Home / Urban / KEMBALINYA SANG PEWARIS TRILIUNER / 3. Perlanan Menuju Kebenaran

Share

3. Perlanan Menuju Kebenaran

Author: Hakayi
last update Last Updated: 2025-10-29 18:13:43

Aksa masih terpaksa berada di dalam mobil mewah itu. Kursinya empuk, aromanya mahal, tapi dadanya terasa sesak. Di sebelahnya, pria berjas yang tadi sempat ia pukul kini duduk menahan perih di pipi. Sementara pria lain yang disebut ketua komplotan tampak fokus mengemudi, matanya tajam memantau jalan.

“Boleh saya pinjam handphone sebentar?” tanya Aksa perlahan pada pria di sampingnya.

Pria itu menatap ke arah sopir, seolah meminta izin. “Untuk apa, Tuan Muda?”

“Saya ingin membuktikan kalau nenek saya masih hidup. Saya hanya ingin mendengar suaranya sebentar.”

Sopir itu berpikir cukup lama, rahangnya mengeras. Lalu akhirnya ia mengangguk. Pria di samping Aksa pun menyerahkan ponsel padanya tanpa berkata apa-apa.

Aksa segera mengetik nomor yang sudah ia hafal di luar kepala. Beberapa detik hening. Lalu terdengar suara gemetar yang sangat ia kenal.

“Halo… siapa ini?” suara neneknya. Terdengar sehat, tapi penuh sedih.

Mata Aksa langsung berkaca-kaca. “Nenek…” bisiknya, tapi ia menahan diri untuk tidak mengucapkan lebih. Hanya suara itu sudah cukup membuktikan semuanya. Ia buru-buru menutup panggilan, menyerahkan kembali ponsel itu dengan napas lega.

“Terima kasih,” katanya lirih.

Namun ketenangan itu tidak bertahan lama. Dari kaca spion, Aksa melihat kilatan lampu dan suara raungan mesin di belakang. Sekumpulan motor dan satu mobil putih melaju cepat, mendekat seperti kawanan serigala memburu.

Tiba-tiba, Dor! Peluru menembus kaca belakang, membuat serpihan beterbangan.

“Menunduk, Tuan Muda!” teriak sang sopir.

Aksa spontan membungkuk, menutup kepala dengan tangan. Pria di sebelahnya langsung memakaikan masker hitam ke wajah Aksa. “Jangan sampai mereka mengenali wajah Tuan Muda!”

“Siapa mereka?!” Aksa berteriak di antara suara tembakan.

“Bukan waktu yang tepat menjelaskannya. Kencangkan sabuk pengaman!” balas sopir. Ia menekan pedal gas dalam-dalam.

Mobil melesat di jalanan pesisir, angin mengamuk, suara tembakan terus memekakkan telinga. Dua motor menyalip dari kanan, menodongkan pistol. Sopir membanting setir, menabrakkan sisi mobil ke salah satu motor hingga terpelanting. Motor lainnya berusaha menyalip dari kiri.

“Pegangan!” teriak sopir lagi. Ia membanting kemudi, mobil berputar setengah lingkaran, menabrak trotoar hingga salah satu penyerang terpental. Namun mobil mereka pun kehilangan keseimbangan. Ban depan tergelincir di pasir basah.

“Rem! Rem!” seru pria di sampingnya.

Sopir berhasil mengendalikan arah, mobil kembali lurus. Tapi suara mesin mengejan keras, tanda mereka sudah rusak. Mobil putih di belakang terus mendekat, kini dari jarak tak lebih dari lima meter.

Salah satu pria berjas di belakang Aksa mengeluarkan pistol, menembak balik. Dua kali letusan terdengar. Salah satu motor meledak, tubuh pengendaranya terguling di aspal. Tapi mobil putih terus mengejar, bahkan menabrakkan sisi depan ke bemper belakang mereka.

“Cepat!” Sopir menurunkan kaca jendela, lalu berteriak ke arah Aksa. “Tuan Muda bisa menyetir mobil?”

Aksa menatapnya kaget tapi mengangguk cepat. “Bisa!”

“Kalau begitu dengar baik-baik.” Sopir merogoh saku jasnya, menyerahkan sebuah kartu nama yang agak lusuh. “Kalau sesuatu terjadi pada kami, bawa mobil ini ke alamat di kartu ini. Temui Pak Surya. Jangan berhenti di mana pun!”

Belum sempat Aksa menjawab, suara tembakan kembali menggema. Salah satu pria berjas terkena peluru di bahu. Ia jatuh, darah mengucur deras. Sopir dan satu orang lainnya langsung keluar dari mobil sambil mengokang senjata.

“Cepat pergi dari sini, Tuan Muda!” teriak sopir dari luar.

Aksa menatap ke belakang, melihat mereka bertarung hidup-mati, bersembunyi di balik pintu mobil sambil membalas tembakan. Tiga penyerang tumbang, tapi jumlah mereka jauh lebih banyak.

Dengan tangan gemetar, Aksa segera berpindah ke kursi depan. Ia menyalakan mesin, menginjak gas sedalam-dalamnya. Ban berdecit keras, mobil melesat pergi meninggalkan suara tembakan yang memantul di udara sore.

Di spion, Aksa masih sempat melihat sopir itu jatuh tersungkur, tapi wajahnya tersenyum lega, seolah tahu bahwa tugasnya sudah selesai.

Mobil terus melaju kencang melewati perbukitan dan tikungan tajam. Napas Aksa memburu, matanya menyapu jalan tanpa arah. Hanya satu tujuan kini: alamat di kartu nama yang tergenggam erat di tangannya.

Ketika jalan mulai sepi, ia menurunkan kecepatan. “Pak Surya…” gumamnya membaca nama di kartu itu. “Siapa sebenarnya orang ini? Dan kenapa mereka rela mati buatku?”

Rasa penasaran bercampur ketakutan. Ia menyalakan GPS di layar mobil, mengetik alamat itu. Sebuah titik muncul, villa besar di tepi pantai bagian utara kota.

Namun nasib belum berpihak padanya. Tak sampai sepuluh menit, mobil tersentak dan perlahan melambat. Jarum indikator bensin menunjuk kosong. Mesin batuk, lalu mati total di tengah jalan yang sunyi.

“Hebat,” desahnya kesal. Ia menatap ke sekitar, hanya ada beberapa rumah kecil dan warung di kejauhan. Tak jauh, seorang tukang ojek duduk di motornya, merokok santai.

Aksa keluar, melambaikan tangan. “Bang, bisa antar saya ke alamat ini? Nanti saya bayar lebih.”

Tukang ojek menatap kartu nama itu, mengangkat alis. “Villa Pramudita? Waduh, jauh banget itu, Mas. Tapi ya udah, naik aja.”

Perjalanan memakan waktu hampir satu jam. Angin sore berubah dingin. Aksa diam saja di boncengan, pikirannya berkecamuk. Ia teringat suara neneknya, suara tembakan, dan wajah para pria berjas yang mungkin kini sudah tak bernyawa.

Motor berhenti di depan gerbang tinggi bercat hitam dengan lambang naga perak di tengahnya. Di sampingnya, dua penjaga berseragam hitam berdiri tegap.

Aksa turun, menyerahkan uang kepada tukang ojek. “Tunggu saya sebentar, Bang. Saya cuma mau memastikan ketemu orangnya.”

Tukang ojek mendengus. “Saya tunggu, tapi jangan lama. Udah jauh banget ini.”

Aksa berjalan ke depan gerbang. Dua penjaga itu segera mengangkat senjata.

“Berhenti! Siapa kamu?” bentak salah satunya.

“Saya… saya diminta menemui Pak Surya,” jawab Aksa hati-hati.

Keduanya berpandangan, lalu tertawa keras. “Pak Surya? Kamu pikir siapa kamu bisa seenaknya minta ketemu beliau?”

Aksa bingung. “Saya hanya disuruh datang ke sini. Tolong sampaikan saja.”

“Tidak ada yang bisa langsung menemui beliau!” ujar penjaga lain. “Dia manajer utama Tuan Besar Doni Pramudita. Hanya orang penting yang bisa masuk!”

“Betul. Dan tampang seperti kamu ini...” penjaga itu menatap Aksa dari ujung kaki hingga kepala, “...lebih mirip pengemis kota daripada tamu penting. Hahaha!”

Tukang ojek di belakang ikut kesal. “Woi, kalau dia nggak punya urusan penting, masa suruh saya antar sejauh ini?!”

“Sudah, Bang,” Aksa menenangkan. “Saya akan bayar nanti.”

Namun para penjaga tetap tertawa mengejek. Salah satunya mendekat, menepuk bahu Aksa keras-keras. “Dengar, Nak. Pergi sebelum kami seret kamu ke luar pagar.”

Aksa mengepalkan tangan, tapi menahan diri. Ia tahu, membuat keributan di tempat seperti ini hanya akan memperparah keadaan.

Tiba-tiba suara berat terdengar dari balik gerbang. “Kalian ini apa-apaan?! Ada tamu penting malah kalian usir!”

Gerbang terbuka sedikit. Seorang pria berjas hitam keluar, wajahnya tegas namun sopan.

Dua penjaga menoleh kaget. “Maaf, Tuan Arif, kami cuma...”

“Cukup!” potong pria berjas itu. “Kalian tahu siapa yang kalian halangi? Ini tamu khusus Pak Surya!”

Dua penjaga itu saling pandang, wajah mereka pucat. “T-tapi, Tuan, dia datang naik ojek…”

“Dan apa salahnya?” Arif menatap tajam. “Kalau Pak Surya tahu kalian mempermalukan tamunya, kalian berdua sudah pasti saya pecat.”

Keduanya langsung menunduk, minta maaf terbata-bata. “Maafkan kami, Tuan…”

Arif menatap Aksa dengan sopan, lalu menepuk dadanya. “Maaf atas kelancangan mereka, Tuan Muda. Silakan ikut saya. Pak Surya sudah menunggu.”

“Tuan Muda?” salah satu penjaga berbisik pelan pada rekannya. “Siapa dia sebenarnya?”

Aksa tidak menjawab. Ia hanya menatap gerbang yang kini perlahan terbuka lebar. Dari celah itu terlihat halaman luas dengan taman rapi dan bangunan megah di kejauhan. Angin laut menyapu wajahnya, membawa aroma garam dan sesuatu yang asing, seperti aroma masa lalu yang menunggu untuk diungkap.

Ia melangkah masuk tanpa menoleh lagi, sementara di belakangnya tukang ojek masih ternganga, belum percaya bahwa pria yang ia antar barusan ternyata dipanggil Tuan Muda.

Gerbang besi perlahan tertutup. Suara besinya menggema seperti penanda: sebuah babak baru akan segera dimulai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KEMBALINYA SANG PEWARIS TRILIUNER   84. Persiapan Grand Opening

    Baron Taji meletakkan ponsel di meja kayu yang sederhana, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Pembicaraan dengan Aksa barusan membuatnya semakin gelisah, namun ada sedikit rasa lega yang menyertai pikiran-pikirannya.Tiba-tiba, suara pintu yang terbuka mengagetkan Baron. Dia langsung menoleh, dan dengan cepat, jantungnya berdegup kencang. Dari kejauhan, berdiri seseorang yang sudah lama tidak ia temui, seseorang yang menatapnya dengan tatapan penuh makna—Darren."Tuan Muda?" ucap Baron Taji dengan suara yang sedikit gugup, suaranya hampir tercekat. Darren, pria yang selama ini menjadi sosok yang harus ia hormati dan takuti, berdiri dengan sikap santai, seolah tidak ada yang salah.Tersenyum tipis, Darren melangkah maju, matanya mengamati sekitar rumah kecil tempat Baron tinggal, rumah yang jauh dari kesan mewah seperti yang biasa didiaminya dulu.Baron Taji menelan ludah, mencoba untuk tetap tenang meskipun kecemasan semakin membanjiri pikirannya. Apakah Darren mendengar pembicaraa

  • KEMBALINYA SANG PEWARIS TRILIUNER   83. Mulai Bergerak

    Ruangan kerja Rafael terasa dingin meskipun hari sudah menjelang sore. Rafael, mengenakan kemeja mahal yang disetrika sempurna, berdiri di depan jendela, memandang ke kejauhan Kota Jayakarta. Di depannya, duduk anggun Nyonya Rukmini, ibu tiri Aksa, yang kini menjadi mitra konspirasi utamanya.Nyonya Rukmini menyesap teh mahalnya, matanya meneliti Rafael, memastikan dia sepenuhnya fokus."Aku datang untuk memberikan update," ujar Nyonya Rukmini, suaranya pelan dan berwibawa, namun membawa nada penuh kemenangan. "Soal Baron Taji. Dia sudah aman."Rafael, tanpa berbalik, mengangguk perlahan. "Aman bagaimana, Rukmini?""Dia sudah dipindahkan ke rumah peristirahatan yang kita siapkan. Jauh di pinggiran. Akses komunikasinya kita batasi, dan semua kebutuhannya diurus oleh anak buahku yang paling loyal. Dia tak akan bisa menghubungi siapa pun, apalagi Aksa." Nyonya Rukmini tersenyum puas. "Anggap saja dia sedang liburan yang sangat panjang."Rafael akhirnya berbalik. Ekspresi di wajahnya tida

  • KEMBALINYA SANG PEWARIS TRILIUNER   82. Perubahan Kirana

    Pagi itu, di kediaman mewah Pramudita, suasana sarapan di meja makan terasa hangat di permukaan, tetapi dipenuhi aura ambisi dan ketegangan yang kental. Cahaya matahari pagi menembus jendela kaca setinggi langit-langit, menerangi Darren, Nyonya Rukmini serta kedua adik perempuannya, Kirana dan Nadin, yang duduk mengelilingi meja panjang.Darren, mengenakan kemeja sutra mahal, tampak bersemangat. Di sampingnya, Nyonya Rukmini memegang cangkir teh porselennya dengan anggun, namun sorot matanya yang tajam menunjukkan bahwa pikirannya jauh lebih fokus pada kekuasaan daripada hidangan pagi.Kirana, adik tengah, memulai percakapan sambil mengoleskan selai pada rotinya. Pertanyaan yang ia lontarkan terdengar santai, tetapi memiliki nada menusuk yang tidak biasa."Bagaimana perkembangan kafe kopi Kakak?" tanya Kirana, suaranya tenang, namun pandangannya lurus tertuju pada kakaknya.Darren tersenyum bangga, meletakkan garpunya dengan bunyi denting pelan di atas piring. "Prosesnya berjalan sang

  • KEMBALINYA SANG PEWARIS TRILIUNER   81. Mata-Mata

    Setelah mengakhiri panggilan dengan Pak Surya, Aksa tidak langsung meletakkan ponselnya. Ia masih berada di dalam mobil, hanya beberapa menit dari penthouse-nya. Tugas berikutnya adalah mengamankan mata-mata baru mereka.Aksa menekan kontak speed dial dan menunggu sebentar. Sambungan terangkat."Sangga," panggil Aksa, suaranya tetap tenang namun tegas."Ya, Tuan Muda?" jawab Sangga dari seberang, suaranya terdengar siap siaga."Pastikan Baron Taji tidak membuat kesalahan. Meskipun dia sudah berjanji, dia tetaplah variabel yang tidak bisa dipercaya sepenuhnya," instruksi Aksa, matanya fokus pada lampu lalu lintas di depannya. "Saya ingin kamu tetap mengawasinya dari jauh."Aksa memastikan suaranya terdengar jelas, tanpa ada ruang untuk keraguan."Dan yang terpenting, kamu harus terus berkomunikasi dengannya. Jangan lewatkan satu pun kabar yang dia kirimkan. Laporkan langsung kepadaku jika ada gerakan mencurigakan dari pihak Nyonya Rukmini atau Rafael," lanjut Aksa."Paham, Tuan Muda,"

  • KEMBALINYA SANG PEWARIS TRILIUNER   80. Langkah Selanjutnya

    Udara dingin dan lembap merayap di gudang tua yang pengap. Hanya satu lampu pijar redup yang tergantung di langit-langit, menyorot Baron Taji yang terikat kuat pada sebuah kursi kayu. Wajahnya lebam, pakaiannya kotor.Aksa berdiri diam di depan Baron Taji. Raut wajahnya tak terbaca, matanya tajam memindai ekspresi pria yang kini tak berdaya itu. Aksa sudah mendapatkan pengakuan yang dia butuhkan, tapi kini muncul dilema baru.Setelah beberapa saat berpikir, Aksa menoleh ke arah Sangga yang berdiri tegap di sudut ruangan."Sangga," panggil Aksa pelan."Ya, Tuan Muda?"Aksa menatap Baron Taji sekali lagi, lalu kembali ke Sangga. "Lepaskan ikatannya."Sangga tampak terkejut. Pria bertubuh besar itu sedikit memajukan keningnya, tidak percaya dengan perintah yang baru didengarnya."Tuan Muda yakin?" tanya Sangga, memastikan. Suaranya terdengar berat dan penuh keraguan.Aksa tidak berbalik. Tatapannya lurus ke depan, ke arah kegelapan. "Cepat lepaskan sekarang."Sangga mengangguk, menghilan

  • KEMBALINYA SANG PEWARIS TRILIUNER   79. Pengakuan Baron Taji

    Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, suara langkah kaki terdengar, dan pintu terbuka. Aksa muncul di ambang pintu, wajahnya tenang, namun ada kekasaran yang tercermin di matanya. Pistol yang dipegangnya diarahkan langsung ke arah Baron Taji, matanya tajam menatap."Sekarang cepat katakan, siapa dalang di balik niat jahatmu kepadaku selama ini?" suara Aksa terdengar tegas, tanpa kompromi. Ada rasa amarah yang terpendam di dalamnya, sesuatu yang Baron Taji bisa rasakan. Aksa tahu bahwa dengan informasi yang dimilikinya, ia akan lebih dekat dengan jawaban yang sudah lama ia cari.Baron Taji merasa ketakutan. Wajah Aksa yang dingin dan penuh ancaman membuatnya semakin tidak bisa mengontrol dirinya. Dia tahu, jika dia tidak memberikan jawaban yang benar, semuanya akan berakhir buruk. Dia harus mengaku, apapun yang terjadi. Mungkin, hanya dengan bergabung dengan Aksa, ia masih punya kesempatan untuk bertahan hidup.Dengan suara gemetar, Baron Taji berbicara. "Aku akan memberi tahu semuany

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status