Share

4. Rahasia Terungkap

Penulis: Hakayi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-29 18:18:24

Aksa berjalan mengikuti pria berjas tadi. Begitu tiba di teras villa, dua pria lain berjas hitam berdiri tegak dengan ekspresi kaku.

“Selamat pagi. Silakan masuk, Tuan Muda,” ucap salah satu sambil menunduk hormat.

Panggilan itu terasa aneh di telinganya. Namun Aksa hanya mengangguk dan melangkah masuk.

Begitu pintu terbuka, aroma kayu mahal dan teh melati menyambutnya. Ruang tamu luas dengan pemandangan laut terbuka. Di sana, seorang pria paruh baya berdiri menunggu dengan tenang, tapi matanya bergetar melihat Aksa, seolah menyaksikan sesuatu yang lama dinanti.

“Selamat datang, Tuan Muda,” ucapnya takzim.

Aksa mengerutkan kening. “Terima kasih.” Ia tahu pria itu bukan ayah yang dimaksud para penjemput, tapi cara bicaranya menunjukkan posisi penting.

“Saya Surya,” katanya memperkenalkan diri, lalu mempersilakan Aksa duduk. Dua pelayan datang membawa teh dan kue kecil, semuanya tampak disusun dengan ketelitian yang nyaris seremonial.

Aksa menyeruput teh, menatap lurus. “Langsung saja, Pak Surya. Apa sebenarnya yang ingin Bapak sampaikan?”

Surya menghela napas panjang. “Saya mohon maaf, Tuan Muda, karena membuat Anda bingung. Tapi justru Andalah yang pantas kami panggil demikian, bukan Beni Pramudita, nama yang Anda kenal di kartu identitas dan buku rekening yang sekarang ada bersama Tuan Muda.”

Aksa terdiam, jantungnya berdentum keras. “Maksud Bapak apa?”

“Apakah Anda mengenal seorang pengusaha bernama Damar Pramudita?”

Nama itu seperti petir di siang bolong. Aksa mengangguk pelan. “Pemilik banyak perusahaan besar… orang yang jarang muncul di publik.”

“Benar,” kata Surya pelan. “Dan sesungguhnya, Tuan Aksa… Anda adalah anak kandung Tuan Besar Damar Pramudita yang selama ini hilang.”

Waktu seolah berhenti. Suara ombak menjauh.

“Saya… anaknya?” suara Aksa bergetar. “Jangan bercanda. Saya punya nenek! Saya tahu wajah orang tua saya dari foto dan itu bukan Tuan Damar!”

Surya tetap tenang. “Duduklah dulu, Tuan Muda. Izinkan saya menjelaskan.”

Aksa menatap tajam, tapi akhirnya menuruti. Ia duduk dengan napas kasar.

Surya memandangi laut di luar jendela, lalu mulai bicara. “Saya adalah manajer pribadi Tuan Besar Damar Pramudita. Dua puluh lima tahun saya bekerja padanya. Dan sejak hari kelam itu, saya diberi tugas satu, menemukan Anda.”

“Menemukan saya?” Aksa tertawa getir. “Saya bahkan baru tahu nama Anda hari ini.”

“Karena baru sekaranglah kami berhasil.” Surya menatapnya dalam. “Ibumu, Nyonya Linda, meninggal saat melahirkanmu. Sejak saat itu, hidup Tuan Besar berubah total. Beliau kehilangan cinta sekaligus putra dalam satu hari.”

Aksa menunduk, dada sesak. “Jadi… aku bahkan belum sempat melihat wajah ibuku?”

“Tidak, Tuan Muda. Beliau pun hanya sempat menggendongmu sebentar.”

Angin laut menggoyang tirai tipis. Aksa menatap kosong, sementara Surya melanjutkan.

“Beberapa tahun kemudian, Tuan Besar mendapat kabar bahwa bayi yang hilang itu diculik oleh seorang perempuan bernama Rukmini. Saat itu dia hanyalah pekerja biasa di lingkaran keluarga. Tapi ia memiliki obsesi aneh terhadap Tuan Besar.”

Aksa menatapnya tajam. “Rukmini… maksud Bapak, istri Tuan Damar sekarang?”

Surya mengangguk perlahan. “Ya. Ia menikah dengan Tuan Besar bertahun-tahun setelah itu, tanpa pernah mengaku apa yang telah dilakukannya.”

Darah Aksa berdesir. “Dia… menculikku?”

“Benar. Dan ketika kebenaran itu akhirnya terkuak, Tuan Besar memerintahkan saya mencari Anda diam-diam tanpa sepengetahuan siapa pun, termasuk istrinya.”

Surya menghela napas panjang. “Kami menelusuri jejaknya, sampai akhirnya menemukan bahwa Rukmini pernah menitipkan seorang bayi kepada perempuan tua bernama Hadijah di pesisir. Dari sana, kami menemukan rumahnya, namun ibu bernama Hadijah itu ternyata sudah meninggal. Kami hanya menemukan anaknya bernama Beni Pramudita.”

“Beni?” Aksa menegakkan tubuhnya.

“Ya. Kami mengira dialah putra yang hilang. Semua ciri cocok, umurnya pun sesuai. Tuan Besar bahkan memberi nama Pramudita kepadanya.”

“Dan hasilnya?”

“Negatif.” Surya menatapnya tajam. “Tes DNA membuktikan dia bukan darah daging Tuan Besar. Tapi semuanya sudah terlanjur karena nama, warisan, perusahaan. Semua sudah di atas namanya secara diam-diam untuk diumumkan kedepannya.”

Aksa memejamkan mata. Dunia berputar di sekitarnya. “Jadi selama ini… akulah yang seharusnya hidup di rumah itu. Aku yang seharusnya menyandang nama Pramudia.”

“Benar,” ucap Surya lirih. “Dan Tuan Besar ingin menebusnya. Tapi hanya jika Anda siap mengetahui seluruh kebenaran, termasuk bagaimana Anda bisa tumbuh dalam rupa Beni Pramudita di pulau itu.”

“Lanjutkan,” ujar Aksa pelan.

Surya menatap laut. “Kami menelusuri semua catatan. Ternyata, Hadijah bukan hanya menerima titipan bayi dari Rukmini, beberapa bulan kemudian, dia melahirkan bayinya sendiri, juga laki-laki. Anak itu diberi nama Beni. Jadi, bayi yang dititipkan dan bayi yang dilahirkan adalah dua orang berbeda.”

Aksa tertegun. “Dan bayi titipan itu…?”

“Diberikan pada seorang perempuan tua di desa sebelah, perempuan yang kini kau panggil Nenek.”

Napas Aksa tercekat. “Nenekku?”

Surya mengangguk. “Ya. Dialah yang merawatmu sejak bayi. Tapi ia tidak tahu siapa orang tuamu sebenarnya. Ia hanya tahu bahwa kau bukan cucu kandungnya. Namun karena kasih sayangnya begitu besar, ia memilih berbohong, agar kau tumbuh tanpa luka.”

Aksa menunduk. Suaranya nyaris hilang. “Jadi… selama ini, aku hidup dalam kebohongan?”

“Bukan kebohongan, Tuan Muda,” ucap Surya lembut. “Tapi perlindungan.”

Keheningan jatuh di antara mereka. Suara ombak di luar seolah menggulung semua yang tersisa dari keyakinan Aksa selama ini. Ia menggenggam lutut, mencoba menenangkan dirinya yang gemetar.

“Lalu bagaimana kalian menemukan saya?”

“Kami terus menelusuri jejakmu,” jawab Surya. “Menurut laporan, hidupmu tidak mudah. Kau sempat menjadi pesuruh di kampus, dimanfaatkan oleh anak pemiliknya Tristan Alvero.”

Aksa menatap Surya tajam. “Rupanya kalian pun tahu soal itu.”

“Ya. Ironisnya, ayah Tristan, Rendra Wijaya, hanyalah pengelola kampus itu, bukan pemilik sebenarnya.”

Aksa mengernyit. “Bukan pemilik? Tapi semua orang tahu itu milik keluarga Wijaya!”

Surya tersenyum getir. “Yang sebenarnya, kampus itu adalah salah satu anak perusahaan dari grup besar milik Tuan Damar Pramudita. Dengan kata lain, tanpa sadar, Anda kuliah di kampus milik keluarga Anda sendiri.”

Aksa terdiam. Dadanya berdebar tak karuan. Ia bersandar, menatap langit-langit villa yang terasa semakin menekan. Ombak di luar menggulung lebih keras, seolah ikut menertawakan kebodohannya.

Surya menunduk sejenak, lalu melanjutkan. “Tuan Besar memerintahkan kami untuk memastikan kebenaran itu lewat tes DNA. Tapi setelah pengalaman dengan Beni, beliau tak ingin menimbulkan kehebohan. Maka… perintahnya hanya satu, bawa Anda diam-diam ke laboratorium.”

Aksa menatapnya dengan sorot tajam. “Jadi… yang menculikku waktu itu… kalian?”

Surya menunduk dalam penyesalan. “Maafkan kami, Tuan Muda. Semua dilakukan demi memastikan kebenaran tanpa melibatkan publik. Dan setelah hasil keluar…” ia berhenti sejenak, suaranya bergetar, “…hasilnya menunjukkan bahwa Anda memang anak kandung Tuan Besar Damar Pramudita.”

Aksa menatap kosong ke depan. Antara lega dan marah bercampur di dadanya. Dunia yang selama ini ia kenal nenek yang ia sayangi, nama yang ia banggakan, bahkan identitas yang ia bela, semuanya tiba-tiba menjadi kabur.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • KEMBALINYA SANG PEWARIS TRILIUNER   84. Persiapan Grand Opening

    Baron Taji meletakkan ponsel di meja kayu yang sederhana, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Pembicaraan dengan Aksa barusan membuatnya semakin gelisah, namun ada sedikit rasa lega yang menyertai pikiran-pikirannya.Tiba-tiba, suara pintu yang terbuka mengagetkan Baron. Dia langsung menoleh, dan dengan cepat, jantungnya berdegup kencang. Dari kejauhan, berdiri seseorang yang sudah lama tidak ia temui, seseorang yang menatapnya dengan tatapan penuh makna—Darren."Tuan Muda?" ucap Baron Taji dengan suara yang sedikit gugup, suaranya hampir tercekat. Darren, pria yang selama ini menjadi sosok yang harus ia hormati dan takuti, berdiri dengan sikap santai, seolah tidak ada yang salah.Tersenyum tipis, Darren melangkah maju, matanya mengamati sekitar rumah kecil tempat Baron tinggal, rumah yang jauh dari kesan mewah seperti yang biasa didiaminya dulu.Baron Taji menelan ludah, mencoba untuk tetap tenang meskipun kecemasan semakin membanjiri pikirannya. Apakah Darren mendengar pembicaraa

  • KEMBALINYA SANG PEWARIS TRILIUNER   83. Mulai Bergerak

    Ruangan kerja Rafael terasa dingin meskipun hari sudah menjelang sore. Rafael, mengenakan kemeja mahal yang disetrika sempurna, berdiri di depan jendela, memandang ke kejauhan Kota Jayakarta. Di depannya, duduk anggun Nyonya Rukmini, ibu tiri Aksa, yang kini menjadi mitra konspirasi utamanya.Nyonya Rukmini menyesap teh mahalnya, matanya meneliti Rafael, memastikan dia sepenuhnya fokus."Aku datang untuk memberikan update," ujar Nyonya Rukmini, suaranya pelan dan berwibawa, namun membawa nada penuh kemenangan. "Soal Baron Taji. Dia sudah aman."Rafael, tanpa berbalik, mengangguk perlahan. "Aman bagaimana, Rukmini?""Dia sudah dipindahkan ke rumah peristirahatan yang kita siapkan. Jauh di pinggiran. Akses komunikasinya kita batasi, dan semua kebutuhannya diurus oleh anak buahku yang paling loyal. Dia tak akan bisa menghubungi siapa pun, apalagi Aksa." Nyonya Rukmini tersenyum puas. "Anggap saja dia sedang liburan yang sangat panjang."Rafael akhirnya berbalik. Ekspresi di wajahnya tida

  • KEMBALINYA SANG PEWARIS TRILIUNER   82. Perubahan Kirana

    Pagi itu, di kediaman mewah Pramudita, suasana sarapan di meja makan terasa hangat di permukaan, tetapi dipenuhi aura ambisi dan ketegangan yang kental. Cahaya matahari pagi menembus jendela kaca setinggi langit-langit, menerangi Darren, Nyonya Rukmini serta kedua adik perempuannya, Kirana dan Nadin, yang duduk mengelilingi meja panjang.Darren, mengenakan kemeja sutra mahal, tampak bersemangat. Di sampingnya, Nyonya Rukmini memegang cangkir teh porselennya dengan anggun, namun sorot matanya yang tajam menunjukkan bahwa pikirannya jauh lebih fokus pada kekuasaan daripada hidangan pagi.Kirana, adik tengah, memulai percakapan sambil mengoleskan selai pada rotinya. Pertanyaan yang ia lontarkan terdengar santai, tetapi memiliki nada menusuk yang tidak biasa."Bagaimana perkembangan kafe kopi Kakak?" tanya Kirana, suaranya tenang, namun pandangannya lurus tertuju pada kakaknya.Darren tersenyum bangga, meletakkan garpunya dengan bunyi denting pelan di atas piring. "Prosesnya berjalan sang

  • KEMBALINYA SANG PEWARIS TRILIUNER   81. Mata-Mata

    Setelah mengakhiri panggilan dengan Pak Surya, Aksa tidak langsung meletakkan ponselnya. Ia masih berada di dalam mobil, hanya beberapa menit dari penthouse-nya. Tugas berikutnya adalah mengamankan mata-mata baru mereka.Aksa menekan kontak speed dial dan menunggu sebentar. Sambungan terangkat."Sangga," panggil Aksa, suaranya tetap tenang namun tegas."Ya, Tuan Muda?" jawab Sangga dari seberang, suaranya terdengar siap siaga."Pastikan Baron Taji tidak membuat kesalahan. Meskipun dia sudah berjanji, dia tetaplah variabel yang tidak bisa dipercaya sepenuhnya," instruksi Aksa, matanya fokus pada lampu lalu lintas di depannya. "Saya ingin kamu tetap mengawasinya dari jauh."Aksa memastikan suaranya terdengar jelas, tanpa ada ruang untuk keraguan."Dan yang terpenting, kamu harus terus berkomunikasi dengannya. Jangan lewatkan satu pun kabar yang dia kirimkan. Laporkan langsung kepadaku jika ada gerakan mencurigakan dari pihak Nyonya Rukmini atau Rafael," lanjut Aksa."Paham, Tuan Muda,"

  • KEMBALINYA SANG PEWARIS TRILIUNER   80. Langkah Selanjutnya

    Udara dingin dan lembap merayap di gudang tua yang pengap. Hanya satu lampu pijar redup yang tergantung di langit-langit, menyorot Baron Taji yang terikat kuat pada sebuah kursi kayu. Wajahnya lebam, pakaiannya kotor.Aksa berdiri diam di depan Baron Taji. Raut wajahnya tak terbaca, matanya tajam memindai ekspresi pria yang kini tak berdaya itu. Aksa sudah mendapatkan pengakuan yang dia butuhkan, tapi kini muncul dilema baru.Setelah beberapa saat berpikir, Aksa menoleh ke arah Sangga yang berdiri tegap di sudut ruangan."Sangga," panggil Aksa pelan."Ya, Tuan Muda?"Aksa menatap Baron Taji sekali lagi, lalu kembali ke Sangga. "Lepaskan ikatannya."Sangga tampak terkejut. Pria bertubuh besar itu sedikit memajukan keningnya, tidak percaya dengan perintah yang baru didengarnya."Tuan Muda yakin?" tanya Sangga, memastikan. Suaranya terdengar berat dan penuh keraguan.Aksa tidak berbalik. Tatapannya lurus ke depan, ke arah kegelapan. "Cepat lepaskan sekarang."Sangga mengangguk, menghilan

  • KEMBALINYA SANG PEWARIS TRILIUNER   79. Pengakuan Baron Taji

    Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, suara langkah kaki terdengar, dan pintu terbuka. Aksa muncul di ambang pintu, wajahnya tenang, namun ada kekasaran yang tercermin di matanya. Pistol yang dipegangnya diarahkan langsung ke arah Baron Taji, matanya tajam menatap."Sekarang cepat katakan, siapa dalang di balik niat jahatmu kepadaku selama ini?" suara Aksa terdengar tegas, tanpa kompromi. Ada rasa amarah yang terpendam di dalamnya, sesuatu yang Baron Taji bisa rasakan. Aksa tahu bahwa dengan informasi yang dimilikinya, ia akan lebih dekat dengan jawaban yang sudah lama ia cari.Baron Taji merasa ketakutan. Wajah Aksa yang dingin dan penuh ancaman membuatnya semakin tidak bisa mengontrol dirinya. Dia tahu, jika dia tidak memberikan jawaban yang benar, semuanya akan berakhir buruk. Dia harus mengaku, apapun yang terjadi. Mungkin, hanya dengan bergabung dengan Aksa, ia masih punya kesempatan untuk bertahan hidup.Dengan suara gemetar, Baron Taji berbicara. "Aku akan memberi tahu semuany

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status