Share

05 : Dia Sungguh Navia?

Malik berusaha keras untuk keluar dari kerumunan dan dia tidak menunggu untuk berlari menghampiri perempuan yang terlihat mirip dengan Navia itu.

Logikanya berkata untuk berhenti. Tidak mungkin orang yang sudah meninggal, bisa hidup lagi dan berdiri di depan matanya. Tapi seperti orang bodoh, Malik malah semakin cepat melangkah dan membuat perempuan itu akhirnya lari dengan wajah panik.

Kenapa dia lari? Memang dia mengenal Malik? Seharusnya dia tetap di sana jika dia bukan Navia, jadi … apakah perempuan itu benar-benar Navia?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus terputar di otak Malik selagi kakinya menerjang jarak yang semakin jauh ketika perempuan itu juga berlari tak kalah kencang darinya.

“Tunggu, kamu! Berhenti!” ujar Malik, membuat orang-orang yang menontonnya—kini bingung karena dia tiba-tiba kabur dari kermunan dan itu demi mengejar seorang perempuan?

Awalnya orang-orang itu berpikir Malik hanya mencari alasan untuk lari dari masalah, tapi sejak lelaki itu sudah tidak menaruh perhatiannya pada masalah proyek dan bersikap tak acuh, mereka sadar jika ada hal tidak beres yang terjadi dan membiarkan Malik pergi untuk mengejar perempuan yang mungkin dikenalinya.

“Tolong berhenti sebentar, Mbak!” Malik berkata, berusaha untuk membuat perempuan itu berhenti tapi si perempuan malah berlari lebih kencang. “Saya mau tanya sesuatu! Berhenti dulu!” Malik meninggikan suaranya, dan dia tidak sabar jika si perempuan tidak mau diajak kerja sama.

Malik berlari lebih kencang sampai tangannya berhasil menyentuh pergelangan perempuan itu dan hampir membuatnya berhenti, jika saja perempuan itu tidak tiba-tiba berbalik dan memasuki gang perumahan yang padat.

“Sial!” Malik mengumpat, dia tidak pernah merasa seburuk ini hanya karena gagal mendapatkan sesuatu. Karenanya, Malik kembali berlari mengejar perempuan itu yang juga tak kalah berusaha keras untuk lari darinya. Jika dipikir secara logika, gadis desa biasa akan senang jika ada orang kota berpakaian rapi datang mendekatinya. Tapi perempuan itu lari dengan wajah panik dan ketakutan yang mudah terbaca, seakan-akan melihat Malik adalah mimpi buruknya yang jadi nyata—seakan-akan perempuan itu memanglah Shanavia Arini yang berusaha melarikan diri setelah bertemu kembali dengan Malik.

Malik semakin ingin mendapatkan perempuan itu dengan segera dan menuntaskan rasa penasarannya, tapi tampaknya tidak akan mudah karena perempuan itu terlihat terlalu pintar memilih jalan untuk menghindarinya. Malik tidak punya kesempatan untuk mendekat sedikit saja dan dia sudah dibuat bingung akan jalan mana yang harus diikutinya untuk mendapatkan perempuan itu.

Untung saja Malik adalah seorang laki-laki, dia memiliki tenaga dan stamina yang tentunya lebih unggul sehingga dia bisa mempercepat larinya. “Tunggu!” Sekali lagi, Malik berhasil menggenggam tangan perempuan itu dan kali ini dia membuat perempuan itu berhenti.

“Lepasin saya!” Perempuan itu memekik, suaranya mirip sekali dengan suara Navia—semakin yakin bagi Malik untuk tidak melepasnya.

“Saya mau tanya sesuatu sama kamu!”

“Saya nggak ada urusan sama kamu! Lepasin saya atau saya bakal teriak!”

“Saya nggak berniat jahat! Saya benar-benar cuma mau tanya tentang siapa kamu!”

“Untuk apa kamu tanya begitu!”

“Karena kamu mirip sama Navia!”

Perempuan itu tiba-tiba berhenti memberontak ketika Malik menyebut nama Navia. Mata mereka bertemu dalam ketegangan, tajam nan serius menatap satu sama lain. Reaksi perempuan itu membuat Malik tersadar, jika apa yang diyakininya sejak tadi mungkin adalah apa yang sebenarnya terjadi, bahwa perempuan di depan matanya ini pasti Navia.

“Navia … ini pasti kamu! Kamu nggak benar-benar meninggal malam itu, kamu selamat dan kamu sengaja lari dari aku!” ujar Malik, dan perempuan itu tidak bereaksi seolah sengaja mendengarkan perkataannya, “kenapa kamu lakuin ini sama aku, Navia? Satu tahun … satu tahun aku hidup dalam bayang-bayang rasa bersalah atas kematian kamu! Tapi ternyata kamu masih hidup dan—”

“Kamu ini ngomong apa, sih!?” Malik tercengang ketika tiba-tiba perempuan itu menepis genggamannya, “pakai cari alasan segala lagi! Kamu pasti punya maksud buruk, kan!?”

“Nggak, Navia! Navia dengerin aku!”

“Tolong …! Tolong ada laki-laki kota cabul yang mau nyulik saya!”

“Navia!”

Duagh!

“Ukh!” Malik spontan memegangi kepala belakangnya ketika sesuatu memukul tengkuknya keras, dia sempoyongan dan menoleh ke belakang—tepat ketika pemuda yang tadi ada di depan kerumunan, sekarang berdiri di belakangnya sembari memegang balok kayu. “Kamu …!” Malik ingin marah, dia ingin membela diri kalau tidak seharusnya dia diperlakukan seperti ini, tapi semua itu kalah cepat dengan kesadarannya yang seakan hilang dalam sekejap.

***

Ketika ia membuka mata, Malik sudah berada di sebuah ruangan yang khas dengan aroma obat-obatannya. Sekilas melihat saja Malik tahu dia berada di mana. Tapi yang membuatnya langsung benar-benar tersadar adalah, sekelebat wajah perempuan yang mirip dengan Navia yang muncul dalam kepalanya.

“Navia!” Malik langsung duduk, tapi sakit luar biasa ia rasakan di bagian tengkuknya dan saat ia menyentuh—dia sadar jika kepalanya terluka dan pasti karena pukulan pemuda desa tadi. Malik menghela napas dan menundukkan kepalanya dalam ratapan. Padahal tadi hampir saja dia bisa mengungkap kebenaran, tapi pemuda gegabah tadi mengacaukan segalanya.

Malik ingat ekspresi perempuan itu ketika dia berbicara tentang Navia, sorot matanya gemetar dan menunjukkan sebuah relevansi akan cerita yang Malik ungkap. Tapi pada akhirnya perempuan itu tetap menyangkal dan Malik sudah menduga kalau hal seperti itu akan terjadi.

Tapi tetap saja, mengingat bagaimana raut dan wajah perempuan itu bereaksi ketika Malik datang padanya dengan cerita seorang Navia, membuat Malik merasa dia tidak bisa melepaskannya begitu saja. Malik harus segera mencari keberadaan perempuan itu dan bicara baik-baik, jika saja dia memang benar Shanavia Arini maka itu akan jadi berita bagus. Malik segera menarik kesimpulan kalau kemungkinan yang dia percaya semakin besar karena sejak satu tahun lalu, jasad Navia tidak pernah ditemukan.

"Sudah bangun?"

Malik segera menoleh ketika seseorang mengajaknya bicara.

Rupanya pemuda yang memukul kepalanya tadi, kini berbicara dengan nada dingin. Sudah begitu wajahnya tidak menunjukkan rasa bersalah sama sekali. Suasana hati Malik jadi makin berantakan.

“Mau ke mana, Pak?” tanya pemuda itu, menatap tajam Malik yang meninggalkan kasur.

“Itu bukan urusan kamu,” jawab Malik dingin, tapi pemuda itu langsung pasang badan untuk menghalanginya keluar.

“Apa Bapak mau nyari Nirmala dan berbuat macam-macam lagi kayak tadi!?”

“Nirmala?” tanya Malik.

“Iya, perempuan yang Bapak pegang erat kayak macan nerkam mangsanya tadi itu Nirmala, dan dia pacar saya!”

Malik syok, dia membatu beberapa saat mendengar apa yang pemuda itu katakan. Pacar, katanya?

Tapi ini bukan saat yang tepat untuk syok hanya karena hal yang belum pasti baginya; Malik akan percaya kalau dia mendengar langsung dari mulut perempuan bernama Nirmala itu.

“Saya harus ketemu sama dia,” ujar Malik, dan tentu saja dia langsung dihalangi.

“Bapak ini kalau nafsu, jangan diketarain banget begitu, dong, Pak! Nggak malu sama jas klimis Bapak!?”

“Saya bakal malu kalau saya pernah membahayakan nyawa orang asing tanpa tau apa yang sebenarnya terjadi!” balas Malik, menyindir pemuda itu atas perlakuannya tadi. Terlihat si pemuda sedikit gugup, pasti tersindir. “Dan saya bilang ke kamu, saya bukan orang cabul! Saya punya urusan sendiri, kenapa saya harus ketemu sama perempuan yang katamu bernama Nirmala tadi … itu bukan urusan kamu!”

Malik melenggang pergi ke luar ruangan, rupanya dia sedang berada di klinik dan belum keluar dari area desa. Dengan langkah sedikit terhuyung dan kepala yang masih terasa berputar-putar, Malik berjalan untuk mencari tempat di mana Nirmala tinggal—dan sudah pasti dia tidak punya petunjuk sama sekali.

Ponselnya tidak tahu di mana, jas hitamnya juga tidak ada. Pasti dua benda itu tertinggal di klinik tadi, tapi Malik sudah tidak peduli sejak itu bisa diurusnya esok hari. Tapi soal perempuan bernama Nirmala tadi, Malik merasa jika dia akan kehilangannya bahkan jika hanya satu detik terlambat.

Karena itu, dia harus cepat-cepat menemui Nirmala, hari juga sudah menjelang petang tapi tidak ada orang yang bisa dia mintai tolong sejak dia dilihat sebagai orang kota yang bermaksud jahat oleh warga sekitar.

“Sialan …,” gumam Malik, sesekali memijat kepalanya. Dia tidak pernah diperlakukan seperti ini dan merasa sehina ini hanya karena tatapan orang-orang desa, bahkan orang-orang kota bersikap sopan kepadanya! Demi memuaskan rasa penasarannya … demi Shanavia yang sudah membuatnya berada di titik seperti ini, Malik bersumpah akan mendapatkan wanita itu kembali!

Tapi tiba-tiba ....

TIIIN!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status