Share

SENIORITAS TAK BERDASAR

“Nggak ada balasan sama sekali dari Raline.”

Samudra menunggu kabar dari Raline, kekasihnya. Ia menghubungi sang kekasih lewat ponsel Rajasa. Namun sayangnya, tidak ada reaksi apapun dari sang kekasih yang berada di New City.

Samudra sedang berada di perhelatan acara fashion show. Di saku jasnya, terdapat ponsel Nami yang bergetar sejak tadi. Sudah sejak subuh tadi, benda persegi panjang itu sangat sibuk. Tidak ada pesan memaki dari mamanya Nami. Malah beruntun pesan dari atasan dan rekan-rekan kerja si pemilik ponsel.

Samudra harus meneruskan semua informasi kepada Nami. Dengan mata yang masih enggan terbuka, Samudra lagi-lagi menjumpai kehidupan lain dari seorang Nami dalam bentuk lingkungan kerja yang toksik.

(“Nam, printernya kok rusak lagi? Aku harus ngeprint kerjaan, nih!”)

(“Halo, Nami! Dimana, woy?! Pak Kaze nagih laporan kemarin. Udah kamu kerjain, kan?”)

(“Nam, beliin sarapan sama kopi. Pake uang kamu dulu.”)

(“Kerjaan kamu yang kemarin, nggak ada yang bener. Kamu gimana, sih?”)

Samudra tidak tahu mengapa saat mengenal singkat seorang Nami membuat dirinya memiliki rasa ingin tahu yang cukup tinggi. Samudra mengintip cukup banyak pesan-pesan yang masuk di grup chat kantor Nami dan terkuaklah semua pesan yang mendominasi Nami diperlakukan layaknya babu.

Samudra tidak bisa yakin menebak, apa sebenarnya pekerjaan Nami? Namun Samudra bisa mencium sistem kerja paksa di sini.

Bukan itu saja yang membuat Samudra mengernyit. Yang satu ini lebih membuatnya bergidik ngeri. Kontak itu bernama Pak Kaze.

Samudra sudah tahu jika Pak Kaze ini adalah atasannya Nami di kantor dari pesan-pesan di grup chat karyawan. Isi pesan Pak Kaze cenderung melecehkan Nami.

(“Nami itu singkatan dari Anak Manis, kan? Hehe. Makan siang bareng mau? Atau tadi saya dengar kamu kebingungan sama job desk baru kamu? Sini saya ajari sambil makan siang di ruangan saya. Sambil pangku juga boleh.”)

(“Saya kasihan liat kamu disuruh-suruh sama rekan-rekan kamu. Makanya kamu terima aja jadi asisten saya. Yang nyuruh kamu cuma saya. Mereka pasti nggak berani lagi sama kamu. Nanti saya kasih apapun yang kamu mau. Jadi asisten saya aja, kamu saya sayang-sayang. Apalagi jadi istri saya. Hehe.”)

Sebagai seseorang yang pernah menjadi pimpinan agensi selama tiga tahun, Samudra tidak pernah mendapati bagian kepala di perusahaannya melakukan hal demikian terhadap karyawati. Jika ketahuan, Samudra tidak akan segan memberi sanksi sampai memecatnya.

Samudra memang sudah berhenti sebagai CEO di agensi miliknya. Samudra menunjuk seseorang yang mumpuni untuk menduduki posisi tersebut. Sementara dirinya, masih menjadi produser tetap di sana. Samudra merasa tidak cocok mengurus tetek bengek bisnisnya. Ia hanya ingin bermusik. Tak pernah berubah dari dulu.

Selesai menghadiri acara fashion show. Samudra yang sudah di hotel dan sedang makan, menyempatkan diri untuk bertanya kabar pada Nami. Tak lupa, dirinya juga meminta Rajasa untuk terus menghubungi Raline. Sungguh Samudra rindu sang pacar yang masih tak ada kabar.

(“Nona Nami, apa anda sibuk bekerja?”)

Samudra tak mengharapkan balasan cepat sebenarnya. Namun tanggapan Nami datang terlalu cepat.

(“Masih di kantor, Mas. Nggak tau bisa pulang tepat waktu atau lembur.”)

Samudra mengetikkan balasan, tapi ia menghapusnya. Sepertinya kurang enak kalau membahas soal rekan kerja yang menyebalkan. Maka Samudra pun memikirkan hal lain yang mungkin bisa sedikit menghibur Nami di New City sana.

“Kak Rajasa,” panggilnya pada sang manager.

“Ya. Pacarmu belum ada kabar.”

“Tolong, minta bantuan pada siapa saja yang di Jakarta untuk mengirimkan ice cream truck ke …. “ Samudra baru sadar jika dirinya belum tahu dimana Nami bekerja.

Samudra terpaksa menanyakan alamat kantor Nami. Namun agar tidak terlalu kentara, Samudra memodifikasi pertanyaannya.

(“Nona bekerja di perusahaan apa?”)

Nami langsung membacanya dan Samudra tersenyum tanpa sadar melihat balasan Nami.

(“Perusahaan penghasil peralatan kantor, Mas. Yang di Cempaka itu. Gudangnya perkantoran segala aspek. Kenapa, Mas?”)

Samudra tak membalasnya.

Ketika Nami di tanah air mendapatkan kiriman yang tak terbayangkan olehnya seumur hidup. Nami seketika menanyai Samudra tentang kiriman ice cream truck tersebut setelah diberitahu identitas pengirimnya oleh si penjaga ice cream truck.

(“Mas ngirim ice cream truck buat saya?”)

Samudra mengacungkan jempol pada Rajasa. Rasanya senang, karena sudah berhasil menyenangkan orang lain.

(“Iya. Semoga kamu happy hari ini.”)

Nami membalas bila hal yang dilakukan Samudra itu berlebihan. Namun ia tetap berterima kasih.

“Dia istimewa banget, ya? Kamu seharian cuma melototin ponsel demi nunggu sesuatu dari orang asing.”

Rajasa wajar saja heran. Samudra menatap ponsel yang sama persis dengan ponselnya lima detik sekali.

“Aku hanya menunggu pesan dari orang-orang yang mungkin membutuhkanku.”

“Raline artinya nggak butuh kamu.”

“Hey!”

“Kenapa menyangkalnya? Kamu dan Raline seperti orang yang nggak punya hubungan apa-apa. Jarang bertemu padahal nggak sedang dalam ranah hubungan jarak jauh. Sekali bertemu juga harus di tempat private. Publikasi? Nggak ada.”

Meski Rajasa tidak memaparkannya pun, Samudra sudah cukup melek jika cara pacarannya dan Raline berbeda dengan pasangan kasmaran di luar sana. Profesi Samudra yang merupakan seorang penyanyi jebolan anggota boyband bernama Squirrel Crush, mengantarkannya pada kepopuleran tanpa henti. Penggemar garis kerasnya bejibun dan didominasi oleh para gadis muda sampai wanita paruh baya.

Karir yang ia panjat pun tidak langsung meroket dan membuatnya ongkang-ongkang kaki bak selebriti sultan. Debut di agensi yang mirip ruko ketimbang perusahaan musik, melahirkan banyak pembenci daripada penggemar. Sampai dihapus dari daftar artis yang akan tampil di acara TV pernah dialami. Caci maki, hinaan, ejekan, dan sindiran tajam adalah makanan yang akrab membersamai dirinya dalam meniti karir. Sekarang Samudra diibaratkan mereguk hasil dari kerja kerasnya terdahulu.

Wajar bukan apabila dirinya menyembunyikan Raline dari khalayak? Samudra tidak ingin kehilangan karir yang telah ia bangun dari minus. Menjadi penyanyi, produser musik, dan memiliki agensi sendiri merupakan cita-cita yang tidak ia raih dalam semalam. Samudra tidak ingin jika hubungan asmaranya terpublikasi dan berpotensi menghancurkan karir yang sudah membesarkan namanya.

Salah besar jika Samudra dianggap gila popularitas. Dirinya sama seperti manusia lain. Berusaha hidup lebih baik dengan upgrade kehidupan. Ia hanya berusaha mempertahankan yang telah ada.

“Aku tidak ingin gegabah, Kak. Aku yakin tidak ada yang harus dikorbankan untuk mendapatkan cinta. Bukan cinta jika kita harus mengorbankan sesuatu.”

“Gitu, ya? Lantas karir yang kamu raih sekarang juga buah dari pengorbanan. Kamu dan yang lain kurang tidur, maksain diri dan hati biar sekuat baja. Apa Raline bukan gadis yang pantas meraih pengorbananmu?”

Samudra menyeringai kecil,”Jika aku mengorbankan karir. Keluarganya Raline langsung mencabut restu.”

“Omonganmu macam pernah melamar secara resmi aja.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status