Jhon menepis tangan Nami. Ia berjalan meninggalkan Nami yang masih terdiam memandang tubuh Jhon yang berjalan menjauh darinya.
Setelah tubuh Jhon tak lagi terlihat, Nami menghela nafas lalu berjalan menuju kos tempat ia tinggal.'Setidaknya hari ini aku aman.' ucap Nami dalam hati.Sampai di rumah kosnya, Nami membuka pagar kayu yang tertutup rapat. Suasana lengang dan sepi karena hari telah masuk larut malam. Sebagian besar penghuni kos tentu sudah tidur.Nami berjalan menuju kamar kosnya, setelah sampai di depan pintu, Nami mengambil kunci kamarnya yang ia simpan di dalam tas. Tangannya lincah memutar kunci yang telah tertancap di lubang kunci. Perlahan pintu kamar terbuka.Nami melangkahkan kakinya masuk ke dalam setelah membuka sepatu hak nya lalu menutup dan mengunci pintu kamarnya.Dengan asal Nami melempar tas kecil yang ia bawa dan menaruh sepatu haknya di rak sepatu.Nami menghempaskan tubuhnya di kasur empuk yang ia beli dari hasilnya bekerja sebagai Geisha di klub Zoi.Perlahan ia menarik nafas. Bayang-bayang lelaki gempal itu hendak berbuat kasar kepadanya membuat Nami bergidik. Beruntung ada Jhon yang tanpa ia pikirkan mau bekerjasama untuk berpura-pura menjadi kekasihnya.Jika saja saat itu Jhon menolak dan membantah ucapan Nami, Nami tidak tahu lagi bagaimana nasibnya saat ini.Tanpa Nami sadari, perlahan matanya meredup lalu kelopak matanya tertutup. Menyelimuti bola mata berwarna hitam pekat milik Nami.***Jhon sedang berjalan menuju pasar tempat ia setiap hari menghabiskan waktu. Peristiwa semalam membuatnya tidak dapat tidur. Ia seperti pernah bertemu dengan pria gempal yang sedang bersama wanita yang memaksanya untuk menjadi kekasihnya.Beberapa kali kakinya menendang batu yang berserakan di tanah tempat ia berjalan. Jhon mencoba mengingat lelaki itu, namun ia masih belum dapat mengingat siapa lelaki tersebut.Saat kepala jhon mendongak, ia melihat lelaki gempal itu berada di luar pagar sebuah bangunan dengan pintu yang berderet memanjang. Jhon mengikuti kemana arah mata lelaki tersebut memandang tanpa berkedip.Sesaat Jhon menghentikan langkahnya dan bersembunyi di balik pohon mangga yang sedang berbuah. Tangannya memetik sebuah mangga yang Jhon rasa telah masak di pohon. Sambil mengamati apa yang dilakukan pria itu, Jhon menggigit buah mangga dan mengunyahnya.*Nami keluar dari pintu yang ditatap lama oleh lelaki gempal tersebut. Dengan mengenakan celana pendek, kaos oblong over size Nami tampak imut dengan rambut yang dikuncir kuda. Tangan kanannya menenteng keranjang belanjaan.Pagi ini Nami berniat berbelanja di pasar. Saat ia membuka kulkas, ternyata bahan makanan di kulkas Nami sudah tidak segar lagi. Maklum, sudah satu minggu lebih Nami meninggalkan kamar kosnya karena ia dirawat di rumah sakit. Setelah membersihkan kamar kosnya dan bahan makanan yang sudah tidak layak konsumsi lagi, Nami memutuskan untuk belanja pagi ini ke pasar.Melihat Nami keluar kamar kosnya seorang diri, pria gempal itu bergegas membuka pintu pagar kayu yang tidak dikunci. Nami yang terkejut melihat pria itu hendak berbalik dan kembali masuk ke dalam rumah tapi pria itu dengan cepat telah berada di hadapannya.Ingin berlari segera membuka mulutnya hendak berteriak tapi cepat lelaki itu membungkam mulut Nami."Aku tidak perduli walaupun kamu sudah memiliki kekasih. Kau akan tetap menjadi milikku!"Nami berusaha berteriak tapi suara yang keluar hanya gumaman yang tak berarti. Jhonatan yang melihat kejadian tersebut sempat tersedak mangga yang sedari tadi ia kunyah melihat pria jelek itu menyentuh Nami sedemikian rupa.Detik berikutnya Jhon tersadar, ia mulai berpikir kenapa dia harus perduli dengan wanita itu? mereka tidak mempunyai hubungan dan peristiwa semalam adalah kebetulan yang tidak disengaja.Alih-alih Jhon berjalan ke arah wanita itu, ia memilih untuk berjalan melewati kos tersebut tanpa menoleh. Nami yang melihat sosok Jhon berjalan melewati dirinya tanpa perduli keadaannya saat ini merasa sedih. Tidak ada yang akan dapat menolongnya kali ini dari pria gempal itu."Lepaskan!" Nami berusaha berontak, beruntung usahanya yang sudah untuk kesekian kalinya membuahkan hasil.Tapi pria itu segera kembali mencekal lengan Nami. Kali ini, pria itu segera menarik paksa tubuh Nami. Ia berjalan menuju mobil yang sudah terparkir tidak jauh dari tempat kos Nami.Dengan terseok-seok Nami mengikuti langkah pria itu sambil menahan cengkraman tangan yang mulai terasa menyakitkan."Lepaskan aku! aku tidak punya hubungan apapun dan salah apapun denganmu! jadi lepaskan aku!" pekik Nami.Cukup keras Nami berteriak, tapi tidak ada seorang pun yang menolongnya. Titik air mata sudah mulai membasahi wajahnya yang polos tanpa make up tebal."Kau memang tidak ada urusannya denganku. Tapi seseorang sudah menjual mu kepadaku dengan harga yang sangat mahal. Jadi kau sudah menjadi milikku! dan aku... Tidak akan melepaskan mu begitu saja!" Ucap pria itu sambil terengah.Sampai di mana ia memarkirkan mobil, keduanya terkejut karena melihat Jhon tengah merokok sambil bersandar di mobil Pajero putih. Tampak mobil itu sudah tidak berwarna putih lagi, banyak kotoran tanah basah dan dedaunan ada di atas mobil tersebut.Mata pria itu terbelalak melihat mobil yang ia dapat dengan cara yang tidak baik rusak begitu saja. Amarahnya memuncak saat melihat kaki Jhon yang kotor menapak di pintu mobilnya.Tangannya menunjuk pada Jhon yang masih asyik menghisap rokoknya sambil memainkan ponselnya. "Hei! Menjauh dari mobilku!"Jhon masih cuek, ia menghisap dalam-dalam rokoknya lalu menghembuskan asapnya kesembarang arah. "Lepaskan dulu kekasihku!""Lelaki sampah sepertimu tak pantas menyentuh kekasihku yang berharga!" Imbuh Jhon sambil menatap tajam pria gempal yang sedang menarik tangan Nami agar lebih mendekat pada tubuhnya."Cih! Tidak sudi aku berurusan dengan preman pasar rendah sepertimu!" Pria itu berdecih."Hahahaha...." Jhon tertawa lepas mendengar ucapan pria itu.Ia berjalan mendekat ke arah Nami dan pria itu berdiri. Pria tersebut bersiap jika Jhon melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya, pisau terselip di pinggangnya yang tertutupi jas berwarna hitam tersebut telah siap hendak dicabut.Disaat yang bersamaan, Nami menggigit tangan pria gempal itu sehingga cengkraman pria tersebut mengendur. Nami dapat berlari bebas ke arah Jhon yang ada di depan keduanya.Sialnya...Kaki Nami tersandung batu yang bercecer di tanah becek, tak hanya tersandung, langkah berikutnya kaki Nami terpeleset sehingga membuatnya jatuh tepat di depan tubuh Jhon yang berdiri sambil memegang rokok.Melihat tubuh Nami yang oleng jatuh di depannya, reflek Jhon membuang rokoknya dan menerima tubuh Nami yang terjatuh memeluk tubuhnya.Tak kuat menopang tubuh Nami, Jhon pun turut terjatuh. Namun posisinya Nami jatuh di atas tubuh Jhon memeluk tubuhnya.telah menutup teleponnya, Novi lalu berjalan ke arah Anto dan Ahmad. Melupakan rasa malu karena meminta tolong pada orang asing yang belum tentu dapat dipercaya, tapi berdasarkan cerita Ratu dan Raja, Anto adalah orang baik, mungkin Novi akan mencoba mempercayainya."Permisi?" Novi membungkukkan sedikit tubuhnya, setelah Anto dan Ahmad menoleh, ia kembali menegakkan posisi tubuhnya. Ahmad sedikit salah tingkah melihat Novi ada dihadapannya."Boleh minta tolong?" tanya Novi lagi."Minta tolong apa, Tante?" tanya Anto.Novi cemberut. mengumpat dalam hati, apa pemuda itu lupa? jika Novi pernah marah saat ia dipanggil dengan sebutan tante? ingin sekali Novi mencak-mencak. Tapi kali ini, Novi membutuhkan bantuan Anto. Dengan sedikit gengsi dan sedikit malu-malu, Novi akhirnya memendam rasa kesalnya kepada Anto."Aku minta tolong, temani Raja menonton film. Aku ada pekerjaan dadakan, tidak mungkin dibatalkan. Kamu bisa kan bantu saya?" tanya Novi."Oh, begitu?" Anto menatap Raja yang tenga
Jhonatan telah sampai di depan kos Nami. Ia membawa Nami dengan mengikat tubuh Nami dengan sebuah kain panjang yang ia temukan saat hendak membawa Nami pergi dari gudang kosong tempat Nami disekap. Walau selama perjalanan menuju tempat kos, Nami selalu berusaha berontak dan mengeluh panas tubuhnya semakin tak tertahankan, tapi Jhonatan pada akhirnya mampu membawa Nami selamat sampai tempat kosnya. Tanpa membuka ikatan kain yang membuat tubuh Nami dan Jhonatan tak berjarak, Jhonatan menggendong Nami di punggungnya. Kali ini, Nami berhasil melepaskan ikatan pada kedua tangannya. "Jhon... Lepaskan akuu... Aku bisa berjalan sendiri!" desah Nami."Aku nggak akan lepasin kamu! Diamlah, jangan berulah! nanti semua orang datang lalu menuduhku berbuat tak senonoh padamu!" Hardik Jhonatan tak tahan dengan racauan Nami. Tanpa kesulitan Jhonatan berhasil mendobrak pintu kamar kos Nami dengan satu kaki. Jhonatan lalu menyeret Nami masuk ke dalam kos lalu mengunci kos tersebut, barulah Jhonatan
"Apa yang kalian berikan kepadaku?" teriak Nami histeris. Tubuhnya mulai merasa panas dan berkeringat, ada sesuatu yang mendesak dari dalam tubuhnya yang belum pernah ia rasakan sebesar ini sebelumnya. "Sebentar lagi bos besar datang, jadi... Saat ia sampai, kau pun telah siap untuk melayaninya. Hahaha..." ucap pria tersebut lalu tergelak riang. Keduanya pun meninggalkan Nami seorang diri kembali. Sedangkan Nami sudah mulai gelisah dengan apa yang ia rasa di tubuhnya. Tak lama, suara deru mobil terdengar mendekat lalu suara mesin mati. Mobil terparkir tepat di depan bangunan yang sudah tidak terawat lagi. Pintu terbuka, seorang pria paruh baya keluar dari dalam mobil dengan menggunakan kemeja putih di padu dengan celana bahan berwarna hitam. Sepatu pantofel hitam mengkilat tampak pas di kakinya. "Boss!" ucap pria berambut panjang sedikit berlari, mendekat ke arah pria paruh baya tersebut, menyambut kedatangannya. Di susul oleh teman yang menemaninya berjaga malam ini. "Selamat d
Jhonatan langsung berbalik, tinju yang ia layangkan cepat bergerak menuju ulu hati Hendrik yang terbuka, namun Kali ini, Hendrik tidak diam saja. Gerakannya dapat menahan tinju yang Jhonatan layangkan untuknya. Senyum kemenangan terlihat jelas di wajah Hendrik.Perlahan tapi pasti, Hendrik meremas kepalan tangan Jhonatan hingga Jonatan meringis kesakitan. "Jangan kau bertindak bagai pahlawan kesiangan! Nami itu milikku sejak awal. Jadi jangan kau bertingkah seolah-olah dia adalah milikmu!" bisik Hendrik di telinga Jhonatan. "Aku tahu kalian hanyalah sebatas kerbau dan buruk jalak! Jadi tetaplah seperti itu!" imbuh Hendrik. "Pergilah! Kau tidak akan mendapatkan apapun di sini!" ucap Hendrik lalu melepaskan cengkeramannya. Tanpa sepatah kata pun, Jhonatan meninggalkan ibu dan rumah besar tersebut. Elis, sang ibu hendak menghentikan Jhonatan, namun di cegah oleh Hendrik. "Biarkan saja dia, Sayang. Anak yang sedang jatuh cinta memang sering kali kehilangan kesabaran dan akal sehatny
Jhonatan sampai di sebuah rumah yang cukup besar. Halaman yang luas dengan hiasan air mancur di bagian tengah halaman dengan lampu yang menyala terang menghiasi halaman yang ditata apik. Tidak lagi mengetuk. Jhonatan langsung mendobrak pintu rumah yang tinggi menjulang berbahan kayu jati dengan detail ukiran yang bagus. Langkahnya terdengar berat karena hentakan kaki yang penuh amarah melangkah masuk ke dalam rumah. Raut penuh amarah nampak jelas di wajah Jhonatan. Tangannya meraih sebuah guci kecil yang terletak di atas meja hias tempat dimana banyak hiasan dari keramik dengan berbagai bentuk tertata rapi. "Hendrik! Keluar kau bangsat!" Teriak Jhonatan. Tangannya melempar guci yang ia pegang ke sembarang arah. "Gua tau kalau Lo ada di rumah! Keluar bangsat!" Suara Jhonatan yang menggema di dalam rumah berlantai dua tersebut. Mendengar keributan, seorang wanita keluar dari dalam kamar yang terletak tak jauh dari tangga yang dibangun cukup megah. "Natan?!" pekik wanita berusia
"Nunu!" ucap Jhonatan sambil memasang wajah datar."Nggak-"Jhonatan langsung membungkam mulut Nami, "tak ada lagi penolakan! aku akan buktikan apa yang aku katakan padamu adalah kebenaran. tegas Jhonatan.Nami terdiam. Ia tahu tidak seharusnya meragukan apa yang dikatakan oleh Jhonatan, tapi Nami masih tidak dapat percaya jika Nunu yang melakukan semuanya. Beberapa waktu, tidak ada lagi percakapan antara Nami dan Jhonatan. Hingga dering ponsel milik Nami terdengar. Jhonatan hanya melirik gerak gerik Nami, sementara Nami mengambil ponsel dan menerima telepon yang masuk. "Hallo..." ucap Nami setelah mengangkat panggilan. [...]"Kapan?" [...]Nami terlihat melirik kearah Jhonatan yang sedang menyeruput kopinya, "iya. Dia di sini, kenapa?" Ucapan Nami membuat Jhonatan seketika menoleh ke arahnya. Dahi Jhonatan. Mengkerut menatap Nami. [...]"Oh... Begitu?" ucap Nami lemah. [...]"Baiklah... Sampai jumpa?!" ujar Nami lalu meletakkan ponselnya di atas meja. "Siapa?" tanya Jhonatan