Malik berusaha keras untuk keluar dari kerumunan dan dia tidak menunggu untuk berlari menghampiri perempuan yang terlihat mirip dengan Navia itu.
Logikanya berkata untuk berhenti. Tidak mungkin orang yang sudah meninggal, bisa hidup lagi dan berdiri di depan matanya. Tapi seperti orang bodoh, Malik malah semakin cepat melangkah dan membuat perempuan itu akhirnya lari dengan wajah panik.Kenapa dia lari? Memang dia mengenal Malik? Seharusnya dia tetap di sana jika dia bukan Navia, jadi … apakah perempuan itu benar-benar Navia?Pertanyaan-pertanyaan itu terus terputar di otak Malik selagi kakinya menerjang jarak yang semakin jauh ketika perempuan itu juga berlari tak kalah kencang darinya.“Tunggu, kamu! Berhenti!” ujar Malik, membuat orang-orang yang menontonnya—kini bingung karena dia tiba-tiba kabur dari kermunan dan itu demi mengejar seorang perempuan?Awalnya orang-orang itu berpikir Malik hanya mencari alasan untuk lari dari masalah, tapi sejak lelaki itu sudah tidak menaruh perhatiannya pada masalah proyek dan bersikap tak acuh, mereka sadar jika ada hal tidak beres yang terjadi dan membiarkan Malik pergi untuk mengejar perempuan yang mungkin dikenalinya.“Tolong berhenti sebentar, Mbak!” Malik berkata, berusaha untuk membuat perempuan itu berhenti tapi si perempuan malah berlari lebih kencang. “Saya mau tanya sesuatu! Berhenti dulu!” Malik meninggikan suaranya, dan dia tidak sabar jika si perempuan tidak mau diajak kerja sama.Malik berlari lebih kencang sampai tangannya berhasil menyentuh pergelangan perempuan itu dan hampir membuatnya berhenti, jika saja perempuan itu tidak tiba-tiba berbalik dan memasuki gang perumahan yang padat.“Sial!” Malik mengumpat, dia tidak pernah merasa seburuk ini hanya karena gagal mendapatkan sesuatu. Karenanya, Malik kembali berlari mengejar perempuan itu yang juga tak kalah berusaha keras untuk lari darinya. Jika dipikir secara logika, gadis desa biasa akan senang jika ada orang kota berpakaian rapi datang mendekatinya. Tapi perempuan itu lari dengan wajah panik dan ketakutan yang mudah terbaca, seakan-akan melihat Malik adalah mimpi buruknya yang jadi nyata—seakan-akan perempuan itu memanglah Shanavia Arini yang berusaha melarikan diri setelah bertemu kembali dengan Malik.Malik semakin ingin mendapatkan perempuan itu dengan segera dan menuntaskan rasa penasarannya, tapi tampaknya tidak akan mudah karena perempuan itu terlihat terlalu pintar memilih jalan untuk menghindarinya. Malik tidak punya kesempatan untuk mendekat sedikit saja dan dia sudah dibuat bingung akan jalan mana yang harus diikutinya untuk mendapatkan perempuan itu.Untung saja Malik adalah seorang laki-laki, dia memiliki tenaga dan stamina yang tentunya lebih unggul sehingga dia bisa mempercepat larinya. “Tunggu!” Sekali lagi, Malik berhasil menggenggam tangan perempuan itu dan kali ini dia membuat perempuan itu berhenti.“Lepasin saya!” Perempuan itu memekik, suaranya mirip sekali dengan suara Navia—semakin yakin bagi Malik untuk tidak melepasnya.“Saya mau tanya sesuatu sama kamu!”“Saya nggak ada urusan sama kamu! Lepasin saya atau saya bakal teriak!”“Saya nggak berniat jahat! Saya benar-benar cuma mau tanya tentang siapa kamu!”“Untuk apa kamu tanya begitu!”“Karena kamu mirip sama Navia!”Perempuan itu tiba-tiba berhenti memberontak ketika Malik menyebut nama Navia. Mata mereka bertemu dalam ketegangan, tajam nan serius menatap satu sama lain. Reaksi perempuan itu membuat Malik tersadar, jika apa yang diyakininya sejak tadi mungkin adalah apa yang sebenarnya terjadi, bahwa perempuan di depan matanya ini pasti Navia.“Navia … ini pasti kamu! Kamu nggak benar-benar meninggal malam itu, kamu selamat dan kamu sengaja lari dari aku!” ujar Malik, dan perempuan itu tidak bereaksi seolah sengaja mendengarkan perkataannya, “kenapa kamu lakuin ini sama aku, Navia? Satu tahun … satu tahun aku hidup dalam bayang-bayang rasa bersalah atas kematian kamu! Tapi ternyata kamu masih hidup dan—”“Kamu ini ngomong apa, sih!?” Malik tercengang ketika tiba-tiba perempuan itu menepis genggamannya, “pakai cari alasan segala lagi! Kamu pasti punya maksud buruk, kan!?”“Nggak, Navia! Navia dengerin aku!”“Tolong …! Tolong ada laki-laki kota cabul yang mau nyulik saya!”“Navia!”Duagh!“Ukh!” Malik spontan memegangi kepala belakangnya ketika sesuatu memukul tengkuknya keras, dia sempoyongan dan menoleh ke belakang—tepat ketika pemuda yang tadi ada di depan kerumunan, sekarang berdiri di belakangnya sembari memegang balok kayu. “Kamu …!” Malik ingin marah, dia ingin membela diri kalau tidak seharusnya dia diperlakukan seperti ini, tapi semua itu kalah cepat dengan kesadarannya yang seakan hilang dalam sekejap.***Ketika ia membuka mata, Malik sudah berada di sebuah ruangan yang khas dengan aroma obat-obatannya. Sekilas melihat saja Malik tahu dia berada di mana. Tapi yang membuatnya langsung benar-benar tersadar adalah, sekelebat wajah perempuan yang mirip dengan Navia yang muncul dalam kepalanya.“Navia!” Malik langsung duduk, tapi sakit luar biasa ia rasakan di bagian tengkuknya dan saat ia menyentuh—dia sadar jika kepalanya terluka dan pasti karena pukulan pemuda desa tadi. Malik menghela napas dan menundukkan kepalanya dalam ratapan. Padahal tadi hampir saja dia bisa mengungkap kebenaran, tapi pemuda gegabah tadi mengacaukan segalanya.Malik ingat ekspresi perempuan itu ketika dia berbicara tentang Navia, sorot matanya gemetar dan menunjukkan sebuah relevansi akan cerita yang Malik ungkap. Tapi pada akhirnya perempuan itu tetap menyangkal dan Malik sudah menduga kalau hal seperti itu akan terjadi.Tapi tetap saja, mengingat bagaimana raut dan wajah perempuan itu bereaksi ketika Malik datang padanya dengan cerita seorang Navia, membuat Malik merasa dia tidak bisa melepaskannya begitu saja. Malik harus segera mencari keberadaan perempuan itu dan bicara baik-baik, jika saja dia memang benar Shanavia Arini maka itu akan jadi berita bagus. Malik segera menarik kesimpulan kalau kemungkinan yang dia percaya semakin besar karena sejak satu tahun lalu, jasad Navia tidak pernah ditemukan."Sudah bangun?"Malik segera menoleh ketika seseorang mengajaknya bicara.Rupanya pemuda yang memukul kepalanya tadi, kini berbicara dengan nada dingin. Sudah begitu wajahnya tidak menunjukkan rasa bersalah sama sekali. Suasana hati Malik jadi makin berantakan.“Mau ke mana, Pak?” tanya pemuda itu, menatap tajam Malik yang meninggalkan kasur.“Itu bukan urusan kamu,” jawab Malik dingin, tapi pemuda itu langsung pasang badan untuk menghalanginya keluar.“Apa Bapak mau nyari Nirmala dan berbuat macam-macam lagi kayak tadi!?”“Nirmala?” tanya Malik.“Iya, perempuan yang Bapak pegang erat kayak macan nerkam mangsanya tadi itu Nirmala, dan dia pacar saya!”Malik syok, dia membatu beberapa saat mendengar apa yang pemuda itu katakan. Pacar, katanya?Tapi ini bukan saat yang tepat untuk syok hanya karena hal yang belum pasti baginya; Malik akan percaya kalau dia mendengar langsung dari mulut perempuan bernama Nirmala itu.“Saya harus ketemu sama dia,” ujar Malik, dan tentu saja dia langsung dihalangi.“Bapak ini kalau nafsu, jangan diketarain banget begitu, dong, Pak! Nggak malu sama jas klimis Bapak!?”“Saya bakal malu kalau saya pernah membahayakan nyawa orang asing tanpa tau apa yang sebenarnya terjadi!” balas Malik, menyindir pemuda itu atas perlakuannya tadi. Terlihat si pemuda sedikit gugup, pasti tersindir. “Dan saya bilang ke kamu, saya bukan orang cabul! Saya punya urusan sendiri, kenapa saya harus ketemu sama perempuan yang katamu bernama Nirmala tadi … itu bukan urusan kamu!”Malik melenggang pergi ke luar ruangan, rupanya dia sedang berada di klinik dan belum keluar dari area desa. Dengan langkah sedikit terhuyung dan kepala yang masih terasa berputar-putar, Malik berjalan untuk mencari tempat di mana Nirmala tinggal—dan sudah pasti dia tidak punya petunjuk sama sekali.Ponselnya tidak tahu di mana, jas hitamnya juga tidak ada. Pasti dua benda itu tertinggal di klinik tadi, tapi Malik sudah tidak peduli sejak itu bisa diurusnya esok hari. Tapi soal perempuan bernama Nirmala tadi, Malik merasa jika dia akan kehilangannya bahkan jika hanya satu detik terlambat.Karena itu, dia harus cepat-cepat menemui Nirmala, hari juga sudah menjelang petang tapi tidak ada orang yang bisa dia mintai tolong sejak dia dilihat sebagai orang kota yang bermaksud jahat oleh warga sekitar.“Sialan …,” gumam Malik, sesekali memijat kepalanya. Dia tidak pernah diperlakukan seperti ini dan merasa sehina ini hanya karena tatapan orang-orang desa, bahkan orang-orang kota bersikap sopan kepadanya! Demi memuaskan rasa penasarannya … demi Shanavia yang sudah membuatnya berada di titik seperti ini, Malik bersumpah akan mendapatkan wanita itu kembali!Tapi tiba-tiba ....TIIIN!Malik tersentak saat suara klakson motor itu berbunyi nyaring di belakangnya, dia segera menoleh dan melihat seorang lelaki paruh baya berpakaian batik menghampirinya. “Bapak ini orang proyek dekat curuk itu, kan?” tanya lelaki asing itu, langsung pada intinya. Tidak memedulikan Malik yang hampir serangan jantung setelah nyaris dia tabrak dengan motornya. Malik yang sedikit bingung jadinya hanya mengangguk kecil. “Mau ke mana? Saya denger tadi ada keributan gara-gara Bapak berusaha melecehkan salah satu warga sini. Kebetulan ketemu di sini, kita harus bicara, Pak!” Malik menghela napas berat dan memijat kepalanya sekali lagi; ucapan orang asing di depannya ini semakin membuatnya sakit kepala. “Tunggu dulu, Pak, saya pusing,” ujar Malik, “Bapak ini siapa?” Lelaki itu mengulurkan tangan. “Meski kita nggak jabat tangan untuk damai cepat-cepat, tapi perekenalkan, Pak, saya Rusnadi. Saya adalah kepala RT desa ini!” Malik hanya mengangguk sejenak dan berkata, “Saya Malik, dan saya ngga
Malik membuka matanya perlahan, meski rasanya dia ingin tidur lebih lama tapi suara alam di luar sana seperti membentuk konser massal yang terus mengusik alam bawah sadarnya. Orang kota mungkin mendambakan bangun dengan alarm suara cuitan burung yang bernyanyi, tapi bagaimana jika ayam, bebek bahkan kambing ikut melatari? Malik membuka sempurna kedua matanya dan sadar jika dia tidak ada di klinik kesehatan apalagi hotel bintang lima pesanannya. Di mana dia sekarang? Lelaki itu berusaha mengingat-ingat; dan yang tersimpan dalam memorinya adalah perjalanan panjang nan melelahkan hanya untuk bisa berbicara pada perempuan desa yang sangat mirip dengan mendiang istrinya. Sudah begitu, ketika dia tinggal hanya satu langkah menuju tujuannya—dia malah tak sadarkan diri. “Sialan ….” Begitu ujarnya karena masih tersisa rasa kesal dalam hati. Malik melihat ke sekitar, dia berada di kamar sederhana dengan dekorasi bernuansa pedesaan yang sangat kental. Apa dia ada di rumah perempuan itu? Malik b
Setelah mandi, Malik merasa lebih segar. Kendati pakaian milik ayah Nirmala tidak tercium wangi dan terasa sedikit gatal saat menyentuh kulit putihnya, tapi ini lebih baik ketimbang memakai kemeja dengan noda darah selama tiga hari berturut-turut. Berterimakasihlah pada Nirmala yang berbaik hati dan menyempatkan diri untuk mencarikan pakaian terbaik untuk dipasangkan ke tubuh orang kaya ini, tapi perempuan itu tidak kunjung pergi untuk melakukan urusannya. Malik berjalan menghampiri Nirmala yang tampak kesulitan dengan motor tuanya. “Kenapa nggak pergi? Katanya mau ke sawah?” tanya Malik, bersilang tangan sembari bersandar pada kusen pintu. Nirmala melihat tingkah Malik dan itu membuatnya sedikit kesal. “Kalau motornya mau nyala, saya udah jalan dari tadi!” jawab perempuan itu dengan nada ketus. Dia berusaha mengengkol motornya lagi, dan itu menyala. Tapi ketika Nirmala menyusun satu-satu barang bawaannya dimulai dari termos nasi sampai tas jerami berisi rantang makanan dan juga min
Setelah sarapan selesai, bekas makan tinggal dibuang ke tempat sampah. Malik sedikit terkejut menyadari sisi efisiensi dari cara keluarga Nirmala makan bersama. Bukankah akan lebih praktis kalau bekas makan langsung dibuang dan diolah alam? Malik memperhatikan Nirmala yang langsung membakar daun pisang itu bersama tumpukan sampah lainnya di dekat gubuk mereka. Nirmala yang sadar pun bertanya ketus, “Kenapa?” “Lihat-lihat aja,” jawab Malik. Kemudian perhatian mereka teralihkan saat dari kejauhan terdengar. “MALA …! MALA!” Nirmala dan Malik spontan mengalihkan perhatian mereka pada Hendri yang datang bersama beberapa anak kecil di belakangnya. Mereka membawa beberapa wadah kecil dari bambu, sepertinya hendak mencari sesuatu. “Mau ke mana, Heng?” tanya Nirmala, dia tersenyum dan tak seperti saat melihat Malik. Terang saja begitu, kan? Mereka sepasang kekasih. “Mau nyari belut sama tutut. Ikut, Mal?” Hendri menawari, dan Malik juga pikir Nirmala akan langsung pergi bersama Hendri. T
Nirmala langsung menarik tangannya yang sempat digenggam secara tiba-tiba oleh Malik. Apa lagi ini? Setelah ngotot minta ingin bicara dan diizinkan bertemu, sekarang Malik malah mengatakan hal yang makin jauh di luar nalar. “Maksud kamu apa?” tanya Nirmala, nada bicaranya meninggi dan membuat Malik sadar akan apa yang baru saja dikatakannya. Malik menarik tangannya kembali lalu berkata, “Saya … saya mau kamu ikut ke Jakarta untuk—” “Kamu ini bener-bener berani atau nggak tau malu aja? Jangan mentang-mentang kamu ini bos besar jadi kamu bisa seenaknya merintah saya!” “Nirmala, denger, saya punya alasan kuat kenapa kamu harus ikut ke Jakarta sama saya.” “Alasan apa? Untuk membuktikan sama keluarga besar kamu kalau ada perempuan yang mirip banget sama mendiang istri kamu? Atau kamu mau minta saya buat pura-pura jadi istri kamu yang bangkit dari kematian?” Malik menahan napas dan sejenak tak tahu apa yang harus dia katakan; tapi dia merasa dia perlu membawa Nirmala bersamanya. Malik
Setelah membuat heboh orang-orang dengan keputusannya, Nirmala memutuskan untuk berangkat ke Jakarta keesokan harinya—bersama Malik.Apa yang dia lakukan tentu membuat orang-orang terkejut; terlebih kedua orang tuanya dan Hendri Tapi Nirmala tidak memiliki pilihan lain sejak Malik mengancamnya dengan nasib orang-orang desa. Daripada orang-orang desa menjadi korban atas keegoisan Malik, lebih baik Nirmala ikuti dulu apa keinginan lelaki itu.Saat ini Nirmala sedang dalam perjalanan, dan dia cukup penasaran kenapa dirinya malah berakhir berada di mobil yang sama dengan Malik. Padahal dia akan bekerja sebagai pembantu.“Pak Malik,” panggil Nirmala setelah beberapa saat bimbang untuk bicara lebih dulu.“Iya?”“Saya cuma bakal kerja sebagai pengasuh anak Bapak, kan?”Malik terdiam lalu menatap ke luar mobil dan berkata, “Ya ... satu tahun sebagai ibu susu udah cukup.”“Ibu susu? Maksudnya saya suruh menyusui juga?” tanya Nirmala dengan kaget.“Kalau bisa,” jawab Malik asal, meski begitu Nir
BRAK! Malik terkejut saat pintu kamarnya dibuka dengan sangat keras, dan saat melihat siapa yang datang--rasanya seperti dia sudah bisa melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. "Malik!" Leria mendekati sang suami, dengan raut bingung, kesal, kecewa yang berpadu satu—tak mudah dijelaskan dengan kata-kata. "Apa ini, Malik? Kenapa kamu bawa pulang perempuan itu?" "Aku sudah bilang 'kan kalau dia bukan Navia, aku sudah mastiin itu jadi jangan marah-marah seka—" "Gimana bisa aku bersikap tenang seperti yang kamu harap? Kamu ngerti apa yang kamu lakuin, nggak, sih?" "Ngerti," jawab Malik, singkat dan tegas di depan wajah Leria yang tegang, "dan aku ngerti kalau kamu juga bakal bereaksi seperti ini." "Kalau begitu, kenapa tetep kamu lakuin? Kamu nggak mikir perasaan aku?" "Hah ... aku lakuin semua ini untuk Kamal. Kamu lihat sendiri gimana keadaan dia, kan? Dia lahir sehat, nggak ada kekurangan apa pun. Tapi sejak kematian ibunya, Kamal jadi anak yang rewel banget, sering sakit dan a
Sesuai yang diperintahkan Malik pada kepala pelayan rumahnya yang bernama Handoko itu, Nirmala dibawa untuk melihat kamarnya, kemudian berjalan-jalan untuk mengenal keseluruhan dari rumah itu. Karena jalan-jalan dan pengenalan singkat itu juga, Nirmala jadi mengetahui kalau para pembantu dan pengasuh memiliki asrama sendiri. Ada bagian rumah yang dikhususkan untuk tempat tinggal para pekerja. Di sana ada beberapa kamar, ada dapur dan ruang santai sendiri. Tampaknya menjadi pembantu di rumah itu bukanlah hal yang buruk dengan fasilitas sebaik ini, terang saja—Malik adalah orang kaya. “Nirmala, ini ruang pribadi tuan Malik.” Nirmala yang semula fokus memperhatikan betapa megahnya langit-langit rumah itu, kini teralihkan dan fokus pada sebuah pintu ganda berukuran besar di hadapannya. Handoko mengatakan itu adalah ruangan pribadi dari Malik, tapi mereka sudah melewati kamar Leria yang sudah pasti menjadi kamarnya Malik. “Ruangan pribadi untuk apa, Pak?” “Untuk apa aja, namanya juga r