"Lepaskan aku!" ucapnya dengan suara bergetar. Susah payah ia menahan agar sesak yang kini menghimpit dada tak membuatnya lemah.
"Apa alasanmu meminta berpisah, Ma? Bukankah poligami adalah sunnah. Kau bisa mendapat pahala besar dari ikhlasmu melakukannya."Semudah itukah para laki-laki berucap? Apakah hatinya buta ataukah mati rasa, hingga dengan lantangnya menyuarakan sunnah tanpa ia sendiri paham bagaimana sunnah itu seharusnya ditunaikan. "Benarkah poligami itu sunnah?" tanya perempuan dengan warna kulit kuning langsat itu. Hana masih sangat cantik di balik wajah kelelahan dengan mata panda-nya. Namun, cukup banyak laki-laki yang memang tak pernah merasa puas meski telah memiliki istri secantik apapun. "Aku rasa kaupun tahu tentang itu," ucap Rio lemah. "Lantas hukum shalat lima waktu?" tanya Hana bermakna sindiran. Rio menegakkan posisi duduknya. Susah payah ia menelan ludah sendiri setelah mendengar kalimat Hana barusan. Hening. Keduanya bungkam. Hana dengan setia menanti jawaban sang suami dalam kebisuan, sedangkan Rio, laki-laki itu tengah berpikir keras untuk menjawab pertanyaan Hana tanpa membuatnya merasa tersudut. Bebapa menit berlalu tetap saja Rio tak menemukan jawaban. "Akan kujelaskan jika tak paham. Shalat lima waktu adalah wajib hukumnya bagi muslim manapun, tanpa terkecuali, bahkan dalam keadaan sakit parah sekalipun. Selama ia tak gila maka kewajiban lima waktu tak akan pernah gugur darinya.""Lantas, apa yang membuat Papa begitu ingin menunaikan sunnah yang sudah jelas-jelas tingkatan pahalanya di bawah wajib?" Hana kembali melayangkan tanya yang membuat Rio kian hening. Kedua tangan dengan jari-jemari bergetar itu kini diletakkannya di atas meja. Tatapan matanya beralih pada sang suami. Pagi ini akan ia tumpahkan lara yang sejak lama ia pendam. Perempuan pendiam itu menemukan titik lelahnya sejak beberapa puluh menit lalu. "Bahkan untuk shalat lima waktu saja Papa hampir tak pernah melakukannya. Masih ingat apa yang Papa katakan ketika aku mengajak untuk shalat, atau meminta Papa untuk ke masjid saat adzan tiba?" tanya Hana masih dengan nada dingin. Susah payah ia tahan agar sakit di ulu hatinya tak menyembul ke luar. "Papa akan mengatakan, "Urus saja diri sendiri, tak perlu mengajariku". Hana tersenyum sinis."Pantaskah seorang imam dalam rumah tangga berucap demikian? Aku tak pernah sekalipun memintamu membantuku membuatkan susu untuk anak-anak kita saat aku tengah sibuk bekerja, aku tak pernah memintamu untuk membantuku mencuci piring atau baju kotor kala aku sedang sakit, aku juga tak pernah meminta Papa untuk membantuku menjaga anak-anak saat mereka sakit, karena aku tahu Papa tak akan pernah bersedia dan bahkan Papa akan mengamuk jika aku melakukannya. Aku hanya minta Papa untuk shalat lima waktu saja, tak lebih."Hana menunduk beberapa detik. Satu-persatu luka dalam rumah tangga yang pernah tergores di hatinya kembali terasa perih. Dalam hati Rio membenarkan perkataan sang istri. Namun, untuk mengakui semuanya ia terlalu gengsi. Bahkan menurut keinginannya, dirinyalah yang paling benar dan seolah terlahir tanpa cela. "Lantas, sekarang Papa meminta untuk menunaikan sunnah? Jangan bercanda, karena perempuan manapun tak akan suka dengan gaya bercanda segila ini."Hana menautkan jemari kanan dengan kirinya. Meremas kuat, berharap sesak di dada tak berhasil membuatnya lemah. "Papa masih sangat mencintainya," lirih Rio mengulang kalimat yang sama. Kalimat yang detik ini membuat Hana benci. Cinta. Sesuatu yang mampu membuat hati siapa saja berbunga-bunga, dan yang mampu membuat manusia manapun merasakan mati dengan tubuh bernyawa. Cinta. Ya, itulah satu-satunya kalimat pamungkas yang Rio miliki. Cintanya pada Inez mampu membutakan laki-laki itu. Buta melihat betapa tulus cinta sang istri terhadap dirinya dan anak-anak mereka. "Aku tak bisa memaksa hati manusia manapun untuk menyukaiku, bahkan terhadapmu. Lepaskan jika memang tak ada lagi cinta. Percayalah, jika Allah meridhoi, sampai matipun aku tak akan mengemis untuk kembali. Pergilah!" Hana berucap dengan suara tercekat di tenggorokan. "Mama yakin dengan apa yang kau katakan, Ma?" tanya Rio berusaha meyakinkan pendengarannya. "Bahkan sangat yakin," ucap Hana dengan memalingkan wajah ke sisi kanannya. Wajah Rio kian terasa muak kala tertangkap matanya. "Apa yang akan kau lakukan untuk memenuhi kebutuhan anak-anak jika kau berpisah dariku?" Rio mulai menampakkan sifat aslinya. "Bukankah mereka masih tetap kewajibanmu?" tanya Hana dengan sudut bibir terangkat. Ia paham apa yang ada di kepala laki-laki itu."Aku tak akan menafkahi mereka jika kau meminta bercerai dariku," ucap Rio seolah tanpa hati. Hana menggeleng pelan. Murka yang selama ini bertumpuk kian membuncah di dada. "Berbicara tentang sunnah seolah dirimu orang yang sangat paham agama, nyatanya tentang kewajiban saja kau tak paham. Aku tak akan gentar dengan ancaman murahan seperti itu. Apa kau lupa, orang tua siapa yang lebih peduli kehidupan keluarga ini? Orang tua siapa pula yang hartanya tak habis untuk makan sampai tiga turunan?" Hana kembali membuat Rio bungkam. Bukan, bukan ia sedang bercanda, karena itu semua adalah fakta. Orang tua Hana orang berada, sedangkan Rio terlahir dari keluarga sederhana. Ia hanya kebetulan beruntung karena diterima di perusahaan bonafit dengan gaji belasan juta perbulan. "Dengarlah, aku tak akan bersedia dimadu karena aku sadar aku tak akan mampu berdampingan dengan perempuan perebut suamiku!" Hana kembali menegaskan. "Kenapa tak mencobanya. Kita bisa sama-sama dan anak-anak tak akan pernah menjadi korban." Rio berusaha membujuk. Korban? Ya, korban laki-laki tak berhati seperti dirinya. "Sekali lagi kukatakan, aku tak akan pernah bisa berdampingan dengan perempuan murahan!" Hana berucap dengan gigi-gigi merapat kuat. Emosinya terpancing kini setelah sekian lama berusaha menahan sabar terhadap ulah Rio yang seolah tak bernurani. "Jaga bicaramu! Dia bukan perempuan murahan seperti yang kau tuduhkan!" bentak Rio tak terima.Hana menatap sinis laki-laki yang telah memberinya sepasang buah hati itu. "Lantas, mau kusematkan apa terhadap perempuan yang dengan mudahnya meminta untuk menikah dengan laki-laki beristri, sedangkan dirinya masih memiliki suami. Aku bahkan tak pernah menemukan perempuan semurahan ini sebelumnya." Hana balik membentak membuat Rio tersentak. 14 tahun menikahi Hana Rio belum pernah sama sekali melihat istrinya itu semarah ini. Bahkan saat Rio marah dan mengoceh tak berujung hanya karena hal sepele, Hana hanya memilih diam tanpa melawan. "Dia perempuan baik-baik, bahkan rutin mengikuti kajian." Lagi-lagi Rio berusaha membela perempuan itu. "Ikut kajian? Kupastikan itu hanyalah topeng karena perempuan baik-baik tak akan pernah sanggup menyakiti binatang sekalipun, apalagi sesama perempuan." Hana tak mau kalah. Tekadnya bulat untuk menumpahkan semua lukanya kali ini, tanpa memikirkan dampak pertengkaran seperti yang biasa ia lakukan. Kali ini baginya adalah akhir. Mempertahankan suami seperti Rio adalah sebuah kebodohan. "Jaga bicaramu, Ma. Papa hanya ingin mencari jalan tengah." Rio melemah. "Apakah ini jalan tengah yang kau maksud? Jalan tengah yang mampu menghancurkan dua keluarga sekaligus." Jawaban Hana semakin berapi-api. Tak ada lagi panggilan hangat sebagaimana biasa, membuat hati Rio tercubit. Tangan hana mengepal kuat di kedua sisi tubuhnya. Amarah perempuan pendiam sedikit bicara itu kini membuncah di dada. "Tak akan, Ma, jika Mama menerima Inez semua tak akan berubah." Rio kembali membujuk. "Tak akan berubah? Apakah bersikap adil dalam berpoligami akan semudah itu? Kau kira cukup dengan memberi uang belanja dengan nominal yang sama?""Papa akan berusaha semampu Papa, Ma. Percayalah."Hana menggeleng pelan. "Akan segera aku sampaikan pada Ibu dan Ayah tentang ini," ucap Hana setelah menghela napas panjang. Rio nampak terkejut. Ia paham sekeras apa watak mertua laki-lakinya itu. Jika Hana benar-benar mengatakannya, maka biduk rumah tangga yang telah mereka bina selama ini akan kandas dalam waktu singkat.Mendengar pertanyaan dari Inez, Marwan terdiam. Bersamaan dengan itu perempuan yang tadi mengantar minum untuk Inez kembali datang. Perempuan berwajah manis dengan kulit kuning langsat itu memilih duduk tepat di samping Marwan. Bibir merah mudanya tersenyum ramah ke arah Inez lalu berpindah melirik Marwan. Susah payah Inez menelan ludah. Prasangka buruknya membuat keringat dingin berjejalan di sela-sela jari dan telapak tangannya. "Kenalin, ini Sarah istriku," ucap Marwan sambil melempar senyum tipis ke arah sang istri. Perempuan berusia awal 30 tahun itu mengulurkan tangannya ke arah Inez. Jika dibandingkan dengan Inez, perempuan bernama Sarah itu masih kalah cantik. Inez nyatanya jauh lebih cantik jika dinilai dari fisik. Namun, bukan itu yang Marwan lihat. Ia tak ingin cinta yang dulu berawal dari kepuasan mata membuat dirinya harus menjalani kehidupan serupa seperti dulu lagi. Inez seketika terhenyak. Jawaban yang keluar dari bibir Marwan tak ubah seperti palu godam yang men
Inez kembali terperangah dengan mata membulat sempurna. Sony ternyata ditangkap karena telah membunuh pacar yang telah ia pacari setahun terakhir, dengan cara membekapnya dengan bantal hingga menghembuskan napas terakhir, lalu melarikan motor serta ponsel milik sang pacar. Inez segera berlari ke kamar. Rasa sesal dan kecewa memenuhi rongga dadanya. Air mata kembali meleleh ketika sadar betapa bodoh dirinya karena telah luluh dengan janji manis serta tampang rupawan laki-laki brengsek itu. Ternyata saat bersamanya Sony sudah memiliki pacar. Berkali-kali inez memukuli dadanya yang kini terasa sesak. Satu per satu kebodohan yang pernah ia lakukan kini berputar di kepala, membuat rasa bersalah pada Marwan kian bertumpuk. *Malam datang bersama aroma damai ketenangan bersama rintik hujan yang luruh ke bumi. Namun, tidak dengan hati Inez. Malam ini ia kian gamang. Hatinya berkeinginan untuk datang meminta maaf pada Marwan. Namun, ia terlalu malu untuk menampakkan wajah hinanya di hadapan
Hana menautkan alis seraya menggeleng pelan. Bibirnya mengulum senyum manis, bahkan sangat manis. "Sejak kapan?" Ia balik bertanya. "Jauh sebelum kau kenal mantan suamimu," jawab Hakim dengan raut wajah nampak serius. "Hah? Serius?" Hana kembali bertanya. Hakim mengangguk pasti. Hana menatap lekat wajah sang suami. Selama ini Hana tak pernah menganggap Hakim lebih dari teman, atau mungkin sahabat. Yang ia tahu Hakim sangat nyaman untuk dijadikan teman bercerita sekaligus rekan kerja. Sejak dulu Hakim dikenal suka membantu, bahkan hampir semua teman-teman di kantor lama mereka dulu dekat dengan Hakim. "Apa kau merasa Abang mempunyai teman dekat perempuan saat itu selain kamu?" tanya Hakim memastikan. Hana nampak berpikir sejenak, lalu menggeleng pelan. "Setiap kedekatan antara laki-laki dan perempuan, sudah pasti salah satu di antara keduanya memiliki rasa, Na. Nggak usah munafik. Pada kedekatan kita dulu, Abang lah yang memiliki rasa padamu," ucap Hakim jujur. Kini tatapan mat
Dua minggu berlalu. Hana menatap bangga laki-laki yang kini tengah menjabat tangan Pak Penghulu dengan wajah serius. Laki-laki yang kini tengah mengikrarkan janji suci di depan saksi. Wajah penuh riasan itu kini berubah sendu manakala kata 'sah' mengawang di udara. Memecah khidmatnya acara pagi ini. Tepat beberapa detik yang lalu, dirinya kembali sah bergelar istri setelah delapan bulan menyandang status janda. Mungkin bagi sebagian orang ini terlalu singkat. Namun, Hana tak ingin menunda saat laki-laki baik datang padanya, persis seperti apa yang dikatakan sang ayah kala itu. Binar bahagia nampak pada wajah keduanya ketika Hana dan Hakim bersanding di atas pelaminan untuk menyambut kedatangan para tamu. Anak-anak mereka berkumpul menyaksikan kebahagiaan orang tua mereka. Kini Ira dan Shanum nampak tak ingin berjauhan. Dua anak perempuan itu kini menikmati hubungan yang kian dekat dari sekedar sahabat. Kedua orang tua Hana nampak lebih muda dalam riasan serta pakaian yang mereka
Bayangan kematian kian menghantui Inez. Keringat dingin meluncur di dahi hingga jemari perempuan itu. Ines mengangguk cepat, matanya kian gencar mengeluarkan butiran bening. "Bagus," ucap laki-laki itu dengan senyum menyeringai. "Jangan sampai kau berteriak seperti tadi, jika tak mau pisau ini menembus perutmu." Sony kembali mengancam.Rasa takut yang membuncah membuat Inez akhirnya kembali mengangguk. Sigap sony melepaskan ikatan kain di mulut perempuan itu. "Aku mohon, setelah ini lepaskan aku," lirih Inez dengan air mata kian deras membanjiri wajahnya. Berharap masih tersisa empati di hati laki-laki itu. "Pasti, pasti akan kubebaskan setelah mengatakannya, aku janji," ucap sony dengan wajah meyakinkan. Laki-laki itu merogoh ponsel di saku celananya. Sekarang ia siap mengetik deretan nomor yang akan Inez katakan. Dengan bibir bergetar karena ketakutan akhirnya Inez mengatakan kode pin ATM-nya. Akhirnya ia menyerah, mengingat nyawa yang jauh lebih berharga dari segalanya. "Kata
Wajah Inez kian memerah. Impian yang dijanjikan Sony selama mereka bersama pupus sudah. Harapannya tentang hidup bahagia bersama laki-laki impiannya telah kandas. Tangan Inez mendorong kuat tubuh laki-laki itu hingga Sony terjengkang. "Aku tidak butuh penjelasan tentang kebodohanmu, yang aku butuhkan sekarang adalah uangku kembali!" pekik Inez membabi buta. "Sekarang juga kembalikan uangku!" Inez kembali membentak dengan wajah merah padam. "Uang itu sudah lenyap, Nez. Percuma saja kau memintanya. Bahkan sampai kau nangis darah pun uang itu tak akan pernah kembali," jawab Sony sambil berusaha bangkit. Ia ikut meninggikan suara. Wajah Inez kian memerah. Perempuan itu kalap, ia meraih vas bunga di atas meja melempar kuat ke arah Sony, hingga vas cantik berwarna putih itu tercecar di lantai berhamburan. Setelahnya ia kembali meraih sebuah hiasan keramik yang diletakkan di samping kursi. Melempar benda itu ke sembarang arah.