"Ibu… bangun! Ibu!"
Kugoyangkan tubuh ibu, berharap ia terbangun dan menghapus air mataku.Kemana lagi kaki ini akan berpijak? Kemana lagi tubuh ini akan bersandar sementara orang yang selalu merengkuh telah tiada, pergi dan tak akan pernah kembali."Ibu, Bulan teh udah balik, ibu bangun!"Aku tak dapat menahan sesak yang ada dalam hatiku. Sakit, sakit sekali. Kenapa tuhan begitu cepat mengambil dia dariku?Baru kemarin ia tersenyum dan melambai kepadaku meski melalui layar ponsel.Bahkan aku masih ingat senyumnya, senyum yang selalu terasa amat teduh, kini ia telah tiada, kini ia pergi, pergi meninggalkan aku dalam lara dan kerasnya hidup."Ibu, tinggal enam Bulan lagi, ibu bisa lihat bulan pakai topi sarjana. Ibu kenapa tinggalin Bulan?"Air mata kian deras mengalir, Bagaimana aku hidup? Bagaimana Tuhan dengan kejam mengambil ibu dariku?"Neng, yang sabar Neng."Teh Salma merangkulku, tubuh yang mulai tak berdaya, tubuh yang mulai lemas tak bertenaga ini hanya bisa pasrah saat dijauhkan dari jasad ibu."Teteh, Teteh teh janji jeung Bulan, Teteh bakal rawat ibu, kenapa ibu bisa ninggalin Bulan? Kemarin ibu masih baik-baik saja."Kupukil berkali-kali lengan Teh Salma, kutitip ibu kepadanya, tetapi kini ibu telah tiada. Membawa cahayaku, membawa kepercayaan dirimu, membawa tekadku untuk sukses, membawa semua mimpiku.Aku menangis sejadi-jadinya meraung terus memanggil ibu, suara ratapan yang begitu pilu menggema di rumah peninggalan kakek yang hanya berukuran lima meter persegi.Kupeluk tubuh ibu yang sudah terbalut kain putih, menciumnya berkali-kali. Aku masih tak bisa menerima semuanya, aku tak bisa."Neng, sudah… ikhlaskan." Mamang mencoba meraih tubuhku."Mang, kenapa semua bisa terjadi, kenapa ibu ninggalin Bulan?"Terbata-bata mulut ini mengucapkan setiap kata yang terlontar."Sudah takdir Allah, Neng."Tidak, aku tak terima dengan takdir ini, ini terlalu kejam. Ibu tak pernah hidup bahagia, ibu tak pernah hidup enak, aku sedang memperjuangkan kehidupan yang lebih baik untuknya, tetapi kenapa Allah begitu mudah mengambilnya dariku, kenapa?Bahkan aku belum memberikan secuil kebahagiaan untuknya, bahkan aku belum memberikan lembar kelulusanku untuknya. Membuat ibu bangga, menutup semua mulut yang selalu merendahkan kami.Masih kuingat kami harus berjuang mati matian demi sesuap nasi, hinaan yang selalu terlontar dari warga lain tak pernah ibu hiraukan demi memberi sesuap nasi untukku.Tak jarang kami harus mengumpulkan singkong yang rusak sebagian hanya untuk menyambung hidup, menyedihkan.Aku punya impian yang kupegang teguh untuk ibu, tetapi kini ia telah meninggalkanku, meninggalkanku seorang diri. Bagaimana bisa dia ikut nenek tanpa mengajakku? Tanpa berpamitan denganku.Bagaimana ia bisa secepatnya menyusul bapak? Padahal bapak berpesan untuk menjagaku, menungguku merubah hidup kami. Bapak panggilan untuk kakek yang sedari kecil selalu dibiasakan oleh nenek, karena aku memang tak tahu siapa ayahku.Ibu berbohong, ibu meninggalkan saat aku hampir menyelesaikan perjuanganku di bawah meja universitas Negeri Jakarta.Kenapa tidak mengajakku ibu? Aku rapuh tanpamu, aku kehilangan sandaran tempat aku bermanja. Kutahan rindu dan rela jauh darimu untuk memberikan senyum kebanggaan, tapi belum kulihat senyum itu sudah kau bawa pergi seluruh keceriaanku. Bagaimana bulan akan bercahaya sementara mentarinya telah pergi?Aku menatap pilu keranda yang membawa tubuh ibu di dalamnya, berjalan gontai dengan tatapan kosong. Ikut mengantar kepergian ibu di bawah rintik hujan.Lihatlah ibu, bahkan langit ikut menangis, bahkan langit mengerti hancurnya hatiku saat kau tinggalkan aku dalam kesendirian.Satu jam kemudian, aku masih menatap nanar gundukan tanah bertuliskan nama ibu, Lilis Wati. Bunga berbagai rupa bertabur menghiasi rumah terakhir ibu. Semoga tenang di sana ibu, di samping nenek. Tak lagi merasakan hinaan sosial, tak lagi merasakan kelaparan. Ibu pasti bahagia di sana, Bulan akan hidup lebih baik.Janjiku kepada ibu, aku akan buat ibu bangga, aku akan buat orang-orang yang telah menyakiti ibu membayar semuanya."Bulan, saya ikut belasungkawa. Saya pamit, permisi."Aku hanya tersenyum tipis menanggapi Ustad Amar yang berpamitan kepadaku juga mamang dan Teh Salma."Terimakasih, Aa' teh udah anterin adik saya," ucap Teh Salma."Sama-sama, assalamualaikum," ucapnya sebelum berlalu.Kami bersama membalas ucapan salam Ustad Amar."Bulan, ayo pulang?" Teh salama merengkuh tubuhku yang masih sempoyongan."Di mana bibi?"Sejak tadi aku memang tak melihat bibi, kemana dia? batinku."Bibimu lemas, selalu mengis sejak diumumkannya kepergian ibumu," ucap paman menjelaskan.Benarkah? Apa aku tak salah dengar, batinku seolah menolak penjelasan paman. Pasalnya ia tak pernah suka denganku dan ibu. Bibi selalu mengatakan kami hanya beban untuk paman, selalu menjadi aib untuk keluarga kami.Ah, sudahlah ini bukan waktunya memikirkan bibi. Langkah terhenti tepat di depan rumah kediaman kami, sudah lenggang. Para pentakziah sudah pergi, sunyi sepi.Aku segera menuju kamar mandi belakang rumah, mengguyur tubuh yang terasa lengkt. Sedikit memberikan kesejukan kulit agar pori-pori dapat ikut bernafas.….Beberapa menit kemudian aku sudah duduk di pinggir dipan kayu dengan kasur lusuh. Tempat di mana aku dan ibu selalu tidur bersama sebelum aku putuskan merantau mengejar mimpi di kota Jakarta.Netra menyapu setiap sudut ruangan, tak ada yang berubah, masih sama tiga bulan silam saat terakhir aku datang kemari.Kaki tertatih melangkah menuju lemari kayu yang bagian pinggirnya sudah rapuh dimakan rayap. Kubuka perlahan pintu, suara decitan bunyi khas lemari tua.Baju yang tersusun rapi meski tak banyak, baju-baju ibu dan sebagian bajuku yang memang sengaja tak kubawa. Kuambil atau baju milik ibu, menciumnya dengan air mata kembali menetes. Sejak tiga bulan lalu aku belum bertemu ibu, dan sekarang kami bertemu untuk terakhir kalinya, terakhir kalinya kulihat wajah ibu. Rindu ini bahkan tak terobati. Ekor mataku menangkap selembar kertas yang terselip di tumpukan baju. "Kertas apa ini?" gumamku.Menariknya perlahan, goresan tangan yang tak begitu jelas kutahu ibu yang menuliskan. Tiga bulan lalu dengan telaten kuajari ibu menulis agar lebih mudah berkomunikasi denganku tanpa menggunakan isyarat tangan, Alhamdulillah… Allah permudah, ibu sedikit bisa menggunakan pensil.Kubalik Berkali-kali kertas yang ada di tanganku, mencoba merangkai kata yang berkelok-kelok seperti cacing pita.Nama bibi dapat kutangkap dengan jelas, setelah itu Yusuf, aku tidak tahu siapa itu Yusuf. Di sebelahnya namaku, entah apa maksud dari coretan ibu ini.Adakah yang bibi sembunyikan dariku? Ia bahkan belum menemuiku.Kembali kusimpan kertas di bawah baju ibu, melanjutkan niat mengambil sehelai baju ibu untuk menemuiku berbaring.Kembali menaiki dipan kayu yang selalu berdecit saat tubuh bergerak, menangis di bawah temaram lampu satu buah besar untuk seluruh ruangan, menaruhnya tepat di sela-sela sekatan rumah yang menghubungkan kamar ruang tamu juga dapur hingga cahaya sebuah bohlam hanya temaram menerangi seluruh ruangan.Bibi hanya memperbolehkan memasang satu lampu dengan alasan menghemat biaya listrik, padahal aku selalu memberinya uang bayar listrik sekedar untuk meringankan tagihannya.Mungkin benar pepatah mengatakan uang tak mengenal siapapun.Kupaksa mata terpejam karena sudah terasa sangat perih dan panas, akibat menangis terlalu lama. Terlelap memeluk baju ibu, berharap esok terbangun dari mimpi buruk ini.Terbangun kala adzan subuh berkumandang, panggilan yang diserukan agar insan segera melakukan kewajibannya.Aku terbangun, mengerjapkan mata. Melihat ke samping kanan dan kiri, sudah tidak ada ibu. Butiran bening kembali menetes, ibu benar-benar meninggalkanku. Kejadian buruk malam tadi terlintas kembali, itu tidak mimpi.Kepala terasa berat sekali, sempoyongan berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Sebaiknya kuadukan gundah gulana hatiku kepada sang maha mengetahui.Kuambil telekung lusuh milik ibu, bersiap mengenakannya dan bersujud kepada pemberi hidup.Aku duduk bersimpuh setelah melakukan kewajibanku. Menadahkan tangan berharap kekuatan besar merasuk dalam jiwa agar nestapa kehilangan ini dapat tergantikan dengan kesabaran yang begitu besar.Sajadah yang tak lagi sempurna gambarnya basah oleh air mataku, kembali menangis seorang diri. Aku harus bagaimana? Apa yang harus kulakukan? Aku tak tahu arah jalan. Kemana aku harus pulang saat rumahku tak ada lagi ibu, oran
Tiga hari kepergian ibu, aku masih betah di rumah kecil kami. belum berniat kembali ke Jakarta meski Nara sudah berkali-kali mengirimkan pesan untuk menjemputku.Aku belum berniat kembali ke Jakarta, entah sampai kapan. Aku masih setia meratapi rindu yang tak selesai kepada ibu.Ku tatap indahnya pandangan dari atas tebing cadas gantung, sawah-sawah nan hijau, pohon yang tumbuh tak beraturan, burung-burung yang berterbangan menjadi temanku hari ini.Aku seorang diri, duduk berteman sepi. Kenapa aku tak mencari tahu soal ayahku? Pertanyaan itu terlintas di benakku.Untuk apa? Toh dia orang jahat.sisi hati kembali memberikan penolakan.Ya, mencari tahu sama saja menggali sakit hati."Neng? Hayuk pulang, udah sore." Panggilan membuatku tak kuasa ingin segera menoleh melihat Teh Salma yang sudah berdiri di sampingku."Sini heula Teh."Aku menepuk kayu tempat aku duduk, mengisyaratkan agar Teh Salma duduk di sampingku.Teh Salma sepuluh tahun lebih tua dariku, tetapi ia belum menikah. E
Bergandengan tangan menuruni bukit, aku dan teh Salma.Sebelum magrib kami telah sampai di depan gubuk kecilku. namun, langkah kami terhenti saat melihat di depan rumah terparkir mobil sedan berwarna merah.Kami saling pandang, siapa yang datang?"Cari siapa tuan?" tanyaku heran. "Permisi Nak, bukankah ini rumah Lilis Wati?"Aku mengernyitkan dahi, tamu ibu? Siapa dia mencari ibu?Aku menatapnya tajam, lelaki yang belum terlalu tua, mungkin sekitar 40 tahunan lebih, tapi gayanya masih necis mungkin karena ia orang kaya. Rambut yang tertata rapi meski sudah sedikit beruban, dasi biru tua, kemeja putih perpaduan dengan celana slim fit mahal, sepatu kantor yang begitu mengkilap."Anda siapa, dan untuk apa mencari ibuku?"Lelaki itu membuka kaca matanya, menatapku tajam, hidung mancung, mata amber seperti milikku."Apa kamu anaknya?" ucapnya penuh penekanan.Aku hanya mengangguk, teh Salma memegang erat jemariku hingga terasa sakit."Ayo, Bulan!"Teh Salma menarik cepat tanganku. ada ap
Enam bulan sudah aku seorang diri menghadapi dunia yang penuh dengan fiksi, kenyataan yang tak sesuai harapan, impian yang tak lagi memiliki tuan, semuanya membuatku seolah berjalan tanpa arah tujuan. Hanya mengikuti arus yang telah Tuhan beriakn.Aku datang memakai baju toga wisuda, dilengkapi dengan slaber dan medali. Aku datang membawa ijazah wisudaku duduk di samping nisan ibu."Lihatlah ibu, Bulan teh udah wisuda. Bulan teh udah lulus, ibu pasti bangga."Kembali titikan air mata jatuh tepat di tanah tempat tubuh ibu bersemayam, semakin sering hingga tanpa jeda. Aku masih setia duduk, bercerita seorang diri layaknya orang yang sedang kehilangan akal, menunggu senja datang dengan ocehan sambil terkadang disiringi senyum.Aku begitu merindukan ibu, rindu yang tak akan pernah bisa terobati rindu yang tak akan pernah bisa bilang, rindu hanya pertemuan lah yang mengobatinya.Cahaya orange senja mulai memeluk malam, aku beranjak berpamitan kepada nisan ib
Kami sampai di Jakarta, lebih dulu mengantarkan Nara karena dia harus bersiap hendak kembali ke Jepang malam ini, omanya sakit.Kupeluk Nara, walau berat melepasnya, gadis yang selalu menghibur dan menemaniku selama ini."Balik lagi, kan?" ucapku meyakinkan."Iya, kuliahku aja belum selesai." Nara tertawa kecil.Aku kembali memeluk Nara, melambai tangan.Tinggalah aku berdua dengan Ustad Amar, padahal aku bisa naik angkot, tetapi Ustad Amar memaksa mengantarkan karena hari sudah hampir Magrib, aku tak kuasa menolak.Saling diam walau di dalam mobil yang sama. Aku asyik menatap jalanan, senja di kota Batavia tak begitu indah seperti di desaku, batinku."Berta'aruf lah denganku."Aku berpaling, memandang bahu yang masih sibuk menyetir. Masih diam membisu tak menanggapi ucapanya."Aku serius Bulan, berta'aruf lah denganku," ucapnya mengulang.Jujur saja aku ingin tersenyum, dialah yang membuat hatiku lepas dari Azen."tapi... aku.... "Aku tak melanjutkan ucapanku. "Aku tahu semuanya, a
PERNIKAHANPelukan hangat dari bibi dan mamang juga Teh Salma setelah kuberi tahu Ahad ini keluarga Ustad Amar akan datang mengkhitbah sekaligus melangsungkan pernikahan.Bibi dengan tergesa memberitahukan warga. Tak hanya itu, ia bahkan menjual lembunya untukku. Aku berkali-kali menolak, tetapi ia bilang ingin menebus semua kesalahannya dulu. Alhamdulillah... bibi sudah benar-benar berubah.Duduk berdua bersama Teh Salma memandang Bulan purnama."Selamat ya, Neng, Allah teh kirim lelaki yang baik buat jagain Neng."Aku tersenyum, benar kata Teh Salma, aku butuh lelaki seperti Ustad Amar......Jantungku berdegup tidak karuan, sudah pasti aku gugup karena pagi ini kami akan melangsungkan pernikahan. Menatap diri di cermin kecil yang ada di pojok kamar, di sebelahnya kugantung gamis milik ibu, satu-satunya gamis yang belum pudar warnanya."Ibu, Bulan teh udah mau nikah. Seharusnya ibu ada di samping Bulan, masangin hijab buat Bulan, megang tangan Bulan buat datang kepada Ustad Amar."K
Kami sampai di rumah Bang Amar, setelah lebih dulu mampir ke rumah umi dan abi. Mata menyapu sekeliling rumah berwarna abu dengan perpaduan putih tersebut, ada taman bunga di sepanjang jalan masuk halaman, bunga mawar tumbuh subur. Aku mengikuti Bang Amar masuk ke rumah setelah mengucap salam dan disambut oleh wanita paruh baya, mungkin asisten rumah tangganya. Sementara barang-barang sudah di bawakan satpam. Bang Amar masuk ke kamar lebih dulu, aku berjalan pelan bersama wanita tadi, namanya Mbok Darmi. Dia yang membersihkan rumah ini."Neng, mau minum apa?'' tanya Mbok Darmi memecah keheningan kami."Gak usah Mbok, nanti aku bisa ambil sendiri.""Oh, ya Neng, nanti Mbok pulang sebelum Maghrib dan besok balik lagi jam enam."Aku mengangguk dan tersenyum, aku pikir Mbok Darmi juga ikut tinggal di sini.Aku berlalu, meninggalkan Mbok Darmi menuju kamar atas di mana tadi sempat kulihat dari bawah Bang Amar memasukinya, tetapi sampai di pintu langkahku terhenti, mataku menyapu seluruh r
Duduk termenung menatap foto ijab kabulku bersama Bang Amar."Tangis ayolah, sekali saja jangan keluar," gumamku lirih.Sayang, bahkan air mata tak menganggap ucapanku sebuah harapan. Ia tetap keluar bersama luka. Kembali menaruh ponsel setelah membalas pesan Nara yang mengatakan rindu kepadaku. Suara burung sudah terdengar riuh bersahutan dengan suara kendaraan. Kulepas mukena yang masih menempel di kepala dan berganti dengan hijab, tak lupa cadar juga kusematkan untuk menutupi wajah.Turun perlahan sambil terus menghitung anak tangga, sepertinya ini sekarang sudah menjadi hobiku.Memulai aktivitas dapur dengan bismillah. Mbok Darmi belum datang karena memang baru setengah enam. Fajar pun belum sepenuhnya menampakkan dirinya.Setengah jam kemudian semua masakan matang, aku hanya perlu menyajikan di atas meja. Berharap dari masakan aku bisa meluluhkan hati Bang Amar.Ketukan dari pintu utama, diiringi salam. Aku menjawabnya dan sedikit berlari untuk membuka pintu."Maaf ya Neng, Mbok