 LOGIN
LOGINNamun kemudian, pertanyaan lain muncul. “Tapi… kenapa kalian mengubah wajahku seperti Beni Pramudita?” tanyanya, penuh kebingungan dan sedikit nada getir.
Surya menarik napas panjang lagi. “Itu keputusan Tuan Besar. Setelah tahu kebenaran, beliau mendatangi Beni Pramudita dengan niat baik. Ia ingin memperbaiki segalanya, mengembalikan seluruh hak warisan kepada yang seharusnya, yaitu kamu.”
“Dan Beni… setuju?”
“Pada awalnya, ya. Tuan Besar menjanjikan kehidupan yang layak di luar negeri untuknya. Tapi agar proses itu bisa berjalan tanpa menimbulkan gejolak hukum dan media, Tuan Besar memutuskan satu hal ekstrem, yaitu mengubah penampilanmu agar menyerupai Beni Pramudita. Kau menjalani operasi rekonstruksi wajah dengan dokter bedah terbaik yang bisa kami temukan. Tujuannya hanya satu: agar kau bisa menggantikan posisinya di atas kertas.”
Aksa menggeleng pelan, sulit mempercayai apa yang baru saja ia dengar. “Dan… setelah itu?”
Surya menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Semua berjalan sesuai rencana. Dan sampai hari itu. Gempa besar itu datang tanpa peringatan. Tempat operasi berlangsung runtuh. Kami kehilangan komunikasi. Dan kau…” ia berhenti sejenak, menelan ludah, “kau berhasil selamat dan melarikan diri tanpa kami ketahui.”
Aksa terdiam lama, mencoba mengurai kepingan memori samar di kepalanya. Suara sirene, teriakan, dan bau obat-obatan bercampur debu beton.
Surya melanjutkan dengan suara lebih lirih,
“Beni Pramudita dinyatakan meninggal dalam bencana itu. Padahal Tuan Besar sudah menyiapkan kehidupan baru untuknya di luar negeri. Tapi semua lenyap begitu saja.”
Aksa mengangkat wajahnya perlahan, menatap Surya dengan mata yang mulai memerah.
“Lalu… di mana ayahku sekarang?”Pertanyaan itu menggantung lama di udara. Surya menunduk. Tangannya mengepal di atas lutut.
“Tolong jawab,” desak Aksa, nadanya bergetar namun tegas.
Surya menarik napas panjang, lalu akhirnya berkata dengan suara pecah,
“Ayahmu… sudah meninggal, Tuan Muda.”
Aksa terpaku. Suasana di ruangan itu seolah berhenti berdetak.
Surya menunduk lebih dalam, suaranya nyaris berbisik. “Beliau beberapa hari setelah gempa itu… sebelum sempat melihatmu kembali.”
Air mata jatuh di pipi Surya, tak tertahan.
“Beliau pergi dengan penyesalan yang tak pernah usai… karena tak sempat memeluk anaknya yang hilang dua kali.”
Aksa menatapnya lama, matanya kosong, namun di balik kebisuannya, sesuatu di dalam dirinya hancur pelan-pelan.
“Kenapa… ayah meninggal?” suara Aksa nyaris berbisik, namun ada nada tajam yang menahan di ujung lidahnya.
Surya menatap Aksa lama, seolah mencari waktu yang tepat untuk menjawab. Tapi akhirnya kata-kata itu meluncur juga dari mulutnya, berat dan getir.
“Dia diduga dibunuh, Tuan Muda.”Aksa terperanjat. “Dibunuh?” Suaranya meninggi, napasnya tersengal.
Surya mengangguk perlahan. “Ya. Dugaan kami… pelakunya adalah istrinya sendiri, Nyonya Rukmini.”
Ruangan seketika terasa dingin. Angin laut dari jendela menerobos masuk, membawa aroma asin yang menusuk. Aksa memejamkan mata sejenak, berusaha menelan kenyataan itu.
“Tidak mungkin…” gumamnya lirih. “Kenapa dia tega?”Surya menunduk. “Motifnya belum jelas. Tapi selama ini Nyonya Rukmini dikenal haus harta dan kekuasaan. Ia tahu Tuan Besar sudah menyiapkan surat warisan dan menunjuk seseorang untuk menggantikan posisinya di perusahaan.”
Aksa menatap Surya tajam. “Dia tahu tentang aku?”
Surya menggeleng. “Belum. Soal Beni Pramudita pun masih kami rahasiakan dari Nyonya Rukmini dan anak-anaknya.”
“Anak-anaknya?” Aksa mengulang dengan nada heran.
“Ya,” jawab Surya pelan. “Tuan Besar Damar Pramudita dan Nyonya Rukmini memiliki tiga orang anak, satu laki-laki dan dua perempuan.”
Aksa menghela napas tak percaya. “Berarti aku punya tiga… saudara tiri?”
“Benar,” sahut Surya. “Tapi Tuan Besar tidak pernah benar-benar percaya pada mereka. Ia tahu istrinya kerap berselingkuh. Bahkan ia meragukan apakah ketiga anak itu benar-benar darah dagingnya.”
Aksa menatap kosong ke meja di hadapannya. Suaranya lirih namun terdengar tajam. “Ayahku hidup di rumah sebesar itu, tapi penuh kebohongan, ya?”
Surya mengangguk berat. “Benar, Tuan Muda. Dan anak laki-lakinya, yang sekarang menjadi tulang punggung keluarga, hanya membawa masalah. Ia boros, arogan, dan tak mampu mengurus satu pun dari perusahaan warisan Tuan Besar.”
Aksa diam cukup lama. Tatapannya menerawang ke laut di luar jendela. Ombak yang memukul karang terasa seperti gema dari pikirannya yang kacau.
Surya kemudian bersuara lagi, suaranya tenang tapi tegas.
“Itulah alasan aku memanggilmu. Sudah saatnya semua tahu bahwa kau masih hidup dan bahwa kau adalah anak sah Tuan Besar Damar Pramudita. Kami akan segera mengumumkan keberadaanmu kepada keluarga besar dan dewan direksi.”
Aksa menoleh, pandangannya tajam. “Untuk apa?”
“Untuk mengambil alih warisan dan tanggung jawab yang ditinggalkan ayahmu. Ini bukan sekadar tentang harta, tapi tentang menyingkirkan orang-orang yang telah berkhianat kepadanya.”
“Men… menyingkirkan?” Aksa bergumam pelan, matanya menyipit, antara bingung dan tidak percaya.
Surya mengangguk tegas. “Itu pesan terakhir Tuan Besar sebelum meninggal. Ia tahu siapa yang menusuknya dari belakang. Dan satu-satunya orang yang bisa memulihkan kehormatan keluarga Bagaswara… hanyalah kau, Tuan Muda.”
Keheningan turun kembali. Aksa menunduk, menatap jemarinya yang menggenggam lutut. Pikirannya berputar cepat antara kemarahan, ketakutan, dan rasa tanggung jawab yang tiba-tiba tumbuh di dadanya.
“Jadi,” katanya akhirnya dengan suara nyaris gemetar, “aku harus kembali ke rumah yang bahkan tak pernah kukenal, untuk merebut hak yang bahkan tak pernah kuminta?”
Surya menatapnya dalam. “Bukan merebut, Tuan Muda. Tapi mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikmu.”
Aksa terdiam. Matanya berkaca-kaca, tapi bibirnya tak sanggup mengucap sepatah kata pun.
Suara detak jam terdengar samar di antara kesunyian ruang tamu villa itu.“Bagaimana, Tuan Muda?” tanya Surya pelan, suaranya bergetar namun tetap sopan.
Aksa menelan ludah, lalu mengangkat pandangan. “Boleh aku… lihat foto ayahku?” tanyanya lirih, hampir seperti anak kecil yang mencari wajah seseorang yang tak pernah sempat dikenalnya.
Surya menatapnya dengan iba. “Bukan hanya foto, Tuan Muda,” ucapnya pelan. “Tuan Besar meninggalkan pesan video untukmu. Sebuah pesan terakhir sebelum beliau meninggal. Aku akan menunjukkannya.”
Surya meraih sebuah tablet dari meja kecil di sampingnya, lalu membuka sebuah folder dengan hati-hati, seolah benda itu suci. Ia mengetuk layar sekali dan wajah Damar Pramudita muncul.
Wajah seorang pria paruh baya dengan garis tegas, sorot mata tajam namun menyimpan kelelahan panjang. Rambutnya sedikit memutih di sisi pelipis, tapi wibBeniya memancar kuat. Di belakangnya tampak ruang kerja besar dengan jendela yang menatap ke laut, sama seperti pemandangan di villa itu.
Suara pria itu terdengar dalam dan berat, tapi tenang.
“Aksa, anakku…”
“Jika kau menonton ini, berarti aku sudah tidak ada di dunia ini. Maafkan Ayah, karena tak sempat memelukmu. Aku kehilanganmu sekali, dan tak pernah berhenti mencari… sampai akhir hayatku.”
“Kau mungkin tumbuh tanpa nama, tanpa harta, tanpa tahu siapa ayahmu. Tapi darah yang mengalir di tubuhmu adalah darah seorang Bagaswara, darah yang tak tunduk pada kebohongan dan pengkhianatan.”
“Aku meninggalkan segalanya padamu, bukan karena kau satu-satunya ahli waris, tapi karena kau satu-satunya yang masih murni. Perusahaan ini, semua yang kubangun, perlu tangan yang jujur untuk menjaganya. Aku ingin kau yang melanjutkan, memimpin, dan membersihkan semuanya dari orang-orang yang mengkhianatiku.”
“Kau tak harus menjadi seperti aku. Tapi jadilah seseorang yang tak bisa dibeli oleh kekuasaan dan tipu daya. Karena itu yang membedakan seorang penguasa dengan seorang budak.”
“Ingat satu hal, Nak… meski dunia menentangmu, kau tetap anakku. Dan aku selalu bangga padamu.”
Video itu berakhir. Gambar Damar Pramudita perlahan memudar, meninggalkan ruang hening yang begitu tebal hingga suara debur ombak di luar pun terdengar seperti doa.
Surya menunduk, air matanya menetes tanpa bisa ditahan. “Beliau merekamnya seminggu sebelum… semuanya terjadi,” ujarnya pelan.
Aksa masih menatap layar yang sudah gelap. Tangannya gemetar, namun matanya kini penuh dengan tekad yang baru lahir dari luka lama.
Lalu ia berkata dengan suara yang tegas namun lirih, “Kalau memang itu pesan terakhir ayahku… aku akan melaksanakannya.”
Surya tersenyum lebar mendengar ucapan itu.


“Oh iya… iya! Betul juga, maaf ya, Nak Beni,” katanya cepat-cepat, pura-pura salah tingkah. “Tapi bagaimana pun kamu itu juga cucu Nenek... eh, maksud Nenek, teman cucu Nenek.”Aksa memijat telinganya yang masih merah, menatap neneknya sambil cemberut. “Iya, iya, Nek. Tapi lain kali jewernya jangan kekencengan.”Dita menahan tawa, menutup mulutnya dengan tangan. Sang nenek ikut terkekeh kecil, pura-pura batuk untuk menutupi.Ruangan itu kembali hangat. Matahari sore mengintip dari sela tirai, membiaskan cahaya lembut ke wajah mereka bertiga.Dan untuk sesaat, luka, darah, dan pertarungan tadi terasa seperti mimpi yang perlahan memudar, menyisakan tawa kecil dan rasa hangat yang sulit dijelaskan.Ketukan pelan terdengar di pintu kamar. Tok… tok… tok…Nenek yang duduk di kursi dekat ranjang segera berdiri dan membukanya. Di balik pintu, berdiri Pak Surya, mengenakan jas hitam rapi seperti biasa, wajahnya penuh kecemasan.“Nenek, biar saya bicara sebentar dengan Tuan Muda,” ucapnya sopan
Baron berusaha berdiri, tubuhnya goyah tapi matanya masih menyala. Ia mengangkat tinjunya tinggi, napasnya berat.“Kau… benar-benar membuatku… marah, bocah!”Ia berlari, tinjunya mengayun ke arah kepala Aksa. Udara bergetar oleh kekuatannya.Namun Aksa tidak menghindar.Dengan refleks yang tajam, ia menangkap tangan Baron di udara, memutarnya ke bawah, lalu melangkah cepat ke depan dan menghantam kepala Baron dengan tinjunya sendiri, keras sekali, lebih keras dari semua pukulan sebelumnya.Braak!Suara benturan itu begitu keras hingga warga menjerit serempak. Darah menyembur dari mulut Baron Taji.Tubuh besar itu bergoyang sesaat, lalu jatuh menghantam aspal dengan bunyi berat. Debu naik ke udara.Sunyi.Benar-benar sunyi.Tak ada yang bergerak selama beberapa detik.Hanya napas Aksa yang terdengar, kasar, berat, tapi hidup. Ia berdiri di tengah jalan dengan tubuh penuh luka dan darah di tangannya.Warga menatap, sebagian menutup mulut, sebagian masih merekam dengan gemetar.Pasukan p
Sorak dan teriakan warga mulai membuncah di pinggir jalan. Sebagian memegang dada, sebagian menutup mulut, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat.Aksa, anak muda yang tadi terlempar oleh pukulan Baron Taji hingga memuntahkan darah, kini berdiri lagi sedikit goyah, tapi tegak.“Dia gila…” bisik seorang bapak paruh baya di antara kerumunan.“Gila tapi keren!” sahut pemuda lain sambil menahan napas, ponselnya masih mengarah ke tengah jalan.Baron Taji berdeham keras, otot-ototnya menegang seperti tali baja yang siap meletus. “Kau benar-benar cari mati, bocah.”Suara tawanya berat, namun di baliknya ada nada yang berbeda, bukan sekadar amarah, melainkan rasa kagum yang samar.Aksa hanya mengusap darah di bibirnya. “Aku tidak berkelahi untuk mati,” katanya pelan, “aku berkelahi untuk berdiri.”Kata-kata itu seperti menyiram bensin ke bara suasana. Warga yang menonton serentak terdiam. Bahkan hembusan angin pun terasa tertahan.Baron menggeram dan maju dengan langkah besar. Asp
Namun sebelum Aksa sempat maju lebih dekat, suara deru motor mendadak menggema dari kejauhan. Lampu-lampu putih menyala bersamaan, menyilaukan mata siapa pun yang menatap.Beberapa motor berhelm putih meluncur cepat dan berhenti melingkari Aksa. Di dada mereka terpampang logo kecil berbentuk kilatan perak.Warga mundur, terkejut.Baron Taji mengerutkan kening. “Pasukan pelindung…?” gumamnya. "Siapa sebenarnya anak muda ini?"Salah satu dari mereka melangkah maju, mengangkat senjata laras pendek yang bersinar dingin di bawah lampu motor. Suaranya berat dan terlatih, “Jauhi Tuan Muda kami, atau peluru ini akan menembus dadamu.”Baron menatap mereka sebentar, lalu tertawa keras, suaranya memantul di antara pepohonan.“Hahaha! Peluru? Tak akan ada peluru yang mampu menembus kulitku, bocah!”Ia menepuk dadanya, menantang. Namun sebelum pasukan itu sempat bereaksi, Aksa mengangkat tangannya pelan. Tatapannya tenang, namun suaranya tegas seperti bilah baja yang baru diasah.“Menyingkirlah. K
Sopirnya, Pak Darsan, hampir menahan. Bibirnya sudah terbuka, tapi kata-kata itu urung keluar. Ada sesuatu di tatapan Aksa yang membuatnya membeku di tempat.Itu bukan tatapan seorang mahasiswa biasa, bukan tatapan anak muda yang belum pernah mencium bahaya. Itu tatapan seseorang yang telah melihat maut, menatapnya tepat di mata, dan masih mampu berdiri tegak setelahnya.Aksa membuka pintu mobil. Angin masuk, membawa bau tanah basah dan bunyi serangga yang menyelinap di antara pepohonan. Suara pintu tertutup menggema di jalan sunyi itu, seperti tanda dimulainya sesuatu yang lebih besar dari sekadar perkelahian.Baron Taji melangkah maju. Suaranya berat, parau, seperti guruh yang menurunkan ancaman sebelum badai.“Jadi ini bocah yang katanya dapat uang dari pencucian uang itu?”Aksa tersenyum tipis, nyaris tidak terlihat. “Ternyata kabar burung memang cepat.”Baron terkekeh, tapi di balik tawa itu tersimpan nada penghinaan. “Kau kelihatan rapi, tapi jangan kira jas itu bisa menyelamatk
Langkah Aksa terhenti mendadak di koridor fakultas yang mulai ramai oleh mahasiswa. Di ujung lorong, berdiri Saka dengan tangan bersedekap, menatapnya dengan senyum yang lebih mirip ejekan. Aksa menghela napas pendek, menurunkan pandangan sebentar, lalu melangkah ke samping.“Kalau nggak ada urusan penting, minggir. Saya mau ke kelas,” ucapnya datar.Saka justru bergeming. Tatapan sinisnya menyapu dari ujung kepala sampai sepatu Aksa yang berkilat. “Rupanya selama ini kamu cuma sok kaya aja, ya. Uang yang kamu pamerin itu… belum jelas sumbernya dari mana.”Beberapa mahasiswa yang lewat melambat, pura-pura mencari sinyal tapi sebenarnya ingin mendengar. Aksa menatap Saka dingin, rahangnya mengeras.“Jadi ini pekerjaan kamu?” tanyanya pelan tapi tajam. “Kamu yang nyebarin rumor itu?”Saka tersenyum tipis. “Nggak perlu menuduh siapa pun. Toh, kebenaran bakal kelihatan juga tanpa perlu aku ngomong apa pun.” Ia melangkah lebih dekat, suara rendahnya menekan setiap kata. “Yang penting sekar








