Home / Urban / KEMBALINYA SANG PEWARIS TRILIUNER / 2. Utusan dari Tuan Besar

Share

2. Utusan dari Tuan Besar

Author: Hakayi
last update Last Updated: 2025-10-29 17:48:30

Aksa menatap pria di depannya dengan mata lebar, napasnya terengah. Suara di sekitar seakan lenyap, hanya gema dari kalimat yang baru saja diucapkan pria itu yang terus menggema di kepalanya.

“Kau… anak kandung Damar Pramudita yang hilang.”

Kata-kata itu seperti pisau yang menembus benaknya. Tidak mungkin. Ia hanyalah pemuda miskin dari sudut sempit kota, yang hidupnya diisi oleh kerja keras, ejekan, dan kesepian. Ia tidak percaya.

Yang di hadapannya ini pasti salah orang, atau lebih parahnya mereka adalah bagian dari komplotan yang menculiknya dari jalanan malam itu, saat ia sedang mengantarkan barang pesanan Saka.

Bayangan itu kembali menghantam pikirannya: teriakan, jeritan, karung yang menutupi kepalanya, dan jarum suntik yang membuat tubuhnya kehilangan kendali. Ia menggigil, menatap pria itu penuh curiga.

“Aku ini cuma orang miskin,” katanya getir. “Anak siapa pun yang kalian sebut itu bukan urusanku. Kalian yang menculikku, bukan? Mau apa kalian sebenarnya?!”

Pria di depannya menunduk sedikit, dengan suara tenang namun berwibawa.

“Tenang, Tuan Muda. Kami tidak bermaksud menyakiti. Kami hanya menjalankan tugas. Nanti semua akan dijelaskan.”

Namun Aksa tidak bisa tenang. Kepalanya penuh dengan pertanyaan dan kenangan pahit yang berloncatan tanpa arah.

Ia teringat masa lalunya. Masa di mana harga diri dipertaruhkan hanya karena miskin dan wajah yang tidak menarik.

Sejak awal kuliah, Aksa selalu jadi bahan olok-olok. Wajahnya jelek, kulitnya gelap, dan pakaiannya tak pernah baru. Di kampus yang dipenuhi anak pejabat dan pengusaha, ia seperti noda di atas kertas putih.

Dan di antara mereka semua, ada satu nama yang selalu menghantuinya: Tristan Valero, anak konglomerat pemilik yayasan kampus, yang hidupnya penuh dengan kemewahan dan kesombongan.

Ironisnya, Aksa justru berhutang budi padanya.

Beberapa tahun lalu, Aksa menolong Tristan yang dikeroyok orang di jalan. Luka di tangan Aksa masih meninggalkan bekas, namun bukan itu yang membekas di hatinya, melainkan kebaikan singkat yang ia terima setelahnya. Tristan memberinya beasiswa penuh di kampus impian.

Tapi ternyata, itu bukan hadiah. Itu adalah rantai.

Sejak hari pertama kuliah, Aksa menjadi “bayangan” Tristan. Mengambilkan kopi, mencuci mobil, menulis laporan tugas, bahkan menutupi kesalahan Tristan pada dosen. Semua dengan alasan: “Tanpa aku, kamu bukan siapa-siapa.”

Aksa menelan semua penghinaan itu demi satu hal: masa depan. Namun ia tidak pernah tahu bahwa beban itu akan membuatnya nyaris kehilangan harga diri.

Suatu hari, Tristan menyuruhnya membeli buket bunga untuk gadis pujaannya bernama Aluna Sagara.

Namun Aksa salah membawa bunga. Tristan ingin mawar merah, tapi Aksa malah membeli bunga matahari.

Kesalahan kecil, tapi cukup untuk mengundang badai.

Tanpa ampun, Tristan menyeretnya ke belakang gedung kampus. Pukulan mendarat bertubi-tubi di wajah dan perutnya.

“Dasar anak miskin tak berguna! Sudah jelek, nggak bisa disuruh bener!”

“Kalau bukan karena aku, kamu udah disapu keluar dari kampus ini!”

Aksa hanya diam. Ia tahu melawan hanya akan memperburuk segalanya. Namun luka di wajahnya tak sepedih luka di hati, terutama ketika melihat Aluna lewat, menyaksikan semuanya, lalu berpaling seolah tak mengenalnya.

Aluna.

Gadis yang diam-diam ia kagumi sejak awal semester. Anggun, pintar, dan lembut. Tapi ketika kabar bahwa Aksa menyukainya tersebar, semuanya berubah.

Ia menjauh. Menolak menatap, bahkan menolak sapaan.

Sore itu, Aksa mencoba menegurnya di halaman kampus. Namun jawaban yang ia terima bukan sekadar penolakan.

“Jangan pernah muncul lagi di depan aku! Kamu cuma bikin malu! Mana mungkin aku suka sama cowok miskin dan jelek kayak kamu?!”

Tamparan keras mendarat di pipinya. Semua orang yang lewat menatap.

Saat itu, Aksa tahu ia tidak hanya kehilangan cinta, tapi juga sisa harga dirinya yang rapuh.

Dan kini, di tempat asing ini, pria di hadapannya bilang bahwa ia adalah anak seorang konglomerat bernama Damar Pramudita.

Aksa tertawa getir. “Kalian pikir aku bakal percaya cerita murahan kayak gini?”

Ia melangkah mundur, mencoba mencari jalan keluar. Tapi dua pria berpakaian hitam menghadangnya.

“Jangan halangi aku! Aku harus ke rumah sakit! Nenekku, aku nggak tahu dia masih hidup atau tidak!”

Aksa menyerang lebih dulu. Gerakannya cepat, terlatih.

Sejak kecil ia belajar bela diri, dan meski lama tak dipakai, tubuhnya masih mengingat tiap jurus.

Tinju pertamanya menghantam perut pria pertama, membuatnya terhuyung.

Keringat dingin membasahi pelipis Aksa. Ia bisa merasakan napasnya memburu, tapi pikirannya tetap fokus. Setiap langkah kakinya menghantam tanah dengan mantap, setiap gerakan diatur oleh naluri bertahan hidup.

Suara debuman tubuh lawan yang jatuh berpadu dengan desis napasnya sendiri. Ia teringat wajah neneknya, lemah di ranjang rumah sakit, mendorong semangatnya untuk tidak menyerah.

Tangan kanannya mengepal lagi, menghantam dada pria kedua yang mencoba bangkit, lalu menangkis pukulan berikutnya dengan siku. Setiap serangan bukan hanya amarah, tapi juga ketakutan yang meledak menjadi keberanian.

Pria kedua mencoba menahan dengan tangan terbuka, tapi Aksa memutar tubuh dan menendang dadanya keras-keras.

Suara dentuman terdengar lagi.

Dua lagi maju, mencoba menangkap dari belakang, tapi Aksa menunduk, mengguling ke depan, lalu menyikut rahang salah satu sampai terdengar bunyi retak.

Yang terakhir berusaha melindungi diri, tapi Aksa memutar tangan lawannya dan menjatuhkannya ke lantai. Dalam hitungan detik, empat pria tumbang, terengah, hanya mampu menahan rasa sakit tanpa sempat membalas.

Aksa berdiri tegak, dada naik turun cepat.

“Kalau kamu nggak mau minggir,” katanya tajam, “aku bakal buat kamu seperti mereka.”

Pria yang pertama bicara tadi melangkah maju perlahan, tanpa ancaman. “Nenek Tuan Muda sudah aman,” katanya tenang. “Beliau sudah dioperasi dan kini sedang istirahat di rumah.”

Aksa menatapnya tajam. “Bohong! Dari mana kau tahu?”

Pria itu merogoh saku jasnya, mengambil ponsel, lalu menunjukkan video: sosok nenek tua sedang menyapu teras rumah, dengan senyum lemah di wajahnya. Rumah itu benar-benar rumahnya.

Rekaman itu membuat dada Aksa sesak. Air matanya hampir jatuh.

“Bagaimana… bisa?”

“Kami memastikan beliau dirawat dengan baik,” jawab pria itu. “Kami hanya ingin menjemput Tuan Muda kembali ke keluarga yang seharusnya.”

Aksa menatap layar ponsel itu lama. Hatinya berperang antara ingin percaya dan takut ditipu lagi. Tapi nalurinya mengatakan, ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar kebohongan di sini.

“Baik,” katanya akhirnya, suaranya bergetar. “Aku ikut kalian. Tapi kalau kalian bohong, aku pastikan kalian menyesal.”

Pria itu mengangguk hormat. “Kami tidak akan mengecewakan Anda, Tuan Muda.”

Dua pria yang sempat jatuh kini berdiri lagi, menunduk sopan.  Mereka menuntuk Aksa ke mobil yang sejak tadi menunggu.

Di depan, mobil hitam mengilap sudah menunggu dengan pintu terbuka.

Aksa berhenti sejenak sebelum masuk. Ia menoleh ke langit. Dalam hati ia berbisik, Nek, tunggu aku. Aku akan cari tahu siapa sebenarnya aku ini.

Mobil melaju pelan meninggalkan pelabuhan kecil itu, membawa Aksa menuju masa depan yang sama sekali belum ia kenal.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KEMBALINYA SANG PEWARIS TRILIUNER   84. Persiapan Grand Opening

    Baron Taji meletakkan ponsel di meja kayu yang sederhana, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Pembicaraan dengan Aksa barusan membuatnya semakin gelisah, namun ada sedikit rasa lega yang menyertai pikiran-pikirannya.Tiba-tiba, suara pintu yang terbuka mengagetkan Baron. Dia langsung menoleh, dan dengan cepat, jantungnya berdegup kencang. Dari kejauhan, berdiri seseorang yang sudah lama tidak ia temui, seseorang yang menatapnya dengan tatapan penuh makna—Darren."Tuan Muda?" ucap Baron Taji dengan suara yang sedikit gugup, suaranya hampir tercekat. Darren, pria yang selama ini menjadi sosok yang harus ia hormati dan takuti, berdiri dengan sikap santai, seolah tidak ada yang salah.Tersenyum tipis, Darren melangkah maju, matanya mengamati sekitar rumah kecil tempat Baron tinggal, rumah yang jauh dari kesan mewah seperti yang biasa didiaminya dulu.Baron Taji menelan ludah, mencoba untuk tetap tenang meskipun kecemasan semakin membanjiri pikirannya. Apakah Darren mendengar pembicaraa

  • KEMBALINYA SANG PEWARIS TRILIUNER   83. Mulai Bergerak

    Ruangan kerja Rafael terasa dingin meskipun hari sudah menjelang sore. Rafael, mengenakan kemeja mahal yang disetrika sempurna, berdiri di depan jendela, memandang ke kejauhan Kota Jayakarta. Di depannya, duduk anggun Nyonya Rukmini, ibu tiri Aksa, yang kini menjadi mitra konspirasi utamanya.Nyonya Rukmini menyesap teh mahalnya, matanya meneliti Rafael, memastikan dia sepenuhnya fokus."Aku datang untuk memberikan update," ujar Nyonya Rukmini, suaranya pelan dan berwibawa, namun membawa nada penuh kemenangan. "Soal Baron Taji. Dia sudah aman."Rafael, tanpa berbalik, mengangguk perlahan. "Aman bagaimana, Rukmini?""Dia sudah dipindahkan ke rumah peristirahatan yang kita siapkan. Jauh di pinggiran. Akses komunikasinya kita batasi, dan semua kebutuhannya diurus oleh anak buahku yang paling loyal. Dia tak akan bisa menghubungi siapa pun, apalagi Aksa." Nyonya Rukmini tersenyum puas. "Anggap saja dia sedang liburan yang sangat panjang."Rafael akhirnya berbalik. Ekspresi di wajahnya tida

  • KEMBALINYA SANG PEWARIS TRILIUNER   82. Perubahan Kirana

    Pagi itu, di kediaman mewah Pramudita, suasana sarapan di meja makan terasa hangat di permukaan, tetapi dipenuhi aura ambisi dan ketegangan yang kental. Cahaya matahari pagi menembus jendela kaca setinggi langit-langit, menerangi Darren, Nyonya Rukmini serta kedua adik perempuannya, Kirana dan Nadin, yang duduk mengelilingi meja panjang.Darren, mengenakan kemeja sutra mahal, tampak bersemangat. Di sampingnya, Nyonya Rukmini memegang cangkir teh porselennya dengan anggun, namun sorot matanya yang tajam menunjukkan bahwa pikirannya jauh lebih fokus pada kekuasaan daripada hidangan pagi.Kirana, adik tengah, memulai percakapan sambil mengoleskan selai pada rotinya. Pertanyaan yang ia lontarkan terdengar santai, tetapi memiliki nada menusuk yang tidak biasa."Bagaimana perkembangan kafe kopi Kakak?" tanya Kirana, suaranya tenang, namun pandangannya lurus tertuju pada kakaknya.Darren tersenyum bangga, meletakkan garpunya dengan bunyi denting pelan di atas piring. "Prosesnya berjalan sang

  • KEMBALINYA SANG PEWARIS TRILIUNER   81. Mata-Mata

    Setelah mengakhiri panggilan dengan Pak Surya, Aksa tidak langsung meletakkan ponselnya. Ia masih berada di dalam mobil, hanya beberapa menit dari penthouse-nya. Tugas berikutnya adalah mengamankan mata-mata baru mereka.Aksa menekan kontak speed dial dan menunggu sebentar. Sambungan terangkat."Sangga," panggil Aksa, suaranya tetap tenang namun tegas."Ya, Tuan Muda?" jawab Sangga dari seberang, suaranya terdengar siap siaga."Pastikan Baron Taji tidak membuat kesalahan. Meskipun dia sudah berjanji, dia tetaplah variabel yang tidak bisa dipercaya sepenuhnya," instruksi Aksa, matanya fokus pada lampu lalu lintas di depannya. "Saya ingin kamu tetap mengawasinya dari jauh."Aksa memastikan suaranya terdengar jelas, tanpa ada ruang untuk keraguan."Dan yang terpenting, kamu harus terus berkomunikasi dengannya. Jangan lewatkan satu pun kabar yang dia kirimkan. Laporkan langsung kepadaku jika ada gerakan mencurigakan dari pihak Nyonya Rukmini atau Rafael," lanjut Aksa."Paham, Tuan Muda,"

  • KEMBALINYA SANG PEWARIS TRILIUNER   80. Langkah Selanjutnya

    Udara dingin dan lembap merayap di gudang tua yang pengap. Hanya satu lampu pijar redup yang tergantung di langit-langit, menyorot Baron Taji yang terikat kuat pada sebuah kursi kayu. Wajahnya lebam, pakaiannya kotor.Aksa berdiri diam di depan Baron Taji. Raut wajahnya tak terbaca, matanya tajam memindai ekspresi pria yang kini tak berdaya itu. Aksa sudah mendapatkan pengakuan yang dia butuhkan, tapi kini muncul dilema baru.Setelah beberapa saat berpikir, Aksa menoleh ke arah Sangga yang berdiri tegap di sudut ruangan."Sangga," panggil Aksa pelan."Ya, Tuan Muda?"Aksa menatap Baron Taji sekali lagi, lalu kembali ke Sangga. "Lepaskan ikatannya."Sangga tampak terkejut. Pria bertubuh besar itu sedikit memajukan keningnya, tidak percaya dengan perintah yang baru didengarnya."Tuan Muda yakin?" tanya Sangga, memastikan. Suaranya terdengar berat dan penuh keraguan.Aksa tidak berbalik. Tatapannya lurus ke depan, ke arah kegelapan. "Cepat lepaskan sekarang."Sangga mengangguk, menghilan

  • KEMBALINYA SANG PEWARIS TRILIUNER   79. Pengakuan Baron Taji

    Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, suara langkah kaki terdengar, dan pintu terbuka. Aksa muncul di ambang pintu, wajahnya tenang, namun ada kekasaran yang tercermin di matanya. Pistol yang dipegangnya diarahkan langsung ke arah Baron Taji, matanya tajam menatap."Sekarang cepat katakan, siapa dalang di balik niat jahatmu kepadaku selama ini?" suara Aksa terdengar tegas, tanpa kompromi. Ada rasa amarah yang terpendam di dalamnya, sesuatu yang Baron Taji bisa rasakan. Aksa tahu bahwa dengan informasi yang dimilikinya, ia akan lebih dekat dengan jawaban yang sudah lama ia cari.Baron Taji merasa ketakutan. Wajah Aksa yang dingin dan penuh ancaman membuatnya semakin tidak bisa mengontrol dirinya. Dia tahu, jika dia tidak memberikan jawaban yang benar, semuanya akan berakhir buruk. Dia harus mengaku, apapun yang terjadi. Mungkin, hanya dengan bergabung dengan Aksa, ia masih punya kesempatan untuk bertahan hidup.Dengan suara gemetar, Baron Taji berbicara. "Aku akan memberi tahu semuany

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status