 LOGIN
LOGINDebur ombak terdengar samar di kejauhan. Mobil hitam melaju perlahan di jalanan berpasir, lalu berhenti tepat di depan sebuah gerbang besi tinggi yang menjulang, dengan lambang berbentuk naga berkilau di tengahnya.
Seorang pria berjas yang menyetir mobil keluar dari mobil lalu membukakan pintu. Tak lama kemudian Aksa keluar dari mobil. Dia penasaran dengan apa yang diucapkan utusan penjemputnya itu, dia ingin tahu apakah benar dia anak konglomerat nomor satu di kota itu.
Begitu ia berhenti di depan teras, dua pria berjas hitam telah berdiri tegak di sana, tubuh mereka kekar dan ekspresinya kaku.
Salah satu menunduk hormat.
“Selamat pagi, silakan masuk, Tuan Aksa.”
Aksa hanya mengangguk singkat. Ia melangkah turun, angin laut menyapa wajahnya. Asin, getir, dan dingin. Setiap langkah menuju teras terasa berat, seperti kaki yang menapak di antara bayangan masa lalu.
Begitu pintu villa terbuka, aroma kayu mahal dan teh melati menyambutnya. Di ruang tamu yang luas dengan pemandangan laut terbuka, seorang pria paruh baya berdiri menunggunya. Wajahnya tenang, tapi mata itu bergetar begitu melihat Aksa, seolah menyaksikan keajaiban yang tak pernah ia duga akan terjadi.
“Selamat datang, Tuan Muda Aksa,” ucap pria itu pelan namun penuh takzim.
Aksa mengerutkan kening. “Terima kasih.” Dia yakin sosok itu bukan ayahnya yang dimaksud para utusan penjemputnya karena melihat cara dia bicara dan hormat padanya.
Pria itu memperkenalkan diri, “Saya Surya.”
Lalu mempersilakannya duduk di sofa kulit di tengah ruangan. Dua pelayan datang membawa nampan perak, menyuguhkan teh panas dan kue kecil. Semua terasa terlalu formal, terlalu teratur seperti pertemuan yang sudah disiapkan jauh-jauh hari.
“Silakan, Tuan Muda.”
Aksa menatap teh di depannya, lalu menyeruput sedikit. “Langsung saja, Pak Surya. Apa sebenarnya yang ingin Bapak sampaikan?”
Surya menunduk sejenak, lalu menghela napas panjang, seperti seseorang yang bersiap menyingkap rahasia yang telah lama dikunci.
“Saya mohon maaf, Tuan Muda… karena sudah membuat Anda khawatir dan penuh tanda tanya.”
Aksa mengerutkan dahi. “Tuan Muda? Saya tidak pantas dipanggil begitu.”
Namun Surya menatapnya dengan keyakinan yang ganjil. “Justru Andalah yang pantas kami panggil demikian, bukan Beni Pramudita, orang yang menjadi nama Tuan Muda sekarang.”
Aksa terdiam. Napasnya terasa berat. “Maksud Bapak apa?”
Surya menegakkan tubuhnya, lalu berkata pelan tapi tegas, “Apakah Tuan Muda mengenal seorang pengusaha bernama Damar Pramudita?”
Nama itu yang tadi disebut para utusan penjemputnya. Dia langsung menyalakan sesuatu dalam ingatan Aksa. Ia pernah mendengarnya dari Tristan Alvaro, dari berbagai obrolan yang selalu dibungkus hormat. Damar Pramudita. Nama yang menggema di kota ini, simbol kekuasaan, kekayaan, dan misteri.
Aksa mengangguk perlahan. “Aku tahu nama itu. Pemilik banyak perusahaan besar, orang yang semua orang bicarakan tapi jarang sekali muncul di publik.”
Surya menatapnya dalam, seperti menakar keberanian dalam mata pemuda itu.
“Benar, Tuan Muda. Dan sesungguhnya…” suaranya menurun, seperti takut didengar dinding, “…Tuan Aksa adalah anak kandung Tuan Besar Damar Pramudita yang selama ini dicarinya.”
Seketika waktu berhenti.
Suara ombak di luar terasa menjauh, berganti dengan dengung panjang di telinga Aksa. Matanya membulat, menatap Surya tak percaya.
“Saya… apa? Jadi benar yang dikatakan orang-orang yang menjemput saya paksa di luar sana itu?”
“Anak kandungnya, Tuan Muda,” ulang Surya lirih. “Tuan Besar Pramudita kehilangan Anda setelah beberapa jam setelah Anda dilahirkan."
Aksa menelan ludah, tubuhnya menegang. Ia tak tahu harus merasa marah, bahagia, atau takut. Yang ia tahu, sesuatu di dalam dirinya baru saja bergeser, seperti pintu masa lalu yang akhirnya terbuka dengan sendirinya.
Beberapa detik hening, sebelum Aksa tiba-tiba berdiri. Kursinya bergeser keras menabrak lantai marmer.
“Tidak mungkin!” suaranya meninggi, hampir bergetar. “Jangan mengada-ada! Saya punya nenek! Meskipun saya belum pernah melihat wajah kedua orang tua saya, saya tahu wajah mereka dari foto yang ditunjukkan nenekku! Dan di foto itu bukan Tuan Damar Pramudita!”
Nada suaranya tajam, matanya menatap Surya dengan campuran marah dan bingung.
Surya tetap duduk tenang, meski rahangnya mengeras menahan sesuatu. “Duduk dulu, Tuan Muda,” ucapnya pelan tapi tegas. “Biar saya jelaskan semuanya.”
Aksa menarik napas kasar, dadanya naik turun. Ia menatap Surya lama, menimbang apakah akan pergi atau tetap tinggal. Akhirnya ia kembali duduk, menyandarkan punggung dengan kasar di kursi.
“Silakan,” katanya ketus. “Jelaskan semuanya!”
Surya mengangguk pelan. Ia menatap sejenak ke arah jendela besar yang terbuka menghadap laut. Cahaya pagi menyapu ruangan, dan ombak di kejauhan bergulung seperti lembaran masa lalu yang siap dibuka satu per satu.
“Saya…” Surya menghela napas, suaranya sedikit bergetar. “Saya adalah manajer pribadi Tuan Besar Damar Pramudita. Sudah dua puluh lima tahun saya bekerja untuk beliau.”
Aksa tetap diam, namun rahangnya menegang.
“Tugas saya sederhana, tapi berat,” lanjut Surya. “Saya ditugaskan untuk mengurus… Anda.”
Aksa tertawa kering. “Mengurus saya? Bapak bahkan baru saja saya temui pagi ini!”
“Benar.” Surya menatapnya lurus, matanya jernih tapi penuh beban. “Karena tugas itu baru bisa saya jalankan ketika Anda ditemukan.”
Hening kembali menyelimuti ruangan. Hanya suara ombak yang berkejaran di luar jendela, sesekali pecah di bebatuan karang. Aksa masih duduk di kursinya, kedua tangannya menggenggam lutut, menunggu kata-kata berikutnya dari Surya yang kini menatap kosong ke arah laut.
Surya menarik napas panjang sebelum melanjutkan. Suaranya terdengar berat, seolah setiap kata yang keluar membawa beban bertahun-tahun.
“Ibumu… Nyonya Linda… meninggal ketika melahirkan Tuan Muda.”
Aksa membeku. Tubuhnya tak bergerak, hanya matanya yang menatap kosong pada Surya, mencoba mencernanya. Ada sesuatu yang menggelitik di dadanya. Bukan sedih, bukan marah, tapi semacam kekosongan yang sulit dijelaskan.
“Meninggal?” suaranya nyaris berbisik, lirih dan getir.
“Benar,” jawab Surya lembut. “Itu hari yang paling kelam dalam hidup Tuan Besar. Beliau kehilangan istri yang sangat dicintainya… dan hanya beberapa jam kemudian, kehilangan putra yang baru saja lahir.”
Aksa menunduk, matanya terasa panas, tapi tak ada air mata yang jatuh. “Jadi… aku bahkan belum sempat melihat wajah ibuku?”
Surya menggeleng pelan. “Tidak, Tuan Muda. Dan Tuan Besar pun hanya sempat menggendongmu sebentar… sebelum semua itu terjadi.”
Ruangan itu seakan semakin sunyi. Angin laut berhembus masuk lewat jendela besar, menggoyang tirai tipis, membawa aroma asin yang lembut, tapi di dada Aksa, udara terasa menyesakkan.
Surya kembali bersuara, pelan namun tegas.
“Setelah kejadian itu, hidup Tuan Besar berubah. Beliau menutup diri, jarang bicara, dan tak ingin berurusan dengan siapa pun. Namun beberapa tahun kemudian, ketika usiamu seharusnya sudah menginjak remaja, kabar baru muncul… kabar yang mengguncang segalanya.”
Aksa mengangkat wajahnya, menatap Surya dengan dahi berkerut. “Kabar apa?”
Surya menelan ludah, lalu menjawab dengan hati-hati.
“Tuan Besar Damar Pramudita mendapat informasi… bahwa yang menculik Anda setelah kelahiran itu adalah seorang perempuan bernama Rukmini. Saat itu, dia belum menjadi siapa-siapa bagi Tuan Besar, hanya seorang wanita yang bekerja di lingkaran keluarga, tapi punya obsesi aneh terhadap beliau.”

“Oh iya… iya! Betul juga, maaf ya, Nak Beni,” katanya cepat-cepat, pura-pura salah tingkah. “Tapi bagaimana pun kamu itu juga cucu Nenek... eh, maksud Nenek, teman cucu Nenek.”Aksa memijat telinganya yang masih merah, menatap neneknya sambil cemberut. “Iya, iya, Nek. Tapi lain kali jewernya jangan kekencengan.”Dita menahan tawa, menutup mulutnya dengan tangan. Sang nenek ikut terkekeh kecil, pura-pura batuk untuk menutupi.Ruangan itu kembali hangat. Matahari sore mengintip dari sela tirai, membiaskan cahaya lembut ke wajah mereka bertiga.Dan untuk sesaat, luka, darah, dan pertarungan tadi terasa seperti mimpi yang perlahan memudar, menyisakan tawa kecil dan rasa hangat yang sulit dijelaskan.Ketukan pelan terdengar di pintu kamar. Tok… tok… tok…Nenek yang duduk di kursi dekat ranjang segera berdiri dan membukanya. Di balik pintu, berdiri Pak Surya, mengenakan jas hitam rapi seperti biasa, wajahnya penuh kecemasan.“Nenek, biar saya bicara sebentar dengan Tuan Muda,” ucapnya sopan
Baron berusaha berdiri, tubuhnya goyah tapi matanya masih menyala. Ia mengangkat tinjunya tinggi, napasnya berat.“Kau… benar-benar membuatku… marah, bocah!”Ia berlari, tinjunya mengayun ke arah kepala Aksa. Udara bergetar oleh kekuatannya.Namun Aksa tidak menghindar.Dengan refleks yang tajam, ia menangkap tangan Baron di udara, memutarnya ke bawah, lalu melangkah cepat ke depan dan menghantam kepala Baron dengan tinjunya sendiri, keras sekali, lebih keras dari semua pukulan sebelumnya.Braak!Suara benturan itu begitu keras hingga warga menjerit serempak. Darah menyembur dari mulut Baron Taji.Tubuh besar itu bergoyang sesaat, lalu jatuh menghantam aspal dengan bunyi berat. Debu naik ke udara.Sunyi.Benar-benar sunyi.Tak ada yang bergerak selama beberapa detik.Hanya napas Aksa yang terdengar, kasar, berat, tapi hidup. Ia berdiri di tengah jalan dengan tubuh penuh luka dan darah di tangannya.Warga menatap, sebagian menutup mulut, sebagian masih merekam dengan gemetar.Pasukan p
Sorak dan teriakan warga mulai membuncah di pinggir jalan. Sebagian memegang dada, sebagian menutup mulut, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat.Aksa, anak muda yang tadi terlempar oleh pukulan Baron Taji hingga memuntahkan darah, kini berdiri lagi sedikit goyah, tapi tegak.“Dia gila…” bisik seorang bapak paruh baya di antara kerumunan.“Gila tapi keren!” sahut pemuda lain sambil menahan napas, ponselnya masih mengarah ke tengah jalan.Baron Taji berdeham keras, otot-ototnya menegang seperti tali baja yang siap meletus. “Kau benar-benar cari mati, bocah.”Suara tawanya berat, namun di baliknya ada nada yang berbeda, bukan sekadar amarah, melainkan rasa kagum yang samar.Aksa hanya mengusap darah di bibirnya. “Aku tidak berkelahi untuk mati,” katanya pelan, “aku berkelahi untuk berdiri.”Kata-kata itu seperti menyiram bensin ke bara suasana. Warga yang menonton serentak terdiam. Bahkan hembusan angin pun terasa tertahan.Baron menggeram dan maju dengan langkah besar. Asp
Namun sebelum Aksa sempat maju lebih dekat, suara deru motor mendadak menggema dari kejauhan. Lampu-lampu putih menyala bersamaan, menyilaukan mata siapa pun yang menatap.Beberapa motor berhelm putih meluncur cepat dan berhenti melingkari Aksa. Di dada mereka terpampang logo kecil berbentuk kilatan perak.Warga mundur, terkejut.Baron Taji mengerutkan kening. “Pasukan pelindung…?” gumamnya. "Siapa sebenarnya anak muda ini?"Salah satu dari mereka melangkah maju, mengangkat senjata laras pendek yang bersinar dingin di bawah lampu motor. Suaranya berat dan terlatih, “Jauhi Tuan Muda kami, atau peluru ini akan menembus dadamu.”Baron menatap mereka sebentar, lalu tertawa keras, suaranya memantul di antara pepohonan.“Hahaha! Peluru? Tak akan ada peluru yang mampu menembus kulitku, bocah!”Ia menepuk dadanya, menantang. Namun sebelum pasukan itu sempat bereaksi, Aksa mengangkat tangannya pelan. Tatapannya tenang, namun suaranya tegas seperti bilah baja yang baru diasah.“Menyingkirlah. K
Sopirnya, Pak Darsan, hampir menahan. Bibirnya sudah terbuka, tapi kata-kata itu urung keluar. Ada sesuatu di tatapan Aksa yang membuatnya membeku di tempat.Itu bukan tatapan seorang mahasiswa biasa, bukan tatapan anak muda yang belum pernah mencium bahaya. Itu tatapan seseorang yang telah melihat maut, menatapnya tepat di mata, dan masih mampu berdiri tegak setelahnya.Aksa membuka pintu mobil. Angin masuk, membawa bau tanah basah dan bunyi serangga yang menyelinap di antara pepohonan. Suara pintu tertutup menggema di jalan sunyi itu, seperti tanda dimulainya sesuatu yang lebih besar dari sekadar perkelahian.Baron Taji melangkah maju. Suaranya berat, parau, seperti guruh yang menurunkan ancaman sebelum badai.“Jadi ini bocah yang katanya dapat uang dari pencucian uang itu?”Aksa tersenyum tipis, nyaris tidak terlihat. “Ternyata kabar burung memang cepat.”Baron terkekeh, tapi di balik tawa itu tersimpan nada penghinaan. “Kau kelihatan rapi, tapi jangan kira jas itu bisa menyelamatk
Langkah Aksa terhenti mendadak di koridor fakultas yang mulai ramai oleh mahasiswa. Di ujung lorong, berdiri Saka dengan tangan bersedekap, menatapnya dengan senyum yang lebih mirip ejekan. Aksa menghela napas pendek, menurunkan pandangan sebentar, lalu melangkah ke samping.“Kalau nggak ada urusan penting, minggir. Saya mau ke kelas,” ucapnya datar.Saka justru bergeming. Tatapan sinisnya menyapu dari ujung kepala sampai sepatu Aksa yang berkilat. “Rupanya selama ini kamu cuma sok kaya aja, ya. Uang yang kamu pamerin itu… belum jelas sumbernya dari mana.”Beberapa mahasiswa yang lewat melambat, pura-pura mencari sinyal tapi sebenarnya ingin mendengar. Aksa menatap Saka dingin, rahangnya mengeras.“Jadi ini pekerjaan kamu?” tanyanya pelan tapi tajam. “Kamu yang nyebarin rumor itu?”Saka tersenyum tipis. “Nggak perlu menuduh siapa pun. Toh, kebenaran bakal kelihatan juga tanpa perlu aku ngomong apa pun.” Ia melangkah lebih dekat, suara rendahnya menekan setiap kata. “Yang penting sekar








