapan yang begitu pilu menggema di rumah peninggalan kakek yang hanya berukuran lima meter persegi.

Kupeluk tubuh ibu yang sudah terbalut kain putih, menciumnya berkali-kali. Aku masih tak bisa menerima semuanya, aku tak bisa.

"Neng, sudah… ikhlaskan." Mamang mencoba meraih tubuhku.

"Mang, kenapa semua bisa terjadi, kenapa ibu ninggalin Bulan?"

Terbata-bata mulut ini mengucapkan setiap kata yang terlontar.

"Sudah takdir Allah, Neng."

Tidak, aku tak terima dengan takdir ini, ini terlalu kejam. Ibu tak pernah hidup bahagia, ibu tak pernah hidup enak, aku sedang memperjuangkan kehidupan yang lebih baik untuknya, tetapi kenapa Allah begitu mudah mengambilnya dariku, kenapa?

Bahkan aku belum memberikan secuil kebahagiaan untuknya, bahkan aku belum memberikan lembar kelulusanku untuknya. Membuat ibu bangga, menutup semua mulut yang selalu merendahkan kami.

Masih kuingat kami harus berjuang mati matian demi sesuap nasi, hinaan yang selalu terlontar dari warga lain tak pernah ibu hiraukan demi memberi sesuap nasi untukku.

Tak jarang kami harus mengumpulkan singkong yang rusak sebagian hanya untuk menyambung hidup, menyedihkan.

Aku punya impian yang kupegang teguh untuk ibu, tetapi kini ia telah meninggalkanku, meninggalkanku seorang diri. Bagaimana bisa dia ikut nenek tanpa mengajakku? Tanpa berpamitan denganku.

Bagaimana ia bisa secepatnya menyusul bapak? Padahal bapak berpesan untuk menjagaku, menungguku merubah hidup kami. Bapak panggilan untuk kakek yang sedari kecil selalu dibiasakan oleh nenek, karena aku memang tak tahu siapa ayahku.

Ibu berbohong, ibu meninggalkan saat aku hampir menyelesaikan perjuanganku di bawah meja universitas Negeri Jakarta.

Kenapa tidak mengajakku ibu? Aku rapuh tanpamu, aku kehilangan sandaran tempat aku bermanja. Kutahan rindu dan rela jauh darimu untuk memberikan senyum kebanggaan, tapi belum kulihat senyum itu sudah kau bawa pergi seluruh keceriaanku. Bagaimana bulan akan bercahaya sementara mentarinya telah pergi?

Aku menatap pilu keranda yang membawa tubuh ibu di dalamnya, berjalan gontai dengan tatapan kosong. Ikut mengantar kepergian ibu di bawah rintik hujan.

Lihatlah ibu, bahkan langit ikut menangis, bahkan langit mengerti hancurnya hatiku saat kau tinggalkan aku dalam kesendirian.

Satu jam kemudian, aku masih menatap nanar gundukan tanah bertuliskan nama ibu, Lilis Wati. Bunga berbagai rupa bertabur menghiasi rumah terakhir ibu. Semoga tenang di sana ibu, di samping nenek. Tak lagi merasakan hinaan sosial, tak lagi merasakan kelaparan. Ibu pasti bahagia di sana, Bulan akan hidup lebih baik.

Janjiku kepada ibu, aku akan buat ibu bangga, aku akan buat orang-orang yang telah menyakiti ibu membayar semuanya.

"Bulan, saya ikut belasungkawa. Saya pamit, permisi."

Aku hanya tersenyum tipis menanggapi Ustad Amar yang berpamitan kepadaku juga mamang dan Teh Salma.

"Terimakasih, Aa' teh udah anterin adik saya," ucap Teh Salma.

"Sama-sama, assalamualaikum," ucapnya sebelum berlalu.

Kami bersama membalas ucapan salam Ustad Amar.

"Bulan, ayo pulang?" Teh salama merengkuh tubuhku yang masih sempoyongan.

"Di mana bibi?"

Sejak tadi aku memang tak melihat bibi, kemana dia? batinku.

"Bibimu lemas, selalu mengis sejak diumumkannya kepergian ibumu," ucap paman menjelaskan.

Benarkah? Apa aku tak salah dengar, batinku seolah menolak penjelasan paman. Pasalnya ia tak pernah suka denganku dan ibu. Bibi selalu mengatakan kami hanya beban untuk paman, selalu menjadi aib untuk keluarga kami.

Ah, sudahlah ini bukan waktunya memikirkan bibi. Langkah terhenti tepat di depan rumah kediaman kami, sudah lenggang. Para pentakziah sudah pergi, sunyi sepi.

Aku segera menuju kamar mandi belakang rumah, mengguyur tubuh yang terasa lengkt. Sedikit memberikan kesejukan kulit agar pori-pori dapat ikut bernafas.

….

Beberapa menit kemudian aku sudah duduk di pinggir dipan kayu dengan kasur lusuh. Tempat di mana aku dan ibu selalu tidur bersama sebelum aku putuskan merantau mengejar mimpi di kota Jakarta.

Netra menyapu setiap sudut ruangan, tak ada yang berubah, masih sama tiga bulan silam saat terakhir aku datang kemari.

Kaki tertatih melangkah menuju lemari kayu yang bagian pinggirnya sudah rapuh dimakan rayap. Kubuka perlahan pintu, suara decitan bunyi khas lemari tua.

Baju yang tersusun rapi meski tak banyak, baju-baju ibu dan sebagian bajuku yang memang sengaja tak kubawa. Kuambil atau baju milik ibu, menciumnya dengan air mata kembali menetes. Sejak tiga bulan lalu aku belum bertemu ibu, dan sekarang kami bertemu untuk terakhir kalinya, terakhir kalinya kulihat wajah ibu. Rindu ini bahkan tak terobati.

Ekor mataku menangkap selembar kertas yang terselip di tumpukan baju. "Kertas apa ini?" gumamku.

Menariknya perlahan, goresan tangan yang tak begitu jelas kutahu ibu yang menuliskan. Tiga bulan lalu dengan telaten kuajari ibu menulis agar lebih mudah berkomunikasi denganku tanpa menggunakan isyarat tangan, Alhamdulillah… Allah permudah, ibu sedikit bisa menggunakan pensil.

Kubalik Berkali-kali kertas yang ada di tanganku, mencoba merangkai kata yang berkelok-kelok seperti cacing pita.

Nama bibi dapat kutangkap dengan jelas, setelah itu Yusuf, aku tidak tahu siapa itu Yusuf. Di sebelahnya namaku, entah apa maksud dari coretan ibu ini.

Adakah yang bibi sembunyikan dariku? Ia bahkan belum menemuiku.

Kembali kusimpan kertas di bawah baju ibu, melanjutkan niat mengambil sehelai baju ibu untuk menemuiku berbaring.

Kembali menaiki dipan kayu yang selalu berdecit saat tubuh bergerak, menangis di bawah temaram lampu satu buah besar untuk seluruh ruangan, menaruhnya tepat di sela-sela sekatan rumah yang menghubungkan kamar ruang tamu juga dapur hingga cahaya sebuah bohlam hanya temaram menerangi seluruh ruangan.

Bibi hanya memperbolehkan memasang satu lampu dengan alasan menghemat biaya listrik, padahal aku selalu memberinya uang bayar listrik sekedar untuk meringankan tagihannya.

Mungkin benar pepatah mengatakan uang tak mengenal siapapun.

Kupaksa mata terpejam karena sudah terasa sangat perih dan panas, akibat menangis terlalu lama. Terlelap memeluk baju ibu, berharap esok terbangun dari mimpi buruk ini.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • KEMBALILAH SUAMIKU    Pasrah (TAMAT)

    Setelah puas menuntaskan aktivitas tidak masuk akal yang kulakukan di samping gundukan tanah, aku dan Bayu kembali ke rumah umi. Tiga jam terasa cepat sekali, lelah dan letih tak kuhiraukan. Biasanya aku akan berangkat setelah Magrib menginap semalam di rumah Bandung kemudian seharian berada di makam dan kembali setelah Azhar.“Umi.” Zakir dan Zafar berlari, berebut ingin memelukku. Kusambut keduanya dalam pelukan dan menciumi kedua pipinya.Perasaan bersalah kepada mereka semakin besar karena aku terlalu sibuk dengan sakitku dan tak memikirkan perasaan anakku.“Bagaimana hafalannya?”“Zakir sudah hafal al baqoroh,”“Zafar juga.”Aku mengacak gemas pucuk kepala mereka.“Alhamdulillah, pintar anak Umi.”“Zafar sama Abang bakalan rajin ngaji, tapi umi janji jangan nangis lagi, ya?”Aku tersenyum dan mengangguk pelan. Zakir dan Zafar tak lagi menanyakan Roy setelah abi menjelaskan panjang lebar kepada mereka da

  • KEMBALILAH SUAMIKU    Menenangkan Hati

    Kalau saja hati ini, tubuh ini buatan Jepang atau China mungkin sudah tak dapat digunakan dan sudah berada di tumpukan sampah. Kalau saja pikiran ini sebuah chip dengan memori terbatas mungkin sudah tak terpakai lagi. Namun, semuanya ciptaan yang maha agung, ciptaan yang maha sempurna sehingga sampai detik ini aku masih menggunakannya dengan baik. Meski sudah remuk berkali-kali, patah tak terhitung.Setelah satu minggu berada di rumah sakit menjalani perawatan, saat itu kondisi tubuhku sudah mulai membaik, tetapi tidak dengan keadaan otakk yang mulai terganggu, psikologis mulai tak beres dan aku harus melakukan terapi sekali seminggu. Aku senang berdiam diri di bawah jendela menatap awan berjam-jam, kadang menangis seorang diri, tertawa dan berbicara dengan fot Roy atau Bang Amar yang sengaja kutaruh di bawah jendela tempat ternyamanku saat ini, entah itu pagi, siang atau malam.Kadang aku tak mengenali kedua putraku, kadang aku mengenali mereka. Kadang aku me

  • KEMBALILAH SUAMIKU    Kemalangan Kembali

    “Roy!” Aku hendak berlari menghampiri Roy yang tergeletak tak berdaya di bawah kaki Azen. Namun, tanganku dicekal kuat oleh Azen.“Jangan dekati dia atau aku akan menembaknya.” Azen mengeluarkan pistol dan memperlihatkan di depan wajahku.Bayang-bayang malam pilu dimana Bang Amar kehilangan nyawa kembali berputar di otakku. Aku bersimpuh di bawah kaki Azen “Apa maumu?” tanyaku dengan uraian air pala pilu.“Menikahlah denganku.” Seringai setan terukir di bibir Azen.“Jika aku menikah denganmu maka lepaskan Roy dan anak-anakku.”Azen berlutut di depanku membelai wajahku. “Tentu saja.”“Tapi bukankah kamu masih ingat ilmu agama? Aku baru saja menikahi Roy, dan jika Roy menjatuhkan talak kepadaku kau perlu waktu empat bulan untuk mengucap ijab.”Azen kembali berdiri dan tersenyum.“Tentu saja aku paham, aku akan menunggu masa idahmu dan kau tinggal di tempat yang telah kutentukan.”“Tidak, aku tak

  • KEMBALILAH SUAMIKU    Rencana Azen 2

    “Mang lebih cepat,” pintaku tak sabar. “Ramai kendaraan Mbak Bulan, entah kenapa malam ini ramai sekali,” jawab mamang.Aku semakin tak tenang, berkali-kali kuhubungi nomor Azen, tetapi ia tetap tak menjawab panggilan teleponku.“Aku akan naik ojek saja, Mamang pulang saja.”“Loh, Mbak Bulan mau naik ojek pakai baju seperti itu, ribet Mbak.”Aku tak menghiraukan ucapan Mang sopir dan segera turun melambai kepada siapapun yang menggunakan motor. Tidak aku pikirkan entah itu orang baik atau jahat, yang ada dalam pikiranku sekarang adalah anak-anakku dan juga Roy, ketakutan yang luar biasa tak dapat kusembunyikan. Aku takut Azen akan bertindak seperti dulu. Bagaimana jika ia sampai menyakiti Roy atau kedua putraku?“Cepat sedikit Mas,” ucapku kepada pemuda yang mengendarai motor.“Mana alamatnya Mbak?” tanya pemuda tersebut, aku memperlihatkan alamat pada ponselku. Pemuda itu menancap gas dengan kecepatan tinggi.“Itu

  • KEMBALILAH SUAMIKU    Rencana Azen

    Bagaimana aku bisa berjalan di atas altar dengan hati tenang? Sementara aku tahu musuh mungkin akan datang begitu saja. Menjelang hari pernikahanku, sejak Roy datang melamar bersamaan dengan Azen ketenangan hatiku kembali terusik. Namun, aku mencoba menyampingkan semuanya demi orang-orang yang mencintaiku, demi anakku yang begitu dekat dengan Roy.“Mbak, sudah siap?” Amara membuka pintu kamarku perlahan dengan senyum di bibirnya.“Duduk sebentar,” pintaku.Amara mengikuti keinginanku dan duduk tepat di sebelahku.“Meski Mbak sudah menikah kalian tetap keluarga Mbak, kan?” Kugenggam jari-jemari Amara, aku takut kehilangan, aku takut ditinggalkan.“Mbak ini ngomong apa? Kan kita sudah sepakat gak bahas ini lagi. Kita tetap keluarga sampai kapanpun, dan aku tetap adikmu yang manja dan selalu merepotkan,” ucapnya sambil memelukku.Kuusap titikan air mata yang sempat lolos.“Terimakasih, Mara.”“Aduh, kenapa nangis? Nanti make up l

  • KEMBALILAH SUAMIKU    Adakah Cinta Tanpa Maksiat?

    “Ada apa Bulan?” tanya umi yang melihatku begitu tegang.Aku kembali membaca pesan dari Azen.[Jangan pernah menikahi Roy!] Pesan dengan sebuah emo iblis mampu membuat jantungku berpacu layaknya pacuan kuda.Di saat yang bersamaan masuk pesan dari Roy.[Jangan pikirkan apapun, pikirkan saja kebahagiaan kita dan Zakir juga Zafar.]Bisakah aku hanya memikirkan itu? Bisakah aku mengabaikan pesan dari Azen? Bagaimana jika ia berbuat nekat lagi? Ya Rabb, kuserahkan semuanya kepadamu.Memasukan nasi dengan sedikit memaksa, aku harus terlihat baik-baik saja agar umi dan abi tak berpikir aku tengah menyembunyikan sesuatu.Setelah sarapan umi mengajakku untuk langsung berangkat menuju butik Mommy Nana, sebenarnya aku ingin pernikahan yang sederhana saja. Namun, umi dan abi ingin menggelar pesta mengingat dulu aku dan Bang Amar tak melakukannya. Umi bilang ingin sekali saja melihatku memakai baju selayar putih walaupun tak bersama dengan Bang Am

  • KEMBALILAH SUAMIKU    Menerima Lamaran

    Aku memandang jari jemariku yang mengepal kuat, aku harus mengambil keputusan agar Azen tak terus menggangguku, setidaknya aku harus memiliki pendamping agar dia tak terus mengharapkanku.“Terimakasih telah datang untuk melamarku Azen, dulu memang aku mengharapkan itu berbagi shaf shalat bersamamu." Azen tersenyum lebar, kepercayaan semakin meningkat dan menyunggingkan senyum sinis kepada Roy. “Tetapi aku menerima lamaran Roy.” Seketika Azen terdiam mengepalkan tangannya, wajahnya berubah menyiratkan kemarahan.“Aku mempunyai alasan untuk itu, terutara anak-anakku begitu dekat dengan Roy, dan yang kedua dia datang lebih dulu untuk mengkhitbahku, jadi mohon maaf jika aku lebih memilihnya.” Kali ini Roy yang tersenyum menatap Azen.“Tidak, aku tak terima Bulan, sampai kapanpun kamu milikku!” seru Azen sebelum pergi meninggalkan kediaman kami tanpa pamit.“Maaf Bulan dan semuanya atas sikap anak saya,” ucap Nyonya B

  • KEMBALILAH SUAMIKU    Dua Lamaran

    Seringkali aku beratnya, kadang di subuh yang sunyi, atau malam yang berbalut bintang. Apakah ini sebuah kenyamanan yang hakiki, atau sebuah kesesakan yang dibungkus dengan indah oleh sebuah narasi? Pasalnya aku tak pernah mengerti bagaimana adam bisa melakukan apapun untuk mendapatkan seorang hawa. Aku tak pernah mengerti itu, dan saat ini setelah kulakukan shalat subuh Roy mengirimiku pesan akan membawa mommynya mengunjungiku bertemu dengan abi dan juga umi. Entah apa yang akan mereka lakukan, ia bilang hanya ingin berdamai dengan keadaan hatinya yang terus mengusik.Aku tak ambil pusing, mungkin dia hanya ingin memperbaiki hubunganku dengan mommynya. Kusiapkan makanan untuk Zafar dan Zakir, sementara abi dan umi akan tiba siang ini. Aku masih menemani kedua putraku yang sedang menyantap makanan di meja makan, sesekali bercanda bersama mereka. Hari ini aku full menikmati me time bersama kedua anak kesayanganku.Selalu kuucapkan maaf berkali-kali karena aku tak bisa selalu bersama

  • KEMBALILAH SUAMIKU    Berjamaah

    Kutarik dengan pasti gagang daun pintu mobil milik Roy, di dalam putraku sudah duduk dengan manis, meminum sebotol teh. Aku mengamati keduanya, masih menikmati sesekali menggoyangkan kaki dan kepalanya mengikuti irama shalawat yang diputar oleh Roy.“Makan dulu, ya?” tanya Roy kepada keduanya, yang langsung dijawab oleh anggukan semangat.Mungkin Allah mempertemukan kami agar kedua putraku bisa mendapatkan sedikit kasih sayang layaknya seorang ayah. Meski tak dipungkiri pertemuan kami penuh dengan derita dan air mata, mengalahkan salah satu diantara kami, hingga Allah memberikan setitik cinta di hati Roy untukku dan kedua putraku.Namun, kehadirannya tak akan bisa menggantikan Bang Amar, kehadirannya, mungkin jika Allah mengizinkan akan mempunyai tempat yang sama di hatiku seperti milik Bang Amar, tetapi sekali lagi aku tegaskan bukan untuk menggantikan Bang Amar. Jika dia mampu menerima dan mau bersebelahan dengan milik Bang Amar kenapa aku tidak menerimanya? Karena hidup memang haru

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status