Home / Urban / KEMBALINYA SANG PEWARIS TRILIUNER / 1. Terbangun di Laboratorium Misterius

Share

KEMBALINYA SANG PEWARIS TRILIUNER
KEMBALINYA SANG PEWARIS TRILIUNER
Author: Hakayi

1. Terbangun di Laboratorium Misterius

Author: Hakayi
last update Last Updated: 2025-10-29 17:45:55

Aksa Mahatma terbangun di dalam ruangan kaca yang sangat dingin, begitu dingin hingga napasnya tampak membentuk uap tipis di udara. Ia menatap sekeliling, kebingungan. Tubuhnya hanya diselimuti kain putih tipis, dan di tangan kanannya menancap selang infus.

“Di mana aku?” suaranya serak, nyaris tak terdengar.

Ia mencoba bangkit, tapi tubuhnya terasa berat seolah baru melewati badai. Ketika akhirnya berhasil duduk, matanya membulat. Ia telanjang, hanya tertutup selimut sampai pinggang.

Ruangan itu seluruhnya dari kaca putih buram, penuh peralatan aneh yang berkelip-kelip. Seperti laboratorium, atau penjara. Dengan gerakan gemetar, ia mencabut infus dari lengannya, lalu menurunkan kakinya ke lantai dingin. Langkah pertamanya nyaris membuatnya jatuh.

Namun yang membuatnya benar-benar terpaku bukanlah rasa sakit, melainkan sosok di cermin tinggi di dekat pintu. Pria di sana punya wajah sempurna. Hidung mancung. Rahang tegas. Kulit bersih seputih porselen. Tubuhnya sedikit berotot, ideal. Dan itu dirinya.

“Tidak... ini bukan aku.”

Ia menyentuh wajahnya, memastikan itu bukan mimpi. Tapi bayangan itu meniru setiap gerakannya.

Panik, Aksa mengitari ruangan. Tak ada siapa pun di luar kaca. Hanya keheningan yang menakutkan. Di atas meja dekat ranjang, ia menemukan map tebal. Saat mencoba membukanya, map itu terjatuh, menyebarkan dokumen ke lantai.

Sebuah kartu identitas meluncur keluar. Ia menunduk mengambilnya. Nama di sana: Beni Pramudita. Foto di kartu itu identik dengan wajah barunya.

Tangan Aksa bergetar. Ia menemukan pula buku tabungan dan kartu ATM atas nama yang sama. Saat membuka halaman dalamnya, napasnya tercekat.

Saldo: 100 triliun rupiah.

“Siapa Beni Pramudita...? Kenapa wajahku sama dengannya? Dan kenapa aku di sini?”

Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalanya, menyesakkan. Hanya satu hal yang ia tahu, apa pun yang terjadi padanya, ini bukan lagi hidup yang ia kenal. Ia memejamkan mata sejenak, dan ingatan tentang siapa dirinya dulu muncul perlahan.

Dulu, Aksa hanyalah pemuda miskin yang hidup di tengah hiruk-pikuk kota. Wajahnya pas-pasan, kulitnya gelap dan kusam, cukup alasan bagi banyak orang untuk memandangnya rendah.

Di kampus, ia sering jadi bahan ejekan; dijadikan pesuruh oleh teman-teman sekelasnya yang tampan dan bergelimang harta. Salah satunya, Tristan Valero - anak konglomerat, pewaris kampus ternama tempatnya kuliah, dan idolanya semua gadis.

Aksa menjadi budak Tristan karena berkat ketulusan dan kebaikannya menolong Tristan sewaktu Tristan hampir mati dipukuli orang-orang. Dia secara tak terduga mendapat beasiswa ke kampus impiannya. Namun ternyata, di balik beasiswa itu tersembunyi harga mahal yaitu Aksa harus menjadi “budak” Tristan di kampus.

Suatu hari, Tristan menyuruh Aksa membeli buket bunga untuk Aluna Sagara, perempuan yang ia cintai. Tapi Aksa salah membelikan. Tristan meminta mawar, namun ia justru datang membawa bunga matahari.

Kesalahan kecil itu berakhir jadi mimpi buruk. Tanpa banyak bicara, Tristan menyeret Aksa ke belakang gedung kampus bersama beberapa temannya. Pukulan datang bertubi-tubi.

“Dasar anak miskin tak berguna! Sudah jelek, tak tahu diri!”

“Kalau disuruh, lakukan dengan benar! Atau jangan salahkan aku kalau kau dikeluarkan dari kampus ini!”

Aksa hanya bisa menunduk, menahan sakit di wajah dan dada. Bukan hanya luka fisik yang ia bawa pulang hari itu, tapi juga keyakinan bahwa di dunia ini, harga diri seseorang bisa hilang hanya karena tak punya apa-apa.

Namun yang paling menyakitkan bagi Aksa bukanlah hinaan atau pukulan dari teman-temannya, melainkan kenyataan bahwa ia harus mengubur cinta pertamanya dalam-dalam. Aluna Sagara. Gadis tercantik di kampus. Anggun, cerdas, dan lahir dari keluarga terpandang.

Aksa hanya bisa memandangnya dari kejauhan, menyimpan perasaan yang tak pernah berani ia ucapkan. Tapi ketika kabar tentang kekagumannya tersebar, segalanya berubah.

Aluna menjauh. Ia berhenti menyapa, bahkan menatap pun enggan. Bagi Aluna, Aksa hanyalah lelaki yang terlalu biasa untuk memimpikan gadis sepertinya.

Suatu sore, di halaman kampus, Aksa memberanikan diri menegurnya. Tapi yang ia dapat hanyalah tatapan jijik.

“Jangan pernah muncul lagi di depan aku!” seru Aluna dengan nada tinggi. “Kamu cuma bikin malu aku! Mana mungkin aku suka sama cowok jelek dan miskin kayak kamu? Kamu itu bukan tipe aku, dan jangan mimpi bisa dapatin aku!”

Sebelum Aksa sempat bicara, satu tamparan keras mendarat di pipinya. Sakitnya bukan hanya di kulit, tapi jauh lebih dalam di harga dirinya.

Dan kini, Aksa menatap tumpukan dokumen di tangannya. Matanya bergetar, suaranya berbisik lirih, “Siapa yang mengubah aku jadi seperti ini? Dan kenapa namaku… Beni Pramudita? Uang sebanyak ini… milik siapa sebenarnya?”

Pertanyaan itu menggantung di udara, tanpa jawaban. Ia tahu tak akan ada siapa pun yang menjawabnya. Setidaknya untuk sekarang.

Dengan langkah tergesa, Aksa membuka lemari di sudut ruangan. Di dalamnya, hanya tergantung beberapa pakaian medis berwarna putih. Ia mengambil satu, mengenakannya dengan cepat, lalu meraih  tas dan memasukkan dokumen-dokumen itu ke dalam tas dan menyandangnya. Setelah itu dia bergegas menuju pintu kaca.

Gagang pintu tak bergerak. Terkunci. Tiba-tiba, lampu kecil di sisi pintu berkedip, menampilkan simbol sidik jari yang menyala merah.

Aksa menatapnya ragu, lalu menempelkan ibu jarinya. Cahaya berganti hijau—klik!—pintu terbuka.

Belum sempat ia bernapas lega, sirene melengking memecah keheningan. Alarm berbunyi nyaring, lampu darurat berputar merah. Dari kejauhan terdengar langkah kaki yang berlari-lari mendekat.

Aksa membeku di tempat, matanya menatap kaca di sisi kanan ruangan. Dan di balik kaca itu sesosok pria berdiri diam, mengenakan jas putih panjang. Wajahnya samar, separuh tertutup bayangan, tapi mata itu tajam, seolah menatap langsung ke dalam jiwanya.

Senyum tipis muncul di wajah pria itu, lalu bibirnya bergerak membentuk kata yang tak terdengar.

Aksa menatap, mencoba membaca gerak bibir itu. Hanya satu kata yang bisa ia tangkap:

“Proyek.”

Deg.

Darahnya berdesir. Pria itu kemudian menekan sesuatu di panel kaca, dan pintu di belakang Aksa tiba-tiba terbuka lebar, memperlihatkan lorong panjang yang bercahaya putih.

Tanpa berpikir, Aksa berlari ke arah lorong itu. Napasnya tersengal, tubuhnya masih lemah, tapi rasa takut memberinya kekuatan untuk terus melangkah.

Suara langkah-langkah di belakang semakin keras, disertai teriakan panik.

“Kenapa dia bisa keluar?!”

“Maaf, Tuan! Saya lupa menonaktifkan sidik jarinya!”

“Dasar ceroboh! Tangkap dia hidup-hidup, cepat!”

Aksa menoleh sekilas, bayangan beberapa orang berseragam hitam mulai mengejar, bersenjata listrik di tangan. Satu tembakan mengenai dinding di dekat kepalanya, memercikkan api kecil. Ia menunduk dan terus berlari, lututnya hampir goyah.

Di ujung lorong, pintu logam menunggu, setengah terbuka. Dengan tenaga terakhir, ia menabraknya.

Pintu terbuka lebar, memperlihatkan ruangan besar dengan kolam berkilau hijau kebiruan. Di atas permukaannya, terparkir sebuah perahu otomatis. Desainnya futuristik, mengilap, dan tampak seperti kendaraan penyelamat. Di ujung kolam, terdapat pintu baja raksasa yang mengarah langsung ke lautan luas di luar sana.

Aksa melompat ke dalam perahu itu, tangannya gemetar mencari tombol kendali. Saat jari-jarinya menyentuh panel, mesin berdengung halus lalu menyala.

Namun, sirene kembali meraung. Lampu merah berputar, dan pintu baja perlahan turun, hendak menutup jalan keluar.

Tanpa berpikir lagi, Aksa menekan tuas percepatan. Perahu meluncur cepat. Whoosh! Menembus air dan berhasil melewati celah terakhir sebelum pintu benar-benar tertutup.

Begitu keluar ke lautan bebas, Aksa menoleh ke belakang. Dari kejauhan, ia melihat pulau tempatnya tadi berada. Sebuah pulau dengan bangunan menjulang di tengahnya. Tapi beberapa detik kemudian, pulau itu berguncang hebat.

Bum! Getaran dahsyat menjalar ke laut. Bangunan-bangunan runtuh, air berpusar, lalu seluruh pulau itu tenggelam perlahan ke kedalaman laut.

Gelombang besar menghantam perahu Aksa, membalikkan arah. Ia kehilangan keseimbangan dan semuanya berubah menjadi gelap.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KEMBALINYA SANG PEWARIS TRILIUNER   30. Pewaris Itu Datang

    “Oh iya… iya! Betul juga, maaf ya, Nak Beni,” katanya cepat-cepat, pura-pura salah tingkah. “Tapi bagaimana pun kamu itu juga cucu Nenek... eh, maksud Nenek, teman cucu Nenek.”Aksa memijat telinganya yang masih merah, menatap neneknya sambil cemberut. “Iya, iya, Nek. Tapi lain kali jewernya jangan kekencengan.”Dita menahan tawa, menutup mulutnya dengan tangan. Sang nenek ikut terkekeh kecil, pura-pura batuk untuk menutupi.Ruangan itu kembali hangat. Matahari sore mengintip dari sela tirai, membiaskan cahaya lembut ke wajah mereka bertiga.Dan untuk sesaat, luka, darah, dan pertarungan tadi terasa seperti mimpi yang perlahan memudar, menyisakan tawa kecil dan rasa hangat yang sulit dijelaskan.Ketukan pelan terdengar di pintu kamar. Tok… tok… tok…Nenek yang duduk di kursi dekat ranjang segera berdiri dan membukanya. Di balik pintu, berdiri Pak Surya, mengenakan jas hitam rapi seperti biasa, wajahnya penuh kecemasan.“Nenek, biar saya bicara sebentar dengan Tuan Muda,” ucapnya sopan

  • KEMBALINYA SANG PEWARIS TRILIUNER   29. Sore Sebelum Pengumuman

    Baron berusaha berdiri, tubuhnya goyah tapi matanya masih menyala. Ia mengangkat tinjunya tinggi, napasnya berat.“Kau… benar-benar membuatku… marah, bocah!”Ia berlari, tinjunya mengayun ke arah kepala Aksa. Udara bergetar oleh kekuatannya.Namun Aksa tidak menghindar.Dengan refleks yang tajam, ia menangkap tangan Baron di udara, memutarnya ke bawah, lalu melangkah cepat ke depan dan menghantam kepala Baron dengan tinjunya sendiri, keras sekali, lebih keras dari semua pukulan sebelumnya.Braak!Suara benturan itu begitu keras hingga warga menjerit serempak. Darah menyembur dari mulut Baron Taji.Tubuh besar itu bergoyang sesaat, lalu jatuh menghantam aspal dengan bunyi berat. Debu naik ke udara.Sunyi.Benar-benar sunyi.Tak ada yang bergerak selama beberapa detik.Hanya napas Aksa yang terdengar, kasar, berat, tapi hidup. Ia berdiri di tengah jalan dengan tubuh penuh luka dan darah di tangannya.Warga menatap, sebagian menutup mulut, sebagian masih merekam dengan gemetar.Pasukan p

  • KEMBALINYA SANG PEWARIS TRILIUNER   28. Pertarungan Belum Selesai

    Sorak dan teriakan warga mulai membuncah di pinggir jalan. Sebagian memegang dada, sebagian menutup mulut, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat.Aksa, anak muda yang tadi terlempar oleh pukulan Baron Taji hingga memuntahkan darah, kini berdiri lagi sedikit goyah, tapi tegak.“Dia gila…” bisik seorang bapak paruh baya di antara kerumunan.“Gila tapi keren!” sahut pemuda lain sambil menahan napas, ponselnya masih mengarah ke tengah jalan.Baron Taji berdeham keras, otot-ototnya menegang seperti tali baja yang siap meletus. “Kau benar-benar cari mati, bocah.”Suara tawanya berat, namun di baliknya ada nada yang berbeda, bukan sekadar amarah, melainkan rasa kagum yang samar.Aksa hanya mengusap darah di bibirnya. “Aku tidak berkelahi untuk mati,” katanya pelan, “aku berkelahi untuk berdiri.”Kata-kata itu seperti menyiram bensin ke bara suasana. Warga yang menonton serentak terdiam. Bahkan hembusan angin pun terasa tertahan.Baron menggeram dan maju dengan langkah besar. Asp

  • KEMBALINYA SANG PEWARIS TRILIUNER   27. Pertarungan di Tengah Jalan

    Namun sebelum Aksa sempat maju lebih dekat, suara deru motor mendadak menggema dari kejauhan. Lampu-lampu putih menyala bersamaan, menyilaukan mata siapa pun yang menatap.Beberapa motor berhelm putih meluncur cepat dan berhenti melingkari Aksa. Di dada mereka terpampang logo kecil berbentuk kilatan perak.Warga mundur, terkejut.Baron Taji mengerutkan kening. “Pasukan pelindung…?” gumamnya. "Siapa sebenarnya anak muda ini?"Salah satu dari mereka melangkah maju, mengangkat senjata laras pendek yang bersinar dingin di bawah lampu motor. Suaranya berat dan terlatih, “Jauhi Tuan Muda kami, atau peluru ini akan menembus dadamu.”Baron menatap mereka sebentar, lalu tertawa keras, suaranya memantul di antara pepohonan.“Hahaha! Peluru? Tak akan ada peluru yang mampu menembus kulitku, bocah!”Ia menepuk dadanya, menantang. Namun sebelum pasukan itu sempat bereaksi, Aksa mengangkat tangannya pelan. Tatapannya tenang, namun suaranya tegas seperti bilah baja yang baru diasah.“Menyingkirlah. K

  • KEMBALINYA SANG PEWARIS TRILIUNER   26. Menantang Sang Legenda

    Sopirnya, Pak Darsan, hampir menahan. Bibirnya sudah terbuka, tapi kata-kata itu urung keluar. Ada sesuatu di tatapan Aksa yang membuatnya membeku di tempat.Itu bukan tatapan seorang mahasiswa biasa, bukan tatapan anak muda yang belum pernah mencium bahaya. Itu tatapan seseorang yang telah melihat maut, menatapnya tepat di mata, dan masih mampu berdiri tegak setelahnya.Aksa membuka pintu mobil. Angin masuk, membawa bau tanah basah dan bunyi serangga yang menyelinap di antara pepohonan. Suara pintu tertutup menggema di jalan sunyi itu, seperti tanda dimulainya sesuatu yang lebih besar dari sekadar perkelahian.Baron Taji melangkah maju. Suaranya berat, parau, seperti guruh yang menurunkan ancaman sebelum badai.“Jadi ini bocah yang katanya dapat uang dari pencucian uang itu?”Aksa tersenyum tipis, nyaris tidak terlihat. “Ternyata kabar burung memang cepat.”Baron terkekeh, tapi di balik tawa itu tersimpan nada penghinaan. “Kau kelihatan rapi, tapi jangan kira jas itu bisa menyelamatk

  • KEMBALINYA SANG PEWARIS TRILIUNER   25. Baron Taji

    Langkah Aksa terhenti mendadak di koridor fakultas yang mulai ramai oleh mahasiswa. Di ujung lorong, berdiri Saka dengan tangan bersedekap, menatapnya dengan senyum yang lebih mirip ejekan. Aksa menghela napas pendek, menurunkan pandangan sebentar, lalu melangkah ke samping.“Kalau nggak ada urusan penting, minggir. Saya mau ke kelas,” ucapnya datar.Saka justru bergeming. Tatapan sinisnya menyapu dari ujung kepala sampai sepatu Aksa yang berkilat. “Rupanya selama ini kamu cuma sok kaya aja, ya. Uang yang kamu pamerin itu… belum jelas sumbernya dari mana.”Beberapa mahasiswa yang lewat melambat, pura-pura mencari sinyal tapi sebenarnya ingin mendengar. Aksa menatap Saka dingin, rahangnya mengeras.“Jadi ini pekerjaan kamu?” tanyanya pelan tapi tajam. “Kamu yang nyebarin rumor itu?”Saka tersenyum tipis. “Nggak perlu menuduh siapa pun. Toh, kebenaran bakal kelihatan juga tanpa perlu aku ngomong apa pun.” Ia melangkah lebih dekat, suara rendahnya menekan setiap kata. “Yang penting sekar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status