 ログイン
ログインKepala Aksa terasa berat, seperti baru saja dihantam benda keras. Dunia berputar pelan, seolah kesadarannya ditarik paksa dari jurang yang dalam. Bau garam dan obat antiseptik bercampur di udara, menusuk hidungnya. Di sela-sela dengung aneh di telinganya, samar terdengar bisik-bisik lirih suara perempuan.
“Dia tampan sekali…”
“Kalau dia mau denganku, gratis pun tak apa.”
“Jangan-jangan dia lelaki yang diturunkan dari surga…”
Suara tawa kecil menyusul, ringan tapi menusuk seperti duri halus. Aksa perlahan membuka mata. Cahaya putih menyilaukan menembus pandangannya yang masih buram. Dalam kabut kesadarannya, ia melihat tiga sosok perempuan muda berdiri di sisinya. Mereka mengenakan pakaian minim yang menonjolkan lekuk tubuh, menatapnya dengan tatapan genit dan senyum menggoda.
Ia tersentak, tubuhnya menegang. “Siapa kalian? Di mana aku?” suaranya serak, seperti belum digunakan berhari-hari.
Belum sempat ada jawaban, pintu ruangan terbuka pelan. Seorang perempuan berusia sekitar empat puluh tahun masuk dengan langkah tenang namun berwibawa. Rambutnya disanggul rapi, bibir merah darah, dan busana satin keemasan yang ia kenakan berkilau terkena cahaya lampu. Matanya tajam seperti mata kucing yang sedang menilai mangsanya.
“Kamu sudah sadar!” ucapnya dengan nada lega, namun ada nada mengukur di balik suara itu. Ia lalu menoleh ke arah tiga gadis itu. Tatapannya berubah dingin dalam sekejap.
“Ngapain kalian di sini? Cepat keluar! Kalian pikir dia tamu kita?”Tiga gadis itu langsung tersentak. Mereka saling pandang, lalu berjalan keluar sambil menoleh sekilas ke Aksa. Tatapan mereka masih penuh rasa kagum, seolah enggan beranjak dari wajah pria yang baru sadar itu. Salah satu bahkan sempat berbisik, “Sayang banget…” sebelum pintu tertutup perlahan.
Hening. Yang tersisa hanya suara detak jam dinding dan desau angin dari jendela yang setengah terbuka.
Aksa bangkit perlahan, duduk di tepi ranjang. Kakinya terasa lemah, tapi pikirannya mulai bekerja cepat. Potongan-potongan ingatan berkelebat liar di kepalanya: ombak besar yang bergulung, teriakan orang-orang, kilatan cahaya seperti ledakan, dan rasa dingin yang menusuk tulang. Setelah itu gelap. Hanya gelap yang panjang dan sunyi.
“Tasku…” gumamnya pelan, setengah tidak yakin apakah ia sedang bermimpi atau tidak.
Perempuan itu menoleh dan menunjuk ke sudut ruangan. “Maksudmu tas hitam itu?”
Aksa mengikuti arah telunjuknya. Di sana, tas hitam lusuh miliknya tergeletak di lantai, lembap namun utuh. Ia segera mengenalinya. Tas itu berisi semua yang ia punya di dunia ini. Perempuan itu membungkuk, mengambilnya, lalu menyerahkannya padanya.
“Saya yang menemukan kamu di pantai setelah gempa dua hari lalu,” katanya datar. “Pulau di tengah laut sana tenggelam. Katanya, tak ada satu pun yang selamat.”
Aksa menatapnya lekat. Pulau tenggelam? Gempa? Tidak, bukan itu yang ia ingat. Dalam kepalanya, peristiwa itu tidak tampak seperti bencana alam. Ada sesuatu yang lain. Kilatan logam, suara mesin, dan rasa aneh seperti disedot ke dalam kekosongan. Ia yakin ada yang disembunyikan.
Sorot mata perempuan itu dingin tapi penuh rasa ingin tahu, terasa begitu familiar.
Dan tiba-tiba, potongan kenangan menghantamnya kuat sekali hingga napasnya tercekat.Wajah perempuan itu. Ya. Ia mengenal wajah itu. Nyonya Rani. Sang mucikari.
Dulu, saat Aksa dijadikan pesuruh oleh Tristan Valero dan teman-teman kaya rayanya, ia pernah ikut malam-malam gila mereka di pantai. Tristan yang mabuk berat waktu itu memaksa Aksa ikut, hanya karena ia butuh seseorang membawakan tasnya yang berat.
Di tempat itulah Aksa pertama kali melihat perempuan ini. Dialah yang menyediakan para gadis muda berkulit mulus dan bertubuh menggoda bagi para pria berduit. Ia berjalan di antara mereka seperti ratu malam, tersenyum sinis, seolah dunia ini miliknya.
Saat itu, Aksa hanya berdiri di belakang, canggung, menahan malu. Ia masih ingat jelas bagaimana para gadis berebut mendekati Tristan, memujanya, menyentuh pipinya, mencium tangan yang bau alkohol. Bagaimana Tristan dengan pongah menoleh padanya dan berkata dengan tawa mengejek,
“Kau mau juga, Aksa? Pilih satu. Aku bayar untukmu.”
Namun saat Tristan menunjuk salah satu gadis dan berkata, “Temani dia,” gadis itu malah menatap Aksa dari ujung kepala hingga kaki dan menepis tangan Tristan dengan jijik.
“Aku nggak mau. Lihat mukanya… jelek banget. Maunya kakak aja.”
Suara tawa mereka malam itu seperti cambuk di telinga Aksa. Bahkan kini, gema tawa itu masih terdengar jelas. Ia bisa merasakan panas di wajahnya, rasa malu yang menelannya hidup-hidup. Malam itu, ia berjanji tak akan pernah lagi menaruh hati pada dunia orang-orang seperti mereka.
Dan kini dunia seperti mempermainkannya. Gadis-gadis yang dulu menolak dan menertawakannya, kini memujanya. Mereka rela tanpa bayaran, rela hanya untuk menyentuhnya. Namun di balik kekaguman itu, Aksa justru merasa ngeri.
Ada sesuatu yang salah.
Sesuatu yang tidak wajar dari semua ini.Ia menatap tangannya, lalu wajahnya di cermin besar di sisi ranjang. Wajah yang menatap balik bukan wajah yang ia kenal. Rahang tegas. Kulit bersih tanpa noda. Tatapan tajam penuh karisma. Wajah itu tampak… sempurna. Terlalu sempurna. Seperti hasil ciptaan, bukan takdir.
“Siapa aku sebenarnya?” gumamnya nyaris tanpa suara.
Perempuan itu, Nyonya Rani masih memperhatikannya dengan mata penuh perhitungan.
“Aneh sekali,” katanya pelan. “Seperti aku pernah melihatmu sebelumnya. Tapi di mana ya…”Nada suaranya tidak sekadar heran, ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya. Mungkin rasa takut. Mungkin rasa bersalah. Atau mungkin… pengakuan.
Aksa menegakkan tubuhnya. “Terima kasih sudah menolong saya,” ucapnya datar, mencoba menjaga wibawa di tengah kebingungannya. “Tapi saya harus pergi.”
Ia meraih tasnya dan melangkah cepat ke pintu. Lantai marmer yang dingin berderit di bawah langkahnya.
Begitu membuka pintu, tiga gadis tadi langsung mendekat. Mereka tertawa kecil, berebut menarik lengannya, aroma parfum mereka menusuk hidung.
“Ayo, main sama aku, Kak.”
“Cuma sebentar aja…”
“Gratis, kok. Karena kamu ganteng banget.”
Aksa menatap mereka dalam-dalam. Dalam wajah-wajah muda itu, ia melihat bayangan masa lalunya: penghinaan, tawa, dan luka lama yang belum sembuh. Ia bukan lagi si pesuruh miskin yang dulu ditertawakan, tapi bahkan dalam tubuh barunya yang tampan dan kuat ini rasa malu itu tetap tinggal.
Ia menepis tangan mereka perlahan. “Maaf,” katanya lirih tapi tegas. “Aku bukan lelaki seperti Tristan Valero.”
Suara itu membuat mereka terdiam sejenak. Ada sesuatu dalam nada Aksa, bukan kemarahan, tapi kepastian yang tak bisa diganggu. Ia melangkah pergi, meninggalkan rumah besar itu tanpa menoleh lagi.
Begitu Aksa melangkah keluar dari bangunan itu, langkahnya terhenti begitu melihat lima lelaki berpostur besar berdiri menghadang di depan jalan. Semuanya mengenakan setelan jas hitam dengan kemeja putih rapi, ekspresi mereka dingin dan terlatih. Tatapan mata mereka tajam, bukan tatapan orang biasa.
Aksa menegakkan tubuh, bersiap. Insting bela dirinya langsung aktif. “Siapa kalian?” suaranya serak tapi tegas.
Salah satu dari mereka maju satu langkah. Tubuhnya tegap, rambutnya disisir rapi ke belakang.
“Tenang, Tuan Muda. Kami bukan penjahat. Kami datang untuk menjemput Anda.”
Aksa mengernyit. “Tuan Muda? Aku bukan seseorang yang pantas dipanggil begitu.”
Tatapan matanya menyipit curiga. Pikirannya langsung kembali pada peristiwa di laboratorium. Bisa saja mereka bagian dari orang-orang yang menculiknya dan yang telah mengubah wajah dan tubuhnya tanpa izin. Ia menegakkan kuda-kuda, dan tanpa peringatan, bergerak cepat.
Satu tendangan menghantam dada lelaki di sebelah kanan, dua pukulan cepat melumpuhkan yang di kiri. Dalam beberapa detik, empat orang sudah tumbang, hanya menyisakan satu pria berdiri.
Pria itu tetap tenang, menatap Aksa tanpa rasa takut.
“Kami tidak datang untuk mencelakai Anda,” ujarnya datar. “Kami datang untuk menjemput Tuan Muda karena Anda adalah anak yang hilang dari Tuan Besar Damar Pramudita.”
Langkah Aksa terhenti. Napasnya memburu.
“Apa katamu? Damar Pramudita?”
“Benar, Tuan Muda. Tuan Damar Pramudita, pengusaha terkaya di kota ini. Beliau telah mencari Anda selama bertahun-tahun.”
Aksa terdiam, pandangannya kosong. Nama itu terasa asing namun entah kenapa menimbulkan getaran aneh di dadanya.
“Tidak mungkin,” gumamnya perlahan. “Kalian pasti salah orang… atau sedang mengada-ada.”

“Oh iya… iya! Betul juga, maaf ya, Nak Beni,” katanya cepat-cepat, pura-pura salah tingkah. “Tapi bagaimana pun kamu itu juga cucu Nenek... eh, maksud Nenek, teman cucu Nenek.”Aksa memijat telinganya yang masih merah, menatap neneknya sambil cemberut. “Iya, iya, Nek. Tapi lain kali jewernya jangan kekencengan.”Dita menahan tawa, menutup mulutnya dengan tangan. Sang nenek ikut terkekeh kecil, pura-pura batuk untuk menutupi.Ruangan itu kembali hangat. Matahari sore mengintip dari sela tirai, membiaskan cahaya lembut ke wajah mereka bertiga.Dan untuk sesaat, luka, darah, dan pertarungan tadi terasa seperti mimpi yang perlahan memudar, menyisakan tawa kecil dan rasa hangat yang sulit dijelaskan.Ketukan pelan terdengar di pintu kamar. Tok… tok… tok…Nenek yang duduk di kursi dekat ranjang segera berdiri dan membukanya. Di balik pintu, berdiri Pak Surya, mengenakan jas hitam rapi seperti biasa, wajahnya penuh kecemasan.“Nenek, biar saya bicara sebentar dengan Tuan Muda,” ucapnya sopan
Baron berusaha berdiri, tubuhnya goyah tapi matanya masih menyala. Ia mengangkat tinjunya tinggi, napasnya berat.“Kau… benar-benar membuatku… marah, bocah!”Ia berlari, tinjunya mengayun ke arah kepala Aksa. Udara bergetar oleh kekuatannya.Namun Aksa tidak menghindar.Dengan refleks yang tajam, ia menangkap tangan Baron di udara, memutarnya ke bawah, lalu melangkah cepat ke depan dan menghantam kepala Baron dengan tinjunya sendiri, keras sekali, lebih keras dari semua pukulan sebelumnya.Braak!Suara benturan itu begitu keras hingga warga menjerit serempak. Darah menyembur dari mulut Baron Taji.Tubuh besar itu bergoyang sesaat, lalu jatuh menghantam aspal dengan bunyi berat. Debu naik ke udara.Sunyi.Benar-benar sunyi.Tak ada yang bergerak selama beberapa detik.Hanya napas Aksa yang terdengar, kasar, berat, tapi hidup. Ia berdiri di tengah jalan dengan tubuh penuh luka dan darah di tangannya.Warga menatap, sebagian menutup mulut, sebagian masih merekam dengan gemetar.Pasukan p
Sorak dan teriakan warga mulai membuncah di pinggir jalan. Sebagian memegang dada, sebagian menutup mulut, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat.Aksa, anak muda yang tadi terlempar oleh pukulan Baron Taji hingga memuntahkan darah, kini berdiri lagi sedikit goyah, tapi tegak.“Dia gila…” bisik seorang bapak paruh baya di antara kerumunan.“Gila tapi keren!” sahut pemuda lain sambil menahan napas, ponselnya masih mengarah ke tengah jalan.Baron Taji berdeham keras, otot-ototnya menegang seperti tali baja yang siap meletus. “Kau benar-benar cari mati, bocah.”Suara tawanya berat, namun di baliknya ada nada yang berbeda, bukan sekadar amarah, melainkan rasa kagum yang samar.Aksa hanya mengusap darah di bibirnya. “Aku tidak berkelahi untuk mati,” katanya pelan, “aku berkelahi untuk berdiri.”Kata-kata itu seperti menyiram bensin ke bara suasana. Warga yang menonton serentak terdiam. Bahkan hembusan angin pun terasa tertahan.Baron menggeram dan maju dengan langkah besar. Asp
Namun sebelum Aksa sempat maju lebih dekat, suara deru motor mendadak menggema dari kejauhan. Lampu-lampu putih menyala bersamaan, menyilaukan mata siapa pun yang menatap.Beberapa motor berhelm putih meluncur cepat dan berhenti melingkari Aksa. Di dada mereka terpampang logo kecil berbentuk kilatan perak.Warga mundur, terkejut.Baron Taji mengerutkan kening. “Pasukan pelindung…?” gumamnya. "Siapa sebenarnya anak muda ini?"Salah satu dari mereka melangkah maju, mengangkat senjata laras pendek yang bersinar dingin di bawah lampu motor. Suaranya berat dan terlatih, “Jauhi Tuan Muda kami, atau peluru ini akan menembus dadamu.”Baron menatap mereka sebentar, lalu tertawa keras, suaranya memantul di antara pepohonan.“Hahaha! Peluru? Tak akan ada peluru yang mampu menembus kulitku, bocah!”Ia menepuk dadanya, menantang. Namun sebelum pasukan itu sempat bereaksi, Aksa mengangkat tangannya pelan. Tatapannya tenang, namun suaranya tegas seperti bilah baja yang baru diasah.“Menyingkirlah. K
Sopirnya, Pak Darsan, hampir menahan. Bibirnya sudah terbuka, tapi kata-kata itu urung keluar. Ada sesuatu di tatapan Aksa yang membuatnya membeku di tempat.Itu bukan tatapan seorang mahasiswa biasa, bukan tatapan anak muda yang belum pernah mencium bahaya. Itu tatapan seseorang yang telah melihat maut, menatapnya tepat di mata, dan masih mampu berdiri tegak setelahnya.Aksa membuka pintu mobil. Angin masuk, membawa bau tanah basah dan bunyi serangga yang menyelinap di antara pepohonan. Suara pintu tertutup menggema di jalan sunyi itu, seperti tanda dimulainya sesuatu yang lebih besar dari sekadar perkelahian.Baron Taji melangkah maju. Suaranya berat, parau, seperti guruh yang menurunkan ancaman sebelum badai.“Jadi ini bocah yang katanya dapat uang dari pencucian uang itu?”Aksa tersenyum tipis, nyaris tidak terlihat. “Ternyata kabar burung memang cepat.”Baron terkekeh, tapi di balik tawa itu tersimpan nada penghinaan. “Kau kelihatan rapi, tapi jangan kira jas itu bisa menyelamatk
Langkah Aksa terhenti mendadak di koridor fakultas yang mulai ramai oleh mahasiswa. Di ujung lorong, berdiri Saka dengan tangan bersedekap, menatapnya dengan senyum yang lebih mirip ejekan. Aksa menghela napas pendek, menurunkan pandangan sebentar, lalu melangkah ke samping.“Kalau nggak ada urusan penting, minggir. Saya mau ke kelas,” ucapnya datar.Saka justru bergeming. Tatapan sinisnya menyapu dari ujung kepala sampai sepatu Aksa yang berkilat. “Rupanya selama ini kamu cuma sok kaya aja, ya. Uang yang kamu pamerin itu… belum jelas sumbernya dari mana.”Beberapa mahasiswa yang lewat melambat, pura-pura mencari sinyal tapi sebenarnya ingin mendengar. Aksa menatap Saka dingin, rahangnya mengeras.“Jadi ini pekerjaan kamu?” tanyanya pelan tapi tajam. “Kamu yang nyebarin rumor itu?”Saka tersenyum tipis. “Nggak perlu menuduh siapa pun. Toh, kebenaran bakal kelihatan juga tanpa perlu aku ngomong apa pun.” Ia melangkah lebih dekat, suara rendahnya menekan setiap kata. “Yang penting sekar








