Share

Saat Lelah untuk Diam

Hana menatap dengan ekspresi datar pada mertuanya itu. Akan ada lagi drama yang tercipta jika perempuan itu datang ke sini. 

Perempuan berusia 60 tahun itu baru saja keluar dari mobil Rio, lalu berjalan menuju pintu utama. Perempuan itu masih terlihat sangat kuat meski di usianya yang sudah cukup tua. 

Jujur, dulu Hana merasa kagum pada mertua perempuannya itu yang sanggup datang mengunjungi anak cucunya meski hanya sendiri. Namun, seiring berjalannya waktu rasa kagum itu memudar setelah tahu bagaimana mertuanya itu menganggap dirinya tak lebih seorang perempuan yang hanya berdiam diri di rumah tanpa menghasilkan uang.

Rio berjalan mengekor di belakang sambil menyeret koper berukuran sedang di tangan kanannya. 

Hana mengulur tangan kala jarak antara mereka semakin  terpangkas, mencium takzim punggung tangan itu dengan bibir terkunci. 

"Mana anak-anak?" tanya Maria sambil celingukan ke penjuru ruangan. 

"Abi masih sekolah, Ira dan Ica lagi makan siang di dapur," jawab Hana dengan bibir memaksa tersenyum. 

Maria berjalan menuju kamar Ica dan Ira, kamar yang selalu ia tempati kala berkunjung ke sini. Tak lama setelahnya kembali ke luar. 

"Mama nggak istirahat dulu?" tanya Rio ketika melihat sang mama berjalan ke arah dapur. 

"Nggak apa-apa, Mama mau ketemu cucu-cucu Mama," jawab Maria bersemangat. 

"Mama makan dulu aja," tawar Hana dengan nada datar. 

"Nanti saja, Na, Mama masih kenyang," jawab Maria sambil terus melangkah.

Hana mengekor di belakang, sekedar menghargai kedatangan mertuanya itu yang telah bersedia datang jauh-jauh. Pun dengan Rio. 

"Kakak, Adek, salim Oma dulu," seru perempuan itu sambil duduk di salah satu kursi makan. Hana pun melakukan hal serupa. 

Ica dan Ira saling toleh. Dididik oleh seorang ibu yang pendiam membuat dua bocah perempuan itupun bersikap demikian, terlebih perlakuan Rio membuat mereka selalu diliputi ketakutan saat berada di rumah sendiri. Selalu takut salah dalam bersikap. 

"Salim Oma dulu, Nak," ucap Hana lembut sambil mengangguk pelan. 

Tanpa berucap sepatah katapun, keduanya melepas sendok di tangannya, lalu turun dari kursi untuk bersalaman, persis perintah Hana. 

Maria memeluk Ica ketika gadis cantik itu hendak melepaakan tautan tangannya pada tangan sang nenek. Ica hanya diam dengan raut wajah tak suka.

Selama ini tak pernah sekalipun Hana mengajari anak-anaknya untuk bersikap kaku pada ibu dari suaminya itu. Namun, beginilah yang terjadi, anak-anaknya hanya akan bersikap begitu dingin pada orang dewasa kecuali pada Hana dan Diana, sang nenek. 

Terbiasa menerima bentakan serta kata-kata kasar dari sang ayah membuat anak-anak Rio selalu diliputi perasaan takut salah. 

"Kangen nggak sama Oma?" tanya Maria sambil menciumi pipi kanan dan kiri cucunya itu. 

Ica yang mulai risih kini berusaha menjauh. Namun, ia kalah kuat dengan sang nenek yang kini sedikit menarik paksa tubuh mungilnya. 

"Ini Oma, lho," ucap Maria sambil kembali mencium paksa gadis mungil itu. 

Merasa tak bisa berbuat banyak, Ica akhirnya menggunakan jurus terakhir untuk membebaskan diri. Bocah itu mulai menangis sambil memberontak, tangannya melambai-lambai pada sang mama. 

Hana segera meraih tubuh Ica karena tak ingin tangisnya semakin kencang lagi. 

"Kok, sama Oma aja nggak mau, Dek," gerutu Maria sedikit kecewa. 

Hana hanya tersenyum kecut. Anak-anaknya seolah hanya merasa aman kala bersamanya saja, bahkan ditinggal bersama ibunya pun Hana tak berani lewat dari satu jam. 

Rio datang dari arah depan lalu dudun di kursi tepat di samping ibunya. 

"Ini Oma, Dek. Oma jauh-jauh, loh, datang ke sini mau ketemu Adek," ucap Rio kaku. 

"Dahlah, anak kalian memang susah buat akrab," keluh Maria dengan wajah datar. 

Hana hanya diam tanpa berniat meluruskan. Ibu dari suaminya itu seolah tutup mata dengan apa yang menjadi penyebab anak-anaknya merasa tertekan dan akhirnya merasa was-was jika tak bersama ibunya. 

"Eh, Kakak makan pakai lauk apa?" tanya Maria, mengalihkan pandangan ke arah Ira yang kini kembali sibuk dengan nasi di piringnya.

"Ayam goreng," ucap Ira dengan suara pelan serupa bisikan. Bahkan untuk menjawab pertanyaan saja rasanya ia takut salah, terlebih tepat di depannya sang ayah ikut memperhatikan gerak-geriknya. 

"Eh, kok, nggak ada sayurnya?" cecar Maria mulai membuat Hana merasa tak nyaman. 

"Coba ajarin anak-anak makan sayur setiap hari, Na, biar seimbang. Anak-anak Mama dulu selalu Mama paksain makan sayur." Maria mulai menggurui. 

Hana membenarkan semua kalimat sang mertua. Namun, hatinya sedikit kesal ketika ia mulai membanding-bandingkan Hana dengan dirinya dulu. 

Sudah berkali-kali Hana jelaskan jika anak tengahnya itu tak suka sayur, bahkan jika tetap dipaksakan, Ira akan memilih tak makan karena setiap makan sayur ia akan muntah. Perasaan Ira saat memakan sayuran tenggorokannya serasa digelitiki. 

"Kalau bukan kita ibunya yang membiasakan, sampai kapanpun anak-anak nggak akan suka. Kunci rumah tangga itu ada pada kita sebagai istri dan ibu. Suami hanya tahu tentang bagaimana memenuhi nafkah keluarga saja. Mereka sudah sangat sibuk di luar, jadi tak bisa fokus lagi di rumah." Maria melanjutkan materinya kala berjumpa menantunya itu. 

Semakin lama Hana semakin risih. Pemahaman keliru dari perempuan yang katanya sudah banyak makan asam garam itu membuatnya semakin muak. Selalu saja menganggap Rio laki-laki sempurna yang harus selalu dihargai, padahal Maria-pun tahu bagaimana anak laki-lakinya itu bersikap pada Hana. 

Lagi pula, banyak diluaran sana laki-laki pekerja keras yang masih saja sibuk membantu istri-istri mereka di rumah, bahkan ada juga yang setiap pagi sibuk berbelanja bahan makanan ke pasar. 

Hana sering membanding-bandingkan dalam hati tentang perbedaan suaminya dengan suami-suami perempuan lain di sekekelilingnya. Baginya, kelebihan dan kekurangan memang dua sifat manusia yang tak pernah bisa dipisahkan kecuali manusia-manusia pilihan seperti para Nabi. Namun, kekurangan Rio rasanya sulit sekali bisa dimaklumi perempuan manapun, termasuk dirinya. 

"Kita sebagai perempuan harus pintar membuat suami merasa nyaman. Harus pintar membuat suami makin lengket." Maria melanjutkan kalimatnya seolah menantunya itu merindukan hal itu. 

"Lalu, bagaimana jika suami yang tak mampu membuat istri dan anak-anaknya nyaman berada di dekatnya?" sindir Hana. Ia paham apa tujuan perempuan itu datang. Apalagi, kalau bukan untuk melancarkan usaha Rio meluluhkan hatinya. 

Rio menatap tak percaya atas apa yang baru saja ia dengar. 

Ini adalah kali pertamanya perempuan berwajah tirus itu meladeni sang mertua. Biasanya Hana hanya akan diam dengan bibir memaksa tersenyum. Ia seolah begitu takut untuk membalas omongan sang mertua dan lebih memilih berdamai dengan diri sendiri. Namun, tidak untuk kali ini dan tidak pula untuk kedepannya. 

Tak akan ada lagi Hana penurut mulai sekarang selama suami dan mertuanya itu sadar atas kekeliruan mereka selama ini. Hana lebih memilih untuk tetap waras demi anak-anaknya. 

"Ya, mungkin kita yang memiliki kekurangan hingga suami bersikap begitu," jawab Maria sebisanyanya. 

"Oh, berarti Papa selingkuh dulu karena Mama memiliki kekurangan dalam melayaninya?" sindir Hana pedas membuat Maria dan Rio hanya mampu mematung dengan wajah pucat. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Baguslah Hana lawan mereka yang menindas kamu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status