Share

MISTERI KEMATIAN IBU

Terbangun kala adzan subuh berkumandang, panggilan yang diserukan agar insan segera melakukan kewajibannya.

Aku terbangun, mengerjapkan mata. Melihat ke samping kanan dan kiri, sudah tidak ada ibu. Butiran bening kembali menetes, ibu benar-benar meninggalkanku. Kejadian buruk malam tadi terlintas kembali, itu tidak mimpi.

Kepala terasa berat sekali, sempoyongan berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Sebaiknya kuadukan gundah gulana hatiku kepada sang maha mengetahui.

Kuambil telekung lusuh milik ibu, bersiap mengenakannya dan bersujud kepada pemberi hidup.

Aku duduk bersimpuh setelah melakukan kewajibanku. Menadahkan tangan berharap kekuatan besar merasuk dalam jiwa agar nestapa kehilangan ini dapat tergantikan dengan kesabaran yang begitu besar.

Sajadah yang tak lagi sempurna gambarnya basah oleh air mataku, kembali menangis seorang diri. Aku harus bagaimana? Apa yang harus kulakukan? Aku tak tahu arah jalan. Kemana aku harus pulang saat rumahku tak ada lagi ibu, orang yang selalu menunggu kepulanganku.

Ilahi ya Rabb, jika bunuh diri itu tidak dosa pasti sudah kulakukan. Sayangnya agamaku, tuhanku melarangnya, hal yang mendahuluinya itu sebuah syirik dan dilaknat.

Kulipat kembali sajadah lusuh, dan menaruhnya dalam ember baju kotor bersama beberapa potong baju ibu yang belum di cuci.

Apa yang terjadi dengan ibu, apakah dia sakit? Kenapa ia tak pernah mengeluh?

Aku harus mencari tahu? Mungkin Teh Salma atau mamang bisa memberitahukan sesuatu, atau mungkin bibi.

Fajar mulai menyingsing, memberikan kehangatan dan cahaya pagi yang begitu menyejukkan sebagai pelengkap di setiap hidup dan tumbuhnya berbagai macam spesies dan tumbuhan yang ada di dunia ini.

Cahaya yang amat berarti bagi kelangsungan hidup, cahaya yang sangat berarti untuk kelangsungan metamorfosa, cahayanya bak cinta ibu yang menghantar kehidupan bagi anaknya.

Segera aku mengenakan hijab dan cadar, tak ingin dan tak sabar menunggu lama untuk seger bertanya apa yang terjadi tiga bulan lalu.

Belum sempat tangan menarik daun pintu kayu yang sedikit rapuh itu, ketukan dari luar sudah mendahuluinya.

Dari balik pintu Teh Salma datang membawa rantang berisi makanan.

"Assalamualaikum, Neng."

Aku tersenyum dan menjawab salamnya, meski bibir terasa kaku saat memaksa menarik dan membuat simpul senyum.

"Makan dulu Neng, Teteh buatkan makanan kesukaan Eneng."

Kembali aku hanya tersenyum, mulutku terasa terkunci rapat, malas hanya untuk sekedar bicara.

Bagaimana aku bisa makan sementara tak ada kejelasan kenapa ibu bisa meninggal, tak ada yang buka mulut sejak semalam. Apakah aku harus menunggu sementara bisik-bisik tetangga sempat terdengar mengganggu telinga yang cukup pekan ini.

"Teh, ada apa? Kenapa ibu bisa ninggalin Bulan? Apa ibu teh sakit?"

tanyaku lirih, kutatap Teh Salma yang masih sibuk membuka rantang bawaannya, tangannya cekatan memindah sayur yang telah ia bawa.

"Sudah takdir allah, Neng."

Bukan jawaban yang aku inginkan, itu tak menjawab semuanya, apa Teh Salma menyembunyikan sesuatu dariku?

"Bulan tahu Teh, kematian mah emang udah takdir Allah, yang Bulan tanyain apa ibu teh sakit? Selama ini ibu tak pernah ngeluh jeung Bulanulan, apa ibu beneran sakit?"

Teh Salma tampak menghentikan gerakan tangannya, ia beralih duduk di sebelahku, memelukku dengan erat.

"Teteh tahu Neng terpukul, tapi ini mah udah takdir embu, Neng harus ikhlas dan fokus sama kuliah Neng. Teteh juga tidak tahu kenapa embu bisa ninggalin kita secepat ini, kemarin teteh masih melihat embu baik-baik saja nteu kenapa-kenapa, malahan bantuin Teteh manen singkong."

Teh Salma menghela nafas panjang, mengusap punggungku perlahan.

"Paginya embu masih bantuin Teteh, tapi sore menjelang Magrib, bapak datang nengok embu, embu teh udah gak ada. Bapak lihat embu baring di lantai teriak panggil warga, mulut embu berbusa. Sebenarnya teteh curiga kenapa embu bisa seperti itu, kayak orang keracunan. Tapi, Pak RT mah enteu ngebolehin bocor sampai luar desa, takutnya jadi fitnah dan kasihan embu," terang Teh Salma lagi.

Aku menyimak dengan dada naik turun tak beraturan. Ritme jantung seolah terpacu lima kali lebih cepat, banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan kepada Teh Salma.

"Maksudnya, ibu bunuh diri?"

Mulutku terasa bergetar mengucapkan kata-kata itu.

Tidak mungkin, tidak mungkin kan, ibu melakukan itu. Meski masalalu ibu kelam, tetapi aku tahu ibu, mengerti agama tak mungkin melanggar laknat Allah. Ibu bahkan mengajariku keagamaan yang begitu besar selalu menuntutku menaati peraturan agama yang kami anut, agama Islam.

"Teteh gak ngerti, embu tak pernah kasih tau Teteh."

Teh Salma ini memang pandai menggunakan bahasa isyarat tangan, Teh salma sedikit banyaknya belajar dari ponsel jadul bekas punyaku dulu yang sengaja kuberi untuk ibu agar bisa saling video call, karena keterbatasan biaya ia hanya sekolah sampai SD, padahal mimpinya ingin jadi interpreter.

"Menurut Teteh apa ada orang berniat jahat sama ibu?"

Teh Salma mengedikkan bahunya tanda tak tahu.

"Apa Teteh percaya kalau ibu bunuh diri, apa Teteh yakin?"

Kami saling tatap, mungkinkah Teh Salma sepemikiran denganku?

"Teteh sangat kenal embu, teteh tahu embu tak mungkin melakukan itu. Embu semangat sekali nunggu Neng wisuda enam bulan lagi."

Diam, mencerna ucapan Teh Salma. Harus mulai darimana aku mencari tahu dan jejak masalah ini, sementara aku tak tahu apa yang ibu lakukan selama aku pergi. Aku pun terlalu sibuk bekerja sambil kuliah hingga hanya bisa menghubungi ibu saat fajar, terkadang selepas waktu Magrib, itupun hanya sebentar.

"Mamang di mana, Teh?"

"Aya di rumah, nanti kesini. Ayo sarapan dulu, Neng. Semalam Neng tak makan dan langsung tidur. Teteh balik lagi, gak tega bangunin Neng."

Aku mengangguk, meski harus memaksa sekuat tenaga agar nasi tertelan masuk dan berubah menjadi energi. Aku harus mengumpulkan banyak energi untuk mencari tahu kenapa ibu meninggal mendadak.

Mamang datang membawa seorang pemuda, pemuda yang pernah beberapa saat mengisi hatiku, dia masih sama tatapan tajam, alis sedikit tebal, senyum dengan lesung di kedua pipinya.

Zehan, anak dari juragan sawah. Pernah menitipkan cintanya untukku Rembulan si rakyat jelata. Cinta kubalas dengan suka cita, tetapi orang tuanya, keluarganya, menolak. Menolak kehadiranku yang tak sepadan denganya. Itu terjadi beberapa tahun lalu, saat aku belum memutuskan pergi merantau ke Jakarta. Menimbun perasaan yang tak akan pernah bisa menyatu. Dia melepasku di bawah tebing cadas gantung, disaksikan indahnya bentangan alam.

"Jangan menangis," ucapnya kala itu, padahal jelas di matanya berlinang air mata.

"Turut berdukacita, Ulan," ucap Zehan membuyarkan lamunanku.

Aku tersenyum dan mengangguk.

"Nak Zehan memaksa ikut, padahal teh Mamang takut kalau sampai ketahuan juragan Barda Zehan ketemu Bulan,"

ucap mamang dengan nafas memburu.

Aku kembali tersenyum, kami sudah tahu siapa Juragan Barda dan anak buahnya. Dia begitu membenci aku dan ibu juga keluarga kami, apalagi istrinya.

Entah apa yang kami lakukan sehingga mereka bisa melakukan apapun untuk mengganggu kami.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status