LOGIN
Penthouse itu terlalu sunyi.
Dari balik dinding kaca setinggi langit, kota di bawah sana terhampar seperti lautan cahaya. Aksa berdiri di sana dengan jas hitam yang bahkan tidak pernah ia sentuh sebelumnya, sementara empat bodyguard berjas gelap berjajar di belakangnya.
Seorang pria paruh baya dengan rambut memutih membungkuk hormat.
“Selamat datang kembali, Tuan Muda. Rapat pembagian warisan sebentar lagi dimulai.”
Tuan muda?
Warisan?
Dua kata itu seakan tamparan.
Sebelumnya Aksa hanyalah mahasiswa miskin yang tidak mampu membayar biaya operasi neneknya. Sebelumnya ia bahkan tidak memiliki cukup uang untuk makan, apalagi menyentuh dunia yang berkilau seperti ini.
Sekarang?
Semua orang menunduk saat ia lewat.
Ia memejamkan mata, menarik napas panjang. Hatinya berdesir oleh sebuah ironi pahit.
Beginilah awal semuanya terjadi…
***
“Nenek! Bangun, Nek!”
Aksa berlari di lorong rumah sakit, matanya merah, napas tersengal. Dua perawat mendorong ranjang beroda membawa neneknya yang tak sadarkan diri. Reno dan Dita mengejar dari belakang, ikut panik.
Begitu tiba di depan ruang ICU, perawat menahan mereka.
“Maaf, hanya pasien yang boleh masuk.”
Aksa memohon, “Saya cucunya, tolong izinkan saya—”
“Mohon tunggu di luar,” ujar perawat itu tegas, lalu pintu tertutup.
Beberapa menit kemudian, dokter keluar dengan wajah serius.
“Pasien harus segera dioperasi. Ada penyumbatan di otak. Kalau tidak sekarang, risikonya besar.”
Aksa menelan ludah.
“Operasi? Tapi saya... saya nggak punya uang, Dok. Bisa nanti saya bayar setelahnya?”
Dokter menggeleng pelan.
“Maaf, harus ada uang jaminan dulu. Dua puluh lima juta untuk biaya awal.”
Dunia Aksa seolah berhenti. Reno dan Dita saling pandang, tak tahu harus berkata apa.
“Saya janji akan cari uangnya malam ini,” kata Aksa dengan suara bergetar.
Reno menepuk bahunya. “Kamu yakin mau keluar sendiri?”
“Kalau aku nggak cari sekarang, Nenek bisa pergi, No…”
Motor butut pinjaman Reno melaju di tengah udara malam yang dingin. Lampu-lampu jalan memantul di genangan air. Aksa berhenti di depan rumah besar bercat putih. Di teras, dua pria tampan berpakaian mahal sedang duduk. Mereka adalah Tristan dan Saka, teman kuliahnya yang kaya.
“Eh, anak beasiswa datang malam-malam,” ejek Tristan.
Aksa menunduk. “Aku butuh bantuan. Nenekku harus dioperasi malam ini. Aku mohon pinjam uang.”
Tristan tertawa keras. “Sudah dikasih beasiswa oleh papaku, sekarang mau pinjam uang juga? Kamu pikir kami siapa? Sudah jelek, miskin pula. Hidup jangan ngelunjak bro! Harus tau diri!”
Saka menatapnya tenang, lalu mengeluarkan kotak hitam kecil. “Kalau kamu mau uang itu, antar kotak ini ke Restoran La Vina, Jalan Kenanga nomor 18. Kasih ke meja tujuh. Selesai, uang langsung kutransfer.”
Tristan berbisik kaget, “Kamu mau suruh dia antar barang itu?”
Saka tersenyum dingin. “Kalau ketahuan, biar dia yang diseret polisi.”
Aksa menggigit bibir. Ia tahu ini tak benar, tapi waktu neneknya menipis.
“Baik. Aku akan antar.”
***
Gerimis turun saat motor butut itu menembus jalanan sepi. Aksa memeluk kotak hitam itu erat di dada.
“Demi Nenek... aku harus sampai,” gumamnya.
Namun dari belakang, suara mesin mobil mendekat cepat. Lampu menyilaukan mata. Belasan motor muncul mengepungnya.
“Apa ini?!” Aksa berteriak, berhenti mendadak.
Beberapa pria turun, mendekat tanpa suara. Sebelum ia sempat kabur, karung hitam menutupi kepalanya. Tubuhnya diseret kasar, dilempar ke dalam mobil.
“Lepasin aku! Siapa kalian?!”
Tak ada jawaban.
Seseorang menahan lengannya, lalu...
Ssst!
Jarum suntik menembus kulitnya.
Aksa mencoba melawan, tapi pandangannya mulai kabur.
Aksa tersadar di sebuah ruangan kaca yang sangat dingin, seolah berada di dalam laboratorium rahasia. Uap tipis keluar dari napasnya. Ia hanya mengenakan selembar kain tipis dengan infus menancap di tangan. Dalam keadaan bingung dan lemah, yang terlintas pertama kali adalah neneknya. Ia harus keluar dari tempat itu.
Dengan tubuh gemetar, ia menemukan pakaian medis dan mengenakannya. Panel pintu kaca merespons sidik jarinya dan terbuka, namun alarm langsung meraung dan lampu merah menyala. Suara langkah kaki terdengar terburu-buru mendekat.
Tanpa pilihan lain, ia berlari menyusuri lorong dingin yang panjang hingga menemukan sebuah ruangan luas dengan kolam air kehijauan dan perahu otomatis di atasnya. Ia melompat ke dalam perahu, menekan tuas percepatan tepat ketika pintu baja mengecil.
Perahu itu melesat keluar.
Beberapa detik kemudian, pulau yang baru saja ia tinggalkan bergetar hebat, bangunan runtuh, air bergolak, dan seluruh pulau tenggelam ke dasar laut. Gelombang besar menghantam perahu, melemparkan tubuh Aksa hingga ia terhempas ke gelap tanpa kesadaran.
Aksa terbangun dengan kepala berat. Matanya membuka. Cahaya putih menyilaukan. Tiga gadis muda berdiri di sisinya, berpakaian minim, menatapnya dengan senyum menggoda. Ia refleks menegakkan tubuh.
“Siapa kalian? Di mana aku?”
Perempuan-perempuan cantik dan seksi itu tidak menjawab, malah terlihat seperti terpesona padanya.
“Dia tampan sekali…”
“Kalau dia mau, aku rela.”
“Jangan-jangan dia malaikat?”
Aksa membelalak. "Tampan?" pikirnya. Dia mencari cermin dan betapa terkejutnya melihat wajahnya sudah berubah menjadi sosok asing yang tidak dikenalinya. Wajahnya yang dulu kurang menarik di mata perempuan kini terlihat begitu tampan dan putih, begitu pun kulit tubuhnya tampak mulus seperti aktor-aktor yang rutin melakukan perawatan.
Aksa panik sendiri. "Tidak? Kenapa wajahku jadi berubah?" Aksa teringat saat terbangun di laboratorium itu. Dia yakin itu tempat yang mengoperasinya menjadi seperti itu. Lalu berjuta pertanyaan muncul. "Siapa yang mengubahku menjadi seperti ini? Apa jangan-jangan yang menculik aku waktu itu? Kalau iya, apa tujuannya?"
Seketika pintu terbuka. Seorang wanita paruh baya masuk dengan langkah elegan. Rambut disanggul, bibir merah menyala, gaun satin keemasan memantulkan cahaya.
“Kalian ngapain di sini? Keluar semua!” bentaknya.
Ketiga gadis itu menunduk dan keluar tergesa, masih sempat menatap Aksa penuh kagum. Hening.
Wanita itu menatapnya tajam. “Kamu sudah sadar. Saya yang menemukanmu di pantai dua hari lalu. Katanya, pulau di tengah laut itu tenggelam. Tak ada yang selamat.”
Aksa menatapnya lekat. Kata-katanya menancap dalam. Pulau tenggelam? Ia tahu itu bukan sekadar bencana. Ada sesuatu yang disembunyikan.
Sorot matanya naik ke wajah wanita itu dan darahnya seperti berhenti mengalir.
Nyonya Rani.
Ia ingat betul wanita ini. Sang mucikari yang dulu menjadi penyedia “hiburan” bagi Tristan dan gengnya. Ratu malam yang pernah mempermalukannya di depan semua orang.
Kilasan masa lalu muncul: tawa Tristan yang mabuk, gadis-gadis yang menolak Aksa dengan jijik, suara ejekan yang tak pernah ia lupakan.
“Aku nggak mau… dia jelek banget.”
Suara itu bergema di kepalanya lagi, menusuk hati yang dulu nyaris mati.
Namun kini, situasi berbalik. Wajah barunya membuat dunia menunduk. Gadis-gadis yang dulu akan menertawakannya kini rela menyerahkan segalanya tanpa bayaran. Tapi Aksa justru merasa mual. Dunia ini palsu.
Ia menatap wajah di cermin. Wajah sempurna. Seolah diciptakan.
“Siapa aku sebenarnya?” Aksa terinhat lagi neneknya. Ia berdiri. “Terima kasih sudah menolong saya. Tapi saya harus pergi.”
"Tunggu!" pinta Nyonya Rani.
Aksa menoleh. "Ada apa?"
"Tas kamu ketinggalan," jawab Nyonya Rani. "Aku menemukan kamu berikut tas itu."
Aksa heran lalu mengambil tas hitam di pojok ruangan itu. Dia memeriksa isinya, bertapa terkejutnya saat dia menemukan kartu identitas bernama: BENI PRAMUDITA, yang foto wajahnya sama seperti wajahnya.
"Kenapa wajahku mirip sekali dengan nama di kartu identitas ini?"
Lalu Aksa menemukan buku rekening. Saat dibuka, matanya membelalak saat melihat isi rekening atas nama yang sama seperti di kartu identitas itu berisi triliunan rupiah.
"Apa? Tidak mungkin?"
Nyonya Rani menatap Aksa yang kebingungan dengan heran. Namun Aksa langsung saja pergi keluar. Begitu pintu terbuka, tiga gadis tadi menunggu di lorong. Mereka langsung berebut mendekat, menahan lengannya sambil tertawa genit.
“Ayo, Kak, main sama kami.”
“Gratis, loh…”
“Cuma sebentar aja.”
Aksa menatap mereka datar. “Maaf,” katanya tenang. “Aku bukan lelaki seperti yang kalian pikirkan.”
Mereka terdiam. Tatapan kagum berubah jadi bingung. Aksa berjalan melewati mereka, menuju pintu keluar besar di ujung lorong. Di depan, jalan berdebu membentang, mengarah ke pelabuhan kecil. Ia baru sempat mengatur napas ketika mendadak langkahnya terhenti.
Lima pria berjas hitam berdiri di depan gerbang. Tubuh-tubuh besar, kacamata gelap, ekspresi kaku. Tatapan mereka tajam dan terlatih.
Aksa memicingkan mata, tubuhnya menegang. “Siapa kalian?”
Salah satu maju, suaranya tenang tapi penuh wibawa. “Tenang, Tuan Muda. Kami datang bukan untuk mencelakai Anda.”
Aksa menahan diri, tapi otot-otot tangannya sudah siap. “Tuan Muda?”
Pria itu mengangguk sopan. “Kami diperintahkan menjemput Anda. Anda adalah anak kandung Tuan Damar Pramudita. Beliau yakin Anda adalah putranya yang hilang.”
Nama itu membuat dunia Aksa berhenti sesaat. Udara seperti berhenti bergerak.
“Damar… Pramudita?”Pria itu menatapnya yakin. “Benar. Pengusaha terkaya di kota ini. Beliau telah mencari Anda selama bertahun-tahun.”
Aksa membeku. Otaknya menolak percaya, tapi jantungnya berdetak kencang seolah mengenali nama itu jauh sebelum bibirnya menyebut.
“Tidak mungkin…” gumamnya. “Kalian pasti salah orang.”
Terima kasih sudah membaca. Novel ini akan update satu atau dua bab setiap harinya. Mohon bijak menuliskan komentar. Jangan lupa simpan ke pustaka dan subcribe penulisnya. Selamat menyelami kisah Aksa yang penuh aksi dan intrik cerdas untuk menyelesaikan setiap masalahnya. Sampai jumpa di bab-bab berikutnya.
Baron Taji meletakkan ponsel di meja kayu yang sederhana, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Pembicaraan dengan Aksa barusan membuatnya semakin gelisah, namun ada sedikit rasa lega yang menyertai pikiran-pikirannya.Tiba-tiba, suara pintu yang terbuka mengagetkan Baron. Dia langsung menoleh, dan dengan cepat, jantungnya berdegup kencang. Dari kejauhan, berdiri seseorang yang sudah lama tidak ia temui, seseorang yang menatapnya dengan tatapan penuh makna—Darren."Tuan Muda?" ucap Baron Taji dengan suara yang sedikit gugup, suaranya hampir tercekat. Darren, pria yang selama ini menjadi sosok yang harus ia hormati dan takuti, berdiri dengan sikap santai, seolah tidak ada yang salah.Tersenyum tipis, Darren melangkah maju, matanya mengamati sekitar rumah kecil tempat Baron tinggal, rumah yang jauh dari kesan mewah seperti yang biasa didiaminya dulu.Baron Taji menelan ludah, mencoba untuk tetap tenang meskipun kecemasan semakin membanjiri pikirannya. Apakah Darren mendengar pembicaraa
Ruangan kerja Rafael terasa dingin meskipun hari sudah menjelang sore. Rafael, mengenakan kemeja mahal yang disetrika sempurna, berdiri di depan jendela, memandang ke kejauhan Kota Jayakarta. Di depannya, duduk anggun Nyonya Rukmini, ibu tiri Aksa, yang kini menjadi mitra konspirasi utamanya.Nyonya Rukmini menyesap teh mahalnya, matanya meneliti Rafael, memastikan dia sepenuhnya fokus."Aku datang untuk memberikan update," ujar Nyonya Rukmini, suaranya pelan dan berwibawa, namun membawa nada penuh kemenangan. "Soal Baron Taji. Dia sudah aman."Rafael, tanpa berbalik, mengangguk perlahan. "Aman bagaimana, Rukmini?""Dia sudah dipindahkan ke rumah peristirahatan yang kita siapkan. Jauh di pinggiran. Akses komunikasinya kita batasi, dan semua kebutuhannya diurus oleh anak buahku yang paling loyal. Dia tak akan bisa menghubungi siapa pun, apalagi Aksa." Nyonya Rukmini tersenyum puas. "Anggap saja dia sedang liburan yang sangat panjang."Rafael akhirnya berbalik. Ekspresi di wajahnya tida
Pagi itu, di kediaman mewah Pramudita, suasana sarapan di meja makan terasa hangat di permukaan, tetapi dipenuhi aura ambisi dan ketegangan yang kental. Cahaya matahari pagi menembus jendela kaca setinggi langit-langit, menerangi Darren, Nyonya Rukmini serta kedua adik perempuannya, Kirana dan Nadin, yang duduk mengelilingi meja panjang.Darren, mengenakan kemeja sutra mahal, tampak bersemangat. Di sampingnya, Nyonya Rukmini memegang cangkir teh porselennya dengan anggun, namun sorot matanya yang tajam menunjukkan bahwa pikirannya jauh lebih fokus pada kekuasaan daripada hidangan pagi.Kirana, adik tengah, memulai percakapan sambil mengoleskan selai pada rotinya. Pertanyaan yang ia lontarkan terdengar santai, tetapi memiliki nada menusuk yang tidak biasa."Bagaimana perkembangan kafe kopi Kakak?" tanya Kirana, suaranya tenang, namun pandangannya lurus tertuju pada kakaknya.Darren tersenyum bangga, meletakkan garpunya dengan bunyi denting pelan di atas piring. "Prosesnya berjalan sang
Setelah mengakhiri panggilan dengan Pak Surya, Aksa tidak langsung meletakkan ponselnya. Ia masih berada di dalam mobil, hanya beberapa menit dari penthouse-nya. Tugas berikutnya adalah mengamankan mata-mata baru mereka.Aksa menekan kontak speed dial dan menunggu sebentar. Sambungan terangkat."Sangga," panggil Aksa, suaranya tetap tenang namun tegas."Ya, Tuan Muda?" jawab Sangga dari seberang, suaranya terdengar siap siaga."Pastikan Baron Taji tidak membuat kesalahan. Meskipun dia sudah berjanji, dia tetaplah variabel yang tidak bisa dipercaya sepenuhnya," instruksi Aksa, matanya fokus pada lampu lalu lintas di depannya. "Saya ingin kamu tetap mengawasinya dari jauh."Aksa memastikan suaranya terdengar jelas, tanpa ada ruang untuk keraguan."Dan yang terpenting, kamu harus terus berkomunikasi dengannya. Jangan lewatkan satu pun kabar yang dia kirimkan. Laporkan langsung kepadaku jika ada gerakan mencurigakan dari pihak Nyonya Rukmini atau Rafael," lanjut Aksa."Paham, Tuan Muda,"
Udara dingin dan lembap merayap di gudang tua yang pengap. Hanya satu lampu pijar redup yang tergantung di langit-langit, menyorot Baron Taji yang terikat kuat pada sebuah kursi kayu. Wajahnya lebam, pakaiannya kotor.Aksa berdiri diam di depan Baron Taji. Raut wajahnya tak terbaca, matanya tajam memindai ekspresi pria yang kini tak berdaya itu. Aksa sudah mendapatkan pengakuan yang dia butuhkan, tapi kini muncul dilema baru.Setelah beberapa saat berpikir, Aksa menoleh ke arah Sangga yang berdiri tegap di sudut ruangan."Sangga," panggil Aksa pelan."Ya, Tuan Muda?"Aksa menatap Baron Taji sekali lagi, lalu kembali ke Sangga. "Lepaskan ikatannya."Sangga tampak terkejut. Pria bertubuh besar itu sedikit memajukan keningnya, tidak percaya dengan perintah yang baru didengarnya."Tuan Muda yakin?" tanya Sangga, memastikan. Suaranya terdengar berat dan penuh keraguan.Aksa tidak berbalik. Tatapannya lurus ke depan, ke arah kegelapan. "Cepat lepaskan sekarang."Sangga mengangguk, menghilan
Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, suara langkah kaki terdengar, dan pintu terbuka. Aksa muncul di ambang pintu, wajahnya tenang, namun ada kekasaran yang tercermin di matanya. Pistol yang dipegangnya diarahkan langsung ke arah Baron Taji, matanya tajam menatap."Sekarang cepat katakan, siapa dalang di balik niat jahatmu kepadaku selama ini?" suara Aksa terdengar tegas, tanpa kompromi. Ada rasa amarah yang terpendam di dalamnya, sesuatu yang Baron Taji bisa rasakan. Aksa tahu bahwa dengan informasi yang dimilikinya, ia akan lebih dekat dengan jawaban yang sudah lama ia cari.Baron Taji merasa ketakutan. Wajah Aksa yang dingin dan penuh ancaman membuatnya semakin tidak bisa mengontrol dirinya. Dia tahu, jika dia tidak memberikan jawaban yang benar, semuanya akan berakhir buruk. Dia harus mengaku, apapun yang terjadi. Mungkin, hanya dengan bergabung dengan Aksa, ia masih punya kesempatan untuk bertahan hidup.Dengan suara gemetar, Baron Taji berbicara. "Aku akan memberi tahu semuany







