"Sayang, maaf soal Aleena.""Iya. Nggak papa, Mas.""Serius nggak masalah? Jangan bohong.""Kesal sebenarnya." Bahkan Nami gatal sekali ingin menjambak rambut panjang Aleena, kemudian menjedotkan kepalanya ke jalan aspal. Untung saja Nami bukan psikopat. "Tapi aku tahu kalau mas nggak bakalan tertarik. Lagian kalau mas khilaf, aku bisa tinggal angkat kaki."Samudra menelan ludahnya susah payah,"Jangan, Sayang. Masa aku khilaf? Nggak percaya aku memangnya?"Nami cuma tersenyum,"Percaya, kok. Aku cuma mau ngasih tahu aja kalau laki-laki selingkuh yang ngaku khilaf itu, nggak perlu didampingi.""Nggak, Sayang. Aku nggak akan berbuat sebodoh itu. Janji." Samudra sampai mengacungkan dua jarinya. "Iya. Iya."Nami tidak ingin membahasnya lagi. Hormon kehamilannya, membuatnya jauh lebih sensitif. "Gaya bicara kamu berubah banyak, Mas." Nami selama ini jarang menyinggung hal yang satu itu. "Emmm, mas harus terbiasa, Sayang. Dialog juga kebanyakan gaya bahasa informal. Sama kru syuting dan
Syuting sudah usai. Samudra dan Nami yang sempat berseteru dalam diam, perlahan kembali menjalin untuk memperbaiki hubungan mereka yang sempat dingin. Nami gerah dan cemburu mengetahui tak sedikit para penggemar dan netizen yang malah berpendapat terang-terangan jika Samudra dan Aleena sangat serasi. Lebih gilanya lagi, Samudra dan Aleena memiliki fanclub bentukan perempuan-perempuan sinting yang secara tidak langsung, seperti mendoakan Samudra dan Aleena menjadi pasangan real saja. Yang dilakukan Samudra sudah benar. Ia lebih intens memperhatikan Nami. Komunikasi mereka juga meningkat tajam. Bila Nami tidak cepat mengangkat panggilan dan membaca pesan, justru Samudra yang ketar-ketir. Saking tidak inginnya Samudra melihat istrinya sedih dan stress saat hamil, Samudra lebih gila lagi membagikan momen-momen manis Nami yang entah sendirian atau saat bersamanya dan acara kumpul keluarga. Gara-gara hal itu, netizen seperti terbagi-bagi menjadi beberapa kubu. Kubu pertama adalah kubu o
Tak ada yang bisa menandingi bagaimana panasnya hati seorang perempuan, saat mendengar atau bersentuhan sedikit dengan kata menjijikkan bernama PELAKOR. Arsya, Arsyi, dan Leony bergerak gesit mendandani Nami agar lebih mentereng dan mencuri perhatian lebih dari Aleena Kalila acara menonton bersama episode satu yang tayang serempak hari ini. “Aku sudah mengetahui tentang semua yang dikenakan Aleena hari ini. Pemilik butik tempatnya membeli gaun, berhubungan baik dengan Kiano.” Arsya merasa bangga dan puas hati, karena bisa mendapatkan gaun yang lebih wah, tidak norak, tapi tetap elegan untuk Nami. “Hair stylistnya Aleena pun, aku mengenalnya,” sambung Arsya yang memang untuk urusan seputar fashion, sudah tentu memiliki koneksi yang luas. Itu dikarenakan pekerjaannya yang memang berkutat di bidang tersebut. Nami hari itu sungguh tampil maksimal. Perutnya yang sudah sedikit membuncit tidak menjadi halangan untuknya mengenakan gaun berwarna biru malam dengan aksen manik-manik gemerlap
“Mama udah nunggu dari tadi. Uangnya mana, Nami? Udah males kamu ngasih uang gaji kamu sama mama? Mau jadi anak durhaka kamu? Udah syukur-syukur dilahirkan, dibesarkan, dan disekolahin di sekolahan elit. Jadi kamu nggak bisa ngurang-ngurangin jatah mama. Ingat, Nam! Satu tetes air susu mama yang pernah kamu minum aja, walau kamu ngasih mama alam semesta ini, tetap nggak bisa membalas semua kebaikan yang sudah mama kasih ke kamu!”Suara telepon dari wanita yang melahirkannya begitu menusuk sanubari Nami. Nami kehilangan selera makannya. Padahal pekerjaan di kantornya mulai pagi sampai siang ini, sangat membuat isi kepalanya berisik mampus dan menular pada lambungnya yang berdendang. Namun, makan siang dengan menu keluhan sang mama cukup membuat Nami kenyang. “Maaf, Ma. Mama yang sabar, ya? Nami, kan, udah bilang kalau nanti sisanya ditransfer. Soalnya Nami ada pengeluaran diluar rencana, Ma. Sebentar lagi bonus Nami cair, kok. Nanti Nami transfer semuanya ke mama.”Padahal belum ada s
“Ada-ada aja kamu, Nam. Hidup kamu itu ajaib emang. Ketuker ponsel sama siapa pula?” Nami telah mengirimkan uang kepada mamanya setelah Leony bersedia meminjaminya sejumlah uang yang dibutuhkan. Itupun Nami berulang kali memohon maaf, karena dirinya sungguh tidak enak berucap tolong dalam urusan hutang piutang. “Aku yakin sama satu orang. Tadi siang aku ke restoran, terus tabrakan sama orang. Ponsel kami jatuh. Dia ambil ponselnya setelah minta maaf, terus pergi gitu aja. Aku juga nggak ngecek lagi, karena langsung ke kantor. Di kantor hectic parah, Le. Buat kentut aja nggak sempat. Pas sampai rumah, baru aku sadar kalau ponselnya beda. Mana pake password pula. Aku udah ke restorannya buat minta data pribadi atau sekadar ngecek CCTV buat nyari tau siapa yang tabrakan sama aku. Tapi pihak restoran nggak mau ngasih akses, karena menyangkut privasi.”“Gini aja, kita tungguin sampai ada yang nelepon. Kalau nggak ada, besok aku ngomong sama suamiku buat bantu kamu.”Nami semakin tidak en
“Nggak ada balasan sama sekali dari Raline.”Samudra menunggu kabar dari Raline, kekasihnya. Ia menghubungi sang kekasih lewat ponsel Rajasa. Namun sayangnya, tidak ada reaksi apapun dari sang kekasih yang berada di New City. Samudra sedang berada di perhelatan acara fashion show. Di saku jasnya, terdapat ponsel Nami yang bergetar sejak tadi. Sudah sejak subuh tadi, benda persegi panjang itu sangat sibuk. Tidak ada pesan memaki dari mamanya Nami. Malah beruntun pesan dari atasan dan rekan-rekan kerja si pemilik ponsel.Samudra harus meneruskan semua informasi kepada Nami. Dengan mata yang masih enggan terbuka, Samudra lagi-lagi menjumpai kehidupan lain dari seorang Nami dalam bentuk lingkungan kerja yang toksik. (“Nam, printernya kok rusak lagi? Aku harus ngeprint kerjaan, nih!”)(“Halo, Nami! Dimana, woy?! Pak Kaze nagih laporan kemarin. Udah kamu kerjain, kan?”)(“Nam, beliin sarapan sama kopi. Pake uang kamu dulu.”)(“Kerjaan kamu yang kemarin, nggak ada yang bener. Kamu gimana,
“Eh, simpanan bos dapat ice cream truck dari sugar daddy yang mana lagi, nih?”Nami salah besar jika niatnya untuk berbagi kepada teman-teman sekantornya malah berbalik menjadi penghinaan yang sudah biasa ia terima. Nami salah mengira jika dengan berbagi, maka rekan-rekan kerjanya akan lebih lunak bersikap kepadanya. Lagipula siapa yang bisa menghabiskan es krim seorang diri?“Tapi nggak papa. Siapa, sih, yang nolak es krim gratis?”“Bilangin sama papah gula kamu buat ngirimin food truck besok.”“Pak Kaze nggak cemburu, kamu punya papah gula yang lain? Atau ternyata … emang truck ini dikirimin sama beliau?” Salah satu dari ketiga gadis yang merupakan rekan kerja Nami, berlagak kaget. Kedua gadis di sampingnya cekikikan seraya memesan ice cream tanpa rasa malu. Nami hanya bisa menahan kesal. Ia tak ingin melawan bukan karena takut, tapi ia tidak ingin menciptakan masalah di tempat kerja. Bagaimanapun, Nami butuh pekerjaan ini agar bisa membiayai ibunya yang suka meminta uang tanpa t
(“Hai, selamat pagi. Boleh izin membuka galeri foto? Tadi saya selfie beberapa kali. Saya harus mengunggah sesuatu untuk pekerjaan.”)(“Rencananya hari ini, saya ingin membeli ponsel baru.”)Nami yang masih bekerja, sontak menyambar ponsel dan membuka pesan dari Mas Dirga secepat kilat. Nami tidak mengerti, apa yang membuatnya sumringah seketika hanya karena membaca pesan berbahasa kelewat formal dari Mas Dirga?Selamat pagi? Nami terkekeh dengan sebelah tangan menutupi mulut. Di New City sudah jam setengah dua belas siang. Namun Nami tidak akan mempermasalahkan sapaan tersebut. Nami mengerutkan kening dan tak sengaja membuat bibirnya sedikit mengerucut saat membalas pesan Mas Dirga.(“Buka aja, Mas. Tapi maaf kalau nggak sengaja liat foto-foto absurd saya. Emm, kenapa mas beli ponsel baru? Padahal sisa empat hari lagi, ponsel mas udah balik ke tangan mas.”)Nami memikirkan kalimat balasannya sekali lagi. Sepertinya ia tidak perlu bertanya tentang alasan Mas Dirga membeli ponsel. Dir