Share

bab 4. Ketahuan Berbohong

"Astaga, Sumi ..!" seru mas Arif berdiri dari kursinya. Lalu beberapa detik kemudian dia menatapku dan Ana bergantian.

"Ehem, kamu kenapa sih Sum dari kemarin sembrono dan ceroboh?" tanya mas Arif dengan nada tegas.

"Mbak Sumi kenapa?" tanyaku mendekat ke arahnya.

Mbak Sumi perlahan berdiri dari jatuh tertelungkupnya. Kening dan lututnya lecet.

"Sa-saya tadi terpeleset, Bu," jawabnya lirih tertunduk. Tapi aku bisa dengan jelas kalau ekor matanya menatap ke arah suamiku yang sedang meneruskan makannya.

"Lantainya yang licin atau mbak Sumi yang tidak fokus karena memikirkan laki-laki?" sindirku tersenyum.

Wajah mbak Sumi langsung memerah.

"Dua-duanya. Eh, maksud saya lantainya licin dan saya sedang memikirkan anak saya."

"Hm, kalau Mbak Sumi kangen sama kedua anak Mbak, lebih baik mbak ambil libur dulu. Apa tiga hari cukup untuk pulang kampung?"

"Saya nggak mau pulang kampung, Bu!" cetus mbak Sumi spontan. Tapi selanjutnya dia menutup mulut.

"Lha, katanya tadi sedang memikirkan anaknya sampai jatuh dari tangga, lho. Tapi saya persilahkan pulang, kok tidak mau?"

Mbak Sumi terdiam sejenak. Mungkin dia bingung untuk memilih kata-kata yang tepat.

"Ma, Sumi itu kan baru enam bulan kerja di rumah kita. Masa iya udah minta pulang ke kampung. Nanti nggak ada yang bantuin kamu nyelesaiin pekerjaan rumah tangga.

Entar aja pulangnya sekalian libur hari raya. Lagi pula kalau kangen sama keluarga nya, kan bisa video call."

"Lho, mbak Sumi punya HP android? Kok aku baru tahu?"

"E-eh, mungkin maksud bapak telepon biasa, Bu. Saya belum beli Hp android. Masih saya kirimkan uangnya ke kampung. Dan saya rasa belum perlu."

"Ma, sudah jam tujuh tuh. Kamu nanti bisa terlambat dinasnya."

Aku mengangguk. "Ya sudah. Saya mau berangkat kerja dulu."

Aku berlalu dari mbak Sumi dan mencium punggung tangan mas Arif. Lalu mencium kedua pipi Ana.

"Mama, berangkat kerja dulu ya. Jangan lupa ajak Ana ke mall sekalian." Aku mengambil tas selempang yang tadi kuletakkan di atas meja makan. Lalu menoleh sekali lagi pada Sumi.

"Oh, ya. Ada betadine dan plester di kotak P3K. Kamu jangan melamun lagi kalau bekerja. Atau kalau kamu sudah punya pacar, suruh ngawinin aja. Nggak masalah kalau kamu tidak bekerja di sini lagi karena nafkah kamu sudah ditanggung oleh suami kamu. Asal bukan suami orang sih."

Aku berlalu dari ruang makan tanpa menoleh lagi pada orang-orang yang kutinggal di rumah.

**

Aku melajukan sco*pyku ke arah toko aneka barang elektronik di tengah kota. Setelah memarkirkan motor, aku langsung masuk ke dalam toko tersebut.

Suasana dingin dan harum langsung menyapa saat aku masuk ke dalam toko. Aneka barang elektronik segera menyapa mata. Aneka merk tivi, kulkas, kipas angin dan cctv. Kulangkahkan kaki menuju ke arah rak yang menjual aneka cctv beraneka bentuk.

Aku menghampiri karyawan toko lalu menyebutkan barang yang ingin kubeli. Dan karyawan itu mengantarkanku ke rak yang lebih lengkap.

Aku tersenyum puas saat mulai memilih dan bertanya tentang cara memasang cctv yang efektif sekaligus cara menyambungkannya dengan ponsel.

Aku tersenyum puas saat menenteng tiga kamera cctv berbentuk lampu bohlam dan boneka mungil untuk gantungan spion mobil.

"Hei, Bu Nastiti ya! Lagi belanja ya? Mana pak Arif?"

Sebuah suara dan tepukan membuatku menoleh.

"Wah, Bu Nurma! Pak Dikta! Lama nggak ketemu sejak acara gathering kantor tiga bulan lalu."

Aku menyalami teman kerja suamiku dan istrinya.

"Nggak sama Pak Arif, Bu?"

"Iya. Duh, kemana ya tadi? Katanya sakit perut. Mungkin ke kamar mandi," jawabku berbohong.

"Oh ya, selamat ya Bu, bulan ini penjualan produk dari kelompok yang dikepalai pak Arif bisa tembus ratusan unit lebih banyak dari kelompok lain."

Aku mengerutkan kening lalu tersenyum. "Ya, Alhamdulillah Pak."

"Sampai kepala manajer memberikan bonus pada pak Arif dan tiga anggotanya masing-masing lima juta."

Aku menelan ludah. Astaga, bisa-bisanya mas Arif tidak mengatakan hal itu padaku!

Aku melihat ponselku sejenak. "Pak Dikta dan Bu Nurma, saya permisi dulu. Ternyata mas Arif sudah menunggu di parkiran. Mau ngajak pulang. Saya duluan ya."

Aku tersenyum dan pamit keluar dari toko dengan perasaan yang tak menentu.

Gajian ini sudah disunat dan mas Arif dapat bonus pun diam saja? Apa bonus itu diberikan pada mami? Aku masih berusaha berbaik sangka.

Setelah memutuskan beberapa saat, aku melajukan motorku ke rumah mertua yang berjarak hampir satu jam dari toko itu. Tak lupa kubawakan kelengkeng kesukaannya.

"Mami." Aku mencium punggung tangan perempuan berwajah teduh dan berjilbab lebar di hadapanku.

"Sayang! Kesini sendirian?" tanya mertuaku sambil meletakkan tongkat pelnya.

Aku mengangguk. Lalu mengikuti langkah mertuaku masuk ke ruang tamu.

"Hati-hati licin, Nduk. Baru saja Mami pel, soalnya atapnya bocor." Mertuaku menunjuk langit-langit ruang tamu.

Rumah mertuaku merupakan rumah warisan dari ibunya. Rumah besar tapi memang di beberapa bagian butuh renovasi karena umurnya juga sudah tua.

Aku duduk di sofa, lalu bertanya dengan hati-hati.

"Mi, maaf sebelumnya, kenapa mami tidak memanggil tukang untuk memperbaiki atap rumah yang bocor? Bukankah kemarin mas Arif sudah memberikan uang pada Mami?"

Kulihat rona keterkejutan dari wajah mertuaku.

"Sejak tiga bulan lalu sampai bulan ini, Arif tidak pernah memberikan uang pada Mami sama sekali, Nas.

Mami juga tidak memintanya karena masih punya uang pensiunan. Dan mami rasa kalian pasti juga banyak kebutuhan untuk keluarga." Mertuaku tersenyum tulus.

Wah, nggak bener ini. Kini aku tahu kemana pastinya uang suami ku lenyap.

Next?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status