Nami memasang muka masam, malu yang ia rasa lebih besar dari pada rasa nyeri yang ada di kakinya karena tersandung batu. Jhon langsung memeluk Nami setelah keduanya berdiri dari jatuhnya.
Jhon lalu memeriksa setiap bagian tubuh Nami yang dirasa terluka saat jatuh tadi, "Kamu nggak apa 'kan Sayang?" ucap Jhon sambil menatap Nami penuh rasa cemas.Nami yang mendengar ucapan Jhon terheran, apalagi mendengar ucapan Jhon yang penuh perhatian kepadanya.Tak ayal Nami sempat tersipu malu mendapat perhatian dari Jhon. Senyum tipis tersungging di wajah Nami. "Nggak apa-apa kok,"Rasanya Nami hendak memanggil dengan sebutan sayang juga, tapi rasa malu Nami lebih besar saat ini. Dirasa Jhon lengah, pria tersebut berusaha kembali hendak menarik tangan Nami agar kembali kepadanya dan menjauh dari jangkauan Jhon.Tapi mata Jhon yang jeli, segera menahan tangan pria tersebut agar tidak kembali menyentuh Nami, "Berhenti di sana Pak Jaya!" Jhon menyebut nama pria gempal itu sambil tersenyum sinis.Mendengar namanya disebut, sedangkan ia selama ini hanya menggunakan nama samaran selama berkunjung di klub-klub malam tidak menyangka identitasnya akan diketahui oleh preman pasar yang penampilannya sangat payah.Jhon melihat raut wajah khawatir di wajah pria yang ia sebut namanya menyunggingkan senyum, berarti informasi yang ia dapat tidak salah. "Bapak Jaya, seorang manager di sebut perusahaan yang cukup ternama di kota ini. Hobi bermain wanita di klub malam, sering berbuat onar dan..." Jhon sengaja menggantung ucapannya, ia ingin melihat reaksi pria gempal di hadapannya seperti apa.Jhon ingin sekali tertawa terbahak-bahak melihat wajah pucat di hadapannya, tapi image garang dan mengintimidasi harus ia perlihatkan agar pria itu yakin dan akan meninggalkan dan tidak lagi mengganggu Nami selamanya."Bagaimana kalau semua bukti yang aku punya, aku serahkan kepada pemilik perusahaan tempat dimana anda bekerja?" tanya Jhon dengan nada lirih tepat di telinga kiri Jaya.Jaya menahan nafas, tidak sanggup mendengar apa yang akan dikatakan oleh Jhon, begitu pula bayangan jika ia akan kehilangan jabatan dan juga pekerjaannya. "Jika anda mengerti resiko yang akan anda hadapi, seperti anda juga dapat meninggalkan kekasih saya ini dan tidak lagi mengganggunya?" ucap Jhon sambil memeluk bahu Nami.Tak hanya Jaya yang menahan nafas, kali ini Nami juga menahan nafas karena perlakuan Jhon kepadanya, usapan tangan di bahunya membuat Nami sedikit merasa merinding."Tapi aku sudah membayar dia dengan mahal! jadi dia milikku!" ucap Jaya tak ingin kehilangan Nami, wanita cantik, imut dan menggairahkan. Walau hanya dilihat saja membuat Jaya sudah diujung tanduk rasanya."Siapa yang menjual kekasihku?" tanya Jhon penuh penekanan."Aku tidak bisa memberitahukan siapa orangnya,"Jhon menunduk, mengambil sebuah batu besar yang tak jauh dari tempatnya berdiri, "Siapa yang menjual Nami?" tanya Jhon sekali lagi, kali ini ia sambil memainkan batu sebesar kepalan tangannya."Aku..." Jaya tampak ragu hendak mengatakannya, "Aku... Tidak bisa menjawabnya." ucap Jaya pada akhirnya.Secepat kilat batu yang ada di tangan Jhon kini telah melayang ke arah mobil dan mengenai kaca mobil Jaya. Jaya memekik melihat kaca mobilnya yang telah pecah karena ulah Jhon, begitu pula Nami yang reflek berteriak.Jhon kembali mengambil sebuah batu yang tak kalah besar dengan batu pertama, tatapannya tampak puas melihat Jaya yang kini ketakutan. "Kali ini, targetnya adalah kepalamu. Katakan! siapa yang menjual Nami kepadamu?"Jaya menelan ludahnya. Tidak ada kesempatannya untuk berlari, karena posisinya ada di hadapan Jhon dan mobilnya berada di belakang tubuh Jhon, tidak mungkin ia berlari memutar, karena pasti Jho lebih cepat gerakannya daripada gerak tubuhnya yang gempal dan kecepatan lari yang dibawah rata-rata."Pe-pemilik klub Zoi yang telah menjual Nami kepadaku!" ucap Jaya terbata, keringatnya mengucur deras , matanya tak lepas menatap batu yang ada di tangan Jhon, khawatir akan kembali melayang namun kali ini ke arah kepalanya yang tinggal sedikit rambut yang tersisa.Nami tercekat mendengar pemilik klub disebut sebagai orang yang telah tega menjualnya kepada seseorang dengan tanpa sepengetahuannya. Jhon dapat merasakan tubuh Nami menegang tapi Jhon stay cool agar Jaya tetap merasa tertekan dengan apa yang akan ia lakukan selanjutnya."Kalau kau macam-macam lagi ke Nami, semua informasi yang gua pegang ini bakal langsung sampai ke boss perusahaan elo! ingat itu!" ancam Jhon."Tapi... Aku sudah membuang uang banyak-""Persetan sama uang haram lo! kalau perlu gua obrak abrik itu klub bobrok!" teriak Jhon. Amarahnya sudah memuncak.Jhon melempar batu yang ada di tangannya ke arah Jaya, tapi tidak mengenai tubuhnya. Batu itu mendarat tepat di samping kaki Jaya yang kini gemetar ketakutan."Pergi! jangan pernah lagi lo nongol di sini. Kalau sampe kepergok sama gua, abis lo!" ancam Jhon.Jaya melangkah pergi, ia menggerutu dalam hati. Ia sudah habis-habisan uang untuk mendapatkan Nami, sang diva Geisha. Ia juga harus melihat mobil kesayangannya rusak begitu saja karena ulah Jhon.Selepas kepergian Jaya, Jhon melepas pelukannya di tubuh Nami. Saat itu juga Nami jatuh terduduk di tanah becek.Air Matanya mengalir begitu saja. Melihat Nami menangis, Jhon tak habis pikir. Seharusnya saat ini Nami bahagia karena orang yang sudah mengganggunya telah pergi dan tidak akan mengusiknya lagi. Tapi apa ini? Ia malah menangis. Jhon turut berjongkok di hadapan Nami. Sedikit menggusak rambutnya sendiri yang panjang menjadi semakin berantakan."Hei? Apa lagi yang salah? Aku sudah membantu! Tapi kenapa kau malah menangis begitu?" tanya Jhon tak mengerti.Tangis Nami semakin pecah mendengar ucapan Jhon, membuat Jhon menolehkan kepalanya berputar, memastikan bahwa disekitarnya tidak ada orang.Bisa gawat jika ada orang yang melihat Nami menangis di depannya, bisa-bisa Jhon dituduh telah berbuat mesum kepadanya.Dengan panik Jhon menepuk bahu Nami, memintanya agar jangan menangis di tempat seperti ini."Hei... Dengar! Jangan menangis di sini! Jika semua orang melihat, mereka pikir aku yang jahat di sini!" pinta Jhon.Sambil terisak Nami menatap Jhon, sesekali ia menyedot ingus yang keluar dari hidungnya.Jhon yang melihat hal itu merasa jijik, ia memundurkan tubuhnya sedikit condong kebelakang."Jangan deket-deket! Jijik ah!" pekik Jhon."Hiks... Hiks... Gendong!" ucap Nami sambil merentangkan tangannya."Ih gila! Nggak mau! Liat kondisimu sekarang kaya gimana? Nanti baju aku ikutan kotor! Nggak mau!" tolak Jhon sambil bergidik ngeri.Mendengar ucapan Jhon, wajah sedih Nami semakin tampak menyedihkan. Air mata memang tidak lagi menetes, tapi teriakan tangis Nami selanjutnya membuat Jhon terpaksa menuruti keinginan Nami."Ayo! Gendong belakang aja kalo gitu!" ucap Jhon pada akhirnya.Nami mengangguk walau isaknya masih tersisa.Detik berikutnya...Tatapan Jhon kembali tajam. Hal besar akan ia lakukan sebentar lagi.Selesai membersihkan diri, Nami pergi ke dapur membuatkan kopi untuk Jhon yang kini tengah mandi di dalam kamar mandi kos Nami.Selesai membuat Kopi dan teh untuk dirinya, Nami mengeluarkan camilan dan roti yang ia beli setelah pulang dari rumah sakit beberapa hari yang lalu. Dalam satu nampan, Nami berjalan ke ruang depan kamar kosnya.Tepat setelah Nami menyusun minuman dan makanan di atas meja, Jhon keluar dari kamar mandi sambil menarik-narik baju yang ia kenakan."Ini... Nggak ada baju yang lebih gede lagi apa?" protes Jhon.Selama ini, Jhon lebih suka memakai baju over size dari pada baju yang pres body seperti yang Jhon pakai saat ini. Nami yang melihat bentuk tubuh Jhon cukup terkagum karena pahatan di tubuh Jhon cukup sempurna untuk ukuran preman pasar yang tidak ada kerjanya selain membuat onar dan tidur."Pakai aja si! itu udah baju yang paling besar punya aku." ucap Nami, senyum tipisnya nampak tersungging mengagumi tubuh Jhon. "Dah, duduk sini! kita omongin selanjutnya ur
Nami mendorong pintu kaca sebuah salon yang letaknya tak jauh dari jalan besar. Lokasi dengan deretan toko berbagai macam jenis barang yang dijual, membuat jalanan tersebut selalu ramai oleh para pengunjung, apalagi daerah tersebut terkenal dengan harga yang miring namun berkualitas. Salah satu tim preman yang menjaga keamanan di daerah tersebut adalah Jhonatan yang mendapuk sebagai ketua preman di sana. Seorang pria tampan tampak terkejut melihat seorang Jhonatan memasuki salonnya bersama seorang wanita cantik.Wajah takut serta canggung tampak jelas Jhonatan lihat di raut wajah pria tersebut. Tapi pria itu segera menghampiri Jhonatan dan Nami yang sedang berjalan mendekat ke arahnya. "Maaf, Boss... Rasanya baru kemarin kami-"Ucapan pria tersebut seketika berhenti saat Jhonatan menggelengkan kepalanya sambil mengedipkan sebelah matanya. Pemilik salon tersebut bertambah bingung saat melihat ekspresi wajah Nami yang tampak kebingungan. "Apa kau baru saja memotong rambutmu di salon
Mata Nami terpejam. Entah menghindari tatapan mata Jhonatan yang begitu dekat dengan wajahnya, atau menanti sebuah peristiwa yang ia bayangkan tanpa peringatan lebih dulu.Melihat Nami menutup matanya, Jhonatan tersenyum tengil. Ia sudah menyangka gadis dihadapannya akan menutup matanya, berpikir jika Jhonatan akan mendaratkan ciuman manis di wajah Nami.Jari Jhonatan bergerak. membentuk pola bulat antara jari jempol dan jari telunjuknya. Dengan satu hentakan, sebuah sentilan yang cukup keras mendarat di dahi Nami yang tertutupi poni.Suara benturan kulit tangan dan kulit wajah terdengar cukup nyaring di ruangan yang kecil itu, rasa sakit mulai menjalar di area yang terkena sentilan jemari Jhonatan. Mata Nami terbuka lebar. Tatapannya nyalang penuh amarah karena apa yang dilakukan oleh Jhonatan baru saja.Nami mengelus dahinya, tatapan matanya tak lepas dari gerakan yang Jhonatan lakukan, "Sa-""Udah tau!" ucap Jhonatan sambil menoyor kepala Nami, membuat Nami menghentikan ucapannya
"Kamu kenapa, Nami? apa aku membuatmu takut?" Suara merdu bagai hipnotis merasuk ke dalam gendang telinga Nami. Namun ada rasa aneh saat melihat wajah pria tampan yang ada di hadapannya saat ini.Jemari lembut namun terlihat kekar itu kini membelai lembut wajah Nami, "Wajahmu terlihat pucat, apa kamu belum sempat makan atau meminum teh yang aku kirimkan untukmu? aku lihat gelas di atas meja sama sekali tidak tersentuh," cerca pria tersebut dengan Nada lembut.Nami memaksakan senyuman di wajahnya, matanya menatap ragu pada sosok di hadapannya saat ini. "Tadi terlalu sibuk untuk bersiap, aku sampai lupa kalau ada minuman di atas meja." kilah Nami."Kak Luki sejak kapan ada di dalam ruanganku?" tanya Nami menyelidik."Kenapa? kamu keberatan aku ada di sini?" bukan menjawab, pria itu malah bertanya balik."Bukan begitu, Kak! diluar sedang banyak tamu penting. Bukankah sebaiknya Kakak menemui mereka? siapa tahu mereka mau menanamkan saham di klub Kakak?" ujar Nami beralasan.Luki berpikir
Nami dan Jhonatan kini telah berada di depan halaman kos Nami. Jhonatan membuka pintu pagar lalu mempersilahkan Nami untuk masuk terlebih dahulu."Udah sampai! aku pulang duluan ya?!" ucap Jhonatan sambil melambaikan tangan.Nami dengan cepat meraih tangan Jhonatan dan menghentikan langkah Jhonatan, "mau kemana? kan tadi mau kasi tau, isi obrolan boss ku sama seseorang?" tanya Nami.Perlahan Jhonatan melepas pegangan tangan Nami, "Besok aja deh. Udah malam, kamu butuh istirahat!" Jhonatan mengacak rambut Nami gemas, lalu ia pergi meninggalkan Nami yang masih dilanda rasa penasaran tentang hal apa yang diketahui oleh Jhonatan namun ia memilih untuk menyimpannya sendiri. Nami ingin mendesak Jhonatan untuk bicara, tapi apa yang dikatakan Jhonatan ada benarnya. Ia harus beristirahat. Membicarakan hal rahasia tidak cukup dengan waktu yang sebentar.Nami hanya dapat melihat punggung Jhonatan yang perlahan pergi menjauh hingga tak nampak di pelupuk mata Nami, baru Nami masuk ke dalam kamar
Satu minggu berlalu. Nami masih belum juga bertemu dengan Jhonatan. Entah pergi kemana Nami juga tidak mendapat kabar dari Jhonatan. Ia bagai hilang ditelan bumi.Pernah Nami sengaja mampir di warung makan dan barber shop tempat Nami dan Jhonatan datang, tapi para pemilik toko tersebut tidak tahu kemana Jhonatan pergi. Mereka melihat Jhonatan terakhir kalinya saat ia d atang bersama Nami tempo hari.Jaya memang sudah tidak lagi mengganggu Nami, ada sedikit rasa lega. Tapi rasa penasaran Nami tentang apa yang akan di katakan oleh Jhonatan namun pada akhirnya hingga saat ini Jhonatan tidak terlihat batang hidungnya.Hari ini Nami tidak ada jadwal pentas, ia menggunakan seharian untuk mencari di mana Jhonatan berada. Tapi hingga sore hari, Nami tidak dapat menemukan di mana Jhonatan berada. Lelah mencari, Nami menenggak minuman isotonik yang ia beli di warung pinggir jalan hingga habis. Setelah membuang botol bekasnya ke tempat sampah, Nami memutuskan untuk pulang ke tempat kosnya. Di s
Nami melempar tas selempangnya kesembarang arah. Ia lalu menghempaskan tubuhnya asal di atas kasurnya yang empuk. Rasa kesalnya masih menjalari hatinya karena perlakuan Jhonatan yang tiba-tiba menjadi aneh.Guling yang menjadi samsak kekesalan Nami kini ia peluk erat, "Apa dia cemburu liat aku dicium sama om-om tadi?" gumam Nami.Otaknya masih mencoba berpikir, "tapi masak iya dia cemburu?"Nami mengacak rambutnya kasar. Ia masih tidak mengerti, baru saja mereka bertemu tapi Jhonatan malah marah tidak jelas kepadanya.Di sisi lain. Jhonatan berjalan masuk ke dalam klub Zoi. kakinya melangkah ke arah di mana Nami menunjukkan arah toilet kepada pria paruh baya tersebut.Sampai di toilet, Jhonatan berdiri di depan pintu masuk toilet. Tak lama keluarlah pria paruh baya tadi. Ia terkejut melihat Jhonatan ada di sana."Sedang apa kamu di sini?" tanya pria itu."Sedang apa? seharusnya aku yang bertanya seperti itu kepada pria tua sepertimu!" ucap Jhonatan ketus."Sedang apa? tentu saja berb
Nami berjalan menuju klub sore hari ini. Jadwal Nami Nami setiap sabtu dan minggu lebih awal dari hari yang lain."Neng!" Suara teriakan seorang pria yang cukup Nami kenal membuat Nami menolehkan pandangannya yang sedari tadi tertunduk lesu."Eh, Bang Boni?" sapa Nami saat mengetahui orang yang memanggilnya adalah Boni, teman Jhonatan."Kok sendirian, Neng? Jhon nya mana?" Tanya Boni sambil celingukan mencari sosok Jhonatan yang memang tidak ada di sekitar Nami. Nami hanya dapat menggelengkan kepala sambil memanyunkan bibirnya. "Berantem lagi sama Jhon?" selidik Boni.Nami menganggukkan kepala kali ini sambil memasang wajah sedih. Boni hanya dapat menggaruk kepalanya yang tidak gatal, 'rumit sekali pacaran ternyata.' Ucapnya dalam hati."Neng tampil awal kan? biar nanti abang bantu cari Jhon deh. Tapi janji ya, ini abang bantu, kalian jangan marah-marahan lagi!" Boni menyodorkan jari kelingkingnya.Isyarat janji kelingking yang Boni berikan ditanggapi oleh Nami dengan tersenyum. IOa