Share

Saat Lelah untuk Diam

Author: Rizka Fhaqot
last update Last Updated: 2022-12-21 11:59:12

Hana menatap dengan ekspresi datar pada mertuanya itu. Akan ada lagi drama yang tercipta jika perempuan itu datang ke sini. 

Perempuan berusia 60 tahun itu baru saja keluar dari mobil Rio, lalu berjalan menuju pintu utama. Perempuan itu masih terlihat sangat kuat meski di usianya yang sudah cukup tua. 

Jujur, dulu Hana merasa kagum pada mertua perempuannya itu yang sanggup datang mengunjungi anak cucunya meski hanya sendiri. Namun, seiring berjalannya waktu rasa kagum itu memudar setelah tahu bagaimana mertuanya itu menganggap dirinya tak lebih seorang perempuan yang hanya berdiam diri di rumah tanpa menghasilkan uang.

Rio berjalan mengekor di belakang sambil menyeret koper berukuran sedang di tangan kanannya. 

Hana mengulur tangan kala jarak antara mereka semakin  terpangkas, mencium takzim punggung tangan itu dengan bibir terkunci. 

"Mana anak-anak?" tanya Maria sambil celingukan ke penjuru ruangan. 

"Abi masih sekolah, Ira dan Ica lagi makan siang di dapur," jawab Hana dengan bibir memaksa tersenyum. 

Maria berjalan menuju kamar Ica dan Ira, kamar yang selalu ia tempati kala berkunjung ke sini. Tak lama setelahnya kembali ke luar. 

"Mama nggak istirahat dulu?" tanya Rio ketika melihat sang mama berjalan ke arah dapur. 

"Nggak apa-apa, Mama mau ketemu cucu-cucu Mama," jawab Maria bersemangat. 

"Mama makan dulu aja," tawar Hana dengan nada datar. 

"Nanti saja, Na, Mama masih kenyang," jawab Maria sambil terus melangkah.

Hana mengekor di belakang, sekedar menghargai kedatangan mertuanya itu yang telah bersedia datang jauh-jauh. Pun dengan Rio. 

"Kakak, Adek, salim Oma dulu," seru perempuan itu sambil duduk di salah satu kursi makan. Hana pun melakukan hal serupa. 

Ica dan Ira saling toleh. Dididik oleh seorang ibu yang pendiam membuat dua bocah perempuan itupun bersikap demikian, terlebih perlakuan Rio membuat mereka selalu diliputi ketakutan saat berada di rumah sendiri. Selalu takut salah dalam bersikap. 

"Salim Oma dulu, Nak," ucap Hana lembut sambil mengangguk pelan. 

Tanpa berucap sepatah katapun, keduanya melepas sendok di tangannya, lalu turun dari kursi untuk bersalaman, persis perintah Hana. 

Maria memeluk Ica ketika gadis cantik itu hendak melepaakan tautan tangannya pada tangan sang nenek. Ica hanya diam dengan raut wajah tak suka.

Selama ini tak pernah sekalipun Hana mengajari anak-anaknya untuk bersikap kaku pada ibu dari suaminya itu. Namun, beginilah yang terjadi, anak-anaknya hanya akan bersikap begitu dingin pada orang dewasa kecuali pada Hana dan Diana, sang nenek. 

Terbiasa menerima bentakan serta kata-kata kasar dari sang ayah membuat anak-anak Rio selalu diliputi perasaan takut salah. 

"Kangen nggak sama Oma?" tanya Maria sambil menciumi pipi kanan dan kiri cucunya itu. 

Ica yang mulai risih kini berusaha menjauh. Namun, ia kalah kuat dengan sang nenek yang kini sedikit menarik paksa tubuh mungilnya. 

"Ini Oma, lho," ucap Maria sambil kembali mencium paksa gadis mungil itu. 

Merasa tak bisa berbuat banyak, Ica akhirnya menggunakan jurus terakhir untuk membebaskan diri. Bocah itu mulai menangis sambil memberontak, tangannya melambai-lambai pada sang mama. 

Hana segera meraih tubuh Ica karena tak ingin tangisnya semakin kencang lagi. 

"Kok, sama Oma aja nggak mau, Dek," gerutu Maria sedikit kecewa. 

Hana hanya tersenyum kecut. Anak-anaknya seolah hanya merasa aman kala bersamanya saja, bahkan ditinggal bersama ibunya pun Hana tak berani lewat dari satu jam. 

Rio datang dari arah depan lalu dudun di kursi tepat di samping ibunya. 

"Ini Oma, Dek. Oma jauh-jauh, loh, datang ke sini mau ketemu Adek," ucap Rio kaku. 

"Dahlah, anak kalian memang susah buat akrab," keluh Maria dengan wajah datar. 

Hana hanya diam tanpa berniat meluruskan. Ibu dari suaminya itu seolah tutup mata dengan apa yang menjadi penyebab anak-anaknya merasa tertekan dan akhirnya merasa was-was jika tak bersama ibunya. 

"Eh, Kakak makan pakai lauk apa?" tanya Maria, mengalihkan pandangan ke arah Ira yang kini kembali sibuk dengan nasi di piringnya.

"Ayam goreng," ucap Ira dengan suara pelan serupa bisikan. Bahkan untuk menjawab pertanyaan saja rasanya ia takut salah, terlebih tepat di depannya sang ayah ikut memperhatikan gerak-geriknya. 

"Eh, kok, nggak ada sayurnya?" cecar Maria mulai membuat Hana merasa tak nyaman. 

"Coba ajarin anak-anak makan sayur setiap hari, Na, biar seimbang. Anak-anak Mama dulu selalu Mama paksain makan sayur." Maria mulai menggurui. 

Hana membenarkan semua kalimat sang mertua. Namun, hatinya sedikit kesal ketika ia mulai membanding-bandingkan Hana dengan dirinya dulu. 

Sudah berkali-kali Hana jelaskan jika anak tengahnya itu tak suka sayur, bahkan jika tetap dipaksakan, Ira akan memilih tak makan karena setiap makan sayur ia akan muntah. Perasaan Ira saat memakan sayuran tenggorokannya serasa digelitiki. 

"Kalau bukan kita ibunya yang membiasakan, sampai kapanpun anak-anak nggak akan suka. Kunci rumah tangga itu ada pada kita sebagai istri dan ibu. Suami hanya tahu tentang bagaimana memenuhi nafkah keluarga saja. Mereka sudah sangat sibuk di luar, jadi tak bisa fokus lagi di rumah." Maria melanjutkan materinya kala berjumpa menantunya itu. 

Semakin lama Hana semakin risih. Pemahaman keliru dari perempuan yang katanya sudah banyak makan asam garam itu membuatnya semakin muak. Selalu saja menganggap Rio laki-laki sempurna yang harus selalu dihargai, padahal Maria-pun tahu bagaimana anak laki-lakinya itu bersikap pada Hana. 

Lagi pula, banyak diluaran sana laki-laki pekerja keras yang masih saja sibuk membantu istri-istri mereka di rumah, bahkan ada juga yang setiap pagi sibuk berbelanja bahan makanan ke pasar. 

Hana sering membanding-bandingkan dalam hati tentang perbedaan suaminya dengan suami-suami perempuan lain di sekekelilingnya. Baginya, kelebihan dan kekurangan memang dua sifat manusia yang tak pernah bisa dipisahkan kecuali manusia-manusia pilihan seperti para Nabi. Namun, kekurangan Rio rasanya sulit sekali bisa dimaklumi perempuan manapun, termasuk dirinya. 

"Kita sebagai perempuan harus pintar membuat suami merasa nyaman. Harus pintar membuat suami makin lengket." Maria melanjutkan kalimatnya seolah menantunya itu merindukan hal itu. 

"Lalu, bagaimana jika suami yang tak mampu membuat istri dan anak-anaknya nyaman berada di dekatnya?" sindir Hana. Ia paham apa tujuan perempuan itu datang. Apalagi, kalau bukan untuk melancarkan usaha Rio meluluhkan hatinya. 

Rio menatap tak percaya atas apa yang baru saja ia dengar. 

Ini adalah kali pertamanya perempuan berwajah tirus itu meladeni sang mertua. Biasanya Hana hanya akan diam dengan bibir memaksa tersenyum. Ia seolah begitu takut untuk membalas omongan sang mertua dan lebih memilih berdamai dengan diri sendiri. Namun, tidak untuk kali ini dan tidak pula untuk kedepannya. 

Tak akan ada lagi Hana penurut mulai sekarang selama suami dan mertuanya itu sadar atas kekeliruan mereka selama ini. Hana lebih memilih untuk tetap waras demi anak-anaknya. 

"Ya, mungkin kita yang memiliki kekurangan hingga suami bersikap begitu," jawab Maria sebisanyanya. 

"Oh, berarti Papa selingkuh dulu karena Mama memiliki kekurangan dalam melayaninya?" sindir Hana pedas membuat Maria dan Rio hanya mampu mematung dengan wajah pucat. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Baguslah Hana lawan mereka yang menindas kamu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • KEMBALINYA CINTA PERTAMA SUAMIKU   Ending

    Mendengar pertanyaan dari Inez, Marwan terdiam. Bersamaan dengan itu perempuan yang tadi mengantar minum untuk Inez kembali datang. Perempuan berwajah manis dengan kulit kuning langsat itu memilih duduk tepat di samping Marwan. Bibir merah mudanya tersenyum ramah ke arah Inez lalu berpindah melirik Marwan. Susah payah Inez menelan ludah. Prasangka buruknya membuat keringat dingin berjejalan di sela-sela jari dan telapak tangannya. "Kenalin, ini Sarah istriku," ucap Marwan sambil melempar senyum tipis ke arah sang istri. Perempuan berusia awal 30 tahun itu mengulurkan tangannya ke arah Inez. Jika dibandingkan dengan Inez, perempuan bernama Sarah itu masih kalah cantik. Inez nyatanya jauh lebih cantik jika dinilai dari fisik. Namun, bukan itu yang Marwan lihat. Ia tak ingin cinta yang dulu berawal dari kepuasan mata membuat dirinya harus menjalani kehidupan serupa seperti dulu lagi. Inez seketika terhenyak. Jawaban yang keluar dari bibir Marwan tak ubah seperti palu godam yang men

  • KEMBALINYA CINTA PERTAMA SUAMIKU   Penyesalan Inez

    Inez kembali terperangah dengan mata membulat sempurna. Sony ternyata ditangkap karena telah membunuh pacar yang telah ia pacari setahun terakhir, dengan cara membekapnya dengan bantal hingga menghembuskan napas terakhir, lalu melarikan motor serta ponsel milik sang pacar. Inez segera berlari ke kamar. Rasa sesal dan kecewa memenuhi rongga dadanya. Air mata kembali meleleh ketika sadar betapa bodoh dirinya karena telah luluh dengan janji manis serta tampang rupawan laki-laki brengsek itu. Ternyata saat bersamanya Sony sudah memiliki pacar. Berkali-kali inez memukuli dadanya yang kini terasa sesak. Satu per satu kebodohan yang pernah ia lakukan kini berputar di kepala, membuat rasa bersalah pada Marwan kian bertumpuk. *Malam datang bersama aroma damai ketenangan bersama rintik hujan yang luruh ke bumi. Namun, tidak dengan hati Inez. Malam ini ia kian gamang. Hatinya berkeinginan untuk datang meminta maaf pada Marwan. Namun, ia terlalu malu untuk menampakkan wajah hinanya di hadapan

  • KEMBALINYA CINTA PERTAMA SUAMIKU   Nasib Sony

    Hana menautkan alis seraya menggeleng pelan. Bibirnya mengulum senyum manis, bahkan sangat manis. "Sejak kapan?" Ia balik bertanya. "Jauh sebelum kau kenal mantan suamimu," jawab Hakim dengan raut wajah nampak serius. "Hah? Serius?" Hana kembali bertanya. Hakim mengangguk pasti. Hana menatap lekat wajah sang suami. Selama ini Hana tak pernah menganggap Hakim lebih dari teman, atau mungkin sahabat. Yang ia tahu Hakim sangat nyaman untuk dijadikan teman bercerita sekaligus rekan kerja. Sejak dulu Hakim dikenal suka membantu, bahkan hampir semua teman-teman di kantor lama mereka dulu dekat dengan Hakim. "Apa kau merasa Abang mempunyai teman dekat perempuan saat itu selain kamu?" tanya Hakim memastikan. Hana nampak berpikir sejenak, lalu menggeleng pelan. "Setiap kedekatan antara laki-laki dan perempuan, sudah pasti salah satu di antara keduanya memiliki rasa, Na. Nggak usah munafik. Pada kedekatan kita dulu, Abang lah yang memiliki rasa padamu," ucap Hakim jujur. Kini tatapan mat

  • KEMBALINYA CINTA PERTAMA SUAMIKU   Hari Bahagia

    Dua minggu berlalu. Hana menatap bangga laki-laki yang kini tengah menjabat tangan Pak Penghulu dengan wajah serius. Laki-laki yang kini tengah mengikrarkan janji suci di depan saksi. Wajah penuh riasan itu kini berubah sendu manakala kata 'sah' mengawang di udara. Memecah khidmatnya acara pagi ini. Tepat beberapa detik yang lalu, dirinya kembali sah bergelar istri setelah delapan bulan menyandang status janda. Mungkin bagi sebagian orang ini terlalu singkat. Namun, Hana tak ingin menunda saat laki-laki baik datang padanya, persis seperti apa yang dikatakan sang ayah kala itu. Binar bahagia nampak pada wajah keduanya ketika Hana dan Hakim bersanding di atas pelaminan untuk menyambut kedatangan para tamu. Anak-anak mereka berkumpul menyaksikan kebahagiaan orang tua mereka. Kini Ira dan Shanum nampak tak ingin berjauhan. Dua anak perempuan itu kini menikmati hubungan yang kian dekat dari sekedar sahabat. Kedua orang tua Hana nampak lebih muda dalam riasan serta pakaian yang mereka

  • KEMBALINYA CINTA PERTAMA SUAMIKU   Penderitaan Inez

    Bayangan kematian kian menghantui Inez. Keringat dingin meluncur di dahi hingga jemari perempuan itu. Ines mengangguk cepat, matanya kian gencar mengeluarkan butiran bening. "Bagus," ucap laki-laki itu dengan senyum menyeringai. "Jangan sampai kau berteriak seperti tadi, jika tak mau pisau ini menembus perutmu." Sony kembali mengancam.Rasa takut yang membuncah membuat Inez akhirnya kembali mengangguk. Sigap sony melepaskan ikatan kain di mulut perempuan itu. "Aku mohon, setelah ini lepaskan aku," lirih Inez dengan air mata kian deras membanjiri wajahnya. Berharap masih tersisa empati di hati laki-laki itu. "Pasti, pasti akan kubebaskan setelah mengatakannya, aku janji," ucap sony dengan wajah meyakinkan. Laki-laki itu merogoh ponsel di saku celananya. Sekarang ia siap mengetik deretan nomor yang akan Inez katakan. Dengan bibir bergetar karena ketakutan akhirnya Inez mengatakan kode pin ATM-nya. Akhirnya ia menyerah, mengingat nyawa yang jauh lebih berharga dari segalanya. "Kata

  • KEMBALINYA CINTA PERTAMA SUAMIKU   Wajah Asli Sony

    Wajah Inez kian memerah. Impian yang dijanjikan Sony selama mereka bersama pupus sudah. Harapannya tentang hidup bahagia bersama laki-laki impiannya telah kandas. Tangan Inez mendorong kuat tubuh laki-laki itu hingga Sony terjengkang. "Aku tidak butuh penjelasan tentang kebodohanmu, yang aku butuhkan sekarang adalah uangku kembali!" pekik Inez membabi buta. "Sekarang juga kembalikan uangku!" Inez kembali membentak dengan wajah merah padam. "Uang itu sudah lenyap, Nez. Percuma saja kau memintanya. Bahkan sampai kau nangis darah pun uang itu tak akan pernah kembali," jawab Sony sambil berusaha bangkit. Ia ikut meninggikan suara. Wajah Inez kian memerah. Perempuan itu kalap, ia meraih vas bunga di atas meja melempar kuat ke arah Sony, hingga vas cantik berwarna putih itu tercecar di lantai berhamburan. Setelahnya ia kembali meraih sebuah hiasan keramik yang diletakkan di samping kursi. Melempar benda itu ke sembarang arah. 

  • KEMBALINYA CINTA PERTAMA SUAMIKU   Inez ditipu

    "Lagian bisnis kamu sampai sekarang masih belum jelas. Pakai saja uang 200 juta yang aku kasih waktu itu, aku sudah nggak punya simpanan banyak lagi. Lagi pula uang hasil penjualan rumah itu hanya tinggal sedikit. Aku memberi 80 persennya untuk kau kelola. Tapi sampai detik ini tak ada kabar. Setiap aku membahas masalah itu kamu selalu bilang, sabar, ya'. Aku capek, Son, capek nanyain kejelasan semuanya." Inez beranjak ke dalam sambil menghentak-hentakkan kaki ke lantai. Laki-laki itu tersulut emosi. Namun, semampunya ia meredamnya. Jika bukan Inez, siapa lagi yang bisa diandalkan saat ini. Sony menguyar rambut kasar. Pikirannya penuh sesak tentang kerusakan mobil hingga bisnis yang dijanjikan temannya. Benar kata Inez, dirinya memang hanya dijanjikan tanpa ada kepastian.Ia beranjak masuk, berniat membujuk perempuan itu agar mau membantunya. Nampak Inez tengah tiduran di sofa mewah di depan TV bersama Rafa. Rafa sibuk memainkan leggo, mem

  • KEMBALINYA CINTA PERTAMA SUAMIKU   Sebatas Adik

    "Abang memiliki rasa padanya?" Selidik Hana. Hakim menggeleng pelan. "Menganggapnya sebatas adik. Tak lebih," aku Hakim. "Kalau begitu, aku tak memiliki alasan untuk cemburu," jawab Hana berusaha menutupi rasanya. Ya, sejujurnya rasa cemburu itu tetap ada. Namun, melihat sikap Hakim tadi membuatnya merasa tak pantas menunjukkan rasa dengan cara berlebihan. "Kau yakin?" tanya Hakim dengan menaikkan sebelah alis. Hana hanya tersenyum simpul. "Syukurlah …." Hakim nampak lega. "Oh, ya, boleh aku berbicara tentang kita?" tanya Hakim kemudian. "Tentang kita?" Hana mengulang pertanyaan Hakim sambil tersenyum geli. "Jangan tertawa!" Hakim terkekeh. "Siapa yang tertawa?" "Barusan?" Telunjuk itu terarah pada Hana. "Itu senyum. Apakah seorang dengan pangkat manager di perusahaan besar tak bisa membedakan mana senyum dan mana tertawa?" ledek Hana. "Baiklah … ya, kau barusan hanya tersenyum. Aku sadar karena lelaki memang tempatnya salah, terlepas dari apa jabatan pekerjaan maupun tite

  • KEMBALINYA CINTA PERTAMA SUAMIKU   Penantian Sia-sia

    Cincin yang fotonya bulan lalu di kirim Dewi padanya. Ya, Dewi mengatakan jika Hakim memintanya memilih model yang paling bagus. Dan pilihan Dewi jatuh pada cincin yang kini melingkar di jari manis Hana. "Aamiin," ucap Hakim dan Hana bersamaan sambil melempar senyum. Susah payah Rena menelan ludah sendiri. Melihat raut wajah dua orang di hadapannya itu saat saling tersenyum, mampu membuat hatinya meringis. Ada beban yang tiba-tiba menghimpit dada, menciptakan sesak. Hayalannya tentang bagaimana cincin itu melingkar indah di jari manisnya kini pupus sudah. Semua mimpi-mimpinya tentang masa depan bersama Hakim seketika kandas. Ada luka yang baru saja tergores di hati, luka karena perasaan berlebih pada orang yang salah. Jika saja ia tengah sendiri, ingin rasanya meluahkan rasa lewat air mata. Sekian lama ia berusaha menampilkan yang terbaik di hadapan Hakim maupun keluarganya. Namun, semua hanya kesia-siaan. Dua tahun waktunya menjaga hati untuk Hakim sama sekali tak dihargai. Ent

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status