"Aarrrrhhhh......... !!!!! Aarrrhhhh..... !!!!!"
"Seberapapun kalian menyiksaku, aku tidak akan menyerah, " dengan nafas terengah - engah pria itu berteriak. Di atasnya, petir terus menyambar - nyambar ke tubuhnya. Bahkan secara terus menerus tanpa hentinya. Tapi, meski tubuhnya terluka oleh sambaran - sambaran petir, dia tidak mati. Hanya kekuatannya semakin lama semakin melemah. Dengan kekuatan internalnya, dia bisa mengontrol luka, mesti tak sepenuhnya bisa menghilangkan rasa sakit. Dia tidak bisa bergerak, tangan dan kakinya terikat pada tiang penghukum dan tubuhnya terlilit rantai besi yang mengitarinya. Di depannya, di atas singgasana, duduk seorang tua yang rambutnya sudah memutih tapi tidak menghilangkan aura Wibawa dan kuasanya. Dia adalah Dewa Agung, Dewa Wilis pemimpin para dewa. Dengan tatapan fokus, tajam dan dingin dia melihat pria di hadapannya tersambar petir terus menerus tanpa rasa kasihan. Itu adalah sebagai hukuman atas kesalahannya yang di perbuat oleh pria itu. Dengan wajah dingin tanpa emosi dia duduk di atas singgasananya, bahkan telinganya seakan tak mendengar apa yang pria itu teriakkan. "Aarrhhh.....!!!! aarrrhhh...!!! " teriak pria itu terus menerus. "Bagaimana Luhan, kau sudah mengakui kesalahanmu..!!!! ucap Dewa Agung Wilis dengan suara menggelegar. "Aku tidak salah, perasaan ini tidak salah..." dengan terengah - engah dia menjawab ucapan Dewa Agung Wilis. "Kau benar - benar keras kepala Luhan..!! " lanjut Dewa Agung Wilis. "Terus turunkan petir - petir itu sampai dia mengakui kesalahannya." "Dan untuk Dewa lainnya ,ini adalah contoh hukuman jika kalian melakukan kesalahan..!!! " Setelah memberikan perintah untuk menyiksa Luhan, Dewa Agung Wilis berdiri meninggalkan kursi singgasana hakimnya. Di belakangnya berjajar para dewa, ada yang bersimpati pada Luhan, ada juga yang mengabaikan Luhan. Mereka pun tidak bisa berbuat apa - apa karena memang kesalahan Luhan tidak bisa di tolerir. Mereka hanya bisa pergi, mengikuti Dewa Agung, setelah melihat Luhan di siksa dengan petir secara terus menerus. Hanya seorang Dewi cantik yang masih tersisa di sana. Dia melihat Luhan dengan tatapan kawatir. Sambil terus menggigit bibir bawahnya, menandakan betapa cemasnya dia terhadap keadaan Luhan. "Luhan..... " panggilnya dengan cemas. "Tak usah mengkawatirkan aku Meya, aku baik - baik saja, " sambil tersenyum Luhan menjawab rasa kawatir Meya. Meski dengan menahan rasa sakit, Luhan tetap tersenyum di hadapan Meya. Dia tidak ingin membuat Meya khawatir dengan keadaanya. "Pergilah, jangan di sini, aku benar - benar baik - baik saja, "teriak Luhan sambil memperlihatkan deretan - deretan giginya yang bersih. Dengan hati yang berat dan tatapan khawatir Meya meninggalkan lapangan hukuman. ...... Air mata Meya terus mengalir membasahi pipinya. Dia tidak tega melihat keadaan Luhan. Mereka berteman dari kecil, mereka sama - sama menggantikan posisi orang tua mereka. Dulu ayah Luhan adalah Dewa Perang yang sangat di segani. Meskipun Dewa, tetap saja ada umur yang harus diikuti. Dan setelah ayah Luhan tiada, Luhanlah yang menggantikan kedudukan sang ayah menjadi Dewa Perang. Sedangan Meya adalah Dewi Air, dia mewarisi kekuatan air dari Ibunya, yang menjadikan dia Dewi Air menggantikan ibunya. ....... Gejolak air di bumi semakin tak terkendali dengan rasa tak terkendali di hati Meya. Banyak bencana banjir dan air pasang di seluruh dunia. Banyak manusia yang sengsara karena kejadian itu. Bahkan timbul korban atas kejadian - kejadian itu. Meya kali ini benar - benar tidak bisa mengendalikan hati dan pikirannya. Dia hanya fokus bagaimana dengan keadaan Luhan. Jika terus seperti ini di khawatirkan kehidupan di bumi semakin lama semakin sulit. Air yang seharusnya membawa kehidupan sekarang membawa bencana. Tapi sepertinya Meya benar - benar melupakan tugasnya sebagai Dewi Air atau Dewi kehidupan di karenakan terlalu mengkhawatirkan Luhan.Di atas singgasananya. Raja Iblis mengernyit. "Cecar sudah mati? Bagaimana pasukan kita? " "Yang Mulia, pasukan berhasil saya amankan, tuan Cecar sudah memberikan waktu pada kami untuk mundur dan bersembunyi," lapor bawahan Cecar. "Untung saja cukup lama tuan Cecar memberikan waktu, kalo tidak, mungkin kami tidak akan bisa hidup." "Alfa, Delta, kalian gantikan posisi Cecar untuk sementara memegang kendali atas pasukan baru," perintah Raja Iblis. Bawahan Cecar merasa agak kurang adil, selama ini biasanya dialah yang memegang kendali saat tuan Cecar tidak ada. Kenapa setelah Tuan Cecar meninggal, pemimpin pasukan malah di serahkan pada Alfa dan Delta. Sungguh tidak adil. Tapi dia hanya bisa membatin hal itu, karena kalau sampai berani menyinggung Raja Iblis, maka sudah di pastikan tidak akan bisa hidup ataupun mati dengan tenang. "Sayang sekali, mesti Cecar seorang pemarah dan mempunyai emosi yang gampang meledak, dia adalah bawahan yang sangat kompeten." "
Di tempat lain. Gunung Birlam. Angin yang tidak terlalu kencang, menggoyang - goyangkan helaian rambut yang tidak terikat milik pria itu. Dia berdiri di atas pohon dengan tatapan tajam seperti mata elang. Dia menatap jauh di ujung sana, seakan sudah menemukan mangsa yang hendak di tangkapnya. Dengan aura dingin, dia memerhatikan keadaan jauh dengan pandangan menusuk. Cukup lama dia mengawasi sesuatu di ujung sana dengan sabar. "Baiklah... cukup bagus kalian bersembunyi," dengan menaikkan sedikit sudut bibirnya, dia mengguyingkan senyum mengejek. Dia mulai bergerak. Secepat kilat dia berpindah sampai tidak ada yang menyadarinya. Di depannya ada sekitar sepuluh ribu prajurit ras iblis yang sedang berlatih bertempur. J
"Luhan.......... " "Luhan....... " Dalam tidurnya, Ruyi mengigau nama Luhan di tengah sakit panasnya. Saat sampai di rumah, kaki Ruyi segera di rawat, tapi tubuhnya bereaksi dengan panas. Tabib yang di undang oleh ayah Ruyi memeriksa Ruyi dan mendiaknosa jika panas Ruyi adalah karena luka - luka yang ada di kakinya. Tapi hal itu wajar, karena itu memang efeknya, makanya tabib itu juga meresepkan obat penurun panas untuk Ruyi. Leon, ayah Ruyi, duduk di kursi di samping tempat tidur Ruyi. Dia menjaga putrinya yang tengah sakit. Sedikit menyesal kenapa dia tadi mengijinkan Ruyi untuk keluar. Kemarin Ruyi berkata bahwa dia ingin mengunjungi makam ibunya sehari setelah tahun baru, makanya Leon, ayah Ruyi mengijinkan Ruyi pergi untuk melakukan doa di makam ibunya. Tapi kelalaiannya adalah dia tidak menyiapkan cukup pengawal untuk menemani dan melindungi Ruyi. "Siapa Luhan ?" tanya Leon kepada Nina, pelayan Ruyi. Leon cukup terkejut kenapa Ruyi sampai mengigau menyebut
Bulu mata Ruyi bergerak perlahan. Mata yang terpejam perlahan - lahan terbuka dengan lebar. Di hadapannya dia melihat hutan yang sangat lebat. Dia mulai mengingat apa yang terjadi padanya. Dan dia tersadar, bahwa ada sesosok laki - laki penyelamatnya di sampingnya. Dia tersenyum canggung. Dia sangat malu, karena tertidur begitu saja dan bahkan membiarkan orang yang menolongnya menjaganya. "Maafkan saya karena tertidur begitu saja Tuan Luhan, "sambil memasang wajah memelas Ruyi berbicara pada Luhan. "Tidak apa - apa, aku tau kau lelah," jawab Luhan sekenanya. "Kalau kau sudah bangun, ayo kita cari rombonganmu, berpeganganlah padaku.!!" Dengan posisi berjongkok,
Luhan berjalan sambil menoleh untuk mendapatkan tempat yang aman dan nyaman. Di sebelah kirinya, dia menemukan sebuah pohon besar yang di lengkungan di bagian bawahnya. Dia berjalan mendekat di ke pohon itu dan meletakkan wanita di gendongannya dengan hati - hati. "Duduklah dengan nyaman, aku akan mencari air untuk membersihkan lukamu, " kata Luhan. Saat Luhan akan berdiri, wanita itu memegang ujung baju Luhan, "aku takut nanti kalau ada babi hutan lagi bagaimana?" ucap wanita itu dengan mata memelas. "Tenang saja, kau aman di sini, lagi pula aku hanya sebentar," Luhan berusaha menenangkan wanita itu. Luhan tau, jelas wanita itu masih ketakutan karena di kejar oleh babi hutan. Tanpa di sadari oleh wanita itu, Luhan membuat penghalang untuk melindungi wanita itu selama dia mencari air. Itu adalah penghalang dewa, hanya para Dewa dan
Di atas Gunung Sigra. Gunung sunyi dengan pepohonan lebat yang belum terjamah manusia. Setelah Luhan turun dari langit, dia memilih Gunung Sigra sebagai tempat tinggal sementaranya di dunia. Di atas Gunung Sigra terdapat hulu sungai Yangze. Dia melihat aliran sungai, Dia akan merasa selalu dekat dengan Meya jika berada di dekat hulu sungai Yanze. Dan karena hal itulah dia memilih tempat ini. Dia mulai membangun sebuah pondok kecil dengan kekuatan internalnya, sebagai tempat istirahatnya. Hari ini sudah malam, di atas Gunung Sigra, Luhan dapat melihat ribuan Bintang yang tersebar menghiasi langit malam yang pekat. Suara - suara binatang saling sahut - menyahut, akan tetapi Luhan tidak menghiraukan hal itu. Jikalau dia di serang binatang, dia hanya cukup mengeluarkan aura kepemimpinannya maka bin