Tiga hari kepergian ibu, aku masih betah di rumah kecil kami. belum berniat kembali ke Jakarta meski Nara sudah berkali-kali mengirimkan pesan untuk menjemputku.
Aku belum berniat kembali ke Jakarta, entah sampai kapan. Aku masih setia meratapi rindu yang tak selesai kepada ibu.Ku tatap indahnya pandangan dari atas tebing cadas gantung, sawah-sawah nan hijau, pohon yang tumbuh tak beraturan, burung-burung yang berterbangan menjadi temanku hari ini.Aku seorang diri, duduk berteman sepi.Kenapa aku tak mencari tahu soal ayahku? Pertanyaan itu terlintas di benakku.Untuk apa? Toh dia orang jahat.sisi hati kembali memberikan penolakan.Ya, mencari tahu sama saja menggali sakit hati."Neng? Hayuk pulang, udah sore." Panggilan membuatku tak kuasa ingin segera menoleh melihat Teh Salma yang sudah berdiri di sampingku."Sini heula Teh."Aku menepuk kayu tempat aku duduk, mengisyaratkan agar Teh Salma duduk di sampingku.Teh Salma sepuluh tahun lebih tua dariku, tetapi ia belum menikah. Entah kenapa ia tak ingin menikah Padahal banyak pria yang melamarnya dari luar kota.Wajah baby face, tubuh kecil mungil, kulit putih, rambut lurus panjang hingga bagian pantat, Teh Salma memang cantik sekali."Indah kan, Teh."Teh Salma mengangguk."Bulan teh udah besar ya, Teh. Gak kerasa udah hampir 25 tahun, selama ini Bulan gak pernah tahu siapa bapak Bulan."Teh Salma menatapku, entah tatapan seperti apa yang ia berikan.Aku masih tersenyum memandang ke hamparan sawah yang terbentang di bawah sana."Teteh mau gak ikut sama bulan ke Jakarta, teteh kerja aja sama bulan di sana. keluar dari desa kecil ini."Teh Salma menunduk, meski aku tahu jawabannya aku tetap memaksa mengeluarkan kata yang akan membuat perang jantung bagi Teh Salma.Teh Salma pernah ingin sekali ikut ke Jakarta, tetapi bibi melarangnya."Andai bisa, Teteh ingin ikut nemenin Neng, membayar semua kesalahan ibu sama embu."Embu begitulah Teh Salma memanggil ibuku.Aku menatap penuh tanda tanya, kesalahan apa? Selama ini kulihat mereka baik-baik saja layaknya anak dan ibu, seperti aku dan ibu. Ibu begitu sayang kepada Teh Salma, jika aku memiliki sepotong roti saja ia akan membagi untuk Teh Salma."Apa maksud Teteh?"Teh Salma tersenyum."Embu teh udah baik pisan sama Teteh, tapi ibu sering marahin embu. makanya Teteh gak tega kalau lihat kamu sendirian."Aku menghela nafas, aku pikir ia akan mengatakan sesuatu."Teteh kenapa gak pakai cadar kayak Bulan? Nenek gak pernah maksa Teteh."Teh Salma tersenyum, mengusap lembut pucuk kepalaku yang tertutup hijab."Bulan kan, tinggalnya di kota, bagus buat nutup aurat. Kalau Teteh hidup di desa ketemu sama orang itu-itu saja.""Tapi, dari kecil Bulan di paksa nenek buat pakai cadar."Teh Salma beranjak berdiri tepat di bibir jurang."Dulu embu begitu cantik, cantik sekali. Suaranya indah, kulitnya putih, sampai semua orang tergila-gila kepadanya termasuk Juragan Barda, tetapi sampai kejadian naas itu...."aku ikut beranjak berdiri di samping Teh Salma siap mendengar ceritanya. Selama ini orang kampung hanya mengatakan aku anak haram karena ibu mengalami asusila yang tak tahu siapa pelakunya dan kasus di tutup saat tak ada bukti."Saat itu nenek sama kakek pergi sama ibu dan bapak, saat itu Teteh baru berusia sepuluh tahun sementara embu berusia lima belas tahun. Embu hanya berdua di rumah sama teteh, semua lampu mati, Teteh dan Embu saling peluk duduk diam ketakutan di bawah lemari, badan kami sama-sama bergetar."Teh Salma menghela nafas menunduk, menatap kaki yang terkena lumpur dengan sandal jepit berwarna putih."Teteh hanya bisa menjerit, saat embu di tarik paksa, meminta tolong, tetapi tak ada orang yang datang. Dalam gelapnya malam teteh terus memukul orang itu. tetapi semua sia-sia. Teteh dilempar hingga semua gelap, Teteh terbangun saat ramai orang, nenek dan kakek menangis melihat keadaan embu."Aku masih terus menyimak penuturan Teh Salma."Embu duduk dengan tatapan kosong bajunya terkoyak tak karuan, embu juga menggores wajahnya menggunakan pecahan kaca, memotong rambutnya tak beraturan, tak berbicara ketika ditanya hingga bertahun-tahun. Teteh merasa bersalah Bulan, harusnya Teteh meminta bantuan untuk menyelamatkan embu waktu itu."Teh Salma terisak, tak kuasa air mata ikut turun, begitukah kejadian tragis yang telah menodai ibu, jadi ibuku tak bisu sejak lahir?"Sampai akhirnya kami tahu embu hamil setelah usia kandungannya lima bulan. Embu sempat tak terima dan berusaha mencelakai janinnya, tapi kakek dan nenek dengan perlahan memberikan kekuatan kepada embu, hingga lahirlah kamu, Embu yang tadinya tak ingin melihat Neng meluluhkan hatinya saat dilihatnya bayi perempuan yang begitu cantik. Embu kembali ceria setelah kehadiranmu, tapi masih enggan untuk bicara meski nenek selalu memaksa dan memohon."Kini kami kembali duduk di tepi tebing, Teh Salma terus menceritakan kejadian puluhan tahun silam."Setiap kali ada lelaki yang datang ia akan memelukmu erat, meraung dan membekapmu. Entah apa yang ditakutkannya, entah apa yang orang jahat itu katakan sehingga embu begitu takut orang akan mengambilmu atau sekedar bermain denganmu.""Apa teteh tahu siapa lelaki itu?"Teh Salma menggeleng"Semua gelap Neng, bahkan waktu itu mendung petang dan hujan lebat.""Itu artinya tak ada yang tahu siapa lelaki yang berbuat jahat ke ibu?"Teh Salma mengangguk."Saat itu Teteh cuma gadis kecil berusia sepuluh tahun, Neng. Teteh gak ngerti apa-apa."Teteh menarik tanganku, kemudian memelukku."Teteh bakal gantiin embu buat Neng, teteh bakal jagain Neng."Aku masih terpaku dengan air mata terurai."Nenek pernah bilang ke Teteh, Bulan itu cantik, nenek gak mau Bulan punya nasib kayak embu jadi Bulan di paksa pakai cadar biar orang lain gak bisa lihat wajah cantik Bulan selain suami Bulan."Aku menunduk meneteskan air mata."Kenapa gak ada orang yang tahu siapa bapak Bulan.""Kita akan cari tahu, teteh akan ikut Bulan."Aku menatap tak percaya, benarkah?"Melepaskan pelukan Teh Salma, dan kembali menatap hamparan sawah hijau. Hembusan angin sore menggoyangkan daun-daun padi berirama indah."Jika nanti Bulan tahu siapa bapak Bulan, Bulan cuma pengen dia minta maaf jeung ibu walaupun ibu teh udah gak ada."Ya, hanya itu keinginanku, aku tak ingin balas dendam, aku tak ingin diakui sebagai anak. Aku hanya ingin dia meminta maaf kepada ibu, atas perlakuannya yang begitu menyakiti hati ibu. Tidak ada hal lain yang aku inginkan selain itu.Bergandengan tangan menuruni bukit, aku dan teh Salma.Sebelum magrib kami telah sampai di depan gubuk kecilku. namun, langkah kami terhenti saat melihat di depan rumah terparkir mobil sedan berwarna merah.Kami saling pandang, siapa yang datang?"Cari siapa tuan?" tanyaku heran. "Permisi Nak, bukankah ini rumah Lilis Wati?"Aku mengernyitkan dahi, tamu ibu? Siapa dia mencari ibu?Aku menatapnya tajam, lelaki yang belum terlalu tua, mungkin sekitar 40 tahunan lebih, tapi gayanya masih necis mungkin karena ia orang kaya. Rambut yang tertata rapi meski sudah sedikit beruban, dasi biru tua, kemeja putih perpaduan dengan celana slim fit mahal, sepatu kantor yang begitu mengkilap."Anda siapa, dan untuk apa mencari ibuku?"Lelaki itu membuka kaca matanya, menatapku tajam, hidung mancung, mata amber seperti milikku."Apa kamu anaknya?" ucapnya penuh penekanan.Aku hanya mengangguk, teh Salma memegang erat jemariku hingga terasa sakit."Ayo, Bulan!"Teh Salma menarik cepat tanganku. ada ap
Enam bulan sudah aku seorang diri menghadapi dunia yang penuh dengan fiksi, kenyataan yang tak sesuai harapan, impian yang tak lagi memiliki tuan, semuanya membuatku seolah berjalan tanpa arah tujuan. Hanya mengikuti arus yang telah Tuhan beriakn.Aku datang memakai baju toga wisuda, dilengkapi dengan slaber dan medali. Aku datang membawa ijazah wisudaku duduk di samping nisan ibu."Lihatlah ibu, Bulan teh udah wisuda. Bulan teh udah lulus, ibu pasti bangga."Kembali titikan air mata jatuh tepat di tanah tempat tubuh ibu bersemayam, semakin sering hingga tanpa jeda. Aku masih setia duduk, bercerita seorang diri layaknya orang yang sedang kehilangan akal, menunggu senja datang dengan ocehan sambil terkadang disiringi senyum.Aku begitu merindukan ibu, rindu yang tak akan pernah bisa terobati rindu yang tak akan pernah bisa bilang, rindu hanya pertemuan lah yang mengobatinya.Cahaya orange senja mulai memeluk malam, aku beranjak berpamitan kepada nisan ib
Kami sampai di Jakarta, lebih dulu mengantarkan Nara karena dia harus bersiap hendak kembali ke Jepang malam ini, omanya sakit.Kupeluk Nara, walau berat melepasnya, gadis yang selalu menghibur dan menemaniku selama ini."Balik lagi, kan?" ucapku meyakinkan."Iya, kuliahku aja belum selesai." Nara tertawa kecil.Aku kembali memeluk Nara, melambai tangan.Tinggalah aku berdua dengan Ustad Amar, padahal aku bisa naik angkot, tetapi Ustad Amar memaksa mengantarkan karena hari sudah hampir Magrib, aku tak kuasa menolak.Saling diam walau di dalam mobil yang sama. Aku asyik menatap jalanan, senja di kota Batavia tak begitu indah seperti di desaku, batinku."Berta'aruf lah denganku."Aku berpaling, memandang bahu yang masih sibuk menyetir. Masih diam membisu tak menanggapi ucapanya."Aku serius Bulan, berta'aruf lah denganku," ucapnya mengulang.Jujur saja aku ingin tersenyum, dialah yang membuat hatiku lepas dari Azen."tapi... aku.... "Aku tak melanjutkan ucapanku. "Aku tahu semuanya, a
PERNIKAHANPelukan hangat dari bibi dan mamang juga Teh Salma setelah kuberi tahu Ahad ini keluarga Ustad Amar akan datang mengkhitbah sekaligus melangsungkan pernikahan.Bibi dengan tergesa memberitahukan warga. Tak hanya itu, ia bahkan menjual lembunya untukku. Aku berkali-kali menolak, tetapi ia bilang ingin menebus semua kesalahannya dulu. Alhamdulillah... bibi sudah benar-benar berubah.Duduk berdua bersama Teh Salma memandang Bulan purnama."Selamat ya, Neng, Allah teh kirim lelaki yang baik buat jagain Neng."Aku tersenyum, benar kata Teh Salma, aku butuh lelaki seperti Ustad Amar......Jantungku berdegup tidak karuan, sudah pasti aku gugup karena pagi ini kami akan melangsungkan pernikahan. Menatap diri di cermin kecil yang ada di pojok kamar, di sebelahnya kugantung gamis milik ibu, satu-satunya gamis yang belum pudar warnanya."Ibu, Bulan teh udah mau nikah. Seharusnya ibu ada di samping Bulan, masangin hijab buat Bulan, megang tangan Bulan buat datang kepada Ustad Amar."K
Kami sampai di rumah Bang Amar, setelah lebih dulu mampir ke rumah umi dan abi. Mata menyapu sekeliling rumah berwarna abu dengan perpaduan putih tersebut, ada taman bunga di sepanjang jalan masuk halaman, bunga mawar tumbuh subur. Aku mengikuti Bang Amar masuk ke rumah setelah mengucap salam dan disambut oleh wanita paruh baya, mungkin asisten rumah tangganya. Sementara barang-barang sudah di bawakan satpam. Bang Amar masuk ke kamar lebih dulu, aku berjalan pelan bersama wanita tadi, namanya Mbok Darmi. Dia yang membersihkan rumah ini."Neng, mau minum apa?'' tanya Mbok Darmi memecah keheningan kami."Gak usah Mbok, nanti aku bisa ambil sendiri.""Oh, ya Neng, nanti Mbok pulang sebelum Maghrib dan besok balik lagi jam enam."Aku mengangguk dan tersenyum, aku pikir Mbok Darmi juga ikut tinggal di sini.Aku berlalu, meninggalkan Mbok Darmi menuju kamar atas di mana tadi sempat kulihat dari bawah Bang Amar memasukinya, tetapi sampai di pintu langkahku terhenti, mataku menyapu seluruh r
Duduk termenung menatap foto ijab kabulku bersama Bang Amar."Tangis ayolah, sekali saja jangan keluar," gumamku lirih.Sayang, bahkan air mata tak menganggap ucapanku sebuah harapan. Ia tetap keluar bersama luka. Kembali menaruh ponsel setelah membalas pesan Nara yang mengatakan rindu kepadaku. Suara burung sudah terdengar riuh bersahutan dengan suara kendaraan. Kulepas mukena yang masih menempel di kepala dan berganti dengan hijab, tak lupa cadar juga kusematkan untuk menutupi wajah.Turun perlahan sambil terus menghitung anak tangga, sepertinya ini sekarang sudah menjadi hobiku.Memulai aktivitas dapur dengan bismillah. Mbok Darmi belum datang karena memang baru setengah enam. Fajar pun belum sepenuhnya menampakkan dirinya.Setengah jam kemudian semua masakan matang, aku hanya perlu menyajikan di atas meja. Berharap dari masakan aku bisa meluluhkan hati Bang Amar.Ketukan dari pintu utama, diiringi salam. Aku menjawabnya dan sedikit berlari untuk membuka pintu."Maaf ya Neng, Mbok
Kutepis semua perasaan yang tidak pada tempatnya, wanita mana yang tahan jika diperlakukan seperti ini, wanita mana yang kuat diabaikan setelah tiga hari menikah?Tidak ada wanita yang begitu tegar, tidak ada wanita yang memiliki hati sekuat baja saat melihat suaminya memperlakukannya sedingin es.Kuremas kuat berkas yang ada dalam pelukanku, menghembuskan nafas berat. Ini awal aku akan mengajar, aku tak ingin masalah keluarga menggangguku ketika mengajar.Mengayun kaki dengan semangat 45 ke pesantren terbesar di Jakarta, ramai suara santri mengaji benar-benar membuat hati yang semula dilanda gundah ini terasa sedikit tentram. Suara sholawat yang menggema di salah satu ruangan yang kulewati membuatku tersenyum sendiri. Betapa damainya, betapa indahnya syair yang memuji para rosul itu.Aku masih berdiri menatap santriwati yang terus bershalawat dengan sedikit menggoyangkan badan ke kanan dan kiri. Bibir terasa ingin ikut mengucap dengan lantang."Assalamualaikum Ustadzah?" Aku menoleh
"Bisakah beri aku cintamu juga?" bibir bergetar mengucap kata-kata itu. Kata yang sekarang semakin horor saat kulihat Bang Amar berhenti dan membalik badannya, menatapku dengan tatapan dingin seperti kemarin."Tidak, dan jangan memaksa."Aku terpaku mendengar jawabannya, jadi ia tak mencintaiku. Ya, benar saja tentu wanita tadi yang ia cintai."Jika Abang tak mencintaiku lalu kenapa Abang menikahiku, kenapa bukan wanita itu yang Abang halalkan, kenapa Abang berlarut dalam zinah?"Tak dapat lagi kutahan kata-kata yang sejak tadi ingin kukeluarkan."Tutup mulutmu, Bulan! Kamu tak akan pernah mengerti!" seru Bang Amar. Jari telunjuknya mengacung tepat di depan wajahku.Air bening kembali jatuh, jatuh tepat di depan matanya. Mata penuh kebencian, itukah yang ia lihat dariku sebuah kebencian. Apa salahku kepadanya?Jika perpisahan bukanlah hal yang dibenci Allah mungkin lebih baik aku menyerah.Bang Amar meninggalkanku yang masih berdiri dengan uraian air mata, menatap tak percaya sosok w