Share

DEMI SETORAN MAMA

“Eh, simpanan bos dapat ice cream truck dari sugar daddy yang mana lagi, nih?”

Nami salah besar jika niatnya untuk berbagi kepada teman-teman sekantornya malah berbalik menjadi penghinaan yang sudah biasa ia terima.

Nami salah mengira jika dengan berbagi, maka rekan-rekan kerjanya akan lebih lunak bersikap kepadanya. Lagipula siapa yang bisa menghabiskan es krim seorang diri?

“Tapi nggak papa. Siapa, sih, yang nolak es krim gratis?”

“Bilangin sama papah gula kamu buat ngirimin food truck besok.”

“Pak Kaze nggak cemburu, kamu punya papah gula yang lain? Atau ternyata … emang truck ini dikirimin sama beliau?”

Salah satu dari ketiga gadis yang merupakan rekan kerja Nami, berlagak kaget. Kedua gadis di sampingnya cekikikan seraya memesan ice cream tanpa rasa malu.

Nami hanya bisa menahan kesal. Ia tak ingin melawan bukan karena takut, tapi ia tidak ingin menciptakan masalah di tempat kerja. Bagaimanapun, Nami butuh pekerjaan ini agar bisa membiayai ibunya yang suka meminta uang tanpa tanggal tertentu.

Nami teralihkan atensinya saat ponsel Samudra berdenting ramai. Nami duduk di atas bangku panjang dan membuka grup chat bernama tupai lapuk. Grup chat tersebut berisi lima anggota.

Nami menyimak obrolan, karena memang sudah diizinkan Samudra sebelumnya. Siapa tahu ada informasi penting yang harus ia sampaikan pada Samudra yang lebih ia kenal dengan sebutan Mas Dirga.

BIMA

(“Yang di Milan, di Paris, dan di studio nggak ada kabar.”)

ARRASSO

(“Ada yang tau dimana bisa beli bedak pemikat, nggak?”)

ARI

(“Apa itu? Aku taunya bedak warkop doang.”)

BIMA

(“WARDAH, KAK!”)

ARRASSO

(“Bedak pemikat yang bisa bikin gebetan jatuh cinta.”)

ARI

(“Lah? Ngapain kamu butuh gituan? Kamu udah ganteng. Aktor nomor satu di negeri ini. Pake bedak gituan bisa dihinggapi dedemit yang ada.”)

BIMA

(“Dari kampungku ada, Kak. Mau?”)

ARRASSO

(“Mau! Mau! Mau! Ayo, ke Torka!”)

BIMA

(“Tapi tumbalnya manusia.”)

ARI

(“Ya, Tuhan!”)

ARRASSO

(“Tenang, Ari siap ditumbalkan.”)

Yang kontaknya bernama Ari mengirimkan stiker bermotif dukun. Nami terkekeh membaca obrolan mereka. Karena hanya obrolan konyol semata, Nami tidak merasa harus menyampaikannya pada Mas Dirga.

Sebenarnya obrolan geng tupai lapuk tidak lucu. Nami jadi terkekeh, karena teringat dengan kelakuan bodohnya dulu saat masih berpacaran dengan seorang pria bernama Edward.

Edward adalah sosok pacar yang sedikit lebih lama menjalin hubungan dengan Nami dibanding mantan-mantannya yang terdahulu.

Mengapa jadi mantan-mantan? Karena memang jam terbang Nami dalam dunia perpacaran terbilang tinggi. Sayangnya semuanya terbilang tidak beres. Jangan kira Nami seorang pemain cinta yang handal. Justru banyak hal apes yang menimpanya. Bukan cuma apes, tapi rata-rata hubungannya kandas disebabkan oleh sesuatu yang absurd.

Dari semua mantan, hanya Edward yang paling sukses menggoreskan luka terdalam di hati Nami. Ia dan Edward telah merencanakan pernikahan, tapi sayangnya kebahagiaan yang diimpikan Nami harus sirna setelah seorang wanita asing mengaku pada Nami bahwa ia hamil anak Edward.

Padahal selama berpacaran dengan Edward, Nami selalu mengenakan bedak pemikat. Benda yang konon katanya sakti untuk membuat pasangan tetap setia dengan hanya memikirkan dirinya siang dan malam. Namun ternyata bedak pemikat tersebut tetap tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Namun Nami bertekad kuat untuk move on, karena sesungguhnya patah hati ditinggalkan Edward tetap tidak mengalahkan rasa sakit saat dihina dina oleh mamanya sendiri.

Malam harinya, ketika Nami ingin tidur. Mas Dirga alias Samudra mengiriminya screen recording dari grup chat kantornya.

(“Are u ok today, Nona?”)

Nami benci mengakui bila ada orang lain yang tahu perlakuan rekan-rekan kerjanya di kantor terhadap dirinya. Nami saja menutupinya rapat dari Leony dan teman-teman real lifenya yang lain.

(“Oke, Mas. Maaf karena mas harus menyimak pesan-pesan yang berpotensi mengalirkan energi negatif. Saya janji akan membayar ini semua ketika di New City.”)

Nami menyayangkan pesan-pesan yang tidak menyuratkan rasa terima kasih sama sekali akan es krim gratis yang sudah ia rela berikan kepada rekan-rekan kerjanya. Andai bukan tepat di depan kantornya, mungkin Nami akan memilih membagikannya gratis pada para pejuang rupiah yang mengais rezeki di jalanan.

(“Nevermind, Nona. Saya tidak mencatut perkataan teman-teman kerja nona sebagai hutang yang harus nona bayar. Saya meminta maaf, karena ice cream truck yang saya kirim … ternyata menyeret anda ke situasi yang sulit.”)

Ah, meski Mas Dirga tidak mengirimkan ice cream truck, tetap saja rekan-rekan kerja Nami mencari-cari perkara. Nami bersyukur dirinya masih diberi kesabaran seluas samudera.

(“Saya sudah biasa, Mas.”)

Alias Nami harus terbiasa. Jika ia keluar dari pekerjaannya, belum tentu dirinya mendapatkan ganti yang gajinya setara bahkan lebih besar. Nami harus tetap bertahan sampai mamanya mati mungkin.

(“Nona, maaf jika saya terkesan ikut campur. Namun hati saya tidak bisa tahan dan pura-pura tak peduli. Lingkungan kerja nona sangat buruk. Apa tidak ada keinginan untuk menyelamatkan mental nona dari lingkungan tersebut?”)

Mental?

Tekanan di kantor memang membuat dadanya selapang studion bola. Namun kembali lagi, Nami melakukannya demi setoran mama.

(“Terima kasih sarannya, Mas. Namun saya bertahan bukan karena betah, tapi karena butuh. Nggak gampang mencari pekerjaan di luar sana, Mas. Apalagi ada kemungkinan saya akan masuk blacklist di tempat lain jika mengundurkan diri. Saya terlanjur nyebur ke lingkungan kerja yang demikian.”)

Atasannya pun bukan orang yang bijak dalam bersikap. Nami tidak memiliki power dalam masyarakat. Ia hanya akan menggali lubang kuburannya sendiri jika nekat keluar dari sana.

Perusahaan tempatnya bekerja memiliki cabang lain dan ikatan kerja sama dengan perusahaan-perusahaan lain. Nami tak ingin mengambil resiko dengan mendengar beribu penolakan jika ia berperan sebagai pencari kerja.

(“Nona, jika kamu butuh tempat berkeluh kesah. Nona bisa hubungi saya.”)

Kedua sudut bibir Nami terangkat sempurna. Terngiang kembali akan suara ganteng Mas Dirga yang membuatnya kelojotan saat pertama kali mendengarnya.

(“Jangan, Mas.”)

Samudra jelas bertanya penyebab niat baiknya ditolak. Ingin menebak jika Nami memiliki pasangan. Nyatanya tidak ada satu pun pria yang menghubungi ponselnya, selain Pak Kaze si atasan Nami semata.

(“Kenapa? Tapi saya tidak memaksa jika nona keberatan. Saya hanya ingin menjadi teman anda. Ah, mungkin kedengarannya aneh, karena kita baru kenal dua hari secara tak terduga.”)

Nami memiliki satu penyakit yang sering membuat Leony geram. Nami terlalu welcome dengan siapa saja yang ingin berteman dengannya.

(“Nanti jatuh cinta sama saya. Hehe.”)

Samudra yang membaca balasan Nami, mau tak mau mengembangkan senyum. Pria itu yakin bila Nami bukanlah gadis yang jahat. Pribadinya cukup menarik untuk kesan pertama kenal.

(“Nona Nami lucu. Saya ketawa, lho.”)

Nami ikut tertawa juga akhirnya. Ah, siapa yang menolak berteman dengan pria yang kesan awalnya sudah sangat menarik bagi Nami?

Nami jadi penasaran dengan rupa seorang Mas Dirga. Bagaimana kalau wajahnya tidak seganteng suaranya? Ah, rupa seseorang tidak bisa dijadikan patokan utama! Bukankah manusia itu yang dipegang adalah sikap dan tutur kata?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status