 LOGIN
LOGINAksa tercengang. “Jadi… istrinya yang sekarang?”
Surya mengangguk perlahan. “Ya. Nyonya Rukmini. Setelah beberapa tahun berlalu, dia menikah dengan Tuan Besar tanpa pernah mengaku apa yang telah ia lakukan.”
Aksa merasakan dada kirinya berdenyut. “Dia… menculikku?”
“Benar.” Surya menghela napas berat. “Dan ketika Tuan Besar akhirnya mengetahui kebenaran itu, beliau diam-diam menyuruh saya untuk mencari Anda. Itu perintah langsung… tanpa sepengetahuan siapa pun, termasuk istrinya.”
Aksa masih diam, pikirannya berputar. Setiap kata dari Surya seperti potongan puzzle masa lalu yang berserakan, kini mulai membentuk gambar samar tentang hidupnya sendiri.
“Lalu?” tanya Aksa akhirnya, suaranya pelan namun tegas. “Apa yang terjadi setelah itu?”
“Saya menelusuri semua jejak,” kata Surya, matanya menerawang. “Dan saya mendapat kabar… bahwa Nyonya Rukmini menitipkan bayi itu kepada seorang perempuan tua bernama Hadijah. Seorang nelayan menemukan rumahnya di pesisir, dan dari sana kami menelusuri lebih jauh.”
Aksa mencondongkan tubuh ke depan, suaranya tegang. “Dan di sanalah kalian menemukan… siapa?”
Surya menatapnya dalam. “Di sanalah kami menemukan Beni Pramudita.”
Aksa tertegun. “Beni Pramudita?”
“Ya,” sahut Surya, mengangguk perlahan. “Kami semua yakin dialah anak yang Tuan Besar cari selama ini. Semua bukti mengarah padanya. Umurnya cocok, ciri-cirinya mirip.”
Aksa menatap Surya tanpa berkedip. “Jadi… Beni Pramudita mengambil tempatku?”
Surya menunduk, menahan napas sesaat. “Bisa dibilang begitu. Kami mengira dia benar-benar Anda, hingga akhirnya Tuan Besar memutuskan untuk melakukan tes DNA ketika Beni sudah kuliah.”
Aksa berbisik lirih, “Dan hasilnya?”
Surya menatapnya lagi, mata tuanya tampak lelah tapi jujur. “Negatif. Dia bukan anak kandung Tuan Besar Damar Pramudita. Tapi sayangnya, semua warisan, surat, dan nama keluarga… sudah terlanjur diserahkan padanya.”
Aksa terdiam. Dunia seolah memutar di sekelilingnya. Antara percaya dan tidak, antara ingin bangkit atau sekadar tetap duduk dan menunggu semuanya lewat seperti mimpi buruk.
“Jadi selama ini…” suaranya pecah pelan. “Aku… yang seharusnya hidup di rumah itu. Aku yang seharusnya menyandang nama Pramudita…”
Surya menatapnya dengan penuh iba. “Dan Tuan Besar ingin menebus semua itu, Tuan Muda. Ia ingin segalanya dikembalikan pada tempatnya. Tapi hanya jika Anda siap mengetahui seluruh kebenaran, termasuk tentang bagaimana dan mengapa Anda bisa terbangun dalam rupa Beni Pramudita di pulau itu.”
Aksa menarik napas panjang, mencoba menstabilkan dirinya. Semua yang baru saja ia dengar terasa seperti badai yang datang tanpa tanda, mengguncang keyakinannya tentang siapa dirinya selama ini. Ia menatap Surya yang kini duduk tegak dengan wajah serius, namun tampak menimbang-nimbang setiap kata yang akan keluar dari mulutnya.
“Tolong jelaskan selanjutnya,” ucap Aksa akhirnya, suaranya bergetar namun tegas.
Surya mengangguk perlahan, lalu berkata, “Setelah kami tahu Beni Pramudita bukan anak kandung Tuan Besar, kami mulai menelusuri kembali semua catatan lama. Kami menggali setiap nama, setiap saksi, setiap kemungkinan yang pernah terlewat.”
Ia berhenti sejenak, menatap laut di luar jendela yang tampak mulai berkilau diterpa cahaya pagi. “Dan dari sanalah, kami menemukan satu hal yang dulu tak pernah kami duga.”
Aksa mengernyit. “Apa itu?”
“Perempuan tua bernama Hadijah,” jawab Surya lirih, “memang pernah dititipkan seorang bayi oleh Nyonya Rukmini, sekitar waktu yang sama dengan hilangnya Tuan Muda. Tapi... beberapa bulan kemudian, Hadijah melahirkan bayinya sendiri, seorang anak laki-laki bernama Beni Pramudita.”
Aksa menatap Surya tanpa berkedip. “Jadi... bayi yang dititipkan dan bayi yang dilahirkan itu... dua orang yang berbeda?”
“Benar,” kata Surya mantap. “Dan di tengah kondisi miskin dan kebingungan, Hadijah akhirnya menyerahkan bayi yang bukan darah dagingnya itu kepada seorang perempuan tua di desa sebelah, perempuan yang kini kau panggil Nenek.”
Aksa menegang, tubuhnya sedikit condong ke depan. “Nenekku?”
Surya mengangguk pelan. “Ya. Nenekmu yang sekarang tinggal bersamamu. Dialah yang merawatmu sejak kau masih bayi.”
Aksa menatap lantai. Suaranya nyaris tak terdengar ketika bertanya, “Jadi… nenek sudah tahu semuanya?”
Surya menggeleng pelan. “Tidak sepenuhnya. Dia tidak tahu siapa orang tuamu sebenarnya. Nenekmu hanya tahu bahwa kamu bukan cucu kandungnya. Tapi karena ia terlalu menyayangimu, ia memilih untuk berbohong.”
Aksa mengangkat wajahnya, matanya bergetar. “Berbohong?”
“Ya,” jawab Surya lembut. “Ia hanya ingin kamu tumbuh tanpa luka. Jadi ia mengatakan bahwa kedua orang tuamu sudah meninggal. Ia takut jika kamu tahu kebenaran terlalu cepat, kamu akan tersesat dalam kesedihan dan kebingungan.”
Aksa terdiam lama. Dadanya sesak. Ia merasa seperti tanah di bawah kakinya baru saja runtuh.
Semua yang selama ini ia yakini tentang keluarga, asal-usul, bahkan kasih sayang yang ia kenal, ternyata bukan seperti yang ia kira.
“Lalu apa yang terjadi setelah itu?” tanyanya pelan.
Surya menegakkan tubuh, kembali ke nada profesional tapi lembut. “Kami terus menelusuri jejakmu, Tuan Muda. Bertahun-tahun kami mencari, menelusuri nama, alamat, catatan sekolah, hingga akhirnya… kami tahu kau hidup dalam keadaan sulit.”
Aksa menatapnya. “Sulit bagaimana maksudnya?”
“Menurut laporan yang kami terima,” lanjut Surya hati-hati, “kau sempat menjadi pesuruh di kampus tempat kau bekerja. Kau dimanfaatkan oleh anak pemilik kampus itu, Tristan Alvero.”
Aksa mengernyit tajam. “Tristan?”
Surya mengangguk. “Ironisnya, ayah Tristan, Tuan Rendra Wijaya hanyalah pengelola, bukan pemilik sebenarnya dari kampus itu.”
Aksa menatap Surya tak percaya. “Bukan pemilik? Tapi semua orang tahu kalau kampus itu milik keluarga Wijaya!”
Surya menatapnya dalam, lalu tersenyum getir. “Itu yang semua orang tahu. Tapi yang sebenarnya… kampus itu adalah salah satu anak perusahaan dari grup besar milik Tuan Damar Pramudita.”
Aksa tertegun, mulutnya sedikit terbuka. “Jadi… selama ini?”
“Ya,” jawab Surya mantap. “Tanpa pernah tahu bahwa setiap langkahmu di sana… sebenarnya tak pernah jauh dari bayangan keluargamu sendiri.”
Aksa menyandarkan tubuhnya ke kursi, pandangannya kosong menatap langit-langit villa. Suara ombak di luar kini terdengar lebih dekat, seperti ingin menyapu segala kebohongan yang selama ini menutupi hidupnya.
Surya menarik napas panjang sebelum melanjutkan. Suaranya terdengar lebih pelan, seolah setiap kata membawa beban yang berat.
“Setelah itu, kami memutuskan untuk melakukan tes DNA terhadapmu. Tapi Tuan Besar tidak ingin mengambil risiko. Ia masih trauma dengan kejadian Beni Pramudita… Ia takut semuanya terulang. Maka… ia memerintahkan kami untuk menculikmu diam-diam.”
Aksa menegang. Matanya membulat, tubuhnya sedikit condong ke depan.
“Jadi… yang menculik dan membawa saya ke laboratorium waktu itu adalah kalian?”
Surya menunduk, wajahnya menyesal. “Maafkan kami, Tuan Muda. Kami tak punya pilihan. Perintah itu langsung dari Tuan Besar. Semua dilakukan demi memastikan kebenaran tanpa menimbulkan kegaduhan.”
Hening sesaat. Suara detak jam dinding terdengar jelas di antara mereka.
“Dan setelah kami mendapat hasilnya…” Surya melanjutkan dengan suara serak, “hasil tes DNA itu membuktikan bahwa kau memang anak kandung Tuan Besar Damar Pramudita.”
Aksa terdiam, matanya bergetar menatap kosong ke depan. Antara lega dan marah bercampur di dadanya.

“Oh iya… iya! Betul juga, maaf ya, Nak Beni,” katanya cepat-cepat, pura-pura salah tingkah. “Tapi bagaimana pun kamu itu juga cucu Nenek... eh, maksud Nenek, teman cucu Nenek.”Aksa memijat telinganya yang masih merah, menatap neneknya sambil cemberut. “Iya, iya, Nek. Tapi lain kali jewernya jangan kekencengan.”Dita menahan tawa, menutup mulutnya dengan tangan. Sang nenek ikut terkekeh kecil, pura-pura batuk untuk menutupi.Ruangan itu kembali hangat. Matahari sore mengintip dari sela tirai, membiaskan cahaya lembut ke wajah mereka bertiga.Dan untuk sesaat, luka, darah, dan pertarungan tadi terasa seperti mimpi yang perlahan memudar, menyisakan tawa kecil dan rasa hangat yang sulit dijelaskan.Ketukan pelan terdengar di pintu kamar. Tok… tok… tok…Nenek yang duduk di kursi dekat ranjang segera berdiri dan membukanya. Di balik pintu, berdiri Pak Surya, mengenakan jas hitam rapi seperti biasa, wajahnya penuh kecemasan.“Nenek, biar saya bicara sebentar dengan Tuan Muda,” ucapnya sopan
Baron berusaha berdiri, tubuhnya goyah tapi matanya masih menyala. Ia mengangkat tinjunya tinggi, napasnya berat.“Kau… benar-benar membuatku… marah, bocah!”Ia berlari, tinjunya mengayun ke arah kepala Aksa. Udara bergetar oleh kekuatannya.Namun Aksa tidak menghindar.Dengan refleks yang tajam, ia menangkap tangan Baron di udara, memutarnya ke bawah, lalu melangkah cepat ke depan dan menghantam kepala Baron dengan tinjunya sendiri, keras sekali, lebih keras dari semua pukulan sebelumnya.Braak!Suara benturan itu begitu keras hingga warga menjerit serempak. Darah menyembur dari mulut Baron Taji.Tubuh besar itu bergoyang sesaat, lalu jatuh menghantam aspal dengan bunyi berat. Debu naik ke udara.Sunyi.Benar-benar sunyi.Tak ada yang bergerak selama beberapa detik.Hanya napas Aksa yang terdengar, kasar, berat, tapi hidup. Ia berdiri di tengah jalan dengan tubuh penuh luka dan darah di tangannya.Warga menatap, sebagian menutup mulut, sebagian masih merekam dengan gemetar.Pasukan p
Sorak dan teriakan warga mulai membuncah di pinggir jalan. Sebagian memegang dada, sebagian menutup mulut, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat.Aksa, anak muda yang tadi terlempar oleh pukulan Baron Taji hingga memuntahkan darah, kini berdiri lagi sedikit goyah, tapi tegak.“Dia gila…” bisik seorang bapak paruh baya di antara kerumunan.“Gila tapi keren!” sahut pemuda lain sambil menahan napas, ponselnya masih mengarah ke tengah jalan.Baron Taji berdeham keras, otot-ototnya menegang seperti tali baja yang siap meletus. “Kau benar-benar cari mati, bocah.”Suara tawanya berat, namun di baliknya ada nada yang berbeda, bukan sekadar amarah, melainkan rasa kagum yang samar.Aksa hanya mengusap darah di bibirnya. “Aku tidak berkelahi untuk mati,” katanya pelan, “aku berkelahi untuk berdiri.”Kata-kata itu seperti menyiram bensin ke bara suasana. Warga yang menonton serentak terdiam. Bahkan hembusan angin pun terasa tertahan.Baron menggeram dan maju dengan langkah besar. Asp
Namun sebelum Aksa sempat maju lebih dekat, suara deru motor mendadak menggema dari kejauhan. Lampu-lampu putih menyala bersamaan, menyilaukan mata siapa pun yang menatap.Beberapa motor berhelm putih meluncur cepat dan berhenti melingkari Aksa. Di dada mereka terpampang logo kecil berbentuk kilatan perak.Warga mundur, terkejut.Baron Taji mengerutkan kening. “Pasukan pelindung…?” gumamnya. "Siapa sebenarnya anak muda ini?"Salah satu dari mereka melangkah maju, mengangkat senjata laras pendek yang bersinar dingin di bawah lampu motor. Suaranya berat dan terlatih, “Jauhi Tuan Muda kami, atau peluru ini akan menembus dadamu.”Baron menatap mereka sebentar, lalu tertawa keras, suaranya memantul di antara pepohonan.“Hahaha! Peluru? Tak akan ada peluru yang mampu menembus kulitku, bocah!”Ia menepuk dadanya, menantang. Namun sebelum pasukan itu sempat bereaksi, Aksa mengangkat tangannya pelan. Tatapannya tenang, namun suaranya tegas seperti bilah baja yang baru diasah.“Menyingkirlah. K
Sopirnya, Pak Darsan, hampir menahan. Bibirnya sudah terbuka, tapi kata-kata itu urung keluar. Ada sesuatu di tatapan Aksa yang membuatnya membeku di tempat.Itu bukan tatapan seorang mahasiswa biasa, bukan tatapan anak muda yang belum pernah mencium bahaya. Itu tatapan seseorang yang telah melihat maut, menatapnya tepat di mata, dan masih mampu berdiri tegak setelahnya.Aksa membuka pintu mobil. Angin masuk, membawa bau tanah basah dan bunyi serangga yang menyelinap di antara pepohonan. Suara pintu tertutup menggema di jalan sunyi itu, seperti tanda dimulainya sesuatu yang lebih besar dari sekadar perkelahian.Baron Taji melangkah maju. Suaranya berat, parau, seperti guruh yang menurunkan ancaman sebelum badai.“Jadi ini bocah yang katanya dapat uang dari pencucian uang itu?”Aksa tersenyum tipis, nyaris tidak terlihat. “Ternyata kabar burung memang cepat.”Baron terkekeh, tapi di balik tawa itu tersimpan nada penghinaan. “Kau kelihatan rapi, tapi jangan kira jas itu bisa menyelamatk
Langkah Aksa terhenti mendadak di koridor fakultas yang mulai ramai oleh mahasiswa. Di ujung lorong, berdiri Saka dengan tangan bersedekap, menatapnya dengan senyum yang lebih mirip ejekan. Aksa menghela napas pendek, menurunkan pandangan sebentar, lalu melangkah ke samping.“Kalau nggak ada urusan penting, minggir. Saya mau ke kelas,” ucapnya datar.Saka justru bergeming. Tatapan sinisnya menyapu dari ujung kepala sampai sepatu Aksa yang berkilat. “Rupanya selama ini kamu cuma sok kaya aja, ya. Uang yang kamu pamerin itu… belum jelas sumbernya dari mana.”Beberapa mahasiswa yang lewat melambat, pura-pura mencari sinyal tapi sebenarnya ingin mendengar. Aksa menatap Saka dingin, rahangnya mengeras.“Jadi ini pekerjaan kamu?” tanyanya pelan tapi tajam. “Kamu yang nyebarin rumor itu?”Saka tersenyum tipis. “Nggak perlu menuduh siapa pun. Toh, kebenaran bakal kelihatan juga tanpa perlu aku ngomong apa pun.” Ia melangkah lebih dekat, suara rendahnya menekan setiap kata. “Yang penting sekar








