Nirmala langsung menarik tangannya yang sempat digenggam secara tiba-tiba oleh Malik. Apa lagi ini? Setelah ngotot minta ingin bicara dan diizinkan bertemu, sekarang Malik malah mengatakan hal yang makin jauh di luar nalar. “Maksud kamu apa?” tanya Nirmala, nada bicaranya meninggi dan membuat Malik sadar akan apa yang baru saja dikatakannya. Malik menarik tangannya kembali lalu berkata, “Saya … saya mau kamu ikut ke Jakarta untuk—” “Kamu ini bener-bener berani atau nggak tau malu aja? Jangan mentang-mentang kamu ini bos besar jadi kamu bisa seenaknya merintah saya!” “Nirmala, denger, saya punya alasan kuat kenapa kamu harus ikut ke Jakarta sama saya.” “Alasan apa? Untuk membuktikan sama keluarga besar kamu kalau ada perempuan yang mirip banget sama mendiang istri kamu? Atau kamu mau minta saya buat pura-pura jadi istri kamu yang bangkit dari kematian?” Malik menahan napas dan sejenak tak tahu apa yang harus dia katakan; tapi dia merasa dia perlu membawa Nirmala bersamanya. Malik
Setelah membuat heboh orang-orang dengan keputusannya, Nirmala memutuskan untuk berangkat ke Jakarta keesokan harinya—bersama Malik.Apa yang dia lakukan tentu membuat orang-orang terkejut; terlebih kedua orang tuanya dan Hendri Tapi Nirmala tidak memiliki pilihan lain sejak Malik mengancamnya dengan nasib orang-orang desa. Daripada orang-orang desa menjadi korban atas keegoisan Malik, lebih baik Nirmala ikuti dulu apa keinginan lelaki itu.Saat ini Nirmala sedang dalam perjalanan, dan dia cukup penasaran kenapa dirinya malah berakhir berada di mobil yang sama dengan Malik. Padahal dia akan bekerja sebagai pembantu.“Pak Malik,” panggil Nirmala setelah beberapa saat bimbang untuk bicara lebih dulu.“Iya?”“Saya cuma bakal kerja sebagai pengasuh anak Bapak, kan?”Malik terdiam lalu menatap ke luar mobil dan berkata, “Ya ... satu tahun sebagai ibu susu udah cukup.”“Ibu susu? Maksudnya saya suruh menyusui juga?” tanya Nirmala dengan kaget.“Kalau bisa,” jawab Malik asal, meski begitu Nir
BRAK! Malik terkejut saat pintu kamarnya dibuka dengan sangat keras, dan saat melihat siapa yang datang--rasanya seperti dia sudah bisa melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. "Malik!" Leria mendekati sang suami, dengan raut bingung, kesal, kecewa yang berpadu satu—tak mudah dijelaskan dengan kata-kata. "Apa ini, Malik? Kenapa kamu bawa pulang perempuan itu?" "Aku sudah bilang 'kan kalau dia bukan Navia, aku sudah mastiin itu jadi jangan marah-marah seka—" "Gimana bisa aku bersikap tenang seperti yang kamu harap? Kamu ngerti apa yang kamu lakuin, nggak, sih?" "Ngerti," jawab Malik, singkat dan tegas di depan wajah Leria yang tegang, "dan aku ngerti kalau kamu juga bakal bereaksi seperti ini." "Kalau begitu, kenapa tetep kamu lakuin? Kamu nggak mikir perasaan aku?" "Hah ... aku lakuin semua ini untuk Kamal. Kamu lihat sendiri gimana keadaan dia, kan? Dia lahir sehat, nggak ada kekurangan apa pun. Tapi sejak kematian ibunya, Kamal jadi anak yang rewel banget, sering sakit dan a
Sesuai yang diperintahkan Malik pada kepala pelayan rumahnya yang bernama Handoko itu, Nirmala dibawa untuk melihat kamarnya, kemudian berjalan-jalan untuk mengenal keseluruhan dari rumah itu. Karena jalan-jalan dan pengenalan singkat itu juga, Nirmala jadi mengetahui kalau para pembantu dan pengasuh memiliki asrama sendiri. Ada bagian rumah yang dikhususkan untuk tempat tinggal para pekerja. Di sana ada beberapa kamar, ada dapur dan ruang santai sendiri. Tampaknya menjadi pembantu di rumah itu bukanlah hal yang buruk dengan fasilitas sebaik ini, terang saja—Malik adalah orang kaya. “Nirmala, ini ruang pribadi tuan Malik.” Nirmala yang semula fokus memperhatikan betapa megahnya langit-langit rumah itu, kini teralihkan dan fokus pada sebuah pintu ganda berukuran besar di hadapannya. Handoko mengatakan itu adalah ruangan pribadi dari Malik, tapi mereka sudah melewati kamar Leria yang sudah pasti menjadi kamarnya Malik. “Ruangan pribadi untuk apa, Pak?” “Untuk apa aja, namanya juga r
“Malik?” Malik tersentak kecil ketika ia mendengar Leria memanggil namanya, sekaligus memergokinya sedang saling bertatap mata dengan Nirmala yang tadi sempat menjadi topik perdebatan mereka. “Kamu nggak jadi ke kantor?” tanya Leria, sedikit dengan tatapan menyindir sebab Malik tadi terlihat ingin cepat-cepat meninggalkan rumah, tapi sekarang malah seperti memiliki banyak waktu untuk menatap Nirmala sekaligus mengenang mendiang istri pertamanya. Terang saja Malik bisa membaca apa yang Leria pikirkan saat ini, sehingga dia mencari alasan. “Aku mau lihat Kamal sebentar.” “Tumben …,” jawab Leria, “biasanya kamu nggak pernah sepeduli ini sama anak-anak karena pekerjaanmu itu. Kenapa sekarang sempet untuk ngelihat Kamal? Apa karena dia lagi bersama ‘ibunya’?” Malik tahu itu sebuah sindiran, sebab itu ia menarik Leria untuk menjauh sejenak dari kamar Kamal dan orang-orang yang sempat mendengar pembicaraan mereka. “Kamu ini ngomong apa? Memang nggak boleh aku ngelihat anakku sendiri seb
Saat itu Nirmala baru saja menidurkan Kamal ketika ia melihat Risma memperhatikannya dari pintu dengan raut terenyuh.“Siang, Bu Risma,” sapa Nirmala, mendekati Risma.Saat melihat Nirmala, Risma ingin menangis. “Rasanya saya seperti ngelihat Navia lagi,” ujar wanita paruh baya itu, mengusap lengan Nirmala lembut.Nirmala terlihat canggung, lagi-lagi Navia yang dibahas.“Maaf, ya, Bu, karena wajah saya mirip sama mendiang nyonya Navia.”“Kenapa kamu minta maaf?”“Karena muka saya mirip sama beliau, keseimbangan rumah ini jadi sedikit kacau. Apalagi buat nyonya Ria, saya nggak bisa bayangin gimana perasaan beliau waktu ngelihat saya pertama kali.”Risma tertawa kecil, mengajak Nirmala untuk duduk di sofa yang ada di kamar Kamal.“Saya harap kamu nggak terlalu memasukkan hati semua yang Leria bilang ke kamu. Dia memang perempuan yang agak posesif, dari dulu begitu,” ujar Risma, menggenggam tangan Nirmala. “Saya juga harap kamu bisa memaklumi kalau bakal banyak orang yang kaget waktu nge
Dengan langkah tegap dan amarah meluap, Leria mendorong kasar pintu ruang kerja Malik.“Malik!”Tak heran Malik yang sedang fokus bekerja, sedikit tersentak oleh suara lantang Leria.“Apa-apaan ini, Malik? Aku baru aja dapet telepon dari ibu kalau proyekmu di Bandung itu ditangguhkan?”Seakan sudah menebak reaksi Leria akan seperti ini, Malik melirik ke arah lain sembari menghela napas.“Jawab aku, Malik!”“Iya, aku memang nahan proyek itu untuk beberapa tahun ke depan.”“Apa?”Malik menjawab lebih santai. “Kalau investor mau ambil uang mereka, aku bakal balikin sesuai yang mereka tanam. Aku udah bicarain ini sama para investor semalem, dan mereka nggak ada yang keberatan.”“Tapi ibu—”“Ya, kecuali ibu kamu.”Leria tidak menyangka dan tidak habis pikir akan tindakan Malik, yang bahkan tidak berdiskusi dulu dengannya.“Tapi kenapa tiba-tiba begini, Malik? Itu bukan proyek murah! Gimana bisa kamu buang kesempatan emas begini? Apa alasannya?” tanya Leria.“Alasannya karena sengketa tanah
Malik menghampiri Leria dengan tatapan kesal.“Kenapa kamu teriak? Kamu lupa kalau di rumah masih ada mama?”“Memang kenapa? Ini rumah kita, hal yang wajar kalau kita bertengkar di rumah kita sendiri. Kalau mama kamu nggak suka, kamu bisa anterin dia pulang sekarang! Aku rasa bakal lebih baik untuknya kalau nggak ngelihat mukaku!”Malik tercengang, tapi dia menahan amarahnya. “Leria, jangan bersikap kurang ajar sama mama aku. Dia ibu mertua kamu.”“Dan ibuku juga ibu mertuamu, tapi kamu malah ngomongin hal yang buruk tentang dia bahkan di depan anaknya sendiri!”Malik menghela napas, mengusap wajahnya seraya berharap Tuhan memberinya lebih banyak kesabaran. "Aku mohon jangan mulai pertikaian baru hari ini, Leria. Aku harus pergi ke kantor sekarang." Malik menggenggam bahu Leria sejenak, berharap perempuan itu akan tenang. Tapi saat dia akan pergi, Leria kembali menahannya. "Kamu mau kabur lagi? Aku belum selesai bicara sama kamu. Jangan jadiin kantor sebagai alesan kamu menghindari