Wa Ode Andri kembali ke kampung halamannya setelah menyelesaikan pendidikan di salah satu universitas terkemuka di Eropa. Kepulangannya membawa harapan besar bagi Sinta, Jun, dan seluruh tim yang tengah berupaya mengembangkan masyarakat di sekitar Hutan Lambusango. Dengan pengalaman mendalam dalam riset obat tradisional dan pengembangan perpustakaan berbasis masyarakat, kehadirannya menjadi aset tak ternilai.Mereka semua sangat antusias untuk mendengar cerita-cerita baru yang akan dibagikan oleh Wa Ode Andri tentang pengalamannya di luar negeri. Sinta, Jun, dan tim lainnya berharap bahwa pengetahuan dan keterampilan baru yang dimiliki oleh Wa Ode Andri dapat membantu mempercepat pembangunan dan kemajuan di desa mereka. Semangat baru pun mulai menyala di hati mereka, siap untuk menghadapi tantangan-tantangan baru yang akan datang.Di ruang diskusi Lambusango Research Center (LRC), Wa Ode Andri memaparkan rencananya. "Saya ingin fokus pada dua hal: penelitian tentang obat-obatan tradis
Jun duduk di ruang diskusi Lambusango Research Center, mendengarkan dengan penuh perhatian penjelasan dari Wa Ode Andri tentang pentingnya perpustakaan sebagai pusat literasi dan pemberdayaan masyarakat. Semangat dan visi Andri memicu ide yang terus menggelegak di pikiran Jun—gagasan membangun Lambusango Library bukan hanya untuk komunitas di sekitar hutan, tetapi juga sebagai bentuk nyata dari rasa cintanya kepada Sinta.Saat Andri menjelaskan konsep perpustakaan yang juga mencakup digitalisasi pengetahuan lokal dan pelayanan berbasis desa, Jun membisikkan sesuatu ke telinga Sinta. "Perpustakaan ini akan kuhadiahkan sebagai hadiah cintaku untukmu. Ketika aku menikahimu, aku akan memberikan perpustakaan ini sebagai maharku."Sinta terkejut dan tersenyum, merasa terharu dengan tawaran Jun. Dia tidak pernah membayangkan bahwa cinta mereka akan diwujudkan dalam bentuk sebuah perpustakaan. Namun, dia juga merasa bangga dan terinspirasi dengan ide yang diusulkan oleh
Di tengah ancaman eksploitasi tambang yang semakin merajalela, komunitas Parabela tetap teguh mempertahankan tanah adat mereka. Desa yang dikelilingi Hutan Lambusango itu semakin sering menjadi target perusahaan tambang yang mengincar sumber daya alamnya. Namun, para Parabela, penjaga tradisi dan pelindung tanah leluhur, tidak pernah goyah oleh ancaman, uang, maupun sogokan.Sinta dan Jun memutuskan untuk menemui Ketua Parabela, seorang tokoh kharismatik bernama La Ode Moke, yang terkenal akan keberaniannya dan komitmennya menjaga tanah adat. Mereka ingin memastikan bahwa perjuangan Parabela terus berjalan, sekaligus mencari cara untuk memperkuat perlawanan ini secara legal dan strategis."Saudara-saudaraku, belakangan ini, pengusaha tambang sudah hampir menyerah; berbagai upaya mereka telah lakukan, tetapi kita tidak boleh menyerah," ucapnya antusias."Hutan ini bukan milik kita, bukan pula warisan dari nenek moyang kita, tetapi kalian harus tahu, kita semua harus tahu, bahwa hutan in
La Ode Harimao termenung di beranda rumah adatnya, memandang hamparan hutan Lambusango yang membentang luas. Semilir angin membawa suara dedaunan yang bergesekan, seolah mengingatkannya pada tanggung jawab besar yang kini dipikulnya. Ia semakin sadar bahwa menjaga tanah adat bukan sekadar melindungi lingkungan, tetapi juga mempertahankan identitas dan martabat masyarakat Buton. Ketika matahari mulai tenggelam di ufuk barat, La Ode Harimao bangkit dari lamunannya dan bersiap untuk melanjutkan perjuangan menjaga kelestarian hutan Lambusango. Dengan tekad yang semakin kuat, ia yakin bahwa langkahnya akan memberikan dampak positif bagi generasi mendatang.La Ode Harimao merenungkan apa yang selama ini dilaluinya; ia telah melewati beberapa masa. Dia seolah prasasti hidup yang terus mencatat perjalanan bangsa Buton: "Bangsaku, generasiku, tanah adatku, mungkinkan ini semua akan tetap menjadi titiapan generasi mendatang, sehingga setiap generasi Buton harus berpikir untuk menjaganya." Samar
Kisah cinta Jun-ho dan Sinta bukan hanya sekadar perjalanan yang indah, tetapi juga penuh tantangan. Budaya yang berbeda, tanggung jawab terhadap masyarakat, serta impian besar mereka untuk melestarikan Hutan Lambusango, semuanya membentuk dinamika hubungan mereka. Namun, justru dalam tantangan itulah mereka menemukan makna cinta yang sesungguhnya.Dalam perjalanan mereka, Jun-ho dan Sinta belajar untuk saling mendukung dan memahami satu sama lain. Mereka menyadari bahwa cinta sejati bukanlah tentang keindahan semata, tetapi juga tentang kesetiaan dan komitmen untuk bersama-sama menghadapi segala rintangan. Meskipun terkadang mereka harus berjuang melawan prasangka dan hambatan yang ada, namun kekuatan cinta mereka yang tulus mampu mengatasi semua itu. Dengan tekad dan semangat yang tak kenal lelah, Jun-ho dan Sinta bersama-sama menjalani perjalanan mereka, tidak hanya untuk mencapai impian mereka, tetapi juga untuk menginspirasi orang lain tentang arti sejati dari cinta dan pemberday
Pukul 11.00 WITA, panas terik menyapa Bandara Betoambari. Sinta berdiri di bawah pohon asam, tangan menggenggam keris pusaka peninggalan Ratu Wakaaka yang terselip di balik kain tenun Buton. Jun Ho di sampingnya, memandang langit dengan cemas. Pesawat dari Seoul yang membawa orang tuanya baru saja mendarat. Mereka telah menunggu kedatangan orang tua Jun Ho selama berjam-jam, dan kecemasan mulai menghantui pikiran mereka. Sinta memejamkan mata sejenak, berdoa agar kedua orang tua Jun Ho selamat sampai di Bandara Betoambari. Dia merasa tegang dan tidak sabar untuk segera bertemu dengan mereka setelah begitu lama terpisah. Jun Ho mencoba menenangkan Sinta dengan senyuman hangatnya, memegang erat tangan gadis itu sambil menatap pesawat yang baru mendarat. Semoga pertemuan kali ini membawa kebahagiaan bagi mereka semua."Saya sangat tegang, sayang," ucap Sinta. Jun Ho tersenyum lembut, "Semuanya akan baik-baik saja, jangan khawatir. Mereka pasti akan sampai dengan selamat." Sinta tersenyum
Bab 45: "Akad dan Asap Dupa"Pukul 08.00 WITA, kabar tentang surat yang dikirim lewat email dari Seoul mengguncang desa. Nyonya Choi Eun-suh membeli 10 hektar lahan di tepi hutan Lambusango tepat menghadap ke timur laut yang berhiaskan teluk Lawele untuk membangun villa mewah bertema Jeju-buton fusion. Jun Ho membaca surat itu, sementara Sinta menatap ke arah hutan tempat Ratu Wakaaka dahulu berunding dengan para tetua. Dia merasa terkejut dan gembira sekaligus. Ingin segera memberitahu Sinta tentang rencana yang sudah lama dia susun. Namun, dia juga merasa cemas dengan reaksi Sinta yang mungkin tidak sejalan dengan ide tersebut. Sementara itu, Sinta terdiam dalam pemikirannya, terpana dengan keindahan hutan yang masih menyimpan sejarah dan misteri di baliknya. Pikiran Sinta terbang ke beberapa abad silam, menyaksikan pertempuran dasyat yang menenggelamkan kapal Belanda di teluk Lawele. Menyaksikan taktik gerilya Oputa yi Koo yang memusingkan Belanda
Pukul 06.17 WITA, matahari belum sepenuhnya terbit ketika teriakan pekerja villa mengguncang Lambusango. Prasasti batu hitam bertuliskan aksara Wolio kuno ditemukan di bawah fondasi villa. Tulisan itu berbunyi: “Yang merusak tanah ini, akan dikunyah arwah yang lapar.” Sinta segera mengenali simbol kura-kura bermahkota di sudut prasasti—lambang Ratu Wakaaka.Dia teringat cerita neneknya tentang legenda Ratu Wakaaka yang konon mempunyai kekuatan untuk mengendalikan arwah-arwah lapar yang berkeliaran di tanah tersebut. Sinta merasa gugup namun juga penasaran dengan temuan tersebut. Dia segera memutuskan untuk memanggil seorang arkeolog untuk menyelidiki lebih lanjut mengenai makna dari prasasti tersebut. Dalam hatinya, Sinta merasa bahwa temuan ini adalah awal dari petualangan besar yang akan mengubah hidupnya selamanya.Sinta tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ada sesuatu yang signifikan tentang penemuan simbol Ratu Wakaaka pada prasasti k
Salju Rusia yang abadi berguguran perlahan di atas landasan sejarah yang terhampar bak naskah kuno. Di jantung negeri yang dikenal dengan julukan “Beruang Merah,” Lintang melangkah penuh pertanyaan, membawa jiwa dari Buton yang telah lama belajar tentang nilai‑nilai Madrasah Langit. Kini, ia ingin menyelami akar peradaban yang telah lama dibingkai oleh bayangan kekuasaan dan keangkuhan, serta menemukan makna sejati di balik wilayah yang terhampar luas di bumi Rusia.Di sebuah pondok tua di pinggiran kota Vladimir, Lintang ditemui oleh guru‑guru kebijaksanaan yang dikenal oleh masyarakat setempat sebagai penjaga kearifan leluhur. Suasana di sekitarnya begitu sunyi, dengan udara dingin yang menusuk namun sekaligus menyegarkan, seperti kata‑kata pujangga yang menenangkan jiwa. Di sana, Lintang duduk bersama seorang lelaki tua berjanggut putih lebat—sensei Ivan Sergeyevich—yang wajahnya terukir oleh alur waktu dan pengalaman."Setiap butir salju ini," ujar Sensei Ivan sambil menatap langi
Lintang berdiri di atas panggung kayu sederhana di tengah lapangan Desa Lambusango, dikelilingi oleh ribuan wajah dari berbagai suku, bahasa, dan budaya. Angin lembut membawa aroma rerumputan basah dan pembicaraan pelan. Ia menatap horizon, sejenak menenangkan pikirannya sebelum berkata lantang:“Saudara-saudaraku, hari ini kita tidak lagi berbicara hanya tentang pertanian organik, tentang teknologi ramah lingkungan, atau tentang tata kelola adat. Hari ini kita berbicara tentang ekonomi berbasis rakyat, sebuah ekonomi di mana tanah adat, pengetahuan leluhur, dan keterampilan lokal menjadi batu fondasi, bukan sekadar komoditas yang ditukar di pasar.”Suara Lintang bergema di setiap sudut lapangan. Tepuk tangan meriah mengiringi setiap patah kata, seolah memberi dukungan penuh pada gagasan barunya: membangun jaringan waralaba rakyat yang menghubungkan usaha-usaha kecil masyarakat adat di seluruh dunia menjadi satu kesatuan ekonomi yang tangguh.Ia melanjutkan, “Bayangkan, kopi luwak but
Seiring matahari pagi menyembul di ufuk timur Lambusango, udara basah menyambut jemari Lintang yang menorehkan sketsa besar di papan tulis bambu: “Politeknik Madrasah Langit”. Di hadapannya berkumpul perwakilan masyarakat adat dari berbagai penjuru—Sunda, Papua, Tolaki, Mandar, dan Buton—bersama mahasiswa muda dari kota-kota besar, guru Tai Chi, instruktur Balaba, serta para CEO teknologi Tiongkok yang sejak lama menjadi mitra.Sejak menancapkan akar baru, antusiasme kaum adat dan global belum surut. Kini, Madrasah Langit merintis politeknik—lembaga pendidikan terapan yang melangkah jauh melampaui model akademik konvensional. Lintang memaparkan gagasannya mengenai upayanya untuk mendekatkan masyarakat adat dengan universitas; ia malah menawarkan satu gagasan mengenai sebuah universitas. Ia ingin membangun peradaban. Ia memperkenalkan satu gagasan Politeknik Langit. Ia mulai menawarkan konsepnya dalam seminar internasional yang dihadiri berbagai pihak. Politeknik Langit diharapkan dapa
Lintang terbangun sebelum fajar.Meski tubuhnya letih, hatinya terasa lega.Malam tadi, ia kembali menelusuri mimpi alam bawah sadarnya—bertemu Sang Ratu Wakaaka, membisikkan ajaran kebaikan abadi, saling memelihara, menyayangi, melindungi, dan menghormati sebagai akar peradaban. Seolah Sang Ratu menyadarkannya:“Lintang, kekuatan sejati bukanlah gesekan kekerasan,tapi harmoni gerak yang meredam amarah,dan menyatukan manusia dengan alam semesta.”Kata-kata itu kembali bergaung di kepala Lintang ketika ia bersiap memulai hari baru di Madrasah Langit.Di aula beratap anyaman daun nipah, puluhan relawan lokal merakit panel surya, drone pertanian, dan alat ukur kualitas tanah.Madrasah Langit kini berfungsi sebagai laboratorium hidup—mengawinkan kearifan lokal dan teknologi canggih.Anak-anak desa belajar menenun bambu sambil memahami prinsip elektronika dasar untuk sensor kelembapan.Guru Tai Chi mengajari gerakan lambat yang menstimulasi aliran energi, menenangkan pikiran, dan menyelara
Lintang duduk sendiri di tepi danau tua yang tersembunyi di pegunungan tinggi.Ia tidak lagi bicara, tidak lagi menulis, bahkan tidak membuka gawai.Hari-hari yang panjang, penuh ketegangan, ketakutan, dan perlawanan telah menyapih jiwanya dari dirinya sendiri.Ia merasa kosong.Jiwanya seperti tak memiliki tanah—tergantung di udara.Lintang letih.Letih bukan karena pekerjaan, tetapi karena sesuatu yang lebih dalam—karena keterputusan.Ia merasa jauh dari asal muasal dirinya.Malam itu, langit sangat hening.Bintang-bintang berkilau, namun tidak bersuara.Angin seolah memeluk dirinya, membisikkan kata-kata tak terdengar.Di tengah meditasi diamnya, Lintang mulai tertidur.Namun dalam tidurnya, ia tidak bermimpi seperti biasanya.Ia jatuh ke dalam lubang kesadarannya sendiri.Bukan gelap.Melainkan terang…Lembut…Hangat.Ia berdiri di sebuah hutan yang tidak pernah ia kenal, namun terasa begitu dekat.Hutan itu tidak berbicara dengan kata-kata, tetapi berbicara lewat rasa.Pepohonan
Angin pagi membawa aroma tanah basah ke ruang Madrasah Langit.Lintang duduk termenung di bawah pohon tua, menggenggam secangkir kopi pahit. Ia baru saja menerima laporan dari berbagai penjuru dunia.Perjuangan belum selesai.Malah, badai baru sedang bertiup.Oligarki tidak tinggal diam.Dengan kelicikan yang diwariskan dari generasi ke generasi, mereka kini menyusup lewat jalur yang paling berbahaya: hukum.Mereka membiayai oknum pengacara, politisi, dan aparat, menyusun skenario untuk "mengalihkan" hak tanah adat ke tangan-tangan korporasi.Caranya sederhana namun licik:Mereka menghasut sebagian kecil masyarakat untuk mengklaim tanah atas nama pribadi, dengan janji keuntungan besar.Setelah itu, mereka membeli klaim tersebut dalam diam, lalu mendaftarkannya dengan segala dokumen legal yang telah mereka manipulasi.Dengan stempel
Malam itu, langit di atas Wakatobi dipenuhi bintang. Laut tenang, dan angin membawa aroma garam yang lembut. Di sebuah ruang terbuka Madrasah Langit, di bawah pancaran lampu-lampu kecil bertenaga surya, Lintang duduk menghadap layar besar. Di sebuah kafe yang dikelola masyarakat adat, persis di Bukit Wungka Toliamba, ia duduk dengan beberapa anak muda, menikmati malam.Hari itu, ia tidak hanya merayakan kebebasan ibunya, Sinta.Ia merayakan kemenangan tanah.Kemenangan kehidupan.Kemenangan dari segala akar yang selama ini diam, tapi kini mulai bersuara.Lintang membuka pertemuan daring Madrasah Langit internasional. Wajah-wajah dari berbagai belahan bumi mulai bermunculan di layar:Seorang petani tua dari pinggir Sungai Nil tersenyum sambil mengangkat segenggam tanah berwarna merah. Seorang gadis muda dari pegunungan Ural, Rusia, mengibarkan kain bordiran nenek moyangnya, lambang perlindungan tanah. Seorang nelayan dari pantai Pasifik menunjukkan ikan-ikan yang ia tangkap dengan ban
Malam itu, Lintang duduk di bawah langit Lambusango yang kelam. Angin laut membawa aroma asin, bercampur bau tanah basah yang baru saja disiram hujan. Tapi pikirannya jauh, melayang ke sel tahanan kecil di kota: tempat di mana Sinta, perempuan yang ia panggil Ibu, sedang ditahan karena mempertahankan hak paling mendasar manusia: hak atas tanahnya sendiri.Lintang mengepalkan tangan. Ia tahu, ini bukan sekadar membela Sinta, ini membela kehormatan seluruh gerakan Madrasah Langit."Kalau aku tidak melindunginya," bisiknya, "maka aku telah mengkhianati semua yang kami perjuangkan."Pagi itu, di depan gedung pengadilan, ratusan orang berkumpul. Petani, nelayan, anak-anak muda, bahkan beberapa profesor idealis berdiri dalam barisan.Mereka membawa spanduk bertuliskan: "Bebaskan Sinta. Tanah untuk rakyat."Di belakang mereka, suara drum bambu dan teriakan semangat menggema.Lintang berdiri di mimbar kecil, wajahnya tegas:
Di balik udara hangat Lambusango, Lintang menyaksikan kabut pekat mulai menggantung. Bukan kabut embun, melainkan kabut politik, dikirim dari kantor-kantor gelap para oligarki yang tak senang gerakan Madrasah Langit terus berakar dan menjalar.Pagi itu, berita mengejutkan menghentak komunitas: Sinta, sahabat karib sekaligus ibu Lintang, ditahan. Tuduhan: provokasi, menghalang-halangi pembangunan nasional. Polisi bersenjata lengkap mendatangi rumahnya di pinggir hutan, menggiringnya seperti penjahat besar.Lintang berdiri membatu di depan Madrasah, napasnya berat. Sinta, yang selalu menanam pohon dengan anak-anak, yang mengajari tentang tanah sebagai ibu, kini diikat oleh tangan hukum yang dikendalikan uang. Dia merasa marah dan putus asa, namun juga penuh tekad untuk melawan ketidakadilan yang terjadi. Dengan langkah mantap, Lintang memutuskan untuk mencari bantuan dari teman-teman seperjuangannya di Madrasah Langit. Mereka berkomitmen untuk tidak tinggal diam melihat sahabat mereka di