"Ma, Mama tukang nyuntik ya?"
Aku mengangguk dan menjawil dagu Ana. "Iya, mama itu tukang nyuntik dan tukang bantu melahirkan pasien hamil.""Pasien hamil? Kayak Papa?"Mata mungilnya menatap ke arah pasien hamil yang baru saja turun dari mobil di area parkir klinik.Aku mengerutkan dahi. "Apa maksud kamu, Sayang?""Iya, papa kayak orang hamil kadang, Ma. Perutnya gede dan pake selimut. Kayak orang hamil barusan, Ma." Tunjuk Ana ke arah ibu-ibu hamil yang baru masuk ke IGD."Lha, masa? Kapan Sayang?""Kalau malam. Kalau mama sedang di kerja di sini," celoteh Ana sambil menyuapkan es krim vanila yang tadi kubelikan ke dalam mulutnya."Papa nggak hamil, Sayang. Laki-laki nggak akan bisa hamil. Buktinya kalau siang papa perutnya biasa aja kan?" tanyaku pada putri kecilku.Ana terdiam. "Beneran, Ma. Papa hamil. Lalu papa kayak merintih kesakitan gitu."Aku semakin tercengang. "Emang kamu lihat papa sedang hamil dimana?""Kadang di kamar Ana, kadang di kamar Mbak Sumi. Kadang di kamar mama."Deg!Aku memang mempunyai satu asisten rumah tangga muda. Seorang janda yang merupakan tetangga dari desaku, membutuhkan pekerjaan. Dan karena aku juga bekerja, dia kuangkat sebagai asisten rumah tangga. Sudah selama 6 bulan ini dia bekerja di rumah. Pekerjaannya bagus dan orangnya bersihan.Dan memang sejak umur lima tahun, Ana kuajarkan tidur sendiri. Kadang juga tidur dengan bi Inah di kamarnya, asisten rumah tanggaku yang lama. Yang sudah pulang kampung untuk mengurus suaminya yang stroke.Jantungku berdebar tidak karuan. "Lalu kemana mbak Sumi saat kamu melihat papa hamil?""Nggak ada, Ma."'Astaghfirullah. Seharusnya aku tidak menerima perempuan sembarangan untuk bekerja di rumah ku bila akhirnya justru menjadi bumerang untukku.'"Kamu sudah lama melihat papa hamil?""Nggak tahu, Ma. Lupa."Aku menghela nafas panjang. Sesak sekali rongga dada ini."Ya sudah sekarang kita pulang dulu ya. Dan Ana jangan bilang papa hamil di depan papa dan mbak Sumi ya?"Kupakaikan helm mungil ke kepala putriku lalu melajukan motor untuk pulang.**"Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, eh Ibu sudah pulang. Gimana jalan-jalannya, Ana?" tanya Sumi sambil mendekat dan meraih kantung plastik berisi nasi Padang yang kubeli.Aku menelan ludah saat mencium aroma samar parfum suamiku di tubuhnya.Memang setelah dinas malam dua hari berturut-turut, aku mendapat libur dua hari. Dan saat libur kerja, aku mengajak Ana jalan-jalan. Tentu saja tanpa mas Arif, suamiku karena dia masih bekerja. Kecuali kalau libur dinasku bertepatan dengan hari Sabtu dan Minggu, kami sekeluarga bisa jalan-jalan bersama."Senang sekali, Mbak." Ana tersenyum."Bapak sudah pulang, belum Mbak Sum?" tanyaku."Belum, Bu.""Tolong kamu tata lauk dan sayur di piring ya.""Iya."Mbak Sumi berjalan menuju ke arah dapur. Tubuhnya sintal walaupun anaknya sudah dua dan tinggal bersama ibunya di kampung. Kaus dan jarik berbentuk rok selutut mencetak jelas bentuk tubuhnya.Aku membuntuti mbak Sumi sampai ke dapur berlagak akan mengambil air minum.Dan saat dia sedang mengambil piring di rak, aku bisa melihat dengan jelas. Di leher mbak Sumi terdapat beberapa tanda merah. Kulitnya memang tidak begitu putih. Tapi bersih dengan rambut yang selalu dikuncir.Uhukkk!Uhukkk!Tanpa sadar aku tersedak. "Leher kamu, kenapa Sum?" tanyaku."Astaga!" serunya.Sumi hampir saja menjatuhkan piring di tangannya. Dengan cepat, dia melepas kunciran dan menutupi lehernya dengan rambut."I-itu Bu, saya digigit nyamuk. Lalu saya garuk. Memang membekas, Bu."Terasa ada yang meremas hati saat melihat kebohongan terpancar di matanya yang terlihat ketakutan."Hm, ya sudah."Aku berlalu dari hadapan mbak Sumi lalu menuju ke kamar mandi. Kubasuh wajah karena pikiranku sedang kalut. Aku harus menangkap basah perselingkuhan mereka.*"Sayang, Mas pulang!" seru mas Arif."Yeee, papa pulang!" Ana berseru sambil mengulurkan tangannya ke arah mas Arif.Mas Arif menggendong dan menciumi pipi gembil Ana. Sedangkan aku melihatnya dengan dada yang menghangat.'Ya Allah, apa mungkin lelaki tampan ini, yang telah menghalalkan aku sejak tujuh tahun lalu telah berpaling?'"Ma, kok ngelamun! Uang gaji sudah papa transfer ke rekening mama ya." Mas Arif mencium pipiku dengan masih menggendong Ana."Iya Mas. Makasih banyak ya. Itu tehnya sudah kusiapkan sama pisang goreng krispi."Ingin rasanya menanyakan langsung tentang perkataan Ana tadi siang. Tapi mana mungkin ada maling ngaku? Kalau maling ngaku, pasti penjara sudah penuh!"Mas, ini lima juta? Biasanya kan delapan juta?" tanyaku saat melihat saldo terakhir di ponsel."Hm, aku mentransfer mami tiga juta. Kasihan mami ingin beli baju baru.""Oh, ya sudah. Aku malah senang kalau kamu masih ingat mami, Mas. Aku nggak keberatan sama sekali kalau kamu memberikan sebagian gaji kamu ke mami. Asal nggak diberikan ke pelakor aja.""Uhuk!"Mas Arif tersedak saat minum teh. "Kamu ini ngomong apa? Sama sekali aku tidak akan tergoda dengan perempuan lain. Karena aku sudah punya kamu, Sayang."Prangggg!!!Mendadak terdengar suara kaca jatuh dari dapur.Aku dan mas Arif berpandangan, lalu seolah mendapat aba-aba, kami bergegas ke dapur.Tampak mbak Sumi memunguti pecahan piring di lantai. Kuamati wajah suami ku. Dia tampak khawatir."Hati-hati tangan kamu, Sum. Biar aku saja yang bersihkan!" seru suamiku tapi sedetik kemudian dia terdiam."Lain kali jangan sembrono kalau bekerja," tukas suamiku dan berlalu meninggalkan dapur.*"Mas, aku mau minta tolong."Aku memakai selimut saat hampir tidur dan menatap suamiku yang tengah menggulir layar ponsel."Kamu mau minta tolong apa?""Besok Minggu kan aku dinas pagi, sedangkan kamu libur. Tolong belikan peralatan mandi dan peralatan dapur dengan Sumi di mall, bisa nggak?"Suamiku langsung mengalihkan pandangan nya dari layar ponsel ke wajahku."Oke. Bisalah. Apa sih yang enggak buat kamu." Mas Arif tersenyum dan menjawil pipiku. Aku tersenyum padahal dalam hatiku ada perih-perihnya.'Kena kamu, Mas! Ini langkah pertama untuk membuktikan perselingkuhanmu dengan Sumi!' batinku.Nastiti hanya mengedikkan bahunya. "Entahlah, Mas. Aku juga tidak tahu. Aku tidak mengundang mereka kemari. Kita tunggu saja mereka. Aku juga ingin tahu ada perlu apa mereka kemari," sahut Nastiti lirih. "Bagus sekali ya klinik dan rumah baru kamu," ucap Sumi saat dia dan Arif sudah sampai di hadapan Narendra dan Nastiti. Nastiti tersenyum. "Terimakasih. Ayo silakan duduk di dalam dulu. Karena masih dalam acara syukuran," sahut Nastiti ramah. "Hm, ada acara syukuran? Kok kamu nggak ngundang aku, Nas? Mana Ana?" sela Arif. "Iya. Kami tidak mengundang kalian. Karena rumah kalian kan jauh di luar kabupaten sini. Selain itu acara ini juga untuk syukuran lamaran," sahut Narendra yang lalu berjalan dan menuju ke arah Nastiti lalu berada di depan calon istri nya. Tampak wajah Sumi dan Arif yang tercengang. "Wah, sudah lamaran? Syukur deh. Semoga lancar sampai hari H, ya?" ujar Sumi terdengar tulus. "Terima kasih, ayo masuk dulu. Kita ngobrol di dalam sambil menikmati suguhan. Aku yakin
"Iya. Nastiti bermimpi salat berdua dengan diimami oleh mas Narendra selama 3 kali," sahut Nastiti membuat semua orang yang ada di ruang tamunya mengucap hamdalah. "Kalau begitu ayo kita menikah," ajak Narendra membuat Nastiti mendelik. "Tidak secepat itu, Mas Rendra.""Kenapa enggak? Kita sama-sama sudah siap dan sudah berumur juga. Apa menunggu rumah dan tempat praktik kamu selesai? Sekalian untuk acara syukuran?""Itu lebih, Mas. Daripada terburu-buru.""Baiklah. Aku setuju.""Bunda juga setuju.""Kamu ingin acaranya dibuat sederhana atau meriah?""Yang sederhana saja. Yang pentin khidmat.""Lalu kapan acara pernikahan nya?"Nastiti mendelik mendengar kan ucapan Narendra. "Ya Allah, Mas. Belum aja lamaran, kamu udah nanyain tanggal pernikahan," ucap Nastiti tertawa. Narendra tersenyum dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Yah, gimana ya. Kan sudah duda 4 tahun. Jadi rasanya kalau sudah menemukan yang pas, lebih baik, langsung akad," seloroh nya disambut cubitan bunda. "W
Tatik menerima vonis dari hakim dengan kepala tertunduk. Dikumpulkannya semua rasa semua rasa dendam dalam hatinya. "Oke. Mungkin saat ini aku kalah. Tapi aku tidak akan pernah menyerah. Aku akan balas dendam setelah aku keluar dari penjara," gumam Tatik dalam hati. *"Bagaimana tadi sidangnya, Sum?" tanya Arif yang duduk di teras rumah Sumi. "Alhamdulillah, lancar."Sumi pun menceritakan tentang sidang yang terjadi di pengadilan tadi. Arif terlihat manggut-manggut. "Baguslah kalau begitu. Sekarang kamu bisa fokus mencari kebahagiaan kamu."Sumi mengangguk. "Oh ya, kalau kita menikah, kita akan tinggal dimana, Rif?" tanya Sumi. Arif menghela nafas panjang. "Aku juga kepikiran hal itu. Kalau aku menikah dan tinggal di rumah kamu, aku merasa kasihan pada mami.Tapi kalau kamu ikut aku ke rumah mami, kasihan anak-anak kamu. Masa setahun pindah sekolah dua kali. Lagipula warung kamu hampir jadi," sahut Arif lirih sambil menatap bangunan mungil di depan teras rumah Sumi. Rumah waris
Mata Sumi membulat. "Benarkah, Rif?"Arif mengangguk meskipun dia juga ragu membuat Sumi menjadi ragu dan tidak percaya. "Rif, aku serius. Aku benar-benar ingin mempunyai imam yang menerima aku dan anak-anak ku. Yang bisa membimbing, menafkahi, dan mengayomi. Aku terima semua keadaan kamu. Kita juga pernah berbuat sesuatu yang haram kan? Aku ingin kita sama-sama memperbaiki nya, Rif." Sumi tertunduk. Arif menjadi tidak tega saat melihat mantan pacarnya itu. "Sum, aku bilang kan aku mau menerima perasaan kamu. Aku mau menerima kelemahan dan kelebihan kamu. Baiklah, ayo kita mulai dari awal ya."Sumi mengangguk. Matanya berkaca-kaca. "Tapi aku ingin kamu berjanji satu hal padaku, Rif.""Apa itu, Sum?""Jangan pernah menghadirikan pihak ketiga dalam rumah tangga kita. Termasuk mbak Nastiti. Kamu mau kan?"Arif mengangguk pelan. Dia juga heran, dulu saat masih menikah dengan Nastiti, dia justru ingin bersama Sumi. Sekarang saat Sumi sudah di depan matanya dan dalam kondisi yang lebih
Flash back on. Arif menutup teleponnya dengan perasaan yang campur aduk. Ini kesekian kalinya, Ana menelepon nya dan menanyakan kapan Arif pulang. Dan Arif juga sudah kesekian kalinya berbohong bahwa Arif masih sangat sibuk dengan pekerjaannya dan belum bisa pulang. "Kenapa kamu?" tanya maminya sambil membawa piring besar berisi ayam dan tahu krispi. Arif menghela nafas panjang dan menatap mamanya dengan pandangan bingung. "Aku kangen Ana, Mi."Maminya menarik kursi di hadapan Arif dan menduduki nya."Ya sudah. Kalau begitu kamu jenguk saja anak kamu. Ayo, mami juga ikut."Arif menopang dagunya dengan tangan. "Apa mami pikir akan semudah itu untuk menjenguk Ana? Arif bisa berbohong kalau lewat telepon. Tapi kalau bertemu langsung dengan Ana, Arif tidak akan berani berbohong. Arif tidak tega untuk mengatakan bahwa ayah dan ibunya sudah bercerai."Maminya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Terus kamu maunya apa? Itu kan semua menjadi salah kamu. Seharusnya sebelum kamu selingk
Arrgh! Tatik menjerit dan tubuhnya lemas seketika di samping ransum makanan nya. "Heh, dia pingsan beneran?" tanya salah seorang pengeroyoknya. "Ah, dia pasti pura-pura pingsan karena takut akan dikeroyok lagi!""Kita ambil saja makanan nya!""Kalau nanti kita dimarahi petugas gimana?""Salah sendiri. Coba dia nggak pelit buat bagi makanannya. Pasti dia nggak akan jadi seperti ini."Beberapa pengeroyok Tatik mulai mendekat ke arah Tatik. Dan mulai mengerubuti makanan yang ada di depan nya. "Heh, kalian!! Jangan ribut-ribut saat makan!" Sebuah suara menghentikan para pengeroyok Tatik yang sedang makan. Mendadak, Tatik terbangun dan menghambur ke arah petugas yang datang."Tolong! Tolong saya, Bu! Ini ada orang-orang gila yang mau merebut makanan saya!" seru Tatik sambil berpegangan pada tiang besi penjara yang dingin. Petugas itu terkejut saat melihat kondisi tubuh Tatik yang penuh dengan luka lebam. "Hm, ini pasti ulah kalian. Kalian harus menerima sanksi disiplin!" sahut petug
"Ceritanya panjang, tapi siapa bapak dan ibu ini? Kenapa ada di makam ibu saya?""Dewi Setyorini itu saudara kami. Kami empat bersaudara. Kami dulu punya sopir pribadi bernama Syarif Kasim. Ya, kuburannya berada di sana." Salah seorang peziarah itu menunjuk ke arah kuburan bapaknya Sumi. "Jadi bapak saya itu adalah sopir pribadi kalian?" tanya Sumi dengan suara tercekat. Ketiga peziarah itu mengangguk. "Ceritanya panjang, apa kamu sudah makan? Sepertinya kita harus bicara secara khusus. Apa kamu ada waktu untuk makan siang bersama kami?" Sumi berpikir sejenak. "Baiklah. Tapi jangan lama-lama, Bu. Karena saya mempunyai dua anak yang saya tinggal sendirian di rumah.""Wah, jadi kamu sudah punya anak?" Sumi mengangguk."Ya sudah kalau begitu, ayo kita ke kafe resto sekarang. Daripada kesiangan nanti. Kamu bawa kendaraan? Apa ikut mobil kami?""Saya bawa kendaraan, Bu.""Ya sudah, ikuti mobil kami ya. Di dekat sini ada kafe resto yang enak banget."*"Jadi Dewi adalah kakak sulung kam
Tatik tersenyum meledek melihat Sumi yang datang menjenguknya."Datang juga kamu. Aku pikir kamu tidak akan kesini dan menjadi anak durhaka," ucap Tatik menatap wajah Sumi. Sumi duduk di depan ibu tirinya dengan tenang. "Hm, Bu, saya kesini dengan dua kemungkinan. Bisa mengusahakan uang untuk sewa pengacara. Tapi bisa juga untuk membuat ibu dipenjara lebih lama lagi."Mata Tatik membulat. "Apa maksudmu?""Ehm, mungkin ibu akan langsung mengerti kalau aku mengatakan tentang Rina."Tatik tercengang, mulutnya menganga. "Kamu tidak akan bisa memenjarakan ku lebih lama. Kamu kan sudah kurawat dari bayi?"Sumi tertawa. "Ibu salah. Aku bisa melakukan ancamanku membuat ibu dipenjara lebih lama. Caranya sederhana saja. Aku telah memeriksa kamar ibu. Hal yang selama ini tidak pernah kulakukan. Dan aku telah menemukan akta kelahiran ku yang asli. Kalau ibu tidak mau menunjukkan dimana makam ibu kandung ku, akan kulaporkan ibu telah memalsukan dokumen.""Kamu mengancamku? Dasar anak tidak ta
"Astaghfirullah. Aku sedang ada perlu urusan rumah Mas. Kamu share loct rumah sakitnya ya. Aku ke sana sekarang!""Ada apa, Mbak?" tanya Narendra saat melihat Nastiti yang menyelempangkan tasnya dengan panik. "Kakak lelaki ku menelepon kalau bunda kecelakaan dan butuh darah," sahut Nastiti seraya berdiri. "Pak Rendra, karena urusan rumah kita sudah selesai, saya pamit dulu akan ke rumah sakit.""Tunggu! Saya ikut, Mbak!"Nastiti menoleh dan terkejut dengan ucapan Narendra. "Ini sudah tidak ada urusan nya dengan rumah yang saya jual, Pak. Ini urusan keluarga saya.""Ya saya tahu. Saya hanya ingin mengenal mbak dan keluarga lebih dekat."Nastiti melongo. "Tapi ..,""Ayo kita berangkat, Mbak. Kan tadi mbak bilang kalau bundanya butuh darah. Ayo kita berangkat sekarang."Narendra berdiri dan berjalan terlebih dahulu ke arah kasir. Dan setelah dia menyelesaikan pembayaran, Narendra mengikuti Nastiti menuju ke mobilnya. *Nastiti dan Narendra berjalan tergesa di lorong rumah sakit yang